Tuesday, July 27, 2004


Selling the Donkey. Dolphin Books Bejing. Written by: Li Hong. Illustrated by: Wang Shuli. Diterjemahkan oleh: Bagus H Posted by Hello

Menjual Keledai

Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang tua bernama Matahari Tua, beliau tinggal bersama putranya yang bernama Matahari Kecil.


Suatu hari, Matahari Tua dan Matahari Kecil pergi ke pekan raya di kota untuk menjual keledainya. Seorang perempuan melihat mereka dan tertawa, "Kalian berjalan membawa keledai. mengapa kalian tak menungganginya? Kelian berdua benar-benar bodoh!"


"Perempuan itu benar," kata orang tua itu kepada putranya, "Kita berdua sungguh bodoh." Maka Matahari tua naik ke punggung keledai, dan Matahari Kecil berjalan mengikuti di belakangnya.


Tak berapa jauh beranjak, mereka berjumpa seorang perempuan tua. Begitu ia melihat Matahari Tua menunggang keledai ia berseru kepadanya, "Hey, ini tidak benar. Kamu menunggang keledai dan membiarkan bocah kecil itu berjalan kaki di belakangmu."


"Benar juga. ada benarnya perkataan perempuan tua itu." Tukas Matahari Tua dan iapun segera melompat turun dari punggung si keledai lalu membiarkan putranya naik.


Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka melihat seorang lelaki sedang bekerja di ladang yang berteriak: "oi oi, kau, anak muda berpikiran pendek -- anak semuka engkau menunggang keledai dengan enaknya dan membiarkan orang tua ini berjalan kaki."


"Ah, Tepat juga perkataannya," ujar Matahari kecil kepada dirinya sendiri, "Aku betul-betul pendek pikir." Segeralah ia melompat turun dari punggung keledai.


Matahari Tua dan Matahari Kecil segera berdiskusi tentang bagaimana caranya membawa keledai mereka ke pekan raya di kota tanpa ada lagi orang yang mengkritik mereka. "Aku punya ide," kata Matahari Kecil,"kita berdua menunggang keledai itu, dengan demikian tak ada orang yang dapat berkata apapun." "Ide yang bagus," ucap Matahari Tua setuju, "Sungguh ide yang bagus."


Segera mereka berdua menunggangi keledai itu.


"Apa! Kalian gila?" dua orang pejalan kaki berseru marah, "Lihat itu, dengan dua orang berada di atas punggungnya, tak lama lagi keledai itu akan mati kecapaian."


Ketika Matahari Tua dan Matahari kecil mendengar seruan itu mereka merasa bersalah. Langsung saja mereka melompat dari atas keledai dan berkata, "Benar juga, kita berdua memang gila." Kali ini mereka benar-benar kehilangan akal dan tak tahu harus berbuat apa.


Tiba-tiba Matahari Kecil berkata, "Aku punya ide! Bagaimana kalau kita yang memanggul keledai itu." matahari Tua tersenyum mendengar nya dan berkata: "Ide yang bagus, Ide yang bagus."

Matahari Tua dan Matahari Kecil segera memanggul keledai merka dengan sebilah bambu dan membawanya ke pekan raya. Dalam perjalanan menuju pekan raya tubuh mereka berdua basah kuyup oleh keringat. Ketika sekelompok anak-anak melohat bagaimana Matahari Tua dan Matahari Kecil membawa keledai itu, mereka semua tertawa terbahak-bahak.


"Ha, Ha...., cepat sini lihat ini, dua orang ini tidak menunggangi keledainya, tapi justru keledainya yang menunggangi mereka. Itu benar-benar luar biasa. Ha, ha, ha...."

Spirit of The Dance - Thanks to my friend Sisca Posted by Hello

Monday, July 26, 2004

Rahasia Danau Bola

Alangkah senangnya menonton anak kita bermain riang gembira di bola-bola warna warni yang ribuan jumlahnya itu. Mereka melompat dan menyelam seperti layaknya seorang penyelam profesional di lautan lepas. Tertawa-tawa dan berenang-renang kesana kemari. Bisnis yang menyenangkan. Mendapatkan uang dari kebahagian orang lain :) Tapi cerita kali ini bukan tentang mereka. Ini tentang sebuah usaha, bisnis dan kebetulan membutuhkan kemampuan menyelam.

Tersebutlah suatu tempat di dunia maya, Lakeballs.com alias danau bola. Namanya unik seunik usahanya, yaitu menjual bola golf. Keunikan itu bukan dari bolanya, tapi bagaimana mendapatkan bola2 itu... Yaitu dengan menyelam di kolam2 yang ada di lapangan2 golf di inggris.

Pada malam2 tertentu para penyelam bola akan menyiapkan pakaian selamnya, masker, kaki katak dan sebuah keranjang berbentuk jala untuk menampung bola. Mereka memarkir kendaraannya di tempat tersembunyi yang cukup jauh agar luput dari pengawasan satpam. Dengan pakaian selamnya mereka melompati pagar dan berjalan kaki ke setiap kolam yang ada disana.

Pakaian selam yang terbuat dari karet memang cukup membantu menahan masuknya air. Tapi suhu dingin tak dapat dihindari. Meski demikian oleh para penyelam pekerjaan ini dirasakan sangat menyenangkan. Sebab bila beruntung mereka bisa mengumpulkan bola yang cukup banyak untuk mendapat uang hingga 1000 dollar per malam!

Tak terbayang bagaimana sulitnya meraba dasar kolam untuk mencari bola golf yang besarnya tak lebih dari telur ayam kampung. Apalagi mereka sengaja tidak menggunakan alat penerangan. Kalau sedang sial, pak satpam bisa memergoki mereka lalu menangkap dan menyita bola-bola yang sudah mereka kumpulkan. Bagi para penyelam bola, mereka lebih baik meninggalkan bola daripada tertangkap tangan pak satpam. Repotnya tak terbayar. Toh ada begitu banyak kolam dan lapangan golf yang mereka bisa kunjungi.

Tak jarang mereka juga harus bersaing dengan penyelam yg berprofesi sama. Tapi hal tu tak terlalu menjadi masalah. Sebab tak banyak orang yang memilih pekerjaan ini. Lama-kelamaan mereka juga sudah saling mengenal dan berbagi jadwal mencari makan.

Memang kegiatan mereka kadang dirasakan mengganggu oleh pengelola lapangan golf. Tapi sebagian yang lain tak berfikir demikian. Ada juga yang secara resmi meminta jasa penyelam ini untuk mengumpulkan bola di kolam2 mereka. Kalau demikian para penyelam bisa bekerja santai. Tak perlu lagi kedinginan karena menunggu waktu larut malam.

Bola golf terdiri dari berbagai merk, kelas dan kualitas. Setelah dikumpulkan semuanya akan di cuci, dikeringkan dan dipilah2 berdasarkan kriteria tadi. Setelah itu bola siap dijual langsung ke penggemar olahraga mahal ini atau mereka jual ke penampung seperti Lakeballs.

Penyelam2 Lakeballs memang menjalani kehidupan diluar dari kebiasaan. Untuk sebuah pekerjaan yang bisa dibilang part time, mereka mendapatkan lebih dari cukup. Tapi pekerjaan tak selalu melulu uang. Kita perlu tantangan agar pekerjaan bisa menjadi permainan yang menyenangkan. Itulah sebabnya, mereka akan selalu berebut menyelam di lapangan2 golf yang termahal dengan pengamanan terhebat.

Ada2 saja....


Jakarta, 26 Juli 2004

Wednesday, July 14, 2004

Tao Te Ching - Lao Tzu

Tao Te Ching - Lao Tzu
Translated by Charles Muller


If you want to grab the world and run it
I can see that you will not succeed.
The world is a spiritual vessel, which can't be controlled.

Manipulators mess things up.
Grabbers lose it. Therefore:

Sometimes you lead
Sometimes you follow
Sometimes you are stifled
Sometimes you breathe easy
Sometimes you are strong
Sometimes you are weak
Sometimes you destroy
And sometimes you are destroyed.

Hence, the sage shuns excess
Shuns grandiosity
Shuns arrogance.

YANG FANA ADALAH WAKTU

YANG FANA ADALAH WAKTU
Sapardi Djoko Damono


Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.





Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.

Monday, July 12, 2004

Sepenggal Rahasia Hati

Musik berdebam makin cepat dan makin keras. Suara manusia hingar bingar memenuhi ruangan. Di atas meja bar licin, Dona makin gila menari. Tangannya terangkat tinggi2 bergerak cepat meningkahi pusingan cakra sang DJ. Di tangan kanannya tergenggam sebotol bir dingin. Minuman keras itu membasahi wajah, leher, dada, hampir seluruh tubuhnya. Gerakannya sudah mekanis nyawanya seakan terbang entah kemana.

Di bawahnya para lelaki mendongak meneteskan liur mereka. G-String warna hitamnya bagaikan menyedot isi kepala lelaki dibawahnya. Dona tak peduli, bahkan tariannya makin menggila. Isi botol dituangkannya meluap perlahan dari leher menurun ke belahan dadanya yang indah. Tempat terbaik untuk menikmati air api.

***

Sejak berangkat ke Jakarta, Dona bertekad bulat. Mengalahkan ibukota dan menundukkan kaum lelaki dibawah stilletonya yang sexy. Kota kecil di Timur Jawa ini bukan tandingannya lagi. Kamis pahing ini, mamanya yang sederhana melepas kepergiannya di stasiun. Buah hatinya tampak begitu dewasa dibalut pakaian sexy ala anak kota. Tapi dimata mama, Dona tetaplah gadis kecilnya yang lugu.

Gumarang mendengus keras, kaki-kakinya yang kekar menjejak logam berdebu meluncur perlahan meninggalkan mama di sisi peron yang sepi. Sesekali pedagang asongan melintas menghalangi wajah mama. Detik-demi detik citra itu mengecil dan mata cantik Dona tak kuasa menahan kesedihan. Dengan sehelai saputangan sutra pemberian mama Dona mengusap airmatanya. Pandangannya menerawang jauh ke birunya gunung di kejauhan. "Hati-hati ya Ma..."

***

Dona adalah gadis yang memiliki sebuah kombinasi langka, kecerdasan dan kecantikan sekaligus. Hal itu lebih dari cukup untuk menarik perhatian pria tak juga Joe. Setiap gerak-gerik gadis itu terekam dengan baik dalam ingatannya. Sejak mereka mulai bersahabat tiga tahun lalu sobatnya ini terlihat begitu sempurna.

Dona memang gadis yang enerjik. Hari-harinya dihiasi keceriaan. Sulit menangkap kegelisahan di lesung pipitnya yang indah itu bahkan untuk yang sedekat Joe. Pikiran pemuda gagah itu terbang dipacu ninja hitamnya. Sekilas-sekilas terbayang Dona yang mendekap punggungnya begitu erat dua hari lalu. Nilai-nilai ujiannya tidak buruk, tapi Dona tampaknya enggan bercakap2 dengannya. Joe mengerti bahasa tubuh itu, ia memeriksa klip helm di dagu Dona, memutar kunci sepeda motornya dan mengantar pulang gadis itu pulang.

"Bangsat! Gak punya mata loe?!" Seorang bapak gendut memaki.

Joe segera menekan remnya kuat2. Hampir saja motornya menabrak bapak itu. "Duh maaf pak... Bapak gak papa kan? Maaf banget pak saya terburu2... soalnya ada keperluan penting..."

Untung tak ada yang terluka. Joe kembali memacu ninja hitamnya menerjang jalan raya bogor. Jantungnya berdebar makin keras mengingat sobatnya yang terbaring sendirian. Joe terbang seperti setan membelah malam.

***

"Ampun pa, jangan pa...!" Dona merintih lirih. Dengan sisa-sisa tenaganya ia menolak tubuh kekar Papa. Dari belakang mama menariknya kuat2. "Jangan pa, dia anakmu pa...!" Hanya dengan satu gerakan tangan saja, mama terpelanting keras. Kepalanya terantuk dinding jatuh tak sadarkan diri. Wajahnya lebam dan dari sudut bibirnya darah segar mengalir membasahi dagunya.

Ingatan itu tersimpan dalam-dalam di hati Dona. Ia ingin menghalaunya jauh-jauh, tapi bayangan itu seperti film yang diputar berulang-ulang tak ada habisnya. Itu sebabnya mama sangat gembira ketika Dona berhasil masuk kuliah di Jakarta. Mama berharap suasana baru dapat menghiburnya. Di Jakarta perangai Dona memang lebih ceria, namun itu karena rasa dendam di bawah sadarnya. Ia sangat menikmati setiap permainannya membuat banyak pria patah hati.

"Gue kan nggak salah Joe. Gue gak pernah minta apa2. Bukankah sudah hak gue utk menolak?" jawabnya setiap kali Joe menegurnya. "Sudahlah Joe sayang, kita nikmati aja hidup ini. Lets go to Starbuck... on my treat deh..." rayu Dona.

***

Dokter dan seorang polisi menyambutnya di depan pintu UGD. Joe segera menghambur ke dalam. Para perawat melepas penyangga kehidupan dari tubuh pucat Dona. Joe masih tak percaya. Ia membasuh dahi sobatnya itu dengan lembut dan berbisik di telinga Dona.

"Na, ini gw Joe, Na. Bangun dong Na... Bangun...!" usaha Joe sia2. Sobatnya diam tak bergerak. Wajahnya tertidur damai dibalik seprai putih rumah sakit.

"Bajingan loe Frank!" tinju Joe menghantam dagu Franky. Pak polisi memegangi badan Joe. Teriakannya melolong menghantam dinding2 tua rumah sakit cipto.

Tadi sore Patty dan Franky pacarnya yang mengajak Dona melupakan penatnya kehidupan di Diskotik M. Sejurus kemudian mereka melupakan Dona. Di dalam mobil yang diparkir tak jauh dari situ mereka bercinta. Kesedihan Dona memang sirna lewat alkohol. Namun beberapa jam kemudian polisi menemukan gadis malang itu sekarat di tepi sebuah jalan di kota. Tubuhnya yang setengah bugil dikotori sperma para lelaki tak dikenal.

"Tiit..." sebuah pesan pendek masuk ke handphone Joe.

"Joe sayang, ke kost ku dong... Buruan ya... Papa datang...!"





Jakarta, 12 Juli 2004