Tuesday, September 25, 2007

Pak Tukang

Pak Imam menginjak pedal rem Honda CB100nya pelan-pelan. Kemudian ia turun dari sadel dan berjalan membuka pintu pagar rumah kami. Sejenak kemudian ia kembali ke sepeda motornya, mengangkat standar lalu mendorong setangnya memasuki teras rumahku. CB100 berwarna merah itu selalu menarik perhatian orang. Ia merawatnya dengan sangat baik, sehingga bagian2 logam yang dipernickel jadi sangat kinclong. Pernah suatu saat aku bertanya iseng padanya.

"Gak ganti motor baru aja pak?" tanyaku sambil berdiri menyandar tembok belakang rumah.

"Nggak ah mas, itu aja udah cukup," pak Imam meletakkan kedua telapak tangannya di belakang kepala. Lalu bergerak meluruskan punggungnya yang letih. Perutnya jadi tampak membusung ke depan. Setelah itu dia sandarkan kedua kakinya ke dinding kolam ikan di depannya untuk sedikit bersantai. "Si kuntul masih bisa lari 70-80 lho. Waktu itu saya dipalangin, trus saya kejar. Pas dari deket nggak taunya cewek. Mukanya ketutupan helm. Yah, nggak jadi deh saya marahin."

Ia memberi nama si kuntul untuk CB100 kesayangannya.

"Setiap di lampu merah saya ditanyain melulu sama anak2 muda. Banyak yang nawar juga. Tapi nggak ah," lanjutnya jual mahal. "pernah saya dipalangin juga sama anak muda, pake motor baru. Saya kejar aja, trus saya marahin. Situ udah bisa naek motor apa belom sih? Kalo belom bisa, belajar dulu. Jangan bawa motor ke jalanan. Kalo mau ngadu, hayo. Tapi jangan adu cepet, saya pasti kalah. Kalo berani adu kepala. Situ ngadep sini, saya ngadep situ," dia bercerita seperti sedang menantang. "Biar saya tabrakin sekalian. Motor saya kan paling berapa juta, kalo dia kan paling nggak 20 juta. Biar ancur sekalian."

"Ampun pak, maaf, nggak sengaja," katanya begitu jawaban anak muda itu.

"Makanya kalo bawa motor jangan sembarangan dong. Hargai orang lain. Saya nih, situ belum ada udah bawa motor. Tapi nyetirnya nggak kayak situ," pak Imam mengakhiri ceritanya dengan kebijaksanaan.

Tapi harus diakui si kuntul memang motor yang istimewa. Ia teman setia pak Imam yang sudah mengantarnya pergi bekerja beribu-ribu kilometer. Dengan menaiki motor tua itu pak Imam bisa menghemat tenaga, waktu dan pengeluaran. Selisih yang sangat berharga untuk keluarga tukang batu seperti dia.

***

Bapak kenal pak Imam dari kakakku. Waktu itu pak Imam bekerja di rumah mertua Mas Sigit. Karena saat ini agak sulit mencari tukang yang baik, akhirnya bapak meminta bantuan pak Imam. Waktu itu kami ingin memperbaiki kamar mandi. Ternyata pak Imam memang pekerja yang baik. Waktu kerjanya disiplin, hasilnya rapi, dan penuh tanggung jawab. Ia juga bisa dimintai bantuan lain-lain.

Sejak pertama kami kenal, ia sudah berpasangan dengan Pak Man. Pria jangkung kurus dengan gigi mulai ompong. Aku tak tau bagaimana ceritanya kerjasama itu dimulai. Yang jelas hingga kini mereka selalu bekerja berdua.

Pak Man lain lagi. Ia pribadi yang agak ruwet. Mungkin karena keluarganya juga sedikit ruwet. Hidup pasti berat untuk mereka. Setiap hari adalah perjuangan untuk survive. Istri dan anaknya sakit. Bahkan tahun lalu anaknya meninggal. Sebenarnya di dalam, ia pria baik. Tekanan kehidupanlah yang membuat kalang kabut.

Yang agak mengganggu, kadang ia mengusulkan ide2nya yang nyeleneh. Payahnya lagi, bapak selalu menganggap ide2 itu sesuatu yang gemilang. Dasar bapak selera ndeso. Jadilah rumah kami nggak keruan bentuknya :D

***

Kali ini pak Imam dan pak Man membantu bapak membuat warung di depan rumah. Karena warung di kanan depan sudah diubah jadi garasi, maka Pak Imam terpaksa menebang pohon rambutan kesayangan yang ada di kanan depan. Warung itu untuk Mas Bayu. Akibat pengobatan untuk skizofrenia yang dideritanya, beberapa kemampuannya jadi menurun. Gerak motorisnya jadi lambat. Kemampuan berpikirnya juga berkurang. Artinya ia disarankan oleh dokter untuk menekuni pekerjaan yang sederhana. Karena itu, meskipun sudah sembuh, kami punya tugas untuk membantunya kembali produktif sesegera mungkin. Berpacu dengan usianya yang makin banyak.

Sudah lebih dari sebulan mereka berdua bekerja keras. Membuat pondasi, merangkai besi beton sebagai kerangka bangunan, membuat kusen jendela dan pintu, memasang keramik, menerapkan atap asbes dan eternit. Hari sabtu kemarin aku membantu pak Man menyambung aliran listrik ke rumah utama. Sedikit-sedikit kelihatan juga bentuknya yang agak ganjil. Lagi-lagi karena ide bapak yang ndeso itu.

Dalam bulan puasa ini, pekerjaan makin berat. Untuk datang ke rumah kami saja, mereka berdua harus berjuang menghadapi macet yg luar biasa. Belum lagi beberapa minggu ini si kuntul ikut ngadat. Udara panas jakarta membuat beban kedua orang tua itu makin berat. Berbuka puasa pun harus di perjalanan. Menambah biaya yang harus dikeluarkan saja.

"Aduh mas, saya jadi terasa lebih capek kalo ngelihat bangunan jadinya kayak begini. Tapi biarin aja deh mas, diemin aja kemauannya bapak begitu, abis susah dibilangin," katanya mengeluh. Agaknya ia tidak setuju dengan gagasan bapak tentang bangunan warung itu.

Aku hanya tersenyum kecut. Aku mengenal keras kepalanya bapak. Kalo diajak berdebat, bisa-bisa suasana rumah ribut melulu. Jadi kami semua sepakat membiarkan saja apa keinginannya. "Iya pak, nggak papa lah. Yang penting nanti kalo udah jadi semoga warungnya laris..." kataku menghibur.

Pak Imam membuka kaosnya yang basah oleh keringat, lalu merebahkan punggungnya ke lantai keramik yang baru kemarin ia pasang.

***

Tanpa terasa waktu melangkah begitu jauhnya. Tanah lapang di depan rumahku yang luasnya berhektar2 telah habis. Dalam beberapa puluh tahun, tanah yang dulunya sawah yang luas, padang rumput tempat ternak kami merumput telah berubah menjadi rumah-rumah besar dan kecil yang semrawut. Sedikit tanah yang tersisa karena pemiliknya tinggal di luar daerah menjadi tempat pembuangan sampah warga sekitar. Tidak ada yang tergerak memikirkan perasaan pemilik tanah itu bila melihat sebidang tanah miliknya berubah menjadi tempat pembuangan sampah. Semua orang hanya ingin masalahnya sendiri selesai seketika.

Di depan rumahku para tukang batu yang berjongkok menikmati rokoknya itu sedang membangun sebuah rumah megah di petak kosong yang terakhir. Pemiliknya seorang jendral Angkatan Udara yang katanya sedang mempersiapkan masa pensiunnya. Sesekali kulihat pak Jenderal itu menengok pembangunannya dengan harley hitam besar yang menggeram keras.

"Tadi siang ibu ditanyain sama Tono, tukangnya pak Jenderal yang kecil2 itu anaknya, Gus," kata ibu. "Katanya kenapa ibu nggak bilang ke saya aja mau bikin warung? Kalo saya yang ngerjakan pasti udah selesai dari kemarin2. Nggak kayak tukangnya ibu, masang batu setepak aja dua hari."

Tukang-tukang itu bekerja pada seorang kontraktor berpengalaman yang tentu saja memilih anak-anak muda yang kuat sehingga bisa menyelesaikan proyek tepat waktu. Seminggu sebelum puasa, rumah itu harus selesai. Mereka semua akan kembali ke Jawa Timur untuk beristirahat. Setelah lebaran mereka akan kembali ke Jakarta untuk mengerjakan rumah yang lain. Karena ingin membawa uang lebih banyak saat lebaran, beberapa diantara mereka mulai mencari kerja lepas untuk mengisi kekosongan seminggu menjelang hari raya itu. Tapi tentu saja kami tidak menceritakan hal itu kepada Pak Imam dan Pak Man.

***

Sore itu Pak Imam menuntun si kuntul dengan bangga ke luar rumah. Hari ini bapak menyerahkan gaji mingguan kepada mereka berdua. Kami mengantar mereka ke depan gerbang sambil beramah tamah. Biar bagaimanapun kami telah mengenalnya begitu lama. Diantara kami dan mereka berdua sudah terbangun rasa hormat yang bersahaja.

Pak Imam menendang pedal starter CB100 merah hati itu. Mesin menyala dengan tergesa.

"Abis saya bersihin karburator dan businya jadi greng lagi kan mas?" Pak Imam tertawa lebar.

Ia mengenakan helm klasiknya yang lucu sambil memberi waktu pak Man untuk membonceng di belakangnya. Setelah siap, mereka mengangguk serempa.

"Monggo Bu, Pak, pareng rumiyiiin. Pulang dulu mas!" katanya setengah berteriak. Pak Man memamerkan turut memamerkan giginya yang ompong.

Kami mengangguk. Aku setengah tertawa melihatnya memacu si kuntul yang makin tua. Sungguh suatu kehidupan yang penuh semangat.

***



Bogor, 26 September 2007