Wednesday, March 26, 2008

Kesambet Mbah Jambrong

Ado duduk memeluk lututnya di dangau tepi sawah. Matahari sudah tergelincir. Namun cahaya matahari jam dua siang adalah yang paling terik. Bahkan anak angon itu, yang rambutnya menjadi kemerahan karena terbakar matahari tidak mampu menahan terik yang menyengat. Ia bergerak2 mengubah posisinya duduk, menikmati kemurahan hati sang angin yang menyebarkan uap air yang sejuk sepoi-sepoi. Di kejauhan, hamparan padi bergerak mengalun bagaikan ombak samudera yang sedang teduh. Dipucuk2nya, bulir2 padi yang bunting mulai berisi. Warnanya yang hijau mulai berubah terang sedikit menguning.

Bagi petani untaian itu adalah emas hijau yang tak ternilai harganya. Di situlah harapan tumbuh dan masa depan bertumpu. Sebentar lagi pak tani akan memasang tali-tali melintang silang menyilang untuk mengusir burung pipit. Mereka mengikat pita-pita warna-warni berselang seling tiap beberapa depa. Dan diantaranya, mereka gantungkan kaleng-kaleng berisi batu kerikil. Tali2 itu memusat pada sebuah orang-orangan dari jerami yang berdiri tegak di tengah sawah. Ia mengenakan baju komprang hitam, lengkap berselempang sarung dan sebuah topi caping yang sudah butut. Ado tertawa, itu kan baju pak Salim yang kemarin dulu ia pakai waktu nandur. Mungkin beliau sengaja mengenakannya pada si orang-orangan sawah biar gerombolan burung pipit yang ingin memakan padi tertipu.

"Awaaas, pasukan munduuurrr... ada pak haji Salim sedang menyiangi rumput!" mungkin begitu kata para pipit.

Padahal pak Haji sedang duduk di dangau dengan santai sambil sesekali menarik tali yang terikat pada orang2an sawah. Setiap disentak, lengan orang-orangan bergerak menggoyang tali2 dan kaleng kosong yang bergelantungan di sepanjang tali. Sehingga terdengar bunyi ramai kelontangan. Pita-pita warna warni yang terbuat dari robekan kantong kresek bekas pun melambai-lambai menakuti burung.

Namun, mereka tak pernah putus asa. Burung pipit yang datang dalam kelompok yang jumlahnya ratusan terbang datang dan pergi berkali-kali. Mereka menunggu pak haji bosan dan mengantuk. Pak haji akan rebahan di bale2 dangau melepas peci hitamnya dan tidur.

"Biarin dah, biar anak burung peking kebagian makan juga dah..." ia beralasan. Nanti sore ketika istrinya datang menengok pasti deh ia kena marah. Kami anak angon nyengir saja dari jauh. Pak haji Salim belagak pilon saja, masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Apa lu kata aja dah, Nyi!" memang, siapa yang tahan godaan angin semilir di tengah hari bolong begini? Begitu merebahkan badan dan mata melihat langit biru dan awan berarak-arak, mata pasti akan redup. Mengantuk.

***

"Nah ini dia, orangnyah. Go, bago, dari setadian loe nongkrong disini yak? Gua cari-cariin kemana2 kagak ketemu!" si Samin tiba-tiba muncul dibalik punggungnya. Samin anak bang Entong. Badannya kurus kering, dan agak penakut. Rumahnya agak jauh dibalik bukit. Tapi kalau main ia turun ke dekat rumah Ado yang dekat sawah. Kata temen-teman, ibunya pernah gila, karena itu pikirannya dia juga jadi ikutan setengah. Ado tidak percaya, karena ia pernah bertemu ibunya, orangnya cantik dan baik. Namun karena Samin selalu saja salah menyebut namanya, ia jadi agak percaya.

"Lah emangnya kenapa Min?" tanyanya.
"Dari pada-an elu bengong di sini, mending kita ke kali nyok. Pan si Cemen lagi guyang kebo di bulak noh, seberang kali belakang monumen. Nah kita ikutan ajah," samin membujuk kawannya dengan bersemangat."Lah, kuan, katanya di tempat si cemen guyang kebo, deket empang engkongnya si Cemen, di pinggir kali, banyak lobang lingsang, anjing aer. Nah kita nontonin lingsang buru ikan!"

"Lah ngeri dah gue main di kali. Tar ada buayanya" Ado bergidik. Ia sering lewat situ kalo dapat tugas belanja ke pasar dari ibu. Biasanya Ado dan kakak2nya berjalan beriringan mencari jalan pintas melalui balik bukit yang sepi lalu menyeberangi jembatan gantung dari bambu menyeberangi sungai untuk sampai ke pasar. Di atas bukit itu berdiri monumen pahlawan yang megah. Konon, ada tujuh jenderal yang mati terbunuh di dalam sebuah sumur tua.

"Kagak dah, jamin samber geledek, aman!" mulut samin monyong persis corong minyak tanah. "Si Cemen pan nyebrangnya juga naek kebo. Sama gua juga baderan guah, kuan." Samin mulai sombong. "Kagak dah, kagak ada buaya. Nti dah guah berenang duluan!"

Ado berpikir2 sejenak. Ia harus ngangon kambing. Kalau tidak diawasi bisa2 kambing dombanya dicuri orang. Tapi ia belum pernah liat anjing air...

"Emmmm, ayo dah. Tapi loe bantuin gue nyencang kambing yak? Sama ntu tuh, kakinya si pelana kelibet tambang," ia minta bantuan. Si pelana adalah domba jantan yang besar. Tepat di punggungnya ada sebuah corak berwarna coklat bulat yang bentuknya mirip pelana kuda. Ia kambing jantan yang gagah dengan tanduk melengkung ke bawah, lalu berputar ke depan tajam menantang.

Samin tertawa gembira. Ia mengikuti Ado dari belakang dan membantunya mengikat tali cencang kambing pada sebuah tonggak yang sengaja ia tancapkan di tengah padang rumput. Dalam perjalanan, Ado mengajak kakaknya si Ijot untuk ikut serta melihat anjing air.

***

Mereka bertiga melalui jalan keramat. Terus saja, kemudian diantara rumah temanku Tong Adih dan Ashok, kami belok kiri mengikuti pagar monumen kemudian turun tembus ke balik bukit.

Jalan mengecil menjadi jalan setapak. Di kiri kanan semak belukar yang rimbun. Di sebelah kiri tangan, lereng bukit menjulang tinggi 5 hingga 20 meter. Di puncaknya terlihat tugu-tugu pagar monumen yang terbuat dari batu granit hitam. Di sebelah kanan tangan pohon-pohon besar yang tua tumbuh kuat berpegangan pada tebing sungai yang jatuh hampir tegak lurus ke bawah beberapa meter dalamnya.

Di bawah, sungai berbelok-belok mengikuti bentuk muka bumi. Airnya deras berwarna coklat bekas banjir dari hulu. Di seberang sungai terhampar rawa2 yang penuh ditumbuhi perdu berduri setinggi orang dewasa. Sementara di bawahnya tumbuhan "duri bren" menjulur liar menutup semua jalan masuk ke tengah rawa. Anak-anak kampung menyebutnya duri bren karena durinya sangat banyak itu menimbulkan rentetan bunyi yang khas seperti senapan mesin bren. Breeeet! Dan seketika durinya yang beberapa puluh menempel berjajar membuat luka yang panjang.

"Nah, noh dianya, noh si Cemen lagi guyang kebo!" Samin berseru girang.

Setelah berjalan sekitar setengah jam, akhirnya mereka sampai juga. Di kejauhan terlihat si Cemen dan kawan-kawannya sedang memandikan kerbau pak Bontong, babenya yang berjumlah tujuh ekor. Si cemen sedang menggosok punggung si Bagong, kerbau jantan yang yang paling besar dengan segenggam rumput. Tanduknya membentang panjang dan tajam. Pantas saja ia menjadi kepala keluarga kerbau. Si Bagong berenang2 mengimbangi arus sungai yang cukup deras.

Sesekali ia melenguh keenakan oleh gosokan Cemen.

"Uuuuuak... uuuuak" ia melenguh senang. Sementara anak-anak berenang kesana-kemari sambil bercanda.

Kami tersenyum girang dari jauh. Ado dan Ijot berjongkok melepas lelah di bawah sebuah pohon rengas yang sudah tua. Batangnya lebih dari pelukan dua orang dewasa. Ijot berteriak2 memanggil,"Oooi, oooi! Men, gue ikutaaan!"

Mereka melihat ke atas tebing sambil tertawa. Tapi dalam sekejap raut muka si samin berubah ketakutan.

"Joot awas, jangan di situ... jangan di situ...!" Samin berteriak ketakutan.

"Bago, jangan di situ, jangan di situ...!" ia menarik-narik tangan Ado.
"Ada ape, Min? Gue capek tau!"
"Jangan di situ!" Samin tak sabaran. Ia menarik kedua bersodara itu berlari menjauh. Tak lama kemudian mereka sudah ikut bergabung dengan Cemen dan kawan-kawan.

"Ade apaan sih loe pade?" Ado kebingungan.
"Ssssst, udeh, mendingan elu berdua bantuin kita guyang kebo dah!" kata Cemen pada sobatnya itu. Anak-anak lain mengangguk setuju.

Bermain air siang-siang begini memang nikmat. Menggosok punggung kerbau hingga bersih dan saling menyiramkan air ke teman-teman. Menjelang jam 3 sore kami menarik kerbau untuk mentas. Masing-masing anak menunggang kerbaunya sendiri-sendiri. Cuma si Cemen yang berada di bawah karena harus menarik tali keluh di hidung si Bagong. Kalau pemimpinnya sudah naik ke darat, kerbau-kerbau yang lain juga akan mengikutinya. Mereka membiarkan kerbau-kerbau itu merumput sejenak di tepi sungai sebelum membawanya pulang ke kandang.

Sembari mengeringkan badan, Ado, Ijot, Samin dan kawan-kawan menyusuri tepi sungai mencari sarang lingsang. Lingsang itu seperti musang, namun bulu-bulunya licin sehingga tidak tembus air bila mereka sedang mencari ikan. Kata si Cemen, dahulu kala, di tepi rawa dan sungai sini memang banyak lingsang. Namun ketika penduduk mulai membuat empang-empang untuk memelihara gurami, mereka banyak diburu orang. Karena dianggap hama yang memangsa ternak ikan penduduk.

"Sssssssst, liat noh, disonoh. Deket akar rengas belah kulon..." Si Cemen merunduk ke balik semak. Di seberang sungai terlihat seekor lingsang yang cukup besar membawa ikan tawes di moncongnya.

Si Cemen membidikan ketapelnya. Siuuuut... buuuukkkk. Peluru ketapelnya yang terbuat dari gumpalan tanah liat meleset dari sasaran. Si lingsang melompat dengan gesit menghindar masuk ke semak belukar.

"Ngapah lu selepet itu lingsang, Men?" tanya Samin dengan wajah tololnya. "Emangnya lu doyan daging lingsang?"

"Lah kagak tong..., ntu mah haram kali dagingnyah.."
"Lah kuan kagak usah loe selepet pisan itu anjing aer, kesian.." katanya."Lagian kalo kena, elu mao berenang kesebrang? Kuan, dalem aer disini... Lom lagi tar ada setan lembu...hiiii...."

"Mendingan kita balik dah, jadi merinding nih gue!"

Mereka berlarian kembali ke tempat kerbau digembalakan. Mereka naik ke punggung kerbau satu persatu, lalu beriringan mencari sisi sungai yang dangkal untuk menyeberang.

***

Setengah jam kemudian mereka sampai di kandang kerbau pak Bontong. Ado, Ijot dan Samin mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya.

Dalam perjalanan pulang tak habis-habisnya mereka bercerita tentang pengalaman hari ini. Ado bertanya tentang pohon rengas tadi.

"Min, ngapa sih loe pade takut amat tadi? Pas gue nongkrong di bawah po'on rengas?"
"Husss, kuan gua kagak boleh ngomong..."
"Emang ngapa?"
"Lah kagak, itu bulan kapan pan adek guah si Musa sakit panas abis maen di bawah itu rengas... Ampe pagi ngigo kagak brenti-brenti..." samin bersecrita dengan takut-takut."Pulangin gua...pulangin...gua..... Pegitu katanya. Suaranya kayak engkong-engkong..."
"Napa elu kagak bilang dari setadian?" Ado jadi panik.
"Kesambet maksud lu, Min?" Ijot ikutan panik."Pantes badan gue jadi rada sumeng ye... Anget nih leher gue..." Ijot memegang-megang leher dan jidatnya.
"Nah, loh... ribed dah...!" si Samin melotot ngeri."Buruan gi dah elu pada lari pulang!

Kesambet jin si Jambrong gua kagak tanggung!" ia setengah berteriak.
"Mak dikipe! Yang bener luh Min?" Ijot ternganga-nganga bloon."Kita buruan balik dah!"
"Awas beneran kesambet, gue gerayangin loe Min!"

Di belakangnya, Samin tertawa geli sendirian.

"Ngibrit luh pade diuber mbah jambrong, anak kota abis gua kibulin!"

Semuanya berlari pulang. Setelah lelah seharian bermain di kali, mungkin mereka jadi masuk angin. Celana pendeknya pun kering di badan. Tapi mungkin sudah kodratnya anak-anak kampung jarang sakit. Badannya sehat-sehat ditempa oleh kekuatan alam. Sehingga sudah pasti ketiga sahabat itu akan bertemu lagi esok hari.



==========

Bogor, 26 Maret 2008

*) Guyang kebo = mandiin kerbau

*) Kesambet = ketumpangan setan, ketempelan gitu deh

*) Bader = Bandel, dalem bahasa betawi

*) Tali keluh = itu loh, kerbau biar gampang diatur, tulang rawan idungnya dibolongin trus dipasangin tali tambang. Kalo ditarik kan sakit tuh. Jadi dia nurut sama yang ngangon. Kalo dia diiket lehernya doang kayak iketan anjing, bakal repot ente. Yang ada ente yang keseret sama si kerbau.

*) Pohon rengas = pohon banyaknya di pinggir2 kali. Pohonnya gede banget, tinggi. Trus bergetah. Konon biasanya sih emang banyak setannya. Tumbuhnya aja di pinggir kali... bayangin aja...

*) Mentas = itu naek, keluar dari aer.

*) Dari setadian = maksudnya dari tadi, maklum anak kampung ngomongnya pada kagak pas.

*) Kuan = apa ya... semacam partikel bahasa. Nggak begitu penting, cuma sebagai penekanan pada kalimat. Seperti kata "lah" pada "begini lah".


*) Oh iya, ini betawi ora alias betawi pinggiran. Makanya kasar, emang aneh buat yg gak ngerti betawi.

Ayo Nimbain!

Lonceng sekolah sudah berbunyi. Pak Zul yang super galak hari ini lagi baik hati. Anak-anak berhamburan keluar. Ado nggak mau ketinggalan. Sejak dari tadi pagi pikirannya sudah melayang-layang ke sawah di dekat rumah. Di awal-awal musim hujan begini adalah waktunya anak2 mencari ikan. Sawah yang menunggu giliran dicangkul biasanya ditumbuhi rerumputan. Dan ketika air hujan yang segar di bulan2 oktober membasahinya, benih-benih ikan mulai muncul entah darimana. Pertanyaan itu selalu saja menjadi perdebatan panjang anak2. Ada yang bilang dari langit, ada yang sangat yakin mereka bersembunyi di liang2 di dalam tanah. Ada pula yang berpikir kalau ikan-ikan itu punya semacan danyang yang memelihara mereka di alam gaib, lalu melepaskannya ketika musim penghujan tiba.

Tapi itu tak terlalu penting lagi sekarang. Bagi Ado, begitu lonceng berbunyi, ia harus buru-buru pulang, berganti pakaian. Makan siang. Berpura2 menengok kambing domba yang sedang dicencang di padang rumput. Lalu diam2 mengambil kaleng bekas cat yang ia sembunyikan di balik semak-semak tablo yang rungkut... kemudian... nimbain ikan di sawah!

Ya, sejak kemarin ia sudah mengincar lubuk yang dikiranya banyak ikannya. Lubuk itu tepat di ujung saluran irigasi yang melewati kebun bapak. Du ujungnya air memancur dan mengukir tanah membentuk cekungan yang cukup dalam. Di tempat seperti itu biasanya ikan-ikan besar memiliki ruang gerak yang bebas. Dengan demikian ia mengharap dapat tangkapan yang lebih banyak.

Tentu saja, akal cemerlang seperti itu bukan ia saja yang punya. Meski sudah beberapa tahun di kampung sini. Tapi Ado belum lagi selihay sobat2nya, si entur, si udin, entong adih, si chamim, si mansyur dan banyak lagi. Sebagian dari mereka tidak bersekolah. karena itu, ia mesti buru2 nge-tek tempat timbaan. Siapa duluan, dia yang dapat. Tapi kalau tempatnya terlalu besar, kita bisa berbagi dengan catatan harus saling bantu menimba airnya sampai kering.

"Yo, kita nimbain ikan di kocoran pojok kebon nyuk?" Ado merayu adiknya untuk ikutan.
"Tapi jangan sampe ketahuan ibu. Ntar kita dimarahin deh..."

Adiknya memang teman paling kompak. Paling senang diajak nyari ikan.
"Ayo" iyo setuju tanpa basa-basi."Iye, kayaknye disitu ada kocolannye deh. Trus kemaren gue liat udangnye gede2... Udah biang, banyak telornye!" matanya berbinar-binar membayangkan kejayaan.

"Iye tuh benerrrr! Nah, kmaren gue udeh umpetin kaleng di dalem pohonan tablo," Ado senang dapat konco. "Perkara nimbanye mah kalo kagak dapet perabotan, kita pake tangan aje yak?"
"Setuju, akurrr!" pipi iyo yang gembul makin melembung saking girangnya.

***

Karena itu mereka berdua diam-diam sepakat untuk berlagak rajin, ngangon kambing. Jadi kalau bapak pulang naik vespa. Dia akan tenang, karena kedua anak itu giat bekerja. Bebas dari kewajiban belajar siang ini. Dan kenyataannya kita bakal dapat ikan banyaak... horeee...!

"Nih yok kalengnye" sambil menyodorkan kaleng bekas itu kepada adiknya. "isiin aer gih!"
Iyo mencuci kaleng itu dengan air mengalir beberapa kali. Lalu mengisinya dengan air segar dan dengan cekatan ia mencabut pucuk-pucuk rumput beberapa genggam. Dimasukkannya rumput itu ke dalam permukaan air di kaleng. Kami percaya dengan begitu, ikan2 tidak cepat mati.

Matahari sungguh terik. Namun bulan-bulan ini langit dihiasi awan yang bergerak kesana-kesini menutup cahaya. Bagi anak-anak angon seperti Ado dan Iyo, panas seperti ini sudah biasa. Kulit mereka kenyang matahari. Legam dan berkilat seperti baja yang tuntas dibakar. Di sawah, angin juga tak pernah mati. Selalu saja mengalir, mendinginkan permukaan bumi.

Iyo menunjuk ke kocoran itu. Dari atas galengan, ternyata luas juga tempat yang harus mereka keringkan.

"Do, gede juga tempatnye. Dari sini ke sini aje ye?" usul Iyo.
'Iye deh, tar keburu bapak bangun tidur" ado setuju. "Lagian liat noh, si udin sama entur udeh nongol. Buruan deh kita kerjain."

Mereka lompat ke sawah dan mulai membuat bendungan melingkari lubuk itu. Dengan tangan ditangkupkan menelungkup, mereka mengeduk lumpur sawah dengan gesit. Seperti menggunakan sekop saja layaknya. Dalam beberapa menit saja lubuk itu sudah terkurung benteng lumpur.

"Gue nimba dari sini, loe dari sono ye.." mereka berbagi tugas.

Byur, byurrr, byurrr... suara air yang mereka timba keluar dari kolam. Kali ini tangannya menangkup ke depan untuk mendorong air keluar kolam. Pyuuuh, capek juga. Tapi ternyata airnya tidak terlalu banyak. Tadi mereka sudah mengalihkan air dari hulu irigasi ke arah lain. Sehingga dalam beberapa menit airnya sudah mulai dangkal. Ikan2 yang terperangkap keliatan nenggak di permukaan air beberapa kali. Tenggakannya menimbulkan gelombang melingkar di permukaan. Dari tenggakannya mereka tau ada banyak ikan betik dan sepat. keduanya saling pandang, lalu nyengir senang. Lalu mulai nimbain lagi.

Tiba2 dari atas galengan muncul kepala si udin dan si entur. Muka mereka yang keling persis seperti lutung yang meringis melihat pisang. Mereka sobat baik, karena mengajarkan banyak sekali pengetahuan kepada kedua anak itu. Mulai dari jenis-jenis ikan, tumbuhan, burung dan teknik mancing. Tentu saja, mengingat semua pelajaran itu susah sekali. Namanya aneh2. bandotan, secang, burung peking, ncit madu, celepuk, kodok bancet... Namun Udin dan Entur sangat lugu. Mereka bangga lebih pintar dari anak kota, biarpun tidak sekolah.

"Lah, bagen, lu dah pada nimbain yak? Kagak ngajak2 guah..." Udin berseru."Gue boleh ikutan ngapah?"
"Ini kan bagian gue, Din..." kata si Ado."Loe nimbain gi dah di pojokan sono. Banyak ikannye juga tuh..." Ado nunjuk ke sudut sawah. Di situ juga datangnya aliran irigasi.
"Kagak dah, guah bantuin elo-elo ajah, kuan..." Udin menolak. "Pan kemaren gua liat ada kocolannya di sini. Gua pancing kagak makan-makan."
"Kita bantuin nimbanya dah" si Entur ikutan ngusul.

Ado garuk-garuk kepala. Dia lupa tangannya penuh lumpur sawah yang baunya bacin. Jelas saja rambutnya belepotan lumpur. Belom sadar juga, dia malah pegang hidur. Keruan saja mukanya jadi cemong kayak dakocan :D Semuanya ketawa terbahak. Ia mencuci tangan dan wajahnya di air sawah yang tak begitu pekat.

"Iya dah," kata Ado. Karena kebanyakan ngobrol air kembali merembes ke dalam berupa mata air kecil2. Iyo setuju saja, sebab senja sebentar lagi membayang. Mereka harus menggiring kambing pulang dan memasukkan ayam ke kandang.

"Wah entuknya banyak bangaat. Sini dah gua pampet dulu yak..." Entur menutup lubang mata air dengan pecahan tanah wadas yang agak keras. Sebentar kemudian terdengar lagi suara air ditimba, byurr, byurr, byurr...

Tak seberapa lama, air telah surut menyisakan koloid lumpur yang pekat. Saat itu, sulit sekali menemukan ikan yang terbenam di dalamnya. Kami mengaduk lumpur dengan kaki beberapa kali agar ikan kekurangan nafas. Setelah itu diam sejenak. Biasanya ikan2 akan bergerak sehingga menimbulkan pusaran lumpur yang unik. Itulah saatnya kita menangkap ikan.

"Asik betik nih, gedean... Mana kalengnye, Yo?" Iyo mengambil kaleng dan meletakkannya di gundukan lumpur terdekat. Satu betik, dua sepat, tiga cupag sawah... udang... Banyak sekali yang kami dapat. Udin dan Entur boleh menyimpan kaleng mereka sendiri.

Kecuali untuk.... kocolan!

"Itu tuh, kocolan tuh, buruan tegrep!!!" seru Ado. "Deket kaki loe Yo, itu, itu, itu...!"
Semua anak melupakan daerah kekuasaan masing2. Semua merunduk dan merogohkan tangannya ke tempat yang sama. Kocolan bentuknya panjang dan licin. Ia tidak punya patil, sehingga kita leluasa menangkapnya tanpa ragu-ragu. Kalau dapat, kami semua ingin memeliharanya di empang agar bisa tumbuh besar menjadi ikan gabus.

"Gue dapettttt... gue dapeeeettt!" Iyo berteriak kegirangan. Ia memegang ikan itu erat2.

Tapi dalam situasi begini, tidak ada yang yakin sebelum ikannya masuk kaleng. jadi semuanya terus saja berebutan. Si kocolan pun terlepas. Anak-anak melompat serentak mengejar si kocolan.

Gejeburrrrrrr! Semuanya jatuh tertelungkup di lumpur. Si kocolan meloncat tinggi menyebrangi ke air sawah yang luas di luar bendungan. Ado dan iyo bersungut-sungut marah.

"Gara-gara loe tuh, kocolannya jadi lepas...!" keduanya mengeluh. Tubuh mereka kotor berkubang lumpur. Berarti misi rahasia mereka bakal ketahuan bapak.

Meskipun demikian masih ada sedikit waktu untuk bisa selamat. Terpaksa mereka berempat melupakan sisa2 ikan yang belum tertangkap. Mereka membuka bendungan dan segera mandi di saluran irigasi. Sambil tetap bersungut2 mereka memeras baju hingga agak kering. Lalu segera pulang.

Udin dan Entur membantu keduanya melepas tali cencang kambing2 bapak. Mereka ingin menghibur kekecewaan kedua temannya itu. Ado memegang tali lalu menggiring kambing2 pulang. Iyo menenteng kaleng disisi kambing agar tidak ketahuan ibu.

Sambil berjalan si udin main tebakan.

"Gua kasih tebakan nih. Hayo anak mancing makannya apah?"
"Caciiing!" jawab Ado sengit.
"Salah!" Udin tergelak. "Anak mancing makannya kuan Nasi sama lontong sayurrr!"

"Nah, kalo anak gabus namanya apaan?" Udin terbahak2.
"Kocolan!' Ado menjawab spontan."Eh, sialaaaaaaaaan.....!!!!

Dilepasnya tali cencang kambing lalu lari menguber si Udin dan si Entur yang berlari pulang.

Kambing-kambing berlarian kabur. Semuanya tertawa terbahak2. Melupakan kekecewaan dan hukuman dari bapak nanti malam.



================
Bogor, 19 Maret 2008

*) Kocolan itu ikan gabus kecil. Kalo dah gede baru dibilang gabus.

*) Betik itu anaknya ikan betok. Kalo udah gede batok kepalanya keras. Dan siripnya durinya tajem2. Makanya kalo keras kepala dibilang jidatnye mirip ikan betok :)).. in bisaan gue aje sih hehe

*) Entuk alias Ntuk itu sebutan untuk mata aer. Coba deh liatin orang gali sumur atau gali empang, nanti bakalan ada mata air kecil2. Itu yang kita sebut Ntuk.

Tuesday, March 18, 2008

Tentang Bapak.

Tentang Bapak.

Dulu aku anak kota. Tapi sejak pindah ke kampung sini, aku jadi anak udik. Mana yang lebih menyenangkan? Di jatinegara, hidup lebih mudah. Karena warung ibu sangat laris. Tetangga2 yang hidup bersama kami sejak tahun 1950an sangat akrab. Tentu saja di tempat kumuh seperti ini, kata akrab berarti secukupnya saja. Tekanan hidup yang berat membuat suasana benci tapi rindu menyatu dalam keseharian.

Sangat sering, di malam hari sehabis adzan isya, tetangga-tetangga berantem. Berteriak2 dan saling melemparkan pot kembang.

Suara penonton riuh rendah meramaikan pertandingan. Mereka lupa betapa lamanya mereka menyirami kembang itu hingga demikian subur. Pot cor-coran semen yang dihiasi pecahan beling piring berwarna putih itu sampai pecah berantakan mengotori jalan yang sempit.

"Rasain loe! Dasar anak hostess! Biar benjut pala ente!" erwin, anak pak herman berteriak puas timpukannya kena sasaran.

"Anjing loe ye, dasar babi loe! Padang singke!" tante Lina berteriak panas. Maklum saja jidatnya bukan sekedar benjut, tapi robek hingga darah bercucuran. Orang sudah kalap seperti ini tenaganya bukan main. Tetangga yang lain memegangi tangannya berusaha melerai hampir kalah tenaga.

"Lepasin gue, lepasin gue!" Tante Lina berontak. "Jangan ikut campur loe! Gue bilang lepasin!" Dia memaki orang2 yang berusaha memisahkan.

Dalam suasana kisruh seperti ini bahkan pak rt pun nggak bisa mengatasi. Terpaksa bapak turun tangan. Tentara itu biarpun badannya kecil, tapi nyalinya macan. kalau dia sudah keluar, semua bisa diatasi. Biarpun demikian, beliau jarang main tangan
kecuali benar2 dibutuhkan.

***

Suatu kali, om Edi ngamuk. Kampung jadi kacau berantakan. Maklum, dia anak crossboy. Rambut yang panjang sepunggung diikat bandana, lengkap dengan brengos yang seram. Celana jeans bolong2, kaca mata hitam pilot. Jaket jeans buntung yang sudah dekil. Serta gelang bahar beberapa untir yang kepalanya membentuk seperti ular hitam siap mematuk. Kemana2 dia naik harley dengan sandaran berbentuk pipa melengkung setinggi kepala.

Om Edi mabuk. Keliatannya habis minum-minum. Anak bagian sini memang sudah tidak heran dengan yang namanya minuman atau suntikan. Kalau aku main sore2, pemuda2 ngumpul berbentuk lingkaran di belakang kelurahan. Ngobrol tentang dunianya sendiri sambil menghisap lintingan ganja dan berbagi suntikan. Pernah suatu kali suntikannya kubawa pulang. Karena keliatan unik, bisa untuk menghisap air dan menyemburkannya seperti pancuran kecil. Walhasil aku digebukin bapak. Aku nangis, tapi tidak mengerti apa yang salah.

Pendeknya om Edi membuat warga kampung kalang kabut. Sebab dia mabok sambil jalan kesana kemari. Masuk rumah orang dan merusak barang2.

"Ada orang mabok, ada orang maboook...!" anak-anak berlari ketakutan. Mereka menjadi kurir yang menyebarkan berita ke seantero kampung.

Semua orang keluar rumah, bertanya2 apa yang terjadi. Siapa pula yang mabuk dan berbuat onar. Tapi nggak ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi. Hingga om Edi muncul di tikungan sambil berteriak-teriak. Mungkin sebelumnya dia ada masalah dengan anak bagian lain. Dengar2 selentingan, anak kebun sayur lagi bermusuhan entah dengan anak agam, kebon nanas, atau polonia.

Sambil sempoyongan dia tiba di depan rumahku. Orang2 berkerumun menjaga jarak mengiringinya. Lalu dia masuk ke rumahku sambil berteriak-teriak. Bapak keluar ke ruang tamu. Anak2nya melongok heran tak mengerti di belakangnya. Bapak sedikit gusar dan memerintahkan ibu membawa kami masuk ke dalam.

"Oooom, iki aku om! Edi ooom...!" teriaknya pada bapak. Matanya merah, ludahnya muncrat2.

Bapak tenang saja. "Yo, ono opo kowe Di?" bapak balik bertanya.

"Iki aku Ediii, ooom. Jagoan aku, om... Edi iki jagoan omm... Hebaaaaaat!" tangannya merengkuh pundak bapak.

"Yo, kowe tenan jagoan!" bentak bapak. "Arep ngopo nek wis dadi jagoan?"

Om Edi bingung. Pasti kepalanya sangat pusing, sehingga dia tidak bisa menjawabnya. Orang tuanya adalah salah satu penghuni kampung yang paling awal. Sama seperti bapak dan ibu. kami tau susah senangnya. Bapak sudah jadi tentara, om Edi masih bau kencur.

Kemarahan om Edi surut, dia tak bisa menjawab. Karena suara bawah sadar sungguh kuat. Ia memang selalu menyusahkan orang tua.

"Reneo, nek arep jadi jagoan tenanan!" dengan satu tangan, rambut gondrong itu dijenggut. Bapak menyeretnya ke tiang listrik di seberang jalan. Dilemparkannya jagoan kampung itu ke kaki tiang listrik. Ia berteriak memanggil kakakku untuk mengambil rante dan gembok. Malam itu om Edi tidur sambil memeluk tiang listrik. Kepalanya bersandar ke trotoar yang membatasi selokan yang bau.

"Sudah bubar semua. Ayo kamu pulang, tidur sana!" kata bapak kepada kami.

Itulah kehidupan kaum kelas embek. Penuh kekerasan tak habis-habisnya. Banyak tragedi yang kami saksikan. Dari mulai Kacong mengejar2 dengan sebilah clurit terhunus seorang anak muda yang menyenggol gerobak satenya dengan sengaja. Atau bagaimana pak Sardi membacok Pak ferry tetangga sebelah dengan pedang hingga tewas. Hanya gara2 anaknya tak kebagian giliran main pingpong.

Bertengkar dan berbaikan silih berganti. Hingga kemajuan zaman mengajak para penghuni lama satu-persatu pindah dan kami jadi kesepian.

***

Bapak pria yang sangat keras. Itu tidak perlu diragukan lagi. Ia tidak segan2 memukul kami kalau kami tidak patuh pada perintah. Ia pak komandan dan kami pasukannya. Dulu ini menimbulkan konflik di antara kami, prajurit2nya yang bodoh. Saling menyalahkan kalau kena hukum karena pekerjaan tidak beres. Kadang sampai berkelahi satu sama lain. 1 anak perempuan sulung dan 6 anak laki2. Adikku yang perempuan bungsu masih bayi. Bisa dibayangkan betapa hari2 itu penuh dengan perkelahian.

Kalau ketahuan, tentu semua kena hukum. Kami berbaris di depan bapak dan interogasi dimulai. Semua kena pecut. Semua menangis tapi ditahan menjadi sesenggukan. Karena prajurit tidak boleh nangis. Hanya kalau sakitnya tak tertahankan, barulah kami nangis kejer. Ibu memberikan waktu bapak untuk mendudukkan perkara. Tapi secara umum dialah pahlawan kami.

Hakim pasti pernah salah. Kami yang masih kanak2 kadang memendamnya begitu lama. Apalagi bila kita tidak merasa bersalah dalam kasus itu. Kini aku tau, kalau bapak sebenarnya tau itu. Ia tau bahwa ia bersalah dalam sejumlah kasus. Lalu ia menebusnya dengan cara lain. Tidak dengan memberi kami hadiah. Karena kami miskin. Ia hanya mengajak kami bekerja di kebun atau mengajak bercanda di malam hari.

Dalam kisah-kisah itu, kami jadi tau betapa hidupnya jauh lebih keras dari kami. Sejak kecil ditinggal mati ibu. Umur belasan tahun pergi membuka hutan di sumatra. Kisah-kisahnya waktu bertempur. Teman2nya seperjuangan. Dan bagaimana beratnya menanggung beban mengentaskan saudara2 yang begitu banyak.

***

Setelah kami pindah rumah ke kampung pinggiran. Bapak jadi sering berkebun. Ada Kavling tentara yang tak terawat dan cukup luas untuk kita olah. Selepas jam 2, dari jauh terdengar suara knalpot vespanya yang khas. Aku yang sedang ngangon kambing
segera berlari pulang. Kadang ada saja oleh-oleh dan cerita yang dibawanya. Begitu matahari tergelincir dan hari agak redup.

Ia bangkit menyandang cangkul dan arit menuju kebun dekat rumah. Saat berangkat berjuang ia selalu memilih cantriknya sendiri. Dari 6 anak laki2nya, semua pernah kebagian. Bahkan mas Bayu atau mas Yono yang sudah cukup besar kadang kebagian
juga jatah mencangkul.

Ada saja yang ditanamnya. Tanaman favoritnya adalah singkong. Ia membuat stek dengan goloknya yang tajam dengan begitu trampil. Kira2 sejengkal lebih sedikit panjangnya. Setelah itu diikatnya kuat2 segerombol-segerombol. Aku membantunya mengangkatnya ke selokan di belakang rumah.

"Ditaroh disini ya, biar tumbuh akarnya. Nanti kalo sudah tumbuh baru kita tanam," katanya ramah.

Begitulah siklus yang ditekuninya bertahun-tahun tanpa banyak omong. Begitu panen, beratus2 kilo singkong dibagikannya begitu saja kepada tetangga2. Kami jadi bersungut-sungut mentaati perintah. Karena harus membawa singkong yang besar2 ke tetangga2 jauh. Bahkan yang belum begitu mengenal bapak.

Singkong, pisang, pepaya, labu air, waluh, dan masih banyak lagi panen yang berhasil dia dapatkan. Ritual yang sama juga yang harus kami jalankan. Berbulan2 mencangkul, memupuk dan menyirami tanaman di tengah kemarau yang terik. Habis hanya untuk dibagikan begitu saja. Benar-benar perintah yang aneh bukan?

***

Jadi orang mesti perwiro. Begitu selalu kata bapak. Jangan celamitan. Jangan bikin malu.

Setiap ada tamu datang ke rumah. Kadang kami yang masih kecil ikut mendengarkan, duduk di lantai. Biasanya bapak akan menegur.

"Hayo masuk, jangan kayak wayang" katanya tegas. Ia paling malu kalau tamu menawarkan kami makanan suguhan tamu. Mungkin malu juga karena anak2nya yang banyak berjajar seperti wayang menancap di kayon.

Setelah tamu usai, ibu membagikan kue kepada kami. Kami jarang sekali jajan. Biasanya ibu lebih memilih merepotkan diri membuat kue agar uang yang sedikit itu dapat dibagi rata kepada anak-anaknya. Ibu sangat mengerti keterbatasan bapak.
Sementara itu ia yang paling paham keluguan anak-anak.

Bila lebaran menjelang, seisi kampung menyambutnya dengan suka cita. Di malam takbiran semua menghabiskan uang untuk membeli petasan. Kami juga ingin ikut merayakannya. Sayang, bapak sangat melarang main petasan. Membakar petasan sama dengan membakar uang. Selain itu juga berbahaya. Lik To, pamanku yang jadi menpor(resimen pelopor alias brimob) sering merasa kasihan.

Setelah ikut razia petasan, ia membawa petasan satu ransel untuk kami. Bapak marah dan membuang petasan itu ke selokan.

"Jadi kamu mau petasan?" katanya gusar. "Ayos sini semuanya keluar..!"

Kami semua keluar rumah. Tiba2 bapak merogoh pinggangnya, mengokang pistol dan menembakkannya ke selokan.

"Dorr! Dorr! Dorr! Dorr! Dorr! Dorr!" ia menembak hingga magazinnya kosong.

Seluruh kampung terkesima. Suara petasan seketika lenyap.

"Nah itu kalo mau petasan!" kata bapak singkat.

Semua orang tertawa. Sejak itu kami tidak lagi minta petasan. Karena bapak punya yang lebih hebat :)

***

Zaman sudah berubah, tak ada lagi tanah kosong yang bisa diolah. Kepala bapak sudah botak. Hanya sedikit sisa rambutnya di sana-sini yang tumbuh memutih.

"Do coba balurin punggung bapak..." ia membuka kaos oblongnya dan duduk di depanku. Menghalangi antara aku dan televisi.

Tangannya menyodorkan minyak kayu putih yang sudah dicampur dengan minyak tawon dalam sebuah wadah tatakan gelas aluminium.

Aku mencolek menuangkan minyak itu dibawah tengkuknya. Lalu meratakannya dengan mengusap ke sekujur punggungnya. Kulitnya jadi terlihat hitam mengkilat terpapar sinar lampu. usia membuat bercak-bercak di punggungnya semakin terlihat tegas.

"Tengkuknya sekalian pak?" tanyaku.
"Iya. sekalian."

Ibu memandang kami dari kursi di sebelah.

"Kayak begitu kok kalo diajak ke pasar galaknya minta ampun," ibu mengeluh. "Tangan ibu ditarik2. Diomelin. Nggak tau apa?

Jantungku udah ser2an..."

Bapak nyengir. "Lha wong saya jalan nanjak di depan rumah sini aja udah nggak kuat. Makanya nggak bisa lama2..." ia berusaha membela diri.

"Lha buktinya kok udah gitu masih sok2an macul tadi siang. Nanem pisang segala!" gantian ibu yang mengadu padaku."Nggak inget kata dokter... Dibilangin susah banget... Kalo udah sakit paling kita2 juga yang ketempuhan..."

Melihat mereka berdua menjadi tua merupakan seni kehidupan tersendiri. Bagaimana cinta diungkapkan dalam pertengkaran2 kecil.

Dalam bahasa tubuh yang sederhana. Dalam ketekunan menjalani aktivitas rutin yang telah kita lalui ribuan hari sebelumnya.

Bagaimana kesalahan dibuat dan maaf diberikan tanpa diminta.

Apakah kita dapat memberi arti kepada semua itu? Apakah cinta pada akhirnya benar-benar akan kita temukan?



=========

Bogor, 18 Maret 2008