Sajak Ibunda
WS Rendra
Mengenangkan ibu
adalah mengenang buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna.
Kenduri besar kehidupan.
Wajahnya adalah langit senjakala :
keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.
Mengingat ibu,
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan hati manusia.
Melihat foto ibu,
Aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.
Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat bahwa kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.
Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, facist,
wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun juga punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?
Ibu, kini aku mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia raya.
Kamu adalah hujan yang kulihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat hati nurani di dalam kelakuanku.
-----------
Sorry ye kalo kurang lengkap.
Maklum sourcenya juga kurang wokeh :P
Wednesday, December 21, 2005
Tuesday, December 20, 2005
Kisah pak supir
Kulepas sepatuku dan kudesakkan dalam bagasi yang sudah sesak terisi ban serep, dongkrak dan kotak kunci2 baut. Ini jam pulang kantor. Kubuka jendela, sambil memanaskan mesin. Dalam beberapa menit aku akan meluncur pulang ke jakarta. Melewati jalanan kota bogor yang penuh lubang dan jalan tol yang panjang. Sebuah rutinitas yang melelahkan sejak aku memutuskan pindah bekerja disini.
Ini memang jaman yang serba sulit, tapi bagi orang kecilan semua jaman sulit. Kesenangan hanya sebuah kemewahan dari sudut pandang yang berbeda. Aku sendiri merasa sangat-sangat beruntung bisa mendapat pekerjaan ini. Mengingat kontrakku yang sudah berakhir bulan itu. Bertambah beruntung lagi aku mendapat teman-teman baru. Mulai dari yang jauh lebih muda hingga yang sepuh untuk menimba pengalaman. Sore inipun, aku tak lagi kesepian menyusuri perjalanan ke Jakarta dengan kehadiran Netty, Esa, Ifa dan Budi. Duh, begitu pantat mereka yang besuaaar menyentuh jok nggak terbayang betapa ramainya suasana :-p
***
Netty teman lamaku. Kami pernah bekerja sekantor dulu. Ibu berputra satu ini ibarat burung beo atau parkit yang berisik. Luar biasa cerewet. Uniknya, ia dapat suaminya yang bisa dibilang kalem. Tidak terlalu juga sih, tapi karena aku mengenal keluarga besarnya, maka ia tampak paling kalem :-D Yang jelas Netty orang yg bisa mencairkan suasana. Lawakannya begitu naif namun juga cerdas. Ia selalu saja membuatku kagum dengan sikap hidup dan semangatnya menghadapi hidup.
Meski datang dari keluarga yang berkecukupan, ia tak manja. Aku ingat bagaimana dari Slipi ia harus menjemput suaminya di UI depok dan menunggunya hingga selesai kuliah jam 10 atau 11 malam. Lalu menyetir pulang ke rumahnya di Bintaro. Rasanya 100 kilometer lebih sehari! Sementara ia juga harus menyelesaikan skripsinya sendiri.
Kadang aku menemaninya menunggu di kampus hingga malam. Tak berapa lama ia pindah bekerja di Bogor, kantorku sekarang. Kantorku yg lama proyeknya berakhir, ia harus berjuang membayar uang kuliah suami. Aku hanya memberinya semangat, saat itu ia hamil muda. Aku tak pernah tau betapa jauh perjalanan yang ia tempuh saat itu. Naik turun angkot atau bus kota yang padat seperti sardin dalam kaleng. Menembus hujan lebat dan kadang pulang larut malam.
"Gue masih naik kendaraan umum sampai hamil gw lumayan gede loh!" katanya bercerita."Setelah itu terpaksa gw cari supir untuk bawa mobil".
Ah, kalian jangan komentar miring dulu. Aku saja kaget ketika tahu gajinya dibawah standar kantor kami yang dulu. Hitung2 selisihnya tak seberapa setelah dipotong ongkos transport dan makan. Barangkali itu sebuah proses hidup, yang betapa pahitnya tetap harus kita lewati. Karena itu Netty, seorang ibu yang hamil tua tetap tertawa lebar dalam sebuah foto yang terletak dimeja kerjanya. Meski setiap hari terpontang-panting oleh aspal yang bergelombang.
***
Esa, baru saja kehilangan kesempatan mendapatkan anak kedua. Janinnya keguguran. Ia kelas pekerja yang penuh dedikasi. Dalam tugasnya sebagai purchasing, waktu adalah barang yang paling tak terbeli. Di rumah ia tulang punggung keluarga. Tak hanya keluarga kecilnya sendiri, tapi juga kedua orang tuanya yang senja. Saudara-saudara nya pun tak terlalu beruntung. Guru honorer, atau pekerja kelas rendah yang berjuang untuk sedikit uang tanpa status. Dalam keadaan sulit Esa adalah pahlawan keluarga. Ia terbilang paling beruntung meski harus berbohong pada suami untuk julukan itu.
"Loe gila ya Sa. Baru kemaren dikuret dah masuk aja!" Netty mengomel.
"Gak papa kok, gak papa. Kata dokter boleh," jawabnya membela diri. Dalam kepalanya terhitung jatah cuti dan libur tahun ini yang akan segera berakhir. Sebulan lagi sudah tahun baru. Kami geleng2 kepala, keguguran seperti cabut gigi saja.
Budhy, aku blum begitu mengenalnya. Ia tampak keibuan, khas wanita jawa generasi kesekian. Tapi hidup bukanlah hidup bila tanpa masalah. Aku enggan menanyakannya, bagiku itu sama saja menceritakan ending sebuah film pada seorang teman yang baru saja mengantri tiket. Kau akan membuyarkan cita rasanya.
Ifa, sedang mengandung anak pertama. Hamilnya begitu besar. Sehingga melihatnya duduk atau bangun membuatku merinding, seakan... ah, aku tak ingin membayangkannya. Aku senang mengantar mereka pulang. Berhenti di titik2 pemberhentian angkot terdekat dengan tempat tinggal mereka. Melihatnya turun dari mobil tuaku sambil bertukar salam. Perbincangan tadi seakan menghapus kepenatan kerja dan politik kantor yang memusingkan. Dan salam yang mereka ucapkan seperti ucapan Bismillah yang mengantarku kembali esok pagi.
***
Kehidupanku kini berada di tiga tempat. Keluargaku di Jakarta, kantorku di Bogor dan sanggar seni yang kukelola di depok. Sanggar adalah persinggahan. Aku yang memulainya, tapi aku hanya singgah dua hari dalam seminggu. Sabtu dan minggu teman-teman berlatih menari dan gamelan Jawa. Di saat sedang sepi aku mengisi posisi kosong agar tim penabuh gamelan menjadi lengkap dan orkestrasi tradisi itu berjalan riuh.
Sehari-hari seorang ibu muda mengelola tempat itu. Mbak Wulan, namanya. Ia adalah pelatih tari kami. Dari yang kudengar ia masih ada keturunan bangsawan Surakarta. Aku tak mengerti bagaimana alurnya. Yang kutahu ia, begitu fasih menari. Tak cuma tari Jawa, tapi seluruh nusantara. Saat aku dan kawan2 datang, ia selalu bercerita dengan penuh semangat. Tentang pentas2nya selama ini, tentang masa lalu saat ia dilatih oleh gurunya yang disiplin. Matanya berbinar saat menceritakan moment2 menari untuk sang raja. Kami terdiam seakan sedang mendengarkan kisah ribuan tahun.
Namun kisah itu seperti mengambang, ketika putranya menangis lapar. Ia tak punya apa-apa lagi. Binar2 dimatanya berubah berair ketika menyuapkan air teh ke bibir putranya yg kurus. Penyakit yang menghambat pertumbuhan putranya seakan sembilu tajam yang mengiris2 hatinya. Pernah ada suatu saat ia tak menginginkan bayi itu. Sekarang ia harus menanggung resikonya.
Perempuan bangsawan itu kini menari untuk semua orang. Untuk mata kaum kebanyakan yang tak tahu arti luhurnya sebuah seni. Suaminya yang berjiwa cemen ia tinggalkan. Langit akan terang esok hari, karna matahari terbit hingga hari ini. Wulan, ibu tiga putra yang tak berdaya menghadapi kejamnya jaman.
Diletakkannya putranya yang tertidur di atas sebuah kasur tipis yang kumuh. Aku dan kawan2 menantinya menyelesaikan cerita. Hampir tengah malam ketika kami selesai berbincang2. Aku tak bisa membantu apa-apa kali ini. Kususuri jalan pulang dengan jalan kaki, hanya untuk menghemat beberapa ribu rupiah. Mungkin dini hari baru aku akan tiba di rumah.
***
Sudah dua jam aku menyetir. Netty orang terakhir yang turun. Kuucapkan terimakasih padanya karena membelikan 10 liter bensin untukku. Kuputar mobil memasuki pintu tol. Dalam deru mobil2 yang melaju cepat ke arah Taman Mini aku mereplay semua hal. Hidup memang begitu berat akhir2 ini. Bekerja hari ini lebih penat dari yang lalu. Setiap orang bermimpi kembali ke masa2 tirani yang membuai.
Ku terkenang ibuku di rumah. Yang menggendong sekuintal beras dipunggungnya jaman tahun 1965 dulu. Yang ditinggalkan suami bertahun2 tanpa kabar berjuang di garis depan. Yang menuangkan minyak goreng dalam canting2 mungil dengan sabar di warungnya yg reot. Yang membela putranya yang menderita skizofrenia dengan airmata mengembang di pelupuk matanya. Yang menciumi cucunya yang mati...
Hidup hanya menunda kekalahan? Seandainya Chairil Anwar seorang wanita pasti ia tak sekerdil itu. Dengan perlahan kuinjak gas menuju perhentian terakhir, rumah.
*************
Bogor, 21 Januari 2005.
Selamat Hari Ibu!
Ini memang jaman yang serba sulit, tapi bagi orang kecilan semua jaman sulit. Kesenangan hanya sebuah kemewahan dari sudut pandang yang berbeda. Aku sendiri merasa sangat-sangat beruntung bisa mendapat pekerjaan ini. Mengingat kontrakku yang sudah berakhir bulan itu. Bertambah beruntung lagi aku mendapat teman-teman baru. Mulai dari yang jauh lebih muda hingga yang sepuh untuk menimba pengalaman. Sore inipun, aku tak lagi kesepian menyusuri perjalanan ke Jakarta dengan kehadiran Netty, Esa, Ifa dan Budi. Duh, begitu pantat mereka yang besuaaar menyentuh jok nggak terbayang betapa ramainya suasana :-p
***
Netty teman lamaku. Kami pernah bekerja sekantor dulu. Ibu berputra satu ini ibarat burung beo atau parkit yang berisik. Luar biasa cerewet. Uniknya, ia dapat suaminya yang bisa dibilang kalem. Tidak terlalu juga sih, tapi karena aku mengenal keluarga besarnya, maka ia tampak paling kalem :-D Yang jelas Netty orang yg bisa mencairkan suasana. Lawakannya begitu naif namun juga cerdas. Ia selalu saja membuatku kagum dengan sikap hidup dan semangatnya menghadapi hidup.
Meski datang dari keluarga yang berkecukupan, ia tak manja. Aku ingat bagaimana dari Slipi ia harus menjemput suaminya di UI depok dan menunggunya hingga selesai kuliah jam 10 atau 11 malam. Lalu menyetir pulang ke rumahnya di Bintaro. Rasanya 100 kilometer lebih sehari! Sementara ia juga harus menyelesaikan skripsinya sendiri.
Kadang aku menemaninya menunggu di kampus hingga malam. Tak berapa lama ia pindah bekerja di Bogor, kantorku sekarang. Kantorku yg lama proyeknya berakhir, ia harus berjuang membayar uang kuliah suami. Aku hanya memberinya semangat, saat itu ia hamil muda. Aku tak pernah tau betapa jauh perjalanan yang ia tempuh saat itu. Naik turun angkot atau bus kota yang padat seperti sardin dalam kaleng. Menembus hujan lebat dan kadang pulang larut malam.
"Gue masih naik kendaraan umum sampai hamil gw lumayan gede loh!" katanya bercerita."Setelah itu terpaksa gw cari supir untuk bawa mobil".
Ah, kalian jangan komentar miring dulu. Aku saja kaget ketika tahu gajinya dibawah standar kantor kami yang dulu. Hitung2 selisihnya tak seberapa setelah dipotong ongkos transport dan makan. Barangkali itu sebuah proses hidup, yang betapa pahitnya tetap harus kita lewati. Karena itu Netty, seorang ibu yang hamil tua tetap tertawa lebar dalam sebuah foto yang terletak dimeja kerjanya. Meski setiap hari terpontang-panting oleh aspal yang bergelombang.
***
Esa, baru saja kehilangan kesempatan mendapatkan anak kedua. Janinnya keguguran. Ia kelas pekerja yang penuh dedikasi. Dalam tugasnya sebagai purchasing, waktu adalah barang yang paling tak terbeli. Di rumah ia tulang punggung keluarga. Tak hanya keluarga kecilnya sendiri, tapi juga kedua orang tuanya yang senja. Saudara-saudara nya pun tak terlalu beruntung. Guru honorer, atau pekerja kelas rendah yang berjuang untuk sedikit uang tanpa status. Dalam keadaan sulit Esa adalah pahlawan keluarga. Ia terbilang paling beruntung meski harus berbohong pada suami untuk julukan itu.
"Loe gila ya Sa. Baru kemaren dikuret dah masuk aja!" Netty mengomel.
"Gak papa kok, gak papa. Kata dokter boleh," jawabnya membela diri. Dalam kepalanya terhitung jatah cuti dan libur tahun ini yang akan segera berakhir. Sebulan lagi sudah tahun baru. Kami geleng2 kepala, keguguran seperti cabut gigi saja.
Budhy, aku blum begitu mengenalnya. Ia tampak keibuan, khas wanita jawa generasi kesekian. Tapi hidup bukanlah hidup bila tanpa masalah. Aku enggan menanyakannya, bagiku itu sama saja menceritakan ending sebuah film pada seorang teman yang baru saja mengantri tiket. Kau akan membuyarkan cita rasanya.
Ifa, sedang mengandung anak pertama. Hamilnya begitu besar. Sehingga melihatnya duduk atau bangun membuatku merinding, seakan... ah, aku tak ingin membayangkannya. Aku senang mengantar mereka pulang. Berhenti di titik2 pemberhentian angkot terdekat dengan tempat tinggal mereka. Melihatnya turun dari mobil tuaku sambil bertukar salam. Perbincangan tadi seakan menghapus kepenatan kerja dan politik kantor yang memusingkan. Dan salam yang mereka ucapkan seperti ucapan Bismillah yang mengantarku kembali esok pagi.
***
Kehidupanku kini berada di tiga tempat. Keluargaku di Jakarta, kantorku di Bogor dan sanggar seni yang kukelola di depok. Sanggar adalah persinggahan. Aku yang memulainya, tapi aku hanya singgah dua hari dalam seminggu. Sabtu dan minggu teman-teman berlatih menari dan gamelan Jawa. Di saat sedang sepi aku mengisi posisi kosong agar tim penabuh gamelan menjadi lengkap dan orkestrasi tradisi itu berjalan riuh.
Sehari-hari seorang ibu muda mengelola tempat itu. Mbak Wulan, namanya. Ia adalah pelatih tari kami. Dari yang kudengar ia masih ada keturunan bangsawan Surakarta. Aku tak mengerti bagaimana alurnya. Yang kutahu ia, begitu fasih menari. Tak cuma tari Jawa, tapi seluruh nusantara. Saat aku dan kawan2 datang, ia selalu bercerita dengan penuh semangat. Tentang pentas2nya selama ini, tentang masa lalu saat ia dilatih oleh gurunya yang disiplin. Matanya berbinar saat menceritakan moment2 menari untuk sang raja. Kami terdiam seakan sedang mendengarkan kisah ribuan tahun.
Namun kisah itu seperti mengambang, ketika putranya menangis lapar. Ia tak punya apa-apa lagi. Binar2 dimatanya berubah berair ketika menyuapkan air teh ke bibir putranya yg kurus. Penyakit yang menghambat pertumbuhan putranya seakan sembilu tajam yang mengiris2 hatinya. Pernah ada suatu saat ia tak menginginkan bayi itu. Sekarang ia harus menanggung resikonya.
Perempuan bangsawan itu kini menari untuk semua orang. Untuk mata kaum kebanyakan yang tak tahu arti luhurnya sebuah seni. Suaminya yang berjiwa cemen ia tinggalkan. Langit akan terang esok hari, karna matahari terbit hingga hari ini. Wulan, ibu tiga putra yang tak berdaya menghadapi kejamnya jaman.
Diletakkannya putranya yang tertidur di atas sebuah kasur tipis yang kumuh. Aku dan kawan2 menantinya menyelesaikan cerita. Hampir tengah malam ketika kami selesai berbincang2. Aku tak bisa membantu apa-apa kali ini. Kususuri jalan pulang dengan jalan kaki, hanya untuk menghemat beberapa ribu rupiah. Mungkin dini hari baru aku akan tiba di rumah.
***
Sudah dua jam aku menyetir. Netty orang terakhir yang turun. Kuucapkan terimakasih padanya karena membelikan 10 liter bensin untukku. Kuputar mobil memasuki pintu tol. Dalam deru mobil2 yang melaju cepat ke arah Taman Mini aku mereplay semua hal. Hidup memang begitu berat akhir2 ini. Bekerja hari ini lebih penat dari yang lalu. Setiap orang bermimpi kembali ke masa2 tirani yang membuai.
Ku terkenang ibuku di rumah. Yang menggendong sekuintal beras dipunggungnya jaman tahun 1965 dulu. Yang ditinggalkan suami bertahun2 tanpa kabar berjuang di garis depan. Yang menuangkan minyak goreng dalam canting2 mungil dengan sabar di warungnya yg reot. Yang membela putranya yang menderita skizofrenia dengan airmata mengembang di pelupuk matanya. Yang menciumi cucunya yang mati...
Hidup hanya menunda kekalahan? Seandainya Chairil Anwar seorang wanita pasti ia tak sekerdil itu. Dengan perlahan kuinjak gas menuju perhentian terakhir, rumah.
*************
Bogor, 21 Januari 2005.
Selamat Hari Ibu!
Monday, December 05, 2005
Pasar Pelompek
Subscribe to:
Posts (Atom)