Monday, June 27, 2005

Menuju Kerinci

Suara Jane adiknya terdengar dari balik pintu kamar Rio. Hari sudah pagi, sebenarnya ia sudah agak terlambat masuk kantor. Tapi matanya masih terasa berat. Bukan hanya rasa kantuk akibat pulang kemalaman tapi kejadian semalam seakan membuatnya enggan memulai hari. Pikirannya masih bermimpi, terbangun dengan seorang yang dia cintai berada disampingnya. terpejam, berhadapan, dahi bertemu dahi dan mendengar suara nafasnya mengalir hangat. Tangannya membetulkan selimut menutupi bahu, lalu mendekap pasangannya erat-erat. Ia ingin membekukan waktu, dan meresapi kulit lembut Rahma dengan perasaan cintanya yang begitu mendalam. Tak ada yang tahu bahkan lelaki setegar itu dapat luluh oleh suasana pagi yang dingin di musim pancaroba ini.

Rio membuka matanya dan menggeser tirai perlahan. Sinar matahari mencuri pandang ke dalam kamarnya. Namun sinarnya redup terhalang mendung. Sudah jam tujuh, tapi langit seperti baru menjelang fajar. Rio merebahkan badannya kembali, matanya menerawang keluar.

"Aku sayang kamu Rio. Kamu teman terbaik yang pernah aku punya!", kata-kata Rahma itu terus memenuhi otaknya sebelum alarm handphone memaksanya bangkit bergegas mandi dan berangkat ke kantor.

***

Hari ini Rio harus melakukan presentasi. Tentu saja ini bukan yang pertama. Di kantornya yang lama, hampir setiap saat ia harus siap mempresentasikan kemajuan hasil kerjanya yang lalu ataupun rencana mendatang. Tapi hari ini ia harus berbicara di depan bos2 bule, direktur2 NGO dan pejabat departemen. Tak mudah membicarakan topik pemberdayaan masyarakat apalagi mengimplementasikannya di lapangan kepada orang-orang desa yang lugu. Sudah 2 tahun ini Rio mengerjakan proyek itu, dan sebenarnya ia cukup berhasil. Wataknya yang ramah membuatnya mudah menyelami kehidupan warga desa. Presentasi hari ini seharusnya akan lebih meyakinkan semua mitra kerjanya. Sebuah program lima tahun kedepan yang melibatkan lebih dari 20 desa di beberapa kabupaten untuk mengendalikan kebakaran hutan yang merusak alam negeri ini.

Namun benaknya selalu tergoda untuk mengulang-ulang kata2 gadis manis itu. Tangannya meremas print out powerpoint yang baru saja ia cetak. Keranjang sampah hampir penuh oleh gumpalan kertas. Sudah beberapa jam ini tak ada rancangan presentasi yang memenuhi kepuasan hatinya. Dengan segala usahanya, ia tak bisa membuat Rahma jatuh hati.

"Brengsek, tinggal dua jam lagi!", mulutnya mengumpat. Lina memandangi dengan iba. Ia bangkit dan menghampiri laki-laki mumet itu.
"Udah Rio, kita break dulu sebentar yuk. Gw traktir loe es krim di kantin bawah ya?", Lina menarik lengan Rio. Ia tak berdaya, dan bangkit dengan segan mengikuti langkah Lina keluar ruangan. Jemarinya memijit tombol lift. Sebentar kemudian mereka tiba di kantin.

***

Rio memandang ke bawah. Melihat hamparan hijau hutan yang semakin terdesak oleh kembang kol dan kentang. Indah, tapi masih tampak indah di mataku. Hari ini kami memulai perjalanan menapak lereng kerinci yang hijau gagah. Dengan disambut kabut tipis, kami menyeruak semak belukar di permulaan pintu rimba. Biar bagaimanapun ini kesempatan cuti yang langka. Bismillah, semoga Allah meridhoi perjalanan kami kali ini.

***

Sudah cukup lama juga sejak terakhir kali Rio melakukan perjalanan seperti ini. Nafasnya tersengal-sengal menyemburkan uap bak seekor binatang kelelahan. Kabut berubah menjadi gerimis kecil2. "Loe duluan deh Rud", seru Rio. Jalur didepan cukup jelas untuk diikuti, sehingga Rio cukup percaya diri untuk berjalan sendirian di belakang.

"Jangan-jauh2 man!", jawab Rudi mendahului. Rio masih berhenti mengatur nafas pelan2.
Di beberapa titik Rimba mulai mengurung mereka. Pohon2 yang tinggi tegap menjulang ke langit. Daun-daunnya menutupi cahaya mentari memberi kehidupan bagi paku-pakuan dan lumut di pokoknya. Rio langkahkan kaki terus menanjak. Rudi, Zul dan kawan-kawan timbul tenggelam di balik perdu beberapa langkah didepan. Air hujan melompat-lompat dari daun satu ke lainnya sebelum jatuh membasahi tanah. Rio bergegas maju, mendengar panggilan zul.

"Yo, are you okay?" katanya.
"Kay Zul".
Mereka terus bergerak. Beruntung mereka dilindungi hutan, kalau tidak, hawa dingin pasti akan menggerogoti stamina. Karena matahari mulai tergelincir, angin mulai bergerak perlahan menyusuri lekuk lereng gunung. Waktu Dzuhur mereka harus segera mencapai pos satu untuk beristirahat sejenak, makan dan sholat. Tampaknya jaraknya masih jauh lagi. Setelah sebuah tanjakan dibalik padang alang-alang teman-temannya beristirahat di sebuah shelter roboh.

"Haha Sampe juga loe Yo!", teriak Donni terkekeh. Rio balik terbahak. Ia jatuhkan ransel ke atas batang kayu lapuk.
"Hahaha ini yg gw suka, baru datang makanan sudah siap".
Rudi meringis, "Sialan loe". Laki-laki bukittinggi ini sudah seperti koki dalam setiap perjalanan. Ranselnya selalu penuh makanan dan peralatan masak. Hebatnya lagi, ia tak pernah kehabisan energi untuk mengubah semua itu jadi makanan yang lezat.

Tiba-tiba gerimis berubah lebat. Pandangan menjadi samar oleh kabut tebal. Dinginnya tak dapat diceritakan. Rio menarik ranselnya kebawah pokok pohon besar lalu berlari berlindung ke sebuah rongga gelap yg terbentuk dari semak perdu lebat di pojok tebing. Ia tak sendirian. Budi, porter yang disewa Suzie dan Sri sobat dari OGKL(Orang Gunung Kuala Lumpur) serta adiknya Dwi sudah lebih dulu meringkuk didalam. Lebih sial lagi, mereka sedang makan nasi bungkus dengan menu lengkap rendang, lalap dan sambal terasi! Bahkan koki selihai Rudi nggak akan bisa mengalahkan menu sedahsyat itu.

"Ayo bang Yo, makan bareng", ajak mereka. "Ayo bang, kita bawa banyak nih" ujarnya lagi.
"Makasih Bud", tampik Rio sambil menggigit wafer ditangannya. Tak sebanding. Kami semua terbahak menertawakan kebodohan kami sendiri.

***

Entah langkah kami yang begitu lambat atau matahari yang turun terlalu cepat. Namun tanjakan di depan seakan tak ada habisnya. Kemiringan antara 40 hingga 60 derajat. Tanah gembur hutan yang tergerus air membuat longsor jalur pendakian hingga kadang memaksaku mengangkat lutut hingga ke dada. Meraih akar-akaran hutan diatas untuk naik.

"Ayo Yo, sedikit lagi", Donni memberi semangat.
Aku tersenyum, melangkah tak berhenti. Rasanya anak muda itu hanya berusaha menghiburku. Sejak tadi sudah beberapa kali aku mendengar kalimat itu. Dari Rudi, Zul, Suzie dan yang lain. Aku memang titik lemah. Tapi masih ada semangat di hatinya.

Pos 2 masih belum kelihatan. Tanpa terasa, hari mulai benar2 gelap. Tapi kami tak boleh berhenti sebelum mencapai pos 2. Karna konon jarak pos 2 ke pos 3 dan ke puncak cukup jauh. Kami ingin melihat puncak sehingga harus siap menempuh medan berat ini dalam kegelapan. Jalan semakin curam, sesekali melewati jurang di sisi. Donni dan Sri menungguku di atas sebuah tikungan terjal.

Donni menyodorkan botol minuman padaku. kubasahinya tenggorokan sambil bersandar di cadas tempet mereka berdua duduk. Pandangan kami mengarah ke kerlap-kerlip lampu jauh di kaki gunung. Pernahkah kau melihat sejauh ini di Jakarta? Atau bahkan seumur hidupmu? Aku menghela nafas panjang. Teringat saran2 Lina sobatku. Teringat Rahma yang tak pernah memahami semua perjalananku.

"Lanjut yuk!", Kataku.
Donni berdiri dan melanjutkan perjalanan. Kami harus melewati gorong-gorong yang dalam dan panjang. Gorong-gorong setinggi orang dewasa yang sempit dan licin. Semak2 berduri tajam di atasnya terjalin rapat membuat selokan air ini perangkap yang sempurna. Senter yang kami bawa hanya mampu menerangi beberapa langkah ke depan. Tak ada yang menyadari selepas pos 1 tadi hidungku mencium bau wangi. Entah apa yang menunggu di atas sana. Kami hanya bisa maju dan maju, menerabas masuk suaka terakhir Harimau Sumatera ini.

***

"Inilah pos 3", ujar Zul kepadaku. Kami baru saja melewati gorong2 aliran air yang jauh lebih dahsyat dari semalam. Kini di hadapan kami menunggu jalur berbatu batas vegetasi. Tempat yang membuat orang jeri melihat puncak.
"Ayo Zul lanjut!" aku bersemangat.

Budi dan adiknya memimpin paling atas, kemudian Zul, Suzie, Doni, Sri, aku dan Rudi di belakang. Langkah jadi lebih pendek dari sebelumnya. Aku seperti pecundang, berhenti beberapa menit untuk sekedar maju satu atau dua langkah. Tapi itu perjalanan terindah. Seluruh keindahan kerinci terhampar dibawahnya.

***

Rio menghitung dalam hati. "Satu, dua, tiga, empat lima!" berlari 5 langkah ke atas lalu berhenti dalam posisi merangkak. Angin bergerak menggelindingkan batu-batu kerikil jatuh ke bawah. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam!" Rio terus berhitung. Budi yang mendaki paling cepat keliatan seperti titik olehnya. Tapi puncak sudah dekat. Aroma sulfur dari kawah mulai terasa menyengat. Bahkan asap belerang sesekali menuju arah mereka.

***

Tepat jam 2 siang mereka semua berhasil mencapai puncak. Budi dan adiknya, disusul Zul, Donni, Sri, Rio dan Rudi. Ia terduduk di bibir kawah yg tipis. Terkesima oleh dalamnya kawah seperti sumur yang amat dalam. Dinding-dindingnya dipenuhi lajur2 seperti cincin lapisan lahar masa silam. Dengan berhati2 mereka berjalan ke bibir kawah yg dipercaya sebagai titik tertinggi untuk berfoto.

Mereka terdiam memandang ke kedalamannya. Ah siapa yang tak gentar melihat kekuatan gunung tertinggi yang menjaga pulau ini? Angin membawa asap tebal belerang menutupi puncak. Ini saatnya berpisah dengan sang Kerinci. Rio menatap ke atas terakhir kalinya. Dengan berselempang tripod dan kamera ia berjalan cepat menuruni puncak.

Perjalanan esok akan lebih panjang baginya, menuju Danau Gunung Tujuh, kembali ke Jakarta lalu menuju lokasi proyeknya di sebuah pulau. Proposal yang sukses untuk melupakan orang yang dicintainya.


Bogor, 30 November 2005.
Maklum ye kalo ada salah2, soale gak punya catetan.

Tuesday, June 14, 2005


Foto lama waktu ke Gn Rinjani. Diambil di Plawangan Senaru jam 1an gitu deh, pakai jasa Tripod. Hasil scan dari cetakan Kodak Gold ASA 200. Di retouch dikit buat ngilangin botol aqua deket tas pakai stamp tool. Data teknis lain lupa :-p  Posted by Hello

Ngecamp di Ranu Kumbolo Posted by Hello

Monday, June 13, 2005

Menuju sang Mahameru

Kami sudah menduga kabut akan menghambat perjalanan kami. Tapi tak seorangpun bisa menyangka kabut datang demikian tebal menutupi jalan didepan kami. Langit malam yang indah masih bisa terlihat disela2 pucuk pepohonan, tapi cahaya bulan tak mampu menembus asap putih yang mengambang memenuhi permukaaan tanah. Dengan berbekal nyala senter kami berjalan tersaruk-saruk melewati jalan setapak yg tertutup semak belukar. Petugas di pos pendakian mengatakan kami salah satu tim pertama yang mendaki Semeru musim ini, setelah beberapa bulan ditutup untuk pemulihan ekosistem.

Kaki Rio menendang-nendang kedepan, sekan meraba2 jalan yang ada dibawah rerumputan. Senternya sudah sejak tadi meredup karena basah. Namun ia tetap berjalan cepat menyusul rekan-rekan yang berada satu bukit di depan.

"Ooooi", Rio meneriakan sesuatu.
"Ooooi", Suara senada menyahut didepan dan menyusul satu lagi di belakang. Hatinya sedikit tenang. Ia tidak terpisah terlalu jauh dari yang lain. Ia bukan orang bernyali kecil, tapi petugas jagawana tadi mengingatkan adanya jejak tahi macan tutul di daerah ini beberapa hari yang lalu. Meski naluri dan indra binatang akan menjauhi manusia, tapi ia tak mau mengambil banyak resiko. Apalagi di sebelah kiri mengangga jurang yang dalam dan dipenuhi belukar.

Celana nya basah hingga ke pinggang oleh embun, kaus yg dikenakannya juga basah kuyup oleh keringat. Dibetulkannya topi baseballnya sebentar lalu beranjak maju. Ia akan menaklukan satu tanjakan di depan baru mulai beristirahat. Terlihat lamat-lamat beberapa cahaya di atas. Rio bergegas. Rupanya Rudi dan kawan-kawan sedang beristirahat juga. Dijatuhkannya ranselnya, lalu duduk berkeliling.

"Sedikit lagi nyampe Jack. Tuh tinggal naek dikit lagi trus belok kanan sampe di Ranu Kumbolo", Razak menyodorkan sebotol aqua. "Kita ngecamp di Ranu Kumbolo, baru besok lanjut ke Arcopodo. Kalo nggak sempet paling kita ngecamp di kalimati".

Rio mengangguk sembari mengatur nafasnya pelan-pelan. Kondensasi mengubah kabut menetes menjadi gerimis besar-besar. Kami berlima masih enggan bangkit, dan berbincang2 sambil mengunyah "kuncian" ala kadarnya. Dingin mulai merasuk kulit karena kami tak bergerak. Sesekali kami tergelak saling mengejek.

"Oooi", suara Joe terdengar begitu dekat. Pantangan memanggil nama kawan kita di hutan rimba. Takut danyang, peri perayangan mengenalinya dan meniru teriakan kita untuk menyesatkan.

Rudi bangkit mengangkat ransel, "Yuk lanjut, jam dua belas nyampe di Ranu Kumbolo, Joe udah deket tuh". Kami melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, terlihat hamparan kabut di lembah yang luas. Warna putihnya begitu misterius dikaki kegelapan malam. "Itu Ranu Kumbolo, pesanggrahan sang Puntodewo".

Rio terpana. Sementara angin bertiup menyusuri lereng turun menuju lembah. Tubuh kami yang panas kelelahan tak dapat lagi menahan dinginnya hawa gunung. Danau Ranu Kumbolo terbentang diatas ketinggian lebih dari 2600m dpl. Konon di saat hari-hari terdingin kemarau, kita akan melihat salju turun.

Di kejauhan terlihat api unggun, lampu-lampu dan kompor para pendaki yang sedang ngecamp. Inilah saat terbaik menikmati kopi panas dan makanan hangat sembari mendirikan tenda dan mengatur tempat menggelar kantung tidur yang nyaman. Rio tak tahan lagi, dengan sisa-sisa nafasnya ia berlari menuruni lembah yang licin karena embun. Beberapa kali ia terpeleset, namun ia bangkit dan menyusul sobatnya.

"Kita jangan ngecam disini man! Lanjut ke depan lagi, ada pos pendakian. Kita ngecamp di dalem pos aja kalo masih ada tempat", seru Hanif.
"Ayo deh, buruan. Gila dingin banget nih!", jawab Rio menggigil. Dalam kondisi seperti itu, memang lebih baik terus bergerak agar tubuh tetap panas.

Akhirnya tepat tengah malam mereka tiba di pantai Ranu Kumbolo. Jarak pandang hanya beberapa meter. Rio dkk segera membongkar ransel dan mendirikan tenda. Yang lain menyalakan kompor dan mulai menjerang air untuk membuat kopi dan mie instant. Telapak tangan kami kebas kedinginan. Begitu tenda tegak berdiri, kami berganti pakaian. Hanya sepatu yang terpaksa tetap kami kenakan. Setelah makan, baru bisa dilepas untuk beristirahat masuk kantung tidur hingga pagi.

***

Ini bukan perjalanan pertama Rio. Sebelumnya ia pernah menjejakkan kaki ke beberapa puncak gunung. Tapi Semeru, atau disebut Mahameru adalah tanah tertinggi di tanah Jawa. Ia belum pernah menjadi siapa-siapa sebelumnya. Barangkali kali ini ia bisa menjadi yang tertinggi. Ia ingin merasakan kemewahan itu meski hanya sesaat.

Namun didalam lubuk hatinya tertanam perasaan yang mendalam. Harga diri Rio sedang berada di titik terendah. Cintanya kepada gadis yang menarik hatinya tak bertepuk. Sesungguhnya Rahma belum lagi memberikan jawaban. Gadis itu ada hati dengannya, tapi ia merasa masih terlalu muda. Ia perlu waktu beberapa saat untuk menikmati masa remajanya sebelum mengikatkan cintanya. Rio bimbang, rasa takut akan kehilangan Rahma mendominasi pikirannya. Ia telah kecewa sebelum tau jawaban sesungguhnya.

Pendaki adalah segelintir makhluk romantis. Mereka memang bukan pesolek yang mempesona lewat rupa, atau penyair yang merayu lewat kata. Mereka anak alam yang meluapkan cinta dengan melihat keindahan Tuhan dari dekat. Semilir angin gunung adalah jatidirinya yang sejati.

"Rio, ketenangan itu adanya disini nih, di dada loe sendiri, di hati loe", ucap Lina, sobat karibnya tersenyum. "Bukan jauh-jauh naek gunung, bikin capek. Cari bahaya, cari masalah."

"Aku setuju Lin, tapi aku nggak betah disko, main bilyar atau nongkrong di kafe berlama2 untuk menghilangkan penat disini," jawabnya. Ia meletakkan telapak tangannya ke dada. "Saat ini aku ingin pergi jauh, melihat dunia dari puncak gunung. Mungkin itu terdengar seperti melarikan diri dari kenyataan buatmu. Tapi itu satu2nya hal yang bisa menghiburku saat ini."

Lina terbahak, ia memanggil pelayan dan memesan minuman buat Rio. "On my treat, friends". Begitu katanya.

***

Semua sudah berkemas. Rio dan kawan-kawan menyempatkan diri berfoto di latar Ranu Kumbolo. Sinar matahari membias diseberang, pantulannya membentuk huruf X di atas air. Cuaca sangat bagus, langit biru bersih menyinari tebing-tebing hijau yang melingkari danau ini. Beberapa pemancing menarik kailnya yang digigit ikan mujair. Seorang bapak berteriak gembira, mendapatkan ikan karper yang cukup besar.

Jam 10 siang, kabut sesekali menutup permukaan air. Kami segera berangkat. Perjalanan ini dimulai dengan mendaki Tanjakan Cinta. Sebuah tanjakan panjang yang melindungi padang savana luas, Oro-oro Ombo disebaliknya.

"Nanjaknya pelan-pelan aja. Jangan sampai berhenti", Mas Boed berteriak. Konon siapa yang dapat melewati tanjakan ini tanpa berhenti, ia akan dikaruniai cinta. Dan sejak bertahun-tahun para pendaki menapaki jalurnya, hanya sedikit yang bisa mencapai puncaknya tanpa istirahat.

Tidak juga buat Rio. Ia melepaskan ranselnya untuk minum dan beristirahat sejenak setibanya di puncak. Namun siapapun yang pertama kali menciptakan kisah itu, pasti ia orang yang beruntung karena dapat menikmati pemandangan dibalik tantangan itu. Oro-oro Ombo dipenuhi bunga2 hutan dan rumput setinggi badan dilatari pokok-pokok pinus kaki Semeru. Dari kejauhan terlihat terlihat sobatnya meyusuri jalan setapak membelah padang. Disinilah salah satu padang perburuan harimau jawa di jaman dahulu.

***

"Hayoo jack dikit lagiiii!", Ardi berteriak memberi semangat. Mereka memulai "summit attack" sejak jam satu malam tadi dari kali mati dimana mereka membuka camp disela pohon pinus gunung. Memang bukan tempat yang benar-benar ideal. Namun jauh lebih baik dari padang terbuka di kali mati. Apa boleh buat, rencana mereka membuka camp di Arco Podo terpaksa diurungkan. Beberapa pendaki yang baru saja turun mengabarkan camp di Arcopodo penuh. Hampir tak mungkin membuka tenda untuk 15 orang lagi. Setelah makan malam, semua beristirahat, sebagian terpaksa bergadang karena harus bangun lebih awal untuk menyimpan waktu lebih banyak untuk muncak. Karena waktu sangat terbatas, lepas jam 9an arah angin berubah dan membawa asap letusan kawah yang beracun ke puncak mahameru. Tak ada yang benar2 bisa beristirahat tenang malam itu.

Berbekal makanan minum seadanya seluruh rombongan muncak jam 1 malam. Kali ini mesti ekstra hati2, jalur ke Arcopodo banyak yang longsor. Salah pijak akan langsung terguling ke sungai lahar. Kepala terantuk batu, nyawa taruhannya. Lepas arcopodo, kami melewati Kelik. Salah satu titik paling berbahaya menuju puncak Semeru. Tengkuk bergidik dan hati menciut melihat nisan "in memoriam" begitu banyaknya. Kelik adalah salah satu korban, ia tak pernah diketemukan.

***

Rio melihat sebuah celah besar ditebing. Ia harus mencapai celah itu. Ia menghitung kuat kuat dalam hati.

"Satu, Dua, Tiga!", tiga langkah naik, dua langkah merosot turun. 1,5 kilometer dari Cemoro tunggal, batas vegetasi, 7 jam naik tapi ia belum lagi mencapai puncak. Batu-batu lahar sebesar kerbau dan abu vulkanis yang halus dan licin sangat tak bersahabat. Tangannya membeku memegang abu dan batu yang dingin lembab.

Ia menengok ke bawah, Doni tak kelihatan. Ia tertinggal jauh. Mereka tak beruntung dapat melihat matahari terbit di puncak. Tak apa, masih tersisa barang dua jam untuk bisa ke sana. Rio berlari merangkak, membenamkan bootsnya di abu vulkanis yang halus. Sambil sesekali merunduk menghindari asap dan kerikil yang terlontar dari letusan kawah.

"Selamat Rio! Kamu berhasil mencapai puncak tertinggi di Jawa!", Mas Boed menjabat erat tangannya. "Mulai saat ini puncak gunung yang lain di tanah ini tak terlalu berarti!"

Rio tak mampu berkata-kata. Mungkin ia ingin menangis, tapi ia hanya bisa tertawa gembira. Ia jabat tangan semua sobatnya dan pendaki-pendaki lain. Dengan tersengal, ia berjalan cepat mengelilingi puncak Mahameru. Ia pandangi seluruh Jawa dari langit. Seluruh sobat menariknya berfoto didepan nisan Soe Hok Gie dan letusan Jonggring Saloko.

Tepat jam sembilan semuanya sudah mencapai puncak. Perjalanan panjang menuju rumah menunggu mereka. Satu-satu semuanya menuruni gunung. Rio menghirup angin dalam-dalam dan tersenyum.

"Rahma, aku mencintaimu".

Angin bertiup perlahan membawa pesan indah itu. Begitu ikhlas tanpa mengharap balasan.


Jakarta, June 13, 2005

Saturday, June 11, 2005

Si Lugu

"Loe mo beli mobil apa mo baca nah ini dia Gus?" kata Irma sambil tertawa. Tangannya membalik-balik halaman koran yang tampak caur dengan warna tinta yg semu. Aku tertawa terbahak-bahak lalu menekan gas melewati lampu merah.
"Iseng2 aja Ma, liat2 iklan, duit sih kagak ada, hahaha", jawabku sekenanya. "Sekedar nyari ide aja, loe tau kan gw suka dagang..."
Irma ikut tertawa mendengar jawabanku. Matanya masih mencari-cari apa yang menarik di koran yang aneh itu.

***

Yah ini memang koran aneh, perpaduan antara berita kriminal dan iklan baris yang tak ada habisnya. Segala barang ada di dalamnya. Mulai dari handphone, mobil atau motor bekas, hingga tanah dijual. Bagi yang penat dengan kehidupan kota, silahkan juga lihat iklan pijat asoy atau mencari paranormal biar cepat kaya dan tersohor. Bahkan beberapa kali aku membaca sebuah komentar yang mengkritik masalah korupsi dari sebuah kolom yang dikelola oleh seseorang yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan yang sangat korup.

Sayang lembergar semakin menciut. Padahal sudah begitu lama kami membacanya. Rasanya lembergar satu2nya yang begitu setia menghibur setiap hari saat ku kecil dulu. Masih teringat penjual koran yang setiap pagi mengantarkan koran ke rumah dengan sepeda jengkinya. Anak muda yang berusaha membayar uang kuliahnya dari berjualan koran. Dan pedagang2 sayuran di depan rumah yang berebutan membaca si Doyok. Sebuah satir kecil terhadap kondisi saat itu.

Kini, orang membeli poskota hanya untuk iklannya, nah ini dia atau liputan khusus ke tempat2 klenik atau mesum di pojok kiri bawah. Berita kriminal, bencana, atau berita heboh lainnya diexpose besar2 di halaman muka. Intinya tentang sulitnya cari duit, keruwetan hubungan antar manusia, seks, dan bobroknya pemerintahan. Sebuah koran yang sesuram penampilannya.

Namun aku tetap sesekali membelinya. Ia seakan menjadi sebuah rutinitas yang unik dari hari-hariku yang membosankan.

Seperti pagi ini. Udin dkk, penjual koran di perempatan cawang bawah berlarian mengejar mobilku yang melambat.

"Poskota bos? Atau lipstik hahaha..?", Mulutnya tertawa lebar karena berhasil sampai lebih dahulu di samping ku. Tangan kanan menyodorkan poskota, sedang yang satunya mengangkat tumpukan koran didekapannya untuk menunjukkan pose hot seorang wanita dari sebuah tabloid. Ia berusaha menggodaku.

"Berapa? 1000 kan?", tanyaku sambil tersenyum.
"1500 boss, gak dapet 1000", katanya.
"Ah elo tuh, ama langganan gitu, udah nih 1000", kuambil koran di tangannya. Ia hanya tertawa sambil meluruskan lembaran uang itu.

Kami sering mengobrol, meski waktu kami singkat. Dengan Udin atau kawan2 yang lain. Pembicaraan basa basi saja. Tapi bisa membuat kami tertawa atau sedikitnya tersenyum. Beberapa waktu kemudian, uang seribu rupiah itu menjadi cukup berharga. Meski aku tak membacanya, aku juga tak merasa menolong mereka. Kurasa aku hanya berusaha mencuri hiburan.

***

Dulu kupikir, berita2 di poskota bohong belaka. Sekedar kebisaan redaksi membuat cerita agar korannya laris. Tapi kini seringkali mengejutkan. Karena apa yang kubaca disini, kemudian diliput oleh berbagai stasiun TV. Hal itu membuatnya begitu nyata dan dekat dengan kehidupan.

"Criiing!", sebuah pop uw window muncul di layar ku. Privat message dari Linda sobatku di UI."Oi!", begitu isinya dan kujawab dengan "Oi!" juga.
"Gw mo cerita nih! Temen gw lakinya kawin lagi! Loe tau gak gimana caranya cerai?", lanjutnya.
"Detilnya gw gak tau, tapi kayaknya mesti ke pengadilan agama. Loe tanya2 aja dulu, di depok kan ada pengadilan agama", ketikku.
"Temen gw bego nih, suaminya kawin lagi ama penjual jamu keliling, dan taunya sekarang udah punya anak. Emang sih sama temen gw gak punya anak. tapi gw saranin minta cerai aja", katanya lagi."Tapi dari dulu emang mesum tuh lakinye. Semua orang kantor dah tau. Malah pernah kepergok bawa cewe di mobil."
"Laki gitu mah ceraiin aja".
"Thanks ye", percakapan kami tak panjang, Linda harus segera pergi karena dipanggil bossnya.

***

"Criiiing", sebuah pop up windows muncul lagi dari Linda.
"Gw abis dr pengadilan agama nih, nemenin temen gw masukin gugatan cerai", katanya. "Bisa kok ternyata, meskipun suaminya gak mau nyeraikan dia".
"Loe tuh kerajinan amat nemenin orang cerai segala?", ketikku.
"Lah gw kan sekedar menolong, pengen berbuat baek? Lagian gw udah ijin ama Hendro", Linda ngeyel.
"Eh, temen sih temen tapi yg sewajarnya aja. Kalo loe susah belon tentu dia mau nolong", kataku.
"Manusia kan makhluk sosial", Linda masih ngeyel.
"Iye tau, itu emang baek. Tapi inget loe orang biasa. Loe kan punya anak yg masih kecil2 pula. Lagian loe yang cerita sendiri, temen loe itu dulu kalo dikasih tau malah suka ngomong ke suaminya sampe dia marah ama loe. Kejadian gitu kan kebodohannya dia juga. Tar kalo suaminya pikir loe yg nyaranin cerai berabe loh! Bantu supaya dia mandiri aja lah. Ati2 jaman sekarang orang aneh2."
"Iye juga sih", Linda manggut2 dari jauh. "iya deh dek, thanks. Gw udahan dulu ye, Hendro jemput nih". Sekilas kemudian Yahoo messengernya off.

Aku bersiap pulang juga. Kulipat poskota di meja kerjaku.
"Pedagang kelontong mengadu ke Propan Polda Metro: Bininya dikumpul keboi oknum Polisi.39 Bacokan akhiri hidup supir angkot. Motif diduga dendam."