Wednesday, December 21, 2005

Sajak Ibunda

Sajak Ibunda
WS Rendra

Mengenangkan ibu
adalah mengenang buah-buahan.
Istri adalah makanan utama.
Pacar adalah lauk pauk.
Dan Ibu
adalah pelengkap sempurna.
Kenduri besar kehidupan.

Wajahnya adalah langit senjakala :
keagungan hari yang telah merampungkan tugasnya.
Suaranya menjadi gema
dari bisikan hati nuraniku.

Mengingat ibu,
aku melihat janji baik kehidupan.
Mendengar suara ibu,
aku percaya akan kebaikan hati manusia.
Melihat foto ibu,
Aku mewarisi naluri kejadian alam semesta.

Berbicara dengan kamu, saudara-saudaraku,
aku pun ingat bahwa kamu juga punya ibu.
Aku jabat tanganmu,
aku peluk kamu di dalam persahabatan.
Kita tidak ingin saling menyakitkan hati,
agar kita kita tidak saling menghina ibu kita masing-masing
yang selalu, bagai bumi, air dan langit,
membela kita dengan kewajaran.

Maling punya ibu. Pembunuh punya ibu.
Demikian pula koruptor, tiran, facist,
wartawan amplop, dan anggota parlemen yang dibeli,
mereka pun juga punya ibu.
Macam manakah ibu mereka?
Apakah ibu mereka bukan merpati di langit jiwa?
Apakah ibu mereka bukan pintu kepada alam?


Ibu, kini aku mengerti nilaimu.
Kamu adalah tugu kehidupanku,
yang tidak dibikin-bikin dan hambar seperti Monas dan Taman Mini.
Kamu adalah Indonesia raya.
Kamu adalah hujan yang kulihat di desa.
Kamu adalah hutan di sekitar telaga.
Kamu adalah teratai kedamaian samadhi.
Kamu adalah kidung rakyat jelata.
Kamu adalah kiblat hati nurani di dalam kelakuanku.


-----------
Sorry ye kalo kurang lengkap.
Maklum sourcenya juga kurang wokeh :P

Tuesday, December 20, 2005

Kisah pak supir

Kulepas sepatuku dan kudesakkan dalam bagasi yang sudah sesak terisi ban serep, dongkrak dan kotak kunci2 baut. Ini jam pulang kantor. Kubuka jendela, sambil memanaskan mesin. Dalam beberapa menit aku akan meluncur pulang ke jakarta. Melewati jalanan kota bogor yang penuh lubang dan jalan tol yang panjang. Sebuah rutinitas yang melelahkan sejak aku memutuskan pindah bekerja disini.

Ini memang jaman yang serba sulit, tapi bagi orang kecilan semua jaman sulit. Kesenangan hanya sebuah kemewahan dari sudut pandang yang berbeda. Aku sendiri merasa sangat-sangat beruntung bisa mendapat pekerjaan ini. Mengingat kontrakku yang sudah berakhir bulan itu. Bertambah beruntung lagi aku mendapat teman-teman baru. Mulai dari yang jauh lebih muda hingga yang sepuh untuk menimba pengalaman. Sore inipun, aku tak lagi kesepian menyusuri perjalanan ke Jakarta dengan kehadiran Netty, Esa, Ifa dan Budi. Duh, begitu pantat mereka yang besuaaar menyentuh jok nggak terbayang betapa ramainya suasana :-p

***

Netty teman lamaku. Kami pernah bekerja sekantor dulu. Ibu berputra satu ini ibarat burung beo atau parkit yang berisik. Luar biasa cerewet. Uniknya, ia dapat suaminya yang bisa dibilang kalem. Tidak terlalu juga sih, tapi karena aku mengenal keluarga besarnya, maka ia tampak paling kalem :-D Yang jelas Netty orang yg bisa mencairkan suasana. Lawakannya begitu naif namun juga cerdas. Ia selalu saja membuatku kagum dengan sikap hidup dan semangatnya menghadapi hidup.

Meski datang dari keluarga yang berkecukupan, ia tak manja. Aku ingat bagaimana dari Slipi ia harus menjemput suaminya di UI depok dan menunggunya hingga selesai kuliah jam 10 atau 11 malam. Lalu menyetir pulang ke rumahnya di Bintaro. Rasanya 100 kilometer lebih sehari! Sementara ia juga harus menyelesaikan skripsinya sendiri.

Kadang aku menemaninya menunggu di kampus hingga malam. Tak berapa lama ia pindah bekerja di Bogor, kantorku sekarang. Kantorku yg lama proyeknya berakhir, ia harus berjuang membayar uang kuliah suami. Aku hanya memberinya semangat, saat itu ia hamil muda. Aku tak pernah tau betapa jauh perjalanan yang ia tempuh saat itu. Naik turun angkot atau bus kota yang padat seperti sardin dalam kaleng. Menembus hujan lebat dan kadang pulang larut malam.

"Gue masih naik kendaraan umum sampai hamil gw lumayan gede loh!" katanya bercerita."Setelah itu terpaksa gw cari supir untuk bawa mobil".

Ah, kalian jangan komentar miring dulu. Aku saja kaget ketika tahu gajinya dibawah standar kantor kami yang dulu. Hitung2 selisihnya tak seberapa setelah dipotong ongkos transport dan makan. Barangkali itu sebuah proses hidup, yang betapa pahitnya tetap harus kita lewati. Karena itu Netty, seorang ibu yang hamil tua tetap tertawa lebar dalam sebuah foto yang terletak dimeja kerjanya. Meski setiap hari terpontang-panting oleh aspal yang bergelombang.

***

Esa, baru saja kehilangan kesempatan mendapatkan anak kedua. Janinnya keguguran. Ia kelas pekerja yang penuh dedikasi. Dalam tugasnya sebagai purchasing, waktu adalah barang yang paling tak terbeli. Di rumah ia tulang punggung keluarga. Tak hanya keluarga kecilnya sendiri, tapi juga kedua orang tuanya yang senja. Saudara-saudara nya pun tak terlalu beruntung. Guru honorer, atau pekerja kelas rendah yang berjuang untuk sedikit uang tanpa status. Dalam keadaan sulit Esa adalah pahlawan keluarga. Ia terbilang paling beruntung meski harus berbohong pada suami untuk julukan itu.

"Loe gila ya Sa. Baru kemaren dikuret dah masuk aja!" Netty mengomel.
"Gak papa kok, gak papa. Kata dokter boleh," jawabnya membela diri. Dalam kepalanya terhitung jatah cuti dan libur tahun ini yang akan segera berakhir. Sebulan lagi sudah tahun baru. Kami geleng2 kepala, keguguran seperti cabut gigi saja.

Budhy, aku blum begitu mengenalnya. Ia tampak keibuan, khas wanita jawa generasi kesekian. Tapi hidup bukanlah hidup bila tanpa masalah. Aku enggan menanyakannya, bagiku itu sama saja menceritakan ending sebuah film pada seorang teman yang baru saja mengantri tiket. Kau akan membuyarkan cita rasanya.

Ifa, sedang mengandung anak pertama. Hamilnya begitu besar. Sehingga melihatnya duduk atau bangun membuatku merinding, seakan... ah, aku tak ingin membayangkannya. Aku senang mengantar mereka pulang. Berhenti di titik2 pemberhentian angkot terdekat dengan tempat tinggal mereka. Melihatnya turun dari mobil tuaku sambil bertukar salam. Perbincangan tadi seakan menghapus kepenatan kerja dan politik kantor yang memusingkan. Dan salam yang mereka ucapkan seperti ucapan Bismillah yang mengantarku kembali esok pagi.

***

Kehidupanku kini berada di tiga tempat. Keluargaku di Jakarta, kantorku di Bogor dan sanggar seni yang kukelola di depok. Sanggar adalah persinggahan. Aku yang memulainya, tapi aku hanya singgah dua hari dalam seminggu. Sabtu dan minggu teman-teman berlatih menari dan gamelan Jawa. Di saat sedang sepi aku mengisi posisi kosong agar tim penabuh gamelan menjadi lengkap dan orkestrasi tradisi itu berjalan riuh.

Sehari-hari seorang ibu muda mengelola tempat itu. Mbak Wulan, namanya. Ia adalah pelatih tari kami. Dari yang kudengar ia masih ada keturunan bangsawan Surakarta. Aku tak mengerti bagaimana alurnya. Yang kutahu ia, begitu fasih menari. Tak cuma tari Jawa, tapi seluruh nusantara. Saat aku dan kawan2 datang, ia selalu bercerita dengan penuh semangat. Tentang pentas2nya selama ini, tentang masa lalu saat ia dilatih oleh gurunya yang disiplin. Matanya berbinar saat menceritakan moment2 menari untuk sang raja. Kami terdiam seakan sedang mendengarkan kisah ribuan tahun.

Namun kisah itu seperti mengambang, ketika putranya menangis lapar. Ia tak punya apa-apa lagi. Binar2 dimatanya berubah berair ketika menyuapkan air teh ke bibir putranya yg kurus. Penyakit yang menghambat pertumbuhan putranya seakan sembilu tajam yang mengiris2 hatinya. Pernah ada suatu saat ia tak menginginkan bayi itu. Sekarang ia harus menanggung resikonya.

Perempuan bangsawan itu kini menari untuk semua orang. Untuk mata kaum kebanyakan yang tak tahu arti luhurnya sebuah seni. Suaminya yang berjiwa cemen ia tinggalkan. Langit akan terang esok hari, karna matahari terbit hingga hari ini. Wulan, ibu tiga putra yang tak berdaya menghadapi kejamnya jaman.

Diletakkannya putranya yang tertidur di atas sebuah kasur tipis yang kumuh. Aku dan kawan2 menantinya menyelesaikan cerita. Hampir tengah malam ketika kami selesai berbincang2. Aku tak bisa membantu apa-apa kali ini. Kususuri jalan pulang dengan jalan kaki, hanya untuk menghemat beberapa ribu rupiah. Mungkin dini hari baru aku akan tiba di rumah.

***

Sudah dua jam aku menyetir. Netty orang terakhir yang turun. Kuucapkan terimakasih padanya karena membelikan 10 liter bensin untukku. Kuputar mobil memasuki pintu tol. Dalam deru mobil2 yang melaju cepat ke arah Taman Mini aku mereplay semua hal. Hidup memang begitu berat akhir2 ini. Bekerja hari ini lebih penat dari yang lalu. Setiap orang bermimpi kembali ke masa2 tirani yang membuai.

Ku terkenang ibuku di rumah. Yang menggendong sekuintal beras dipunggungnya jaman tahun 1965 dulu. Yang ditinggalkan suami bertahun2 tanpa kabar berjuang di garis depan. Yang menuangkan minyak goreng dalam canting2 mungil dengan sabar di warungnya yg reot. Yang membela putranya yang menderita skizofrenia dengan airmata mengembang di pelupuk matanya. Yang menciumi cucunya yang mati...

Hidup hanya menunda kekalahan? Seandainya Chairil Anwar seorang wanita pasti ia tak sekerdil itu. Dengan perlahan kuinjak gas menuju perhentian terakhir, rumah.


*************

Bogor, 21 Januari 2005.
Selamat Hari Ibu!

Monday, December 05, 2005

Pasar Pelompek

Pelompek Market, Suzie and friends buying some logistic before hiking. You can see in the background Mt. Kerinci an active strato volcano with it's sulphur smoke on the top.

Tuesday, November 29, 2005

Danau Gunung Tujuh

Beautiful Danau Gunung Tujuh or Lake of Seven Mountain located in Jambi, one province in Sumatra Island. Serene view at approximately 2000m above sea level.

Mt. Kerinci

One beautiful morning at Mt. Kerinci view from Paiman Homestay, Kersik Tuo, Jambi.

Monday, June 27, 2005

Menuju Kerinci

Suara Jane adiknya terdengar dari balik pintu kamar Rio. Hari sudah pagi, sebenarnya ia sudah agak terlambat masuk kantor. Tapi matanya masih terasa berat. Bukan hanya rasa kantuk akibat pulang kemalaman tapi kejadian semalam seakan membuatnya enggan memulai hari. Pikirannya masih bermimpi, terbangun dengan seorang yang dia cintai berada disampingnya. terpejam, berhadapan, dahi bertemu dahi dan mendengar suara nafasnya mengalir hangat. Tangannya membetulkan selimut menutupi bahu, lalu mendekap pasangannya erat-erat. Ia ingin membekukan waktu, dan meresapi kulit lembut Rahma dengan perasaan cintanya yang begitu mendalam. Tak ada yang tahu bahkan lelaki setegar itu dapat luluh oleh suasana pagi yang dingin di musim pancaroba ini.

Rio membuka matanya dan menggeser tirai perlahan. Sinar matahari mencuri pandang ke dalam kamarnya. Namun sinarnya redup terhalang mendung. Sudah jam tujuh, tapi langit seperti baru menjelang fajar. Rio merebahkan badannya kembali, matanya menerawang keluar.

"Aku sayang kamu Rio. Kamu teman terbaik yang pernah aku punya!", kata-kata Rahma itu terus memenuhi otaknya sebelum alarm handphone memaksanya bangkit bergegas mandi dan berangkat ke kantor.

***

Hari ini Rio harus melakukan presentasi. Tentu saja ini bukan yang pertama. Di kantornya yang lama, hampir setiap saat ia harus siap mempresentasikan kemajuan hasil kerjanya yang lalu ataupun rencana mendatang. Tapi hari ini ia harus berbicara di depan bos2 bule, direktur2 NGO dan pejabat departemen. Tak mudah membicarakan topik pemberdayaan masyarakat apalagi mengimplementasikannya di lapangan kepada orang-orang desa yang lugu. Sudah 2 tahun ini Rio mengerjakan proyek itu, dan sebenarnya ia cukup berhasil. Wataknya yang ramah membuatnya mudah menyelami kehidupan warga desa. Presentasi hari ini seharusnya akan lebih meyakinkan semua mitra kerjanya. Sebuah program lima tahun kedepan yang melibatkan lebih dari 20 desa di beberapa kabupaten untuk mengendalikan kebakaran hutan yang merusak alam negeri ini.

Namun benaknya selalu tergoda untuk mengulang-ulang kata2 gadis manis itu. Tangannya meremas print out powerpoint yang baru saja ia cetak. Keranjang sampah hampir penuh oleh gumpalan kertas. Sudah beberapa jam ini tak ada rancangan presentasi yang memenuhi kepuasan hatinya. Dengan segala usahanya, ia tak bisa membuat Rahma jatuh hati.

"Brengsek, tinggal dua jam lagi!", mulutnya mengumpat. Lina memandangi dengan iba. Ia bangkit dan menghampiri laki-laki mumet itu.
"Udah Rio, kita break dulu sebentar yuk. Gw traktir loe es krim di kantin bawah ya?", Lina menarik lengan Rio. Ia tak berdaya, dan bangkit dengan segan mengikuti langkah Lina keluar ruangan. Jemarinya memijit tombol lift. Sebentar kemudian mereka tiba di kantin.

***

Rio memandang ke bawah. Melihat hamparan hijau hutan yang semakin terdesak oleh kembang kol dan kentang. Indah, tapi masih tampak indah di mataku. Hari ini kami memulai perjalanan menapak lereng kerinci yang hijau gagah. Dengan disambut kabut tipis, kami menyeruak semak belukar di permulaan pintu rimba. Biar bagaimanapun ini kesempatan cuti yang langka. Bismillah, semoga Allah meridhoi perjalanan kami kali ini.

***

Sudah cukup lama juga sejak terakhir kali Rio melakukan perjalanan seperti ini. Nafasnya tersengal-sengal menyemburkan uap bak seekor binatang kelelahan. Kabut berubah menjadi gerimis kecil2. "Loe duluan deh Rud", seru Rio. Jalur didepan cukup jelas untuk diikuti, sehingga Rio cukup percaya diri untuk berjalan sendirian di belakang.

"Jangan-jauh2 man!", jawab Rudi mendahului. Rio masih berhenti mengatur nafas pelan2.
Di beberapa titik Rimba mulai mengurung mereka. Pohon2 yang tinggi tegap menjulang ke langit. Daun-daunnya menutupi cahaya mentari memberi kehidupan bagi paku-pakuan dan lumut di pokoknya. Rio langkahkan kaki terus menanjak. Rudi, Zul dan kawan-kawan timbul tenggelam di balik perdu beberapa langkah didepan. Air hujan melompat-lompat dari daun satu ke lainnya sebelum jatuh membasahi tanah. Rio bergegas maju, mendengar panggilan zul.

"Yo, are you okay?" katanya.
"Kay Zul".
Mereka terus bergerak. Beruntung mereka dilindungi hutan, kalau tidak, hawa dingin pasti akan menggerogoti stamina. Karena matahari mulai tergelincir, angin mulai bergerak perlahan menyusuri lekuk lereng gunung. Waktu Dzuhur mereka harus segera mencapai pos satu untuk beristirahat sejenak, makan dan sholat. Tampaknya jaraknya masih jauh lagi. Setelah sebuah tanjakan dibalik padang alang-alang teman-temannya beristirahat di sebuah shelter roboh.

"Haha Sampe juga loe Yo!", teriak Donni terkekeh. Rio balik terbahak. Ia jatuhkan ransel ke atas batang kayu lapuk.
"Hahaha ini yg gw suka, baru datang makanan sudah siap".
Rudi meringis, "Sialan loe". Laki-laki bukittinggi ini sudah seperti koki dalam setiap perjalanan. Ranselnya selalu penuh makanan dan peralatan masak. Hebatnya lagi, ia tak pernah kehabisan energi untuk mengubah semua itu jadi makanan yang lezat.

Tiba-tiba gerimis berubah lebat. Pandangan menjadi samar oleh kabut tebal. Dinginnya tak dapat diceritakan. Rio menarik ranselnya kebawah pokok pohon besar lalu berlari berlindung ke sebuah rongga gelap yg terbentuk dari semak perdu lebat di pojok tebing. Ia tak sendirian. Budi, porter yang disewa Suzie dan Sri sobat dari OGKL(Orang Gunung Kuala Lumpur) serta adiknya Dwi sudah lebih dulu meringkuk didalam. Lebih sial lagi, mereka sedang makan nasi bungkus dengan menu lengkap rendang, lalap dan sambal terasi! Bahkan koki selihai Rudi nggak akan bisa mengalahkan menu sedahsyat itu.

"Ayo bang Yo, makan bareng", ajak mereka. "Ayo bang, kita bawa banyak nih" ujarnya lagi.
"Makasih Bud", tampik Rio sambil menggigit wafer ditangannya. Tak sebanding. Kami semua terbahak menertawakan kebodohan kami sendiri.

***

Entah langkah kami yang begitu lambat atau matahari yang turun terlalu cepat. Namun tanjakan di depan seakan tak ada habisnya. Kemiringan antara 40 hingga 60 derajat. Tanah gembur hutan yang tergerus air membuat longsor jalur pendakian hingga kadang memaksaku mengangkat lutut hingga ke dada. Meraih akar-akaran hutan diatas untuk naik.

"Ayo Yo, sedikit lagi", Donni memberi semangat.
Aku tersenyum, melangkah tak berhenti. Rasanya anak muda itu hanya berusaha menghiburku. Sejak tadi sudah beberapa kali aku mendengar kalimat itu. Dari Rudi, Zul, Suzie dan yang lain. Aku memang titik lemah. Tapi masih ada semangat di hatinya.

Pos 2 masih belum kelihatan. Tanpa terasa, hari mulai benar2 gelap. Tapi kami tak boleh berhenti sebelum mencapai pos 2. Karna konon jarak pos 2 ke pos 3 dan ke puncak cukup jauh. Kami ingin melihat puncak sehingga harus siap menempuh medan berat ini dalam kegelapan. Jalan semakin curam, sesekali melewati jurang di sisi. Donni dan Sri menungguku di atas sebuah tikungan terjal.

Donni menyodorkan botol minuman padaku. kubasahinya tenggorokan sambil bersandar di cadas tempet mereka berdua duduk. Pandangan kami mengarah ke kerlap-kerlip lampu jauh di kaki gunung. Pernahkah kau melihat sejauh ini di Jakarta? Atau bahkan seumur hidupmu? Aku menghela nafas panjang. Teringat saran2 Lina sobatku. Teringat Rahma yang tak pernah memahami semua perjalananku.

"Lanjut yuk!", Kataku.
Donni berdiri dan melanjutkan perjalanan. Kami harus melewati gorong-gorong yang dalam dan panjang. Gorong-gorong setinggi orang dewasa yang sempit dan licin. Semak2 berduri tajam di atasnya terjalin rapat membuat selokan air ini perangkap yang sempurna. Senter yang kami bawa hanya mampu menerangi beberapa langkah ke depan. Tak ada yang menyadari selepas pos 1 tadi hidungku mencium bau wangi. Entah apa yang menunggu di atas sana. Kami hanya bisa maju dan maju, menerabas masuk suaka terakhir Harimau Sumatera ini.

***

"Inilah pos 3", ujar Zul kepadaku. Kami baru saja melewati gorong2 aliran air yang jauh lebih dahsyat dari semalam. Kini di hadapan kami menunggu jalur berbatu batas vegetasi. Tempat yang membuat orang jeri melihat puncak.
"Ayo Zul lanjut!" aku bersemangat.

Budi dan adiknya memimpin paling atas, kemudian Zul, Suzie, Doni, Sri, aku dan Rudi di belakang. Langkah jadi lebih pendek dari sebelumnya. Aku seperti pecundang, berhenti beberapa menit untuk sekedar maju satu atau dua langkah. Tapi itu perjalanan terindah. Seluruh keindahan kerinci terhampar dibawahnya.

***

Rio menghitung dalam hati. "Satu, dua, tiga, empat lima!" berlari 5 langkah ke atas lalu berhenti dalam posisi merangkak. Angin bergerak menggelindingkan batu-batu kerikil jatuh ke bawah. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam!" Rio terus berhitung. Budi yang mendaki paling cepat keliatan seperti titik olehnya. Tapi puncak sudah dekat. Aroma sulfur dari kawah mulai terasa menyengat. Bahkan asap belerang sesekali menuju arah mereka.

***

Tepat jam 2 siang mereka semua berhasil mencapai puncak. Budi dan adiknya, disusul Zul, Donni, Sri, Rio dan Rudi. Ia terduduk di bibir kawah yg tipis. Terkesima oleh dalamnya kawah seperti sumur yang amat dalam. Dinding-dindingnya dipenuhi lajur2 seperti cincin lapisan lahar masa silam. Dengan berhati2 mereka berjalan ke bibir kawah yg dipercaya sebagai titik tertinggi untuk berfoto.

Mereka terdiam memandang ke kedalamannya. Ah siapa yang tak gentar melihat kekuatan gunung tertinggi yang menjaga pulau ini? Angin membawa asap tebal belerang menutupi puncak. Ini saatnya berpisah dengan sang Kerinci. Rio menatap ke atas terakhir kalinya. Dengan berselempang tripod dan kamera ia berjalan cepat menuruni puncak.

Perjalanan esok akan lebih panjang baginya, menuju Danau Gunung Tujuh, kembali ke Jakarta lalu menuju lokasi proyeknya di sebuah pulau. Proposal yang sukses untuk melupakan orang yang dicintainya.


Bogor, 30 November 2005.
Maklum ye kalo ada salah2, soale gak punya catetan.

Tuesday, June 14, 2005


Foto lama waktu ke Gn Rinjani. Diambil di Plawangan Senaru jam 1an gitu deh, pakai jasa Tripod. Hasil scan dari cetakan Kodak Gold ASA 200. Di retouch dikit buat ngilangin botol aqua deket tas pakai stamp tool. Data teknis lain lupa :-p  Posted by Hello

Ngecamp di Ranu Kumbolo Posted by Hello

Monday, June 13, 2005

Menuju sang Mahameru

Kami sudah menduga kabut akan menghambat perjalanan kami. Tapi tak seorangpun bisa menyangka kabut datang demikian tebal menutupi jalan didepan kami. Langit malam yang indah masih bisa terlihat disela2 pucuk pepohonan, tapi cahaya bulan tak mampu menembus asap putih yang mengambang memenuhi permukaaan tanah. Dengan berbekal nyala senter kami berjalan tersaruk-saruk melewati jalan setapak yg tertutup semak belukar. Petugas di pos pendakian mengatakan kami salah satu tim pertama yang mendaki Semeru musim ini, setelah beberapa bulan ditutup untuk pemulihan ekosistem.

Kaki Rio menendang-nendang kedepan, sekan meraba2 jalan yang ada dibawah rerumputan. Senternya sudah sejak tadi meredup karena basah. Namun ia tetap berjalan cepat menyusul rekan-rekan yang berada satu bukit di depan.

"Ooooi", Rio meneriakan sesuatu.
"Ooooi", Suara senada menyahut didepan dan menyusul satu lagi di belakang. Hatinya sedikit tenang. Ia tidak terpisah terlalu jauh dari yang lain. Ia bukan orang bernyali kecil, tapi petugas jagawana tadi mengingatkan adanya jejak tahi macan tutul di daerah ini beberapa hari yang lalu. Meski naluri dan indra binatang akan menjauhi manusia, tapi ia tak mau mengambil banyak resiko. Apalagi di sebelah kiri mengangga jurang yang dalam dan dipenuhi belukar.

Celana nya basah hingga ke pinggang oleh embun, kaus yg dikenakannya juga basah kuyup oleh keringat. Dibetulkannya topi baseballnya sebentar lalu beranjak maju. Ia akan menaklukan satu tanjakan di depan baru mulai beristirahat. Terlihat lamat-lamat beberapa cahaya di atas. Rio bergegas. Rupanya Rudi dan kawan-kawan sedang beristirahat juga. Dijatuhkannya ranselnya, lalu duduk berkeliling.

"Sedikit lagi nyampe Jack. Tuh tinggal naek dikit lagi trus belok kanan sampe di Ranu Kumbolo", Razak menyodorkan sebotol aqua. "Kita ngecamp di Ranu Kumbolo, baru besok lanjut ke Arcopodo. Kalo nggak sempet paling kita ngecamp di kalimati".

Rio mengangguk sembari mengatur nafasnya pelan-pelan. Kondensasi mengubah kabut menetes menjadi gerimis besar-besar. Kami berlima masih enggan bangkit, dan berbincang2 sambil mengunyah "kuncian" ala kadarnya. Dingin mulai merasuk kulit karena kami tak bergerak. Sesekali kami tergelak saling mengejek.

"Oooi", suara Joe terdengar begitu dekat. Pantangan memanggil nama kawan kita di hutan rimba. Takut danyang, peri perayangan mengenalinya dan meniru teriakan kita untuk menyesatkan.

Rudi bangkit mengangkat ransel, "Yuk lanjut, jam dua belas nyampe di Ranu Kumbolo, Joe udah deket tuh". Kami melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, terlihat hamparan kabut di lembah yang luas. Warna putihnya begitu misterius dikaki kegelapan malam. "Itu Ranu Kumbolo, pesanggrahan sang Puntodewo".

Rio terpana. Sementara angin bertiup menyusuri lereng turun menuju lembah. Tubuh kami yang panas kelelahan tak dapat lagi menahan dinginnya hawa gunung. Danau Ranu Kumbolo terbentang diatas ketinggian lebih dari 2600m dpl. Konon di saat hari-hari terdingin kemarau, kita akan melihat salju turun.

Di kejauhan terlihat api unggun, lampu-lampu dan kompor para pendaki yang sedang ngecamp. Inilah saat terbaik menikmati kopi panas dan makanan hangat sembari mendirikan tenda dan mengatur tempat menggelar kantung tidur yang nyaman. Rio tak tahan lagi, dengan sisa-sisa nafasnya ia berlari menuruni lembah yang licin karena embun. Beberapa kali ia terpeleset, namun ia bangkit dan menyusul sobatnya.

"Kita jangan ngecam disini man! Lanjut ke depan lagi, ada pos pendakian. Kita ngecamp di dalem pos aja kalo masih ada tempat", seru Hanif.
"Ayo deh, buruan. Gila dingin banget nih!", jawab Rio menggigil. Dalam kondisi seperti itu, memang lebih baik terus bergerak agar tubuh tetap panas.

Akhirnya tepat tengah malam mereka tiba di pantai Ranu Kumbolo. Jarak pandang hanya beberapa meter. Rio dkk segera membongkar ransel dan mendirikan tenda. Yang lain menyalakan kompor dan mulai menjerang air untuk membuat kopi dan mie instant. Telapak tangan kami kebas kedinginan. Begitu tenda tegak berdiri, kami berganti pakaian. Hanya sepatu yang terpaksa tetap kami kenakan. Setelah makan, baru bisa dilepas untuk beristirahat masuk kantung tidur hingga pagi.

***

Ini bukan perjalanan pertama Rio. Sebelumnya ia pernah menjejakkan kaki ke beberapa puncak gunung. Tapi Semeru, atau disebut Mahameru adalah tanah tertinggi di tanah Jawa. Ia belum pernah menjadi siapa-siapa sebelumnya. Barangkali kali ini ia bisa menjadi yang tertinggi. Ia ingin merasakan kemewahan itu meski hanya sesaat.

Namun didalam lubuk hatinya tertanam perasaan yang mendalam. Harga diri Rio sedang berada di titik terendah. Cintanya kepada gadis yang menarik hatinya tak bertepuk. Sesungguhnya Rahma belum lagi memberikan jawaban. Gadis itu ada hati dengannya, tapi ia merasa masih terlalu muda. Ia perlu waktu beberapa saat untuk menikmati masa remajanya sebelum mengikatkan cintanya. Rio bimbang, rasa takut akan kehilangan Rahma mendominasi pikirannya. Ia telah kecewa sebelum tau jawaban sesungguhnya.

Pendaki adalah segelintir makhluk romantis. Mereka memang bukan pesolek yang mempesona lewat rupa, atau penyair yang merayu lewat kata. Mereka anak alam yang meluapkan cinta dengan melihat keindahan Tuhan dari dekat. Semilir angin gunung adalah jatidirinya yang sejati.

"Rio, ketenangan itu adanya disini nih, di dada loe sendiri, di hati loe", ucap Lina, sobat karibnya tersenyum. "Bukan jauh-jauh naek gunung, bikin capek. Cari bahaya, cari masalah."

"Aku setuju Lin, tapi aku nggak betah disko, main bilyar atau nongkrong di kafe berlama2 untuk menghilangkan penat disini," jawabnya. Ia meletakkan telapak tangannya ke dada. "Saat ini aku ingin pergi jauh, melihat dunia dari puncak gunung. Mungkin itu terdengar seperti melarikan diri dari kenyataan buatmu. Tapi itu satu2nya hal yang bisa menghiburku saat ini."

Lina terbahak, ia memanggil pelayan dan memesan minuman buat Rio. "On my treat, friends". Begitu katanya.

***

Semua sudah berkemas. Rio dan kawan-kawan menyempatkan diri berfoto di latar Ranu Kumbolo. Sinar matahari membias diseberang, pantulannya membentuk huruf X di atas air. Cuaca sangat bagus, langit biru bersih menyinari tebing-tebing hijau yang melingkari danau ini. Beberapa pemancing menarik kailnya yang digigit ikan mujair. Seorang bapak berteriak gembira, mendapatkan ikan karper yang cukup besar.

Jam 10 siang, kabut sesekali menutup permukaan air. Kami segera berangkat. Perjalanan ini dimulai dengan mendaki Tanjakan Cinta. Sebuah tanjakan panjang yang melindungi padang savana luas, Oro-oro Ombo disebaliknya.

"Nanjaknya pelan-pelan aja. Jangan sampai berhenti", Mas Boed berteriak. Konon siapa yang dapat melewati tanjakan ini tanpa berhenti, ia akan dikaruniai cinta. Dan sejak bertahun-tahun para pendaki menapaki jalurnya, hanya sedikit yang bisa mencapai puncaknya tanpa istirahat.

Tidak juga buat Rio. Ia melepaskan ranselnya untuk minum dan beristirahat sejenak setibanya di puncak. Namun siapapun yang pertama kali menciptakan kisah itu, pasti ia orang yang beruntung karena dapat menikmati pemandangan dibalik tantangan itu. Oro-oro Ombo dipenuhi bunga2 hutan dan rumput setinggi badan dilatari pokok-pokok pinus kaki Semeru. Dari kejauhan terlihat terlihat sobatnya meyusuri jalan setapak membelah padang. Disinilah salah satu padang perburuan harimau jawa di jaman dahulu.

***

"Hayoo jack dikit lagiiii!", Ardi berteriak memberi semangat. Mereka memulai "summit attack" sejak jam satu malam tadi dari kali mati dimana mereka membuka camp disela pohon pinus gunung. Memang bukan tempat yang benar-benar ideal. Namun jauh lebih baik dari padang terbuka di kali mati. Apa boleh buat, rencana mereka membuka camp di Arco Podo terpaksa diurungkan. Beberapa pendaki yang baru saja turun mengabarkan camp di Arcopodo penuh. Hampir tak mungkin membuka tenda untuk 15 orang lagi. Setelah makan malam, semua beristirahat, sebagian terpaksa bergadang karena harus bangun lebih awal untuk menyimpan waktu lebih banyak untuk muncak. Karena waktu sangat terbatas, lepas jam 9an arah angin berubah dan membawa asap letusan kawah yang beracun ke puncak mahameru. Tak ada yang benar2 bisa beristirahat tenang malam itu.

Berbekal makanan minum seadanya seluruh rombongan muncak jam 1 malam. Kali ini mesti ekstra hati2, jalur ke Arcopodo banyak yang longsor. Salah pijak akan langsung terguling ke sungai lahar. Kepala terantuk batu, nyawa taruhannya. Lepas arcopodo, kami melewati Kelik. Salah satu titik paling berbahaya menuju puncak Semeru. Tengkuk bergidik dan hati menciut melihat nisan "in memoriam" begitu banyaknya. Kelik adalah salah satu korban, ia tak pernah diketemukan.

***

Rio melihat sebuah celah besar ditebing. Ia harus mencapai celah itu. Ia menghitung kuat kuat dalam hati.

"Satu, Dua, Tiga!", tiga langkah naik, dua langkah merosot turun. 1,5 kilometer dari Cemoro tunggal, batas vegetasi, 7 jam naik tapi ia belum lagi mencapai puncak. Batu-batu lahar sebesar kerbau dan abu vulkanis yang halus dan licin sangat tak bersahabat. Tangannya membeku memegang abu dan batu yang dingin lembab.

Ia menengok ke bawah, Doni tak kelihatan. Ia tertinggal jauh. Mereka tak beruntung dapat melihat matahari terbit di puncak. Tak apa, masih tersisa barang dua jam untuk bisa ke sana. Rio berlari merangkak, membenamkan bootsnya di abu vulkanis yang halus. Sambil sesekali merunduk menghindari asap dan kerikil yang terlontar dari letusan kawah.

"Selamat Rio! Kamu berhasil mencapai puncak tertinggi di Jawa!", Mas Boed menjabat erat tangannya. "Mulai saat ini puncak gunung yang lain di tanah ini tak terlalu berarti!"

Rio tak mampu berkata-kata. Mungkin ia ingin menangis, tapi ia hanya bisa tertawa gembira. Ia jabat tangan semua sobatnya dan pendaki-pendaki lain. Dengan tersengal, ia berjalan cepat mengelilingi puncak Mahameru. Ia pandangi seluruh Jawa dari langit. Seluruh sobat menariknya berfoto didepan nisan Soe Hok Gie dan letusan Jonggring Saloko.

Tepat jam sembilan semuanya sudah mencapai puncak. Perjalanan panjang menuju rumah menunggu mereka. Satu-satu semuanya menuruni gunung. Rio menghirup angin dalam-dalam dan tersenyum.

"Rahma, aku mencintaimu".

Angin bertiup perlahan membawa pesan indah itu. Begitu ikhlas tanpa mengharap balasan.


Jakarta, June 13, 2005

Saturday, June 11, 2005

Si Lugu

"Loe mo beli mobil apa mo baca nah ini dia Gus?" kata Irma sambil tertawa. Tangannya membalik-balik halaman koran yang tampak caur dengan warna tinta yg semu. Aku tertawa terbahak-bahak lalu menekan gas melewati lampu merah.
"Iseng2 aja Ma, liat2 iklan, duit sih kagak ada, hahaha", jawabku sekenanya. "Sekedar nyari ide aja, loe tau kan gw suka dagang..."
Irma ikut tertawa mendengar jawabanku. Matanya masih mencari-cari apa yang menarik di koran yang aneh itu.

***

Yah ini memang koran aneh, perpaduan antara berita kriminal dan iklan baris yang tak ada habisnya. Segala barang ada di dalamnya. Mulai dari handphone, mobil atau motor bekas, hingga tanah dijual. Bagi yang penat dengan kehidupan kota, silahkan juga lihat iklan pijat asoy atau mencari paranormal biar cepat kaya dan tersohor. Bahkan beberapa kali aku membaca sebuah komentar yang mengkritik masalah korupsi dari sebuah kolom yang dikelola oleh seseorang yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan yang sangat korup.

Sayang lembergar semakin menciut. Padahal sudah begitu lama kami membacanya. Rasanya lembergar satu2nya yang begitu setia menghibur setiap hari saat ku kecil dulu. Masih teringat penjual koran yang setiap pagi mengantarkan koran ke rumah dengan sepeda jengkinya. Anak muda yang berusaha membayar uang kuliahnya dari berjualan koran. Dan pedagang2 sayuran di depan rumah yang berebutan membaca si Doyok. Sebuah satir kecil terhadap kondisi saat itu.

Kini, orang membeli poskota hanya untuk iklannya, nah ini dia atau liputan khusus ke tempat2 klenik atau mesum di pojok kiri bawah. Berita kriminal, bencana, atau berita heboh lainnya diexpose besar2 di halaman muka. Intinya tentang sulitnya cari duit, keruwetan hubungan antar manusia, seks, dan bobroknya pemerintahan. Sebuah koran yang sesuram penampilannya.

Namun aku tetap sesekali membelinya. Ia seakan menjadi sebuah rutinitas yang unik dari hari-hariku yang membosankan.

Seperti pagi ini. Udin dkk, penjual koran di perempatan cawang bawah berlarian mengejar mobilku yang melambat.

"Poskota bos? Atau lipstik hahaha..?", Mulutnya tertawa lebar karena berhasil sampai lebih dahulu di samping ku. Tangan kanan menyodorkan poskota, sedang yang satunya mengangkat tumpukan koran didekapannya untuk menunjukkan pose hot seorang wanita dari sebuah tabloid. Ia berusaha menggodaku.

"Berapa? 1000 kan?", tanyaku sambil tersenyum.
"1500 boss, gak dapet 1000", katanya.
"Ah elo tuh, ama langganan gitu, udah nih 1000", kuambil koran di tangannya. Ia hanya tertawa sambil meluruskan lembaran uang itu.

Kami sering mengobrol, meski waktu kami singkat. Dengan Udin atau kawan2 yang lain. Pembicaraan basa basi saja. Tapi bisa membuat kami tertawa atau sedikitnya tersenyum. Beberapa waktu kemudian, uang seribu rupiah itu menjadi cukup berharga. Meski aku tak membacanya, aku juga tak merasa menolong mereka. Kurasa aku hanya berusaha mencuri hiburan.

***

Dulu kupikir, berita2 di poskota bohong belaka. Sekedar kebisaan redaksi membuat cerita agar korannya laris. Tapi kini seringkali mengejutkan. Karena apa yang kubaca disini, kemudian diliput oleh berbagai stasiun TV. Hal itu membuatnya begitu nyata dan dekat dengan kehidupan.

"Criiing!", sebuah pop uw window muncul di layar ku. Privat message dari Linda sobatku di UI."Oi!", begitu isinya dan kujawab dengan "Oi!" juga.
"Gw mo cerita nih! Temen gw lakinya kawin lagi! Loe tau gak gimana caranya cerai?", lanjutnya.
"Detilnya gw gak tau, tapi kayaknya mesti ke pengadilan agama. Loe tanya2 aja dulu, di depok kan ada pengadilan agama", ketikku.
"Temen gw bego nih, suaminya kawin lagi ama penjual jamu keliling, dan taunya sekarang udah punya anak. Emang sih sama temen gw gak punya anak. tapi gw saranin minta cerai aja", katanya lagi."Tapi dari dulu emang mesum tuh lakinye. Semua orang kantor dah tau. Malah pernah kepergok bawa cewe di mobil."
"Laki gitu mah ceraiin aja".
"Thanks ye", percakapan kami tak panjang, Linda harus segera pergi karena dipanggil bossnya.

***

"Criiiing", sebuah pop up windows muncul lagi dari Linda.
"Gw abis dr pengadilan agama nih, nemenin temen gw masukin gugatan cerai", katanya. "Bisa kok ternyata, meskipun suaminya gak mau nyeraikan dia".
"Loe tuh kerajinan amat nemenin orang cerai segala?", ketikku.
"Lah gw kan sekedar menolong, pengen berbuat baek? Lagian gw udah ijin ama Hendro", Linda ngeyel.
"Eh, temen sih temen tapi yg sewajarnya aja. Kalo loe susah belon tentu dia mau nolong", kataku.
"Manusia kan makhluk sosial", Linda masih ngeyel.
"Iye tau, itu emang baek. Tapi inget loe orang biasa. Loe kan punya anak yg masih kecil2 pula. Lagian loe yang cerita sendiri, temen loe itu dulu kalo dikasih tau malah suka ngomong ke suaminya sampe dia marah ama loe. Kejadian gitu kan kebodohannya dia juga. Tar kalo suaminya pikir loe yg nyaranin cerai berabe loh! Bantu supaya dia mandiri aja lah. Ati2 jaman sekarang orang aneh2."
"Iye juga sih", Linda manggut2 dari jauh. "iya deh dek, thanks. Gw udahan dulu ye, Hendro jemput nih". Sekilas kemudian Yahoo messengernya off.

Aku bersiap pulang juga. Kulipat poskota di meja kerjaku.
"Pedagang kelontong mengadu ke Propan Polda Metro: Bininya dikumpul keboi oknum Polisi.39 Bacokan akhiri hidup supir angkot. Motif diduga dendam."

Wednesday, May 25, 2005

My Religion

My religion is very simple. My religion is kindness
- Dalai Lama

Thursday, May 19, 2005


Panorama khas Taman Nasional gunung Gede - Pangrango pakis hutan, paku dan tanaman epifit lain seperti anggrek. Foto diambil dalam perjalanan pulang antara Kandang Batu - Air Panas. Kamera King Regula IIId Rangefinder. April 2005.  Posted by Hello

Junko Tabei

Suatu hari, seorang gadis mungil diajak mendaki gunung oleh guru disekolahnya. Saat itu ia genap berumur sepuluh tahun. Karena postur tubuhnya yang tak seberapa, gadis mungil itu dianggap rapuh oleh teman sebayanya. Namun perjalanan hari itu ke Mt. Asahi dan Chausu, tempat yang begitu tinggi dan indah, kemudian mengubah hidupnya. Siapa sangka 26 tahun kemudian ia menjadi wanita pertama yang mencapai puncak dunia, Mt. Everest.

Tahun 1939, Junko Tabei lahir di Prefektur Fukushima, semacam kota kabupaten di Jepang. Semasa kuliah di Showa Women's University dimana ia belajar Sastra Inggris, ia aktif dalam kelompok pendaki gunung atau semacam pecinta alam di sini. Kemudian, setelah lulus di tahun 1969, ia mendirikan klub pendaki wanita, Ladies Climbing Club: Japan(LCC).

Junko Tabei sangat mencintai keindahan alam pegunungan. Lagipula mendaki bukanlah olah raga kompetisi, sehingga ia dapat menekuni perjalanan selangkah demi selangkah menurut kemampuannya sendiri. Mendaki juga bukan pacuan, baik dengan orang lain, dengan waktu atau alam. Ia adalah proses menikmati alam itu sendiri. Itulah yang mebuatnya mencintai olahraga ini.

Di tahun 1975 setelah menempuh latihan berat, Junko memimpin pendaki wanita Jepang mendaki puncak Everest. Pendakian ini sejak awal merupakan perjuangan yang maha berat. Ia harus menghadapi banyak penolakan dari pihak sponsor. Zaman itu tak ada yang percaya bahwa wanita bisa mencapai tempat tertinggi di bumi, Mt Everest. Perusahaan demi perusahaan menepis Junko. Namun hal itu tidak mematahkan semangatnya. Hingga pada akhirnya, surat kabar Jepang Yomiuri Shimbun dan Stasiun TV Nihon Television bersedia mendukung ekspedisi wanita ke Everest.

Dari Jepang mereka bertolak ke Kathmandu. Junko dan kawan-kawan merekrut sembilan orang sherpa untuk memandu pendakian melalui rute yang sama yang dilalui oleh Sir Edmund Hillary dan Tenzing Norgay di tahun 1953 silam. Namun tantangan tak berhenti menghadang. Di awal May, tepatnya 4 May 1975 ketika Junko, empat orang anggota tim dan sherpa sedang beristirahat di kemah pada ketinggian 6300 meter terjadi bencana Avalanche. Seluruh tim tertimbun salju dan bongkahan es. Junko sendiri sempat jatuh pingsan selama beberapa menit sebelum salah seorang sherpa menyelamatkan nyawanya dengan menggalinya keluar dari timbunan salju.

Namun wanita mungil itu tak kenal menyerah. Sejak Avalanche itu Junko bahkan semakin bersemangat untuk menaklukan gunung itu. Setelah memastikan semua anggota timnya selamat mereka melanjutkan pendakian. Junko mendaki hingga badannya penuh luka, memar dan hampir tak mampu lagi berjalan. Namun ia memimpin tim nya dengan merangkak, merayap, dan berjalan dengan lututnya. 12 hari setelah bencana Avalanche itu, Junko Tabei menjejakkan kakinya di titik tertinggi Everest. Ia menjadi wanita pertama di dunia yang mencapai puncak dunia.

Namun prestasi hebat itu belum menghentikannya, ia bercita-cita mendaki gunung di seluruh negara di dunia. Pada usia ke 53 ia telah mendaki 69 gunung di berbagai negara. Dan ia juga tercatat sebagai wanita pertama yang mencapai Seven Summit yaitu tujuh puncak tertinggi di dunia.

Meskipun tak banyak yang mengetahui namanya, langkah mungil Junko Tabei, memberi makna bagi tekad dan kekuatan bagi kaum wanita. Sebagaimana layaknya wanita Asia ia juga sangat mencintai keluarganya. Dalam berbagai kesempatan Junko mendaki gunung Fuji dan beberapa gunung lain di jepang bersama suaminya. Kini di usia tuanya, ia melanjutkan kecintaannya pada alam dengan aktif dalam Himalayan Adventure Trust of Japan, sebuah organisasi global untuk kelestarian gunung.


Diterjemahkan dan disarikan dari berbagai sumber.

Hari Kartini dah lewat, tapi gak papa kan kalo gw dedikasikan buat kaum hawa di Indonesia? :-)

Friday, May 06, 2005

Persistence

"Nothing in the world can take the place of persistence.
Talent will not; nothing is more common than unsuccessful men
with talent. Genius will not; unrewarded genius is almost a
proverb. Education will not; the world is full of educated
derelicts."
--Calvin Coolidge

Thursday, April 14, 2005


Beristirahat sejenak di kaki gunung Lawu. Perjalanan masih panjang, setapak demi setapak, Insya Allah kami sampai ke puncak Hargo Dumilah. Maret 2005. Posted by Hello

Friday, April 01, 2005


Sorry potretnya rada gelap. Cuma ingin menggambarkan keindahan alam Indonesia. Segala kelelahan terhapus sudah. Gunung Lawu 3265 mdpl Maret 2005. Posted by Hello

Monday, March 21, 2005


Sebuah bukit di kaki gunung Lawu.  Posted by Hello

Tuesday, March 15, 2005


Menangkap keindahan dalam perjalanan menuju pos 3 Gunung Lawu 3.265 m dpl.  Posted by Hello

Wednesday, January 26, 2005

Art

"Art washes from the soul the dust of everyday life."
~ Pablo Picasso