Tuesday, December 30, 2008

Daftar NPWP

Sehari tadi ke kantor pajak buat daftar NPWP. Motoran ke cawang, taunya harus daftarnya ke KPP Pasar Rebo. Di Cawang dapet nomer 684, liat antriannya ngeri banget. Untung juga disuruh ke Pasar Rebo. Tapi ternyata di sana juga sama aja. Antrian panjang.

Ambil formulir, tapi gak bawa pulpen. Bodohnya :D Mau pinjam gak bisa karena semua orang lagi pada sibuk ngisi juga. Ada yang ngambilin formulir temen sekantor. Abis itu menyerahkan formulirnya ke petugas.

Nggak taunya cepet juga. Mereka hanya mendata dulu. Begitu balik dari warteg, duduk sebentar eh sudah dipanggil. Kartunya udah jadi. Hebat juga ya. Ini pasti karena ITnya sudah lumayan baik.

PR berikutnya, gimana bayar pajaknya tahun depan. Pekerjaan sebagai kuli kontrak kan nggak pasti. Kalo kontrak abis, siap2 cari ganti. Apa pemerintah bisa memfasilitasi hal2 kayak gitu? Pasti banyak pekerja kelas rendahan yang ikut susah. Saya agak skeptis ttg kebijaksanaan pemerintah terhadap buruh. Mengingat selama ini yang saya alami sendiri, hak2 buruh berada di nomer kesekian.

Mau gimana lagi, idealnya memang harus bayar pajak. Biar negara ini gak makin bangkrut karena pendapatan negaranya abis dipake piknik anggota DPR melulu atau dikorupsi pejabat negara lainnya. Dan kaum buruh yg bekerja di perkotaan nggak akan bisa menghindar juga dari jangkauan tangan pajak.

Jadi sementara ini berpikirpositif aja bahwa saya udah beritikat baik menyumbang dana pembangunan. Mungkin ini saatnya mengembalikan dana bergulir yang saya pakai untuk kuliah di UI dulu waktu masih bersubsisidi. Entah apakah pada saatnya nanti anak2 saya bisa kuliah di UI juga?

Siapa yang tau?

Setelah menyimpan kartu NPWP ke saku. Saya ngukur jalan, dari Pasar Rebo, Kampung Rambutan, Pondok Gede, Bekasi, lalu berputar kembali lewat jalur Bantar Gebang, Cileungsi, Cibubur, Kranggan, lalu rumah. Fiskal 2,5 juta nggak ngaruh buat saya. Karena jarak jelajah saya juga cuma segini kok :)

Wednesday, December 17, 2008

Insiden Lempar Sepatu

Hihi, lucu juga baca berita2 yang mengikuti insiden lempar sepatu pak wartawan kepada pak Bush. Mulai dari yang langsung mebuat game-nya, menghadiagi gadis, sampai ada yang menawar sepatu 1,1 Miliar! Kenapa nggak disumbangin untuk keluarga pak wartawan aja? kan kalo saya liat di tivi keliatan menderita juga.

Kalo saya kepikir, nanti lama2 bakal ada demonstrasi lempar sepatu ke kedutaan amerika..! =))

Akhirnya dapet pelajaran juga kan? :D

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/18/09374135/Presiden.Brasil.Jangan.Melempar.Sepatu

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/18/1007429/Pelempar.Sepatu.ke.Bush.Dihadiahi.Gadis

http://www.kompas.com/read/xml/2008/12/17/09214533/Sepatu.Dilemparkan.ke.Bush.Ditawar.Rp.1.1.Miliar

Friday, December 05, 2008

Tools dasar untuk mengelola website

Pada tulisan ini saya berasumsi anda sudah membaca tulisan saya yang sebelumnya. Jadi anda sudah mendaftarkan nama domain yang anda inginkan dan menyewa space di webhosting. Dengan demikian anda akan dapat mempraktekkan semua penjelasan saya nanti langsung ke server yang anda sewa. Tenang, jangan takut duluan sama istilah2nya, ikuti saja petunjuk saya. Semuanya bakal jadi gampang.

Oh ya, tools alias software yang saya jelaskan di sini merupakan tools yang saya sering pakai. Saya tidak akan menjelaskan software seperti Macromedia Dreamweaver atau Microsoft Frontpage. Karena saya akan merekomendasikan beberapa Content Management Aplication gratis yang dapat dengan mudah anda unduh dan modifikasi sedikit untuk kemudian anda gunakan sebagai aplikasi web anda.


FTP Client

FTP kepanjangannya adalah File Transfer Protocol. Kata kuncinya adalah protocol, kurang lebih kita artikan sebagai "jalur".

Bayangkan anda sedang mengelola toko swalayan. Adabagian dari toko anda dimana barang2 dipajang di rak display. Dan ada bagian belakang, gudang dan kantor dimana semua persiapan sebelum barang dipajang, diberi label harga, hingga mengelola laporan keuangan.

Tentu saja anda ingin pengunjung melihat penataan yang indah dan teratur. Agar mereka dapat dengan mudah menemukan barang yang dibutuhkan, kemudian membeli sesuatu dari toko anda. Anda tak ingin mereka melihat betapa rumitnya pekerjaan menyiapkan barang di gudang belakang. Pintu depan toko anda mungkin saja sama besarnya. Tapi di depan, disiapkan untuk menangani volume pengunjung yang banyak. Seementara di belakang, disiapkan untuk lalulintas barang yang besar.

FTP adalah pintu gudang. Sementara Http adalah pintu depan dimana pengunjung akan mengakses website anda. FTP clients adalah software yang anda gunakan untuk bongkar muat file dari komputer anda ke/dari server yang anda sewa di webhosting.

Ada banyak software FTP yang gratis. Anda bisa mengunduhnya dari download.com. Cari saja dengan keyword "FTP". Contohnya coreftp.com, filezilla-project.org dan lain2.

Notepad dan Wordpad

Notepad dan wordpad adalah software pengedit text atau text editor. Bila merujuk dari wikipedia, notepad biasanya digunakan untuk mengedit system file. Karena ia mengedit text only, tidak menyertakan tag format atau style. Biasanya saya gunakan untuk mengedit file konfigurasi atau file yang diberi nama "config.*". Bisa berupa config.php atau berextention lainnya.

Nanti bila kita sudah sampai ke pelajaran, bagaimana menginstal aplikasi Content Management System seperti Joomla, pasti kita akan bertemu file configurasi bernama config.* tadi.

Wordpad, pengolah text yang lebih canggih dari notepad. Mungkin lebih mendekati pengolah kata seperti MS Word, namun lebih sederhana. Saya sendiri agak jarang mengedit text yang mengharuskan saya menggunakan wordpad. Karena Notepad sudah mencukupi.

Tapi ada saja text yang cukup panjang sehingga mengharuskan saya membukanya dengan Wordpad. Tidak usah saya jelaskan lebih jauh tentang aplikasi ini, silahkan membuka keterangannya di http://en.wikipedia.org/wiki/Wordpad.


Adobe Photoshop

Adobe Photoshop adalah aplikasi pengolah citra. Dengan Adobe Photosop(PS) anda dapat mengolah gambar untuk keperluan website anda. Biasanya kita membutuhkan logo untuk reperesentasi identitas lembaga anda. Photo2 pendukung content yang harus ditata ulang ukuran dan besar filenya. Juga mempertajam atau menonjolkan aspek tertentu dari gambar yang akan diupload ke website.

Bila anda kesulitan mendapatkan photoshop karena harganya cukup mahal. Anda bisa menggunakan aplikasi lain yang tersedia gratis di internet. Misalnya GIMP atau Google Picasa. GIMP(http://en.wikipedia.org/wiki/GIMP) tidak hanya tersedia bagi pemakai linux, kini sudah ada juga yang berbasis windows. Sejelek-jeleknya nasib, anda bisa menggunakan online photo editing software untuk sejumlah fungsi dasar seperti meresize, bright dan contrast dan lain-lain. Lihat http://www.techcrunch.com/2007/02/04/online-photo-editing-overview/.

Ingat, elemen gambar adalah aspek yang sangat penting bagi sebuah website. Gambar dapat membuat suatu cerita menjadi lebih hidup. Picture paints a thousands words. Jadi, alokasikan sebagian waktumu untuk mempelajari program editing gambar.

Saya kira ketiga aplikasi ini sudah cukup. Dulu ada satu aplikasi yang disebut telnet atau remote login. Gunanya untuk mengakses server yang kita sewa dari jauh. Dari situ kita bisa merestart server atau database dari jauh. Namun sekarang akses ini umumnya tidak diberikan lagi oleh webhosting. Bila kita ingin merestart, tinggal menghubungi tecnical support saja. Mereka akan membuka jalur komunikasi berupa telepon, email, Yahoo messenger atau Googletalk. Serahkan semuanya kepada mereka. dengan demikian, sebagian ancaman security akan ditanggung oleh mereka.

===================

Next, mencari aplikasi CMS.....

Bagi yang udah master, tolong kasih feedback. Kali aja ada yang kurang2.


Tuesday, December 02, 2008

Al Qaf

<br />  6. Apakah mereka lalai sehingga tidak melihat langit yang ditinggikan tanpa tiang di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya dengan bintang-bintang, dan dalam langit itu tidak ada retak-retak yang membuatnya cacat.(1) ---------------(1) Langit adalah semua yang berada di atas kita. Di dalamnya terdapat benda-benda langit yang beterbangan seperti bintang-bintang dan planet-planet. Semua itu berjalan dengan sistem yang sangat teliti dan keseimbangan yang sangat sempurna. Demikian pula, benda-benda tersebut selalu menjaga posisinya sesuai dengan hukum gravitasi, sehingga tidak akan terjadi kekacauan. <br />

6. Apakah mereka lalai sehingga tidak melihat langit yang ditinggikan tanpa tiang di atas mereka, bagaimana Kami meninggikan dan menghiasinya dengan bintang-bintang, dan dalam langit itu tidak ada retak-retak yang membuatnya cacat.

Have they not then observed the sky above them, how We have constructed it and beautified it, and how there are no rifts therein ?

<br />  7. Kami menghamparkan bumi, lalu Kami menancapkan gunung-gunung di atasnya dengan kokoh, dan Kami menumbuhkan segala macam tumbuhan yang indah dipandang mata. ---------------(2) Kulit bumi terlihat tinggi pada tempat-tempat tertentu, seperti gunung-gunung, dan juga terlihat rendah pada tempat-tempat lain seperti dasar samudera. Berat bagian- bagian bumi ini sangat seimbang antara satu dengan yang lainnya. Salah satu tanda kekuasaan dan kebijakan Allah adalah dengan menciptakan keseimbangan ini dan menjadikannya tetap dengan jalan mengalirkan materi- materi bumi yang membentuk kerak bumi yang tipis yang terdapat di bawah lapisan luar bumi, maka dengan begitu terjadi aliran dari bagian bumi yang berat ke bagian yang lebih ringan. <br />

7. Kami menghamparkan bumi, lalu Kami menancapkan gunung-gunung di atasnya dengan kokoh, dan Kami menumbuhkan segala macam tumbuhan yang indah dipandang mata

And the earth have We spread out, and have flung firm hills therein, and have caused of every lovely kind to grow thereon,

<br />  8. Kami menciptakan itu semua sebagai pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang mau kembali kepada Allah dengan memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya. <br />

8. Kami menciptakan itu semua sebagai pelajaran dan peringatan bagi setiap hamba yang mau kembali kepada Allah dengan memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya.

A vision and a reminder for every penitent slave.

Taken fom:

http://www.islamic-council.com/qurani/qaf/

http://www.altafsir.com

Wednesday, November 26, 2008

Thursday, November 06, 2008

Laut

Saya suka laut, karena debur ombaknya seperti memandang alunan hamparan padi di sawah. Mengalun berulang-ulang nggak habis-habis. Angin menghibur sekali bagi orang yang duduk ditepian.

Karena saya tidak pernah tinggal di tepi pantai. Dulu sama sekali tak pernah terbayang bisa melihat laut. Ketika pertama melihat laut, agak aneh juga. Air yang seluas itu.

Tapi kadang saya bayangkan, ketika orang mencari keong, atau menyiangi rumput2 atau mencari ikan diantara rumpun-rumpun padi kok mirip yah dengan nelayan di tepi laut. Hijaunya padi seperti air di pinggir pantai yang menyembunyikan makanan buat manusia.

Dulu kalo di rumah sedang diomelin sama bapak atau ibu, saya suka duduk di galengan. Atau di dangau. Mengulas siapa yang salah sampai saya kena marah seperti itu. Ada rasa-rasa kesal juga yang terbawa ke bawah sadar saya. Cukup lama.

Yah mungkin karena banyak anak, nggak semua perhatian bisa dibagi rata. Orang tua juga kadang ada berat sebelahnya. Lebih sayang sama anak yang lebih cakep. Karena kalo kemana2 dapet pujian. Sepertinya anak cakep, ortunya kan cakep juga :) Mungkin kalo saya jadi orang tua akan begitu juga.

Begitulah. Sawah, seperti laut. Menelan segala keluh kesah dan kedukaan masa kanak-kanak saya. Ketika dewasa tumbuh mimpi2 untuk tinggal di pedesaan. Di tepi sawah, dengan air mengalir segar. Apalagi ditambah laut. Hmmm... my life will be perfect.

Manusia memang banyak rumongsonya. Menginginkan apa2 yang tidak dia punya. Lebih daripada mensyukuri apa yang sudah diraih karena kemurahan hati Tuhan.

Saya sadar kelemahan itu. Karena itu Tuhan, berikanlah pada hambamu ini hati seluas samudera, sedalam palung-palungnya. Tutur kata yang sejernih sungai-sungai di pegunungan. Kesabaran yang sedamai sawah-sawah dan anginnya yang semilir.

Sedih dan rasa sakit datang dan pergi. Namun jangan biarkan ia bersemayam dalam hati lama2. Suatu saat, bila saya bertemu lagi laut, sawah dan gunung-gunung, akan kubisikkan permohonan ini padamu, Tuhan.

Oh ya, semoga bapak dan ibuku yang sudah makin tua Kau karuniai kesehatan. Mereka salah satu sumber kebahagiaan. Kalo Kamu jadikan saya orang yang sabar, mudah2an saya bisa membuat mereka bahagia juga ;)

Sunday, November 02, 2008

Tentang Kesabaran

Ah, waktu itu aku masih belom ngerti apa-apa. Sudah masuk kelas tiga. Tapi kalau kuingat2, waktu itu aku bener2 nggak tau kalo bakal punya adik lagi. Kalau kuingat2 lagi, bahkan aku nggak tau kalo ibu lagi hamil. Yang jelas, ketika hampir waktunya bel sekolah yang terbuat dari roda kereta akan berbunyi, Mas Yono sudah berdiri mengintip di depan pintu kelas.

Bodohnya! Ibu guru memberi soal mencongak yang sangat sulit hari itu. Dia membaca soal cerita tentang pecahan dari buku Cerdas Tangkas! Buku tulis dan alat tulis sudah harus masuk tas sekolah. Dalam mencongak, kita harus memikirkan jawabannya di luar kepala. Bayangkan saja, soal pecahan, dihitung luar kepala! Tampaknya tidak akan ada yang keluar kelas lebih cepat dari lonceng roda kereta. Biarin, anak kelas 6 sudah berseliweran di luar kelas. Mereka masuk siang. tandanya, sebentar lagi lonceng akan dibunyikan....

Teng... teng... teng... Pak kepala sekolah membunyikan lonceng. Semua bersorak gembira. Ketua kelas segera menyiapkan salam. Aku berlari keluar kelas. Di depan pintu, mas Yono menarik tanganku.

"Yuk, kita jemput Iyo", katanya.

Kelas Iyo ada di depan lapangan. Ketika kami sampai, kelas itu belum bubar. Mungkin tadi ada yang lambat menulis PR. Tak lama, bocah gendut itu keluar kelas. Mas Yono bergegas menuntun kami pulang. Anak-anak lain terlihat ramai menghabiskan uang jajannya dengan membeli makanan dan mainan. Kami hanya bisa berjalan cepat menuju rumah. Kaki Iyo sudah melangkah ke depan, tetapi kepalanya menjulur kebelakang melihat adonan kue pancong dituangkan membentuk kura-kura, laba2 dan binatang2 lucu lain.

"Ayo cepetan..." , Mas Yono menarik tangannya. Aku berlari2 kecil mengikuti dari belakang. Aku sudah kelas tiga. Tidak ada bekal lagi dari ibu setelah kelas dua, apalagi uang jajan. Jadi kita memang harus buru2 sampai rumah biar bisa cepat makan.

Tak berapa lama, kami tiba di pom bensin Asia Makmur. Pom bensin itu punya bapaknya temen sekelas mas Bayu. Keluarga kaya yang ramah. Dengan berhati-hati, kami menyeberang jalan. Lalu lintas masa itu tidak riuh seperti sekarang. Paling banyak cuma oplet dan bus kota. Begitu sampai diseberang, ternyata kami tidak langsung pulang ke rumah. Mas Yono mengajak kami masuk ke kantor kelurahan. Ia mengajak kami ke samping kelurahan. Lalu dengan berjingkat ia mengintip ke jendela gedung sebelah...

"Tuh, liat tuh... yang itu tuh adik kita...!" ia menunjuk seorang bayi mungil yang sedang menangis di box bening paling ujung.

"Apaan sih?" aku benar2 bodoh. Sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan kakak.

"Itu, yang itu... yang ujung..." , lagi-lagi mas Yono menunjuk ke arah bayi itu.

Bagiku semua bayi yang terlihat di balik jendela kaca itu sama saja. Iyo berusaha memanjat pagar besi yang tajam itu saing ingin tahunya. Aku ikut2an.

"Yang mana sih?" tanyaku lagi.

"Yang itu..." jawab mas Yono.

"Ooh yang itu..." jawabku dan iyo serempak. Padahal nggak tau yang mana. Aku milih yang mana, iyo juga yang mana.

Selebihnya tidak banyak yang kuingat. Sorenya kami baru boleh menengok ibu. Bersama Bapak dan Lik Yem. Sekitar 3 bulan kemudian, tiba2 kami diajak masuk ke mobil untuk pergi ke suatu tempat. Aku tidak tau kenapa. Yang kuingat, sudah sejak beberapa hari sebelumnya cuaca Jakarta agak suram. Debu gunung galunggung membuat siang hari seperti petang saja. Kami dilarang keluar rumah, karena debunya mengganggu pernafasan dan membuat orang-orang sakit mata merah. Kadang kami mencoret2 debu di kaca mobil orang dengan tulisan2 mengejek.

Hari itu kami pindah rumah. Semenjak tinggal di kampung yang sepi ini, aku mendapat teman2 baru. Sejak saat itu pula, baru aku berkesempatan mengenal adik bayi.

***

Itu kisah 26 tahun berselang. Ia kini sudah jadi gadis yang cantik. Di suatu hari yang cerah, aku janjian menjemput Ade untuk berangkat ke Bogor. Hampir jam 7, jalan masih relatif lancar. Dari kejauhan terlihat ia duduk di halte dengan manis. Aku rem pelan2. Adikku membuka pintu dan pindah ke kursi belakang.

"Pi, ini kenalin, Ade", kataku. "Ini adikku De, Palupi".

Mereka berdua berkenalan. Menjelang lampu merah dekat pintu tol adikku turun. Ia melanjutkan perjalanan ke arah salemba.

"Cantik ya adikmu..."

"ya gitu deh..." aku tersenyum. "Eh iya, ada nasi uduk sama bakwan tuh.. Makan aja..." kataku. "Tadi nyokap beli di deket rumah, di warungnya Pok Roti."

Ketika kita tumbuh dalam atap yang sama. Orang tua dan saudara menjadi buku kehidupan. Sebuah cerita bersambung yang panjang. Kadang menyenangkan. Kadang pahit. Yang hanya akan berakhir ketika kita semua pergi satu-satu. Ketika itu, ceritanya akan menjadi kenangan yang lembarnya kita buka sedikit2 saat kita ngobrol2 di beranda, di balik setir saat menunggu kemacetan terurai, di waktu2 luang atau sebaliknya, di saat2 kritis dimana biasanya kita membutuhkan keberadaan mereka.

"Enak nasi uduknya, Gus.."

"Ya gitu deh, nasi uduk kampung..." jawabku.

Aku ingat menggendong adikku di punggung. Dengan seragam Taman kanak-kanak kotak2 berwarna merah dan topinya, ia terlihat lucu. Pipinya yang montok kemerahan terpapar cahaya matahari. Aku mengajaknya berbicara tentang apa saja. Tentang rumpun padi yang subur, burung2 pipit, tentang ular yang bersarang di pokok pohon secang, memainkan buah secang kering yang berbunyi klotok-klotok. Dan ketika menjemputnya pulang dari sekolah, sesekali kami berhenti di pematang sawah untuk melihat anak-anak ikan sepat, betik dan cere bermain diantara akar padi. Kami berjanji untuk membawa serokan dari bekas bakul plastik bekas, atau membuatnya dari kaos kaki bekas.

Ia begitu kecil waktu itu. Sampai kami tak sadar ketika ia beranjak dewasa. Kami tak sadar bahwa ia membutuhkan ruang untuk didengar. Bertahun-tahun, bahkan ketika keluarga kami berantakan waktu mas Bayu terkena skizofrenia, ia hanya seorang pendengar setia. Bila situasinya genting, ia hanya diam. Menenangkan ibu dan bapak, atau diam di dalam kamar.

Begitu mas Bayu pergi. Kami terlibat dalam pembahasan yang tak ada jawabannya. Tidak lagi soal kenapa atau bagaimana semua itu terjadi. Tapi soal bagaimana kita harus bertahan satu malam lagi. Diskusi yang membuat kita berteriak saling menyalahkan, meskipun kami juga tau tidak ada yang salah. Mungkin, kita bisa saling bunuh karena pertengkaran semacam itu. Kala itu, adikku hanya diam.

Seperti sebuah buku, aku belajar darinya. Di antara kegilaan yang mendera, ada juga kewarasan2 kecil. Meskipun cuma sejenak, itu membuatku berfikir dan merenung ulang semua kekacauan yang telah kita perbuat.

"Eh, Pi, Yo, semuanya aja. Ini sejarah bakal panjang. Jadi kita mesti jaga stamina. Kalo kita lagi stress, yah jangan semuanya stress. Harus ada yang tetep waras!" sebuah momen yang sedih. "Loe udah bener Pi. Kalo lagi kisruh biar gue aja yang urus dia. Saling memaafkan aja deh kalo kita lagi stress semua. Itu kan karena situasi..."

Si merah sudah tiba di depan kantor Ade. Aku meninggalkannya di belakang untuk menuju kantorku sendiri. Masih 10 km lagi dari sini. Di perjalanan yang panjang jakarta bogor, semua kenangan berputar kembali. Manis, bahagia, senang dan susah. Berputar kembali. Sungguh aneh, ketika matahari bersinar cerah dan udara pegunungan membuat dada terasa lega, aku harus menghapus rahasia hidup yang tergenang di mataku.

***

Adikku Palupi akhirnya jadi sarjana tahun ini. Dulu kami menekannya terlalu keras. Karena kami bukan orang berpunya, bila ingin kuliah, ia harus masuk negeri. Ketika kenyataannya ia tidak lulus ujian masuk, aku sedikit tidak adil. Bukan, bukan sedikit, tetapi banyak. Aku dan mulutku yang nyinyir.

Setelah kini ia menjadi sarjana, aku jadi malu sendiri. Karena ia berhasil juga. Belajar sambil bekerja. Ternyata aku tak setangguh dia. Aku bukan apa2 dibanding gadis cilikku yang tangannya kubuat keseleo. Maafkan aku untuk itu ya...

Sekarang, bapak dan ibu sudah tua dan sakit2an. Gadis kecilku telah bekerja lagi. Pagi2 ia sudah bersiap untuk kehidupannya yang masih panjang. Apakah kamu masih mau mengajarkanku lebih banyak lagi?

******

Bogor, Senin 3 November 2008

Sunday, October 26, 2008

Pilih CIFOR di "Jakarta Green Office Competition" !

Ayo SMS ke 9123 tulis “JGO Greening Campus” untuk memilih "Greening CIFOR-ICRAF" sebagai tim terfavorit di Jakarta Green Office Competition. Bukan untuk menang atau kalahnya, tapi untuk menggemakan kecintaan pada lingkungan ke seluruh Indonesia. Mulailah dari lingkungan kantor kita sendiri!

Terima kasih atas dukungannya! ;-)

Sunday, September 21, 2008

Kata 'Cinta' dalam Qur'an

Ada yang bisa menjelaskan lebih lanjut. Tentu aja yang diharapkan ada sumber2 literatur yang cukup jelas ya.

Say liat di Asmaul Husna, http://www.asmaulhusna.com/. Tidak ada nama Allah yg persis dengan kata 'cinta". Ada kata yang lebih agung, ArRahman, ArRahiim. Ada lagi kata AlWadud artinya The Loving One,

He who loves His good servants, and bestows his compassion upon them.

Terus, menemukan website berikut ini:

http://www.islamnow.com/docs/lovequran.html

http://muttaqun.com/love.html.

http://wiki.answers.com/Q/Is_the_word_love_found_in_the_Qur'an

http://www.slideshare.net/almujtaba/love-in-islam/

Dan website ini yang mungkin sumbernya bukan dari pihak muslim, tapi menarik juga.

http://www.answering-islam.org/Quran/Themes/love.htm

Ada rujukan lain yang lebih lengkap, sukur2 dalam bahasa indonesia? Bukan untuk mencari justifikasi cara berpikir saya sendiri loh. Tapi untuk belajar aja.

Sunday, August 31, 2008

Nggak Saur lagi

Seperti biasa, penyakit kronis. Nggak makan sahur. Mudah2an sih kuat. Oh iya, saya mohon maaf lahir batin ya, buat temen2 semua. Semoga puasa kita tahun ini memberi berkah dan kesadaran yang lebih baik. Amiin.

Wednesday, June 25, 2008

Bahasa Menyelamatkan Bangsa

Aku baru aja bersiap2 pulang ketika Agus mengajak makan malam bersama di warung ayam geprek Taman Yasmin. Katanya besok pagi Luke akan berangkat ke Kamboja. Adrian juga akan kembali ke filipina minggu depan. Tidak banyak kesempatan lagi untuk makan malam bersama di beberapa hari ke depan. Luke juga akan berulang tahun akhir bulan ini, teman-teman berniat membelikan cake mungil untuknya. Sementara Adrian, setelah beberapa kali perpanjangan kontraknya dengan Livelihood program, kali ini ia akan pulang untuk melanjutkan studinya ke jenjang doktoral. Ia masih menunggu berita soal itu dari universitasnya.

Karena kontraknya sudah berakhir, seminggu ini ia bekerja dengan laptop di library. Tapi seharian ini ia tak ada di sudut meja sana. Aku tak jadi mematikan komputer, kalau Adrian sudah ketemu, baru aku siap2 berangkat. Sebab Adrian yang punya acara. Nggak sampai sepuluh menit ia muncul di pintu library.

"Bagus, are you coming?" tanyanya.
"Iya saya ikut"
"Are we going out by bus?" tanyanya lagi."Kita akan naik shuttle?"
"No, I go with Indra," jawabku. "I think there are enough room for all of us. You can join Mas Jo's car. Who else are coming?"
"Andreas, Mel, Tim and John are coming later. But they can go by bus," ujarnya.
"Lets go then. Let me shut down the computer, I'll join you at the lobby," kumatikan komputer dan mengunci ruangan koleksi library.

Aku ke toilet sebentar, lalu bergabung dengan teman-teman di lobby. Sebagian duduk di sofa, sebagian lagi menghabiskan rokok di luar. Begitu aku datang, semua segera bersiap. Formasinya berubah. Luke, Andrea, Adrian dan aku bergabung di mobil mas Jo. Yang lainnya bergabung di mobil Indra. Kami berangkat ke Warung Ayam Geprek di Taman Yasmin, lagi. Apa boleh buat, kantor kami yang terletak di pinggiran kota tidak memberikan banyak pilihan untuk memenuhi selera bule dan pribumi.

Tak sampai seperempat jam kami tiba di restoran itu. Setelah menata tempat duduk untuk kami semua, kami bercakap-cakap melanjutkan obrolan di dalam mobil ketika Andrea memperkenalkan diri padaku.

"Hi, I'm Andrea, nice to meet you," ia tersenyum manis.
"I'm Bagus, we met before at the library," Andrea hanya beberapa hari di Bogor. Ia membutuhkan beberapa literatur dan ingin bertemu beberapa narasumber untuk risetnya di Australia.
"You mean, Bagus...bagus?" katanya tersenyum heran.
"Yes, Bagus... bagus," aku tertawa. Ini bukan pertama kalinya. Semua orang asing yang berkenalan denganku selalu menanyakan hal itu.
"Yeah, bagus is good," Luke menimpali. Semuanya tertawa dan mengajukan beberapa ungkapan yang lucu tentang itu.
"My Bagus is Javanese name. Balinese is also have Bagus, blablabla..." Andrea manggut-manggut. Aku yakin dia sudah tau itu.

Orang-orang Australia biasanya sudah belajar banyak tentang Indonesia dari Bali. Adrian lalu bercerita, kalau di Filipina ada kebiasaan memberi julukan kepada orang dari keadaan orang itu. Misalnya bila orang itu buta, dia akan dipanggil si buta. Kalau ia pincang, ia dipanggil si pincang. Ayahnya Adrian, misalnya punya nama tagalog yang artinya "nobody cares" karena waktu lahir ia yatim piatu. Hampir mirip lah dengan di Indonesia.

Sambil menunggu pesanan kami ngobrol ngalor-ngidul soal Filipina.
"Hey Adrian, i read update news about the disaster. They already found 33 survivor, and some dead people," ceritaku.
"Oh ya? I heard there are more, it's about 50."
"The thypoon must be very big, ya?" aku tak perlu mikir soal tata bahasa bila ngobrol dengan Adrian, ia berbahasa Indonesia dgn cukup baik.
"Actually not, the ship company has a bad reputation. It was owned by a politician."
"Really? I thought it was the thypoon..."
"I mean, not well managed," Adrian mulai menjelaskan angka2 kecelakaan kapal-kapar yang berkibar di bawah bendera perusahaan itu.
"Is it like metro mini in Indonesia?" aku asal nyeplos seperti biasanya.
"Maybe..."

Lalu ia bercerita tentang betapa korupnya pemerintahan di negaranya. Dibanding filipina, Indonesia masih lebih mendingan. Masih ada arah pembangunan yang cukup jelas. Militer tak sekuat disini, tapi korupsi merajalela.

"How old are you when marcos going down?"
"I was born 1990, so I was 6 years old," ia tertawa. Mas Jo ikut tertawa. Kami memang jarang bicara serius, jadi selalu saja ada gurauan di sana-sini.
"I was in college when it happened. It was a big news in Indonesia," aku sedikit membual."But only litle coverage in newspapers. We are still in Suharto era. I think he didn't want it to happen in Indonesia. It could be a trigger you know..."
"Oh really? Now is a bit different. But the corruption still there."
"How come? My brother is in beijing for almost 15 years now. He told me, he admire filipino so much. They are everywhere. From maid into big star singer. Every pub, there is filipino. And they are good!" minuman sudah datang. Sambil menyeruput juice strawberry aku melanjutkan.
"Exactly, katanya. You know, the only advantage we have than other asean countries is English as speaking language. From about 80 million population 6 million of us are working abroad. Thats a huge income to the countries."

Namun sebagian besar pekerja itu menjadi sapi perah bagi para politisi. Mereka menggunakan perusahaan2 pengerah tenaga kerja sebagai alat untuk mengambil keuntungan. Dari surat-menyurat administratif hingga biaya sponsorship. Semuanya berafiliasi pada politisi atau orang-orang yang berpengaruh.

"I mean they are working in Europe, US, and many modern countries. How come they didn't bring changes?"
"That's because they use all the resource they get to go out the country," jawabnya.
"So, for example, I am working in US and you are my brother. If i get money, i will sponsor you to go to US as well?"
"Exactly!"

Aku mengangguk mengerti.

"The funny thing is, when i went to Nepal. I saw, so many advertisement on study abroad services."
"And they are using it for working ilegally?"
"Yes. Nepal is 30 million population and about 6 million is working abroad. The tourism activities companies belong to foreigners, bule's."

"I saw the advertisement in public spaces, in newspapers. Everywhere. It means they are taking the services. Going abroad is a big business."

Makanan sudah disajikan. Tim, John, Mel dan Andreas tiba. Kami menunggu mereka memesan makanan sebelum mulai menyantap makanan kami. Obrolan kami jadi agak menyerempet2 bahaya. Adrian sedikit cerita kalau sebagian dari para pekerja migran itu berada di bisnis esek-esek. Bagaimana bisnis itu sebenarnya sangat tercela dalam katolik. Tapi juga tak terhindarkan. Sejak Kardinal Sin meninggal belum ada figur sekharismatik itu di kalangan gereja katolik filipina.

"Are you running porn website? Genuine Filipino girl?"
"Well, Bagus. That's why I am here, working abroad," katanya sambil tertawa.
Kami semua tertawa.
"That's the only thing why we didn't have revolution, otherwise we have already bankrupt."

Sungguh salut untuk para pekerja migran!



Bogor, 25 June 2008.



*) Disasternya itu tentang kapal Ferry yang terbalik karena Topan Fengshen.

Sunday, June 15, 2008

Dreams

Hold fast to dreams
For if dreams die
Life is a broken-winged bird
That cannot fly.
Hold fast to dreams
For when dreams go
Life is a barren field
Frozen with snow.


***

Langston Hughes

Wednesday, May 21, 2008

Merusak Acara

Setelah makan siang di warung amigos, aku, om santo, irfan dan indra berjalan pulang ke kantor. kami ngobrol ngalor-ngidul soal ini dan itu. Tiba2 om santo berhenti sejenak dan merunduk. Dipungutnya seekor siput dari tengah jalan. karena di belakangnya sebuah mobil toyota avansa akan berjalan mendekat. Ia lemparkan siput itu ke tengah hutan.
"Ngapain To?" tanyaku lugu.
"Siput kan tempatnye di utan gus. Kesian tar kalo kelindes ban mobil", katanya singkat.
"Lho bukannya malah kesian? Dia udah jauh2 separo jalan, jadi balik dari nol lagi deh..." kata Irfan tersenyum.
"Iya, kali aja dia mo jenguk sodaranya di seberang jalan...", aku ikut tertawa.
"Hehe... iya juga ya. Jangan2 dia mau silaturahmi, jadi batal...", santo jadi garuk2 kepala.
"Kesian banget, dia kan udah bikin rencana jauh2 hari. secara dia merasa sebangsa bekicot.. hehehe...".
"Bisa nggak jadi masuk sorga loe, To..." kami tertawa bersama2

Kadang-kadang kita merasa melakukan hal yang terbaik untuk orang lain. Kita berharap, niat baik kita akan berdampak baik pada akhirnya. Memang ada banyak momen dimana kesimpulan seperti itu benar-benar berbuah baik. Tetapi kita mesti belajar, bahwa sesungguhnya banyak hal yang berada di luar kekuasaan kita.

Tentu aja santo tidak bisa bertanya kepada siput, apa sebenarnya yang dia pikirkan, apa yang dia inginkan. Tapi kita yang memiliki kesempatan untuk saling memahami satu sama lain, sudah selayaknya membuka hati satu sama lain sebelum menentukan hal-hal baik yang akan dijalani di masa depan.


Bogor, 21 Mei 2008

Thursday, May 08, 2008

Kisah si Gila

"Kemaren gue kesel banget. Abis dari STM kahuripan kan gue mo berangkat ngajar ke klender. Gue naik metromini dari pasar minggu. Gue duduk dong deket kenek di deket pintu blakang. Nggak lama ada tentara kopasus naek", mas Bayu bercerita.
"Eh, nggak ada angin nggak ada ujan, tau2 dia mbentak gue..." Wajahnya sangat kesal."Heh, pindah kamu!"
"Gue disuruh pindah. Yah gue nggak mau dong..." lanjutnya lagi."Gue mau ditabok... Kalo nggak inget2, udah gue lawanin tuh orang. Ya udah terpaksa gue pindah daripada ribut".

Tentara itu nggak tau kalo yang dia hadapin orang paling nekat sedunia.
"Nggak lama metro mini jalan. Pas lewat empang tiga, nggak taunya metronya disetop lagi sama anak STM. Anak STMnya berdiri di tengah jalan bawa balok, sebelah kakinya menginjak bemper depan metromini. Begitu berenti, mereka kan pada masuk ke dalem. Gue diemin aja", ia menggaruk-garuk hidungnya yang gatal. "Eh si kopassusnya sok jagoan, ceritanya. Dia langsung berdiri. Mau apa kamu? Dia mbentak anak2. Disangkainnya pada takut kalii..."
"Taunya nggak..."
"Bapak jangan ikut2, deh! Kita nggak ada urusan sama situ!"
"Sok jagoan kamu!!!" si tentara ngamuk. Tangannya melayang. Plak!!! Ia menampar anak itu.
yang ditampar menangkis sambil otomatis berteriak...
"Woiii, serbuuuu!"
Kontan konco-konconya menyerbu masuk ke dalam metromini. Balok, rantai, ikat pinggang,
potongan besi, rantai motor, menyerbu. Muka pak tentara bonyok sama bogem mentah dan
tendangan. Ia kewalahan. Para penumpang tak berani bertindak sementara penumpang perempuan berteriak-teriak ketakutan. Anak-anak mengamuk sejadi-jadinya karena tak menemukan musuh dari sekolah menengah lain, juga karena sikap arogan pak tentara. Ia tersungkur di lantai metro. Seorang anak kerempeng naik dari pintu depan dengan samurai berkarat di tangan.
"Eh, udah... udah.... bubar...!" mas Bayu merasa kasihan juga."Anak-anak masih mukulin aja tuh. Tapi begitu ada yang ngeliat gue. Langsung brenti tuh anak..." mas Bayu nyengir sendiri.
"Eh, ssshhh, sssyuh, brenti woi, ada bapak tuh. Ehmm, Selamat siang, pak!" pemuda kerempeng itu menunduk takut-takut. "Eh, maaf pak..." Teman-temannya serentak berhenti dan ikut menyapa. Si kerempeng segera meloncat keluar.
"Woi, bubar oooi!!!" dalam beberapa menit saja anak-anak berseragam putih abu2 itu blingsatan entah kemana. Tinggal pak tentara yang bangkit dibantu beberapa penumpang. Ia melihat mas bayu sekilas lalu kembali ke tempat duduknya di pojok pintu belakang dekat kenek.
"Gue kesian juga sih, tapi gimane ye, terpaksa senyum2 sendiri deh. Penumpang laen juga pada nyengir sih. Soalnye tadi dia galak banget ke gue..." katanya lega."Blom tau die, itu murid2 gue, lulusan polres semua, hehehe..."

Nasib guru honorer seperti mas Bayu memang prihatin. Di sekolah, gajinya dipotong sana-sini. Ditindas oknum kepala sekolah dan peraturan pemerintah yang tak berpihak. Sementara yang dihadapi setiap hari adalah anak-anak miskin yang bengal. Mereka bersekolah untuk belajar kekerasan dengan temen2nya yang datang dari sudut2 kumuh yang berbeda di kota ini. karena dari kekerasan itu mereka akan hidup. Sekolah yang statusnya tidak jelas diakui, setara, disamakan atau mengaku disamakan, adalah tempat mereka membangun jejaring sosial yang kusut. Serba carut-marut.

Guru-guru STM swasta seperti mas Bayu harus simpatik, namun tegar sekeras baja. Tidak sekali dua kali rekan sejawatnya gegar otak diketok martil oleh muridnya. Martil yang baru saja dibuat bersama di bengkel bubut. Di kali yang lain, motor sejawatnya dibawa kabur murid, setelah belajar membypass saklar starter di pelajaran otomotif. Di kelas mereka harus waspada. Di luar kelas, apalagi. Murid2 yang kecewa dengan nilai jeblok bisa mengancam dimana saja. Siapa yang bisa disalahkan? Guru, kemiskinan struktural atau sistem pendidikan yang memperbodoh?

Itu sebabnya, kami, adik-adiknya mengagumi lelaki sederhana itu. Nasibnya tentu saja begitu labil, terombang-ambing dalam ketidakpastian yang panjang. Tapi ia selalu saja dapat menyisihkan sedikit uang untuk membantu ongkos transport kami sekolah.

"Tapi anak2 sebenernya baek loh!" katanya suatu hari."Pernah, waktu itu gue mo brangkat ngajar. Eh ada anak2 stm lagi pada nyetopin bis rame2 di Pasar Rebo. Pada bawa bendera segala. Orang-orang udah pada nyingkir semua ketakutan, tuh, disangkain pada mau tawuran.

Eh, gue kan nyebrang jalan trus nunggu angkot ke Depok di situ...."
"Pas gue lagi nunggu, taunya anak2 pada nyamperin gue..." ia tertawa lebar."Taunya pada nyium tangan gue satu2! Orang-orang sampe pada heran semua, takjub sama gue, hehehehe" ia terus tertawa. "Gue aja sampe geli banget waktu itu..."

Kami ikut tertawa. Itulah segurat kenangan sebelum tragedi itu merebut hidupnya.

***
"Gus, gue tidur aja deh. Udah ngantuk nih", Hanif menguap panjang. Hari ini ia numpang ngetik skripsi di rumahku. Sebenarnya malam belum terlalu larut. Baru sekitar jam setengah sebelas. Tapi di ruangan sebelah, sudah terdengar suara-suara yang meracau tidak jelas.
"Ya udeh, duluan deh. Gue bentar lagi", jawabku.

Ughh, semoga Hanif cepat tidur. Hatiku was-was. Ini sudah tahun kesekian sejak mas Bayu sakit. Tahun-tahun berlalu, namun situasinya bukan makin ringan, tapi semakin berat. Dulu ada fasenya dimana ia banyak sekali tidur. Tapi semakin kronis, kebiasaan itu berubah. Ia jarang tidur. Dan hampir setiap malam mengamuk.

Hampir setiap malam kami harus siaga. Begitu hari menjelang senja, Ibu, kakakku, adik-adik, bersiap-siap. Kami bicara seperlunya saja. Kadang kami masih berusaha menjalin percakapan sejenak. tapi setelah itu lampu2 harus dimatikan, lalu masuk ke kamar masing2. Setelah itu diam. Menunggu kejadian apa lagi yang akan tercipta malam ini. Sesekali kami berusaha bertahan di ruang keluarga untuk melayani percakapan mas Bayu. Namun itu tak bisa dilakukan lama-lama. Karena makin lama pembicaraannya makin tidak jelas dan nadanya terus meninggi. Ketika itu terjadi, kamu tak akan ingin berada disana.

Malam itu mas Bayu ngamuk lagi. Ia mulai marah-marah di dalam kamar, lalu menggedor-gedor kamar ibu di sebelahnya. Sejak sore tadi ia sudah membakar2 sesuatu di dalam kamar. Namun tidak begitu menarik perhatian orang.
"Anjing semua, setan! Keluar!" ibu keluar kamar berusaha menenangkannya meskipun itu usaha yang sia2. Aku menyuruhnya kembali ke kamar. Begitu juga mas Bayu.
"Udeh bu, ambil Yasin, baca2an aja gih!" aku menenangkan ibu. Tanpa kami sadari mas Bayu pergi ke belakang rumah. Dalam kegelapan malam ia berteriak-teriak kesetanan.
"Maanaaa Allaaaah? Kalo berani kesini loe!!! Mana rosulullohhh??!!! Gueeee injekkk batang lehernyaaaa!!!!!! Anjing loe!!! Kesini loe!!!" matanya melotot hingga kedua bola matanya seakan ingin meledak di relung wajahnya yang merah padam. Otot2 lehernya menegang seperti jalinan kawat baja menahan beban yang luar biasa dahsyatnya.

Aku segera berlari ke belakang rumah. Teriakannya begitu kuat sehingga di ujung-ujungnya seperti membentuk lolongan panjang yang sedih.
"Yu, udeh yu, tenang, Yu! Ayo kita masuk aja, Yu... Udeh, nggak papa, Udeh kita masuk aja
yuk..." aku berusaha sebisanya membujuknya menghentikan teriakan2 itu. Sama sekali nggak sempet lagi memikirkan kemungkinan kalau kemarahan itu berbalik kearahku.
"Pergi loe, kagak usah ikut2! Gue bunuh loe semua!"
"Udeh, kita masuk aja lah. Iye, gue salah. Yang penting kita masuk dulu deh..." kutarik lengannya pelan2 mengajaknya masuk. Ia terus berteriak marah.
"Udah Yu, udaah... Mendingan kita pergi aje dari sini, deh", kubiarkan ia memasuki kamar,
mengenakan celana panjangnya yang kotor. Dinding-dinding berjelaga, bekas api unggun yang dibuatnya di dalam kamar. Sampah-sampah berserakan penuh kertas2 bertuliskan puisi atau mungkin keluh kesah yang dihadapinya sendirian. Bau air kencing menyengat. Aku menyelinap sejenak ke kamar ibu. Ia masih terduduk membaca ayat kursi. Tangannya gemetar tak keruan menyeka air yang mengembang di matanya.
"Pokoknya jangan pada keluar ya! Gue pergi dulu!" aku berbisik tegas. Adik perempuanku memegangi punggung ibu. Ia hanya mengangguk pelan.

Malam itu aku aku menemani mas Bayu berjalan tak tentu arah. Menyusuri jalan kota jakarta
yang sedang tidur. Hanya dengan sendal jepit butut dan pakaian seadanya. Sepanjang jalan ia marah2 tanpa henti. Di mulut-mulut gang dan warung-warung pinggir jalan, para peronda, tukang-tukang becak dan ojek memandang kami dengan pandangan aneh. Aku tak perduli. Ini soal hidup dan mati. Kami berjalan terus hingga pagi menjelang hingga kemarahan Mas Bayu agak surut, mungkin akhirnya ia juga kelelahan berjalan begitu jauh.

"Yu, kita pulang ye? Gue mesti berangkat kerja nih..." tanyaku padanya.
Ia diam saja, matanya masih merah penuh amarah. Kurogoh kantongku. Tak ada uang sekepingpun.
"Naek taksi aja deh Yu, tar bayar di rumah...", tak ada cara lain.

Ketika tiba di rumah, ibu sudah memasak di dapur. Kubiarkan mas Bayu masuk ke kamarnya. Lalu kujenguk Hanif di kamar. Ia masih tertidur lelap. Aku lega. Hingga bertahun-tahun berselang aku nggak pernah tahu apakah sobatku itu benar2 tertidur atau sengaja pura2 mengantuk untuk memberiku sedikit ruang. Dan bertahun-tahun berselang, barulah adikku bercerita, ia juga pernah menemani mas Bayu berjalan hingga ke Bekasi dan Cibarusa. Masuk kampung keluar kampung, nyemplung rawa, dan terpaksa menemaninya melakukan hal-hal yang tak terbayangkan. Ia menyimpannya sendiri. Karena ia yakin kami semua punya rahasia sendiri2.

***
Kami selalu pulang ke rumah. Kemanapun kami pergi, seberapa banyakpun waktu yang harus diambil untuk pekerjaan atau sekolah. Aku harus pulang meskipun harus lembur sampai jam 4 pagi dan jam 8 nya sudah memulai hari kerja yang baru. Kami harus pulang ke rumah. Bukan sekedar karena itu kelaziman sebuah keluarga. Tapi karena kami harus menjaga satu sama lain. Kami harus memastikan segala sesuatunya terkendali. Meskipun sebenarnya itu omong kosong belaka karena jelas-jelas semuanya berantakan.

Waktu itu bapak bekerja di cikarang, beliau pulang seminggu sekali. Meskipun beliau pulang, ia tak mampu mengatasi keadaan. Karena ia salah satu target kemarahan. jadi apapun yang dikatakannya, semuanya selalu salah. Karena ketika sakit mas Bayu mencapai tahapan kronis, ia makin terputus dari realita. Ia mengalami gejala broadcasting, serasa semua rahasia terdalam di pikirannya dipancarkan, diketahui semua orang. Ia merasa diikuti oleh orang2 yang tak terlihat. Akibatnya ia merasa seluruh dunia berkonspirasi terhadapnya. Rasa kesepian yang dalam sehingga ia memusuhi semua orang. Semakin ia menjauh dari realita, dinding2 tak kasat mata membentengi dirinya. Bahkan orang-orang terdekatnya tak dapat menjangkau pikirannya kembali.

Karena itu setiap hari kami menyusun strategi menghadapi situasi genting. Setiap hari pula kita gagal. Setiap hari adalah kejutan2 baru yang tak terduga. Bila sehari saja ada ketenangan, berarti celah pintu surga terbuka dan berkas2 kesejukannya jatuh di hatiku.

***

"Gue tau loe masih melek. Dasar bajingan loe! Tiap malem gue dikomputerin! Kepala gue dibikin pusing!" suaranya mulai meninggi. Aku diam tak bergerak. Kumatikan komputer agar ia tak punya alasan untuk menjadikanku sasaran. Kamar menjadi semakin gelap ketika perlahan-lahan cahaya monitor meredup. Aku beringsut tanpa suara ke dipan. Ini bakal menjadi malam yang panjang. Kuletakkan bantal di dinding untuk tempatku bersandar. Sebuah bantal lagi kupeluk di dada.

Aku bahkan tak lagi berdoa. Katakan, Kau tak mendengar doa yang kami gumamkan dalam hati. Tapi bukankah Kau Maha Melihat? Lalu mengapa kau biarkan ini terjadi? Katanya Kau Maha Penyayang, tapi mengapa malam-malam kami penuh kejahatan. Ah, barangkali dunia ini memang tercipta begitu saja secara spontan. Apakah Dia ada atau tiada, aku tak perlu perduli. Akan kubiarkan kehidupan mengalir begitu saja apa adanya. Apa yang terjadi, terjadilah. Dalam kelelahan yang bertumpuk bertahun-tahun dan kegelapan yang menyekat, aku tertidur.

"Brakkkkk!!!"
Aku terbangun mendadak karena suara keras itu. Aku berlari menuju sumber suara itu. Lantai rumah penuh air. Begitu juga dinding, sofa, lemari, semuanya. Aku tak sempat berpikir panjang. Suami kakakku berdiri menghadang di depan pintu kamar. Pintunya jebol oleh tendangan Mas Bayu. Sementara mbakku melindungi bayinya yang umurnya belum genap seminggu. Adikku berusaha melerai. Mas Bayu pergi ke belakang.

"Udah mas. Masuk kamar, tutup lagi pintunya!" kakak iparku kembali ke kamar. Aku ikut ke belakang mencari mas Bayu. Belum sempat berfikir, tiba-tiba mas Bayu muncul dari kamar mandi menyiramkan sepanci besar air ke tubuhku. Lalu ia memukulkan panci aluminium itu kepadaku. Secara refleks kutangkis dengan tangan kiriku. Adikku yang mengikutiku di belakang melayangkan tinjunya ke mas Bayu. Terjadi perkelahian singkat. Dengan tubuh basah kuyup aku melerai keduanya. Kekerasan sama bukan jawaban, dan selama ini kami sepakat untuk terus menjaganya.

Malam itu mas Bayu membuat api di kamarnya, lalu ia ratakan api itu ke seluruh rumah. Ketika api membesar, ia jadi panik sendiri. Lalu berusaha memadamkannya dengan menyiramkan air ke seluruh rumah. Kakak iparku yang memergokinya menegur, lalu terjadilah ketegangan.

"Udah! Brenti!!!" kakak iparku memegang adikku. "Masuk loe ke kamar!"
Adikku masih terburu nafsu.
"Gue bilang masuk, masuk loe!" aku berteriak marah. Adikku mengunci pintu kamarnya. Lalu ku dorong mas Bayu ke dalam kamarnya sendiri. Ia berteriak2 kalap.
"Udeh, terserah loe mau ngomel apaan kek. Asal di kamar!" kataku. Kutinggalkan ia di kamar lalu ke kamar kakakku.
"Pokoknya diem di kamar, waspada. Kalo terpaksa, cari taksi, pulang ke Bogor! Biarpun dia ngapain, diemin aja, gue yang nungguin!"

Aku kembali mematikan lampu2. Masa bodoh dengan rumah yang banjir. Tak ada yang dapat dilakukan malam itu selain kembali ke kamar masing2. Aku bahkan sampai lupa mengambil baju ganti yang kering. Selama ini aku tidur di ruang mas Yono yang bertahun-tahun merantau. Karena itu tak ada baju di kamar ini. Kubuka sarung bantal untuk sekedar mengeringkan badan. Semalam itu aku duduk berjaga sampai pagi. Dengan badan berayun2 memeluk lengan yang menggigil oleh dinginnya malam ini. Sampai tak sadar kalau tangan kiriku bengkak kena pukul.

***
Didera cobaan bertahun-tahun sungguh menguras emosi. Belum lagi dana, tenaga, pikiran dan waktu. Kami ingin semua ini segera berlalu. Meski pada kenyataannya, tak ada jawaban instan dalam hidup. Semuanya serba merangkak. Seringkali mas Bayu pergi tak tentu arahnya dua hari, lima hari, seminggu, dua minggu.
"Biar, mau pergi, pergi sekalian!" kata bapak gusar. Atau, "Biar tak dadekno air lagi sekalian! Hancur sekalian". Kami semua diam. Tapi saat kegalauannya mereda, gantian beliau yang terdiam.

Menghadapi kejadian sedemikian kadang membuat kami hampir lupa bahwa tidak ada seorangpun yang ingin sakit seperti itu. Bahkan hingga kini kami tak bisa membayangkan, kenapa semua ini bisa terjadi. Ini benar-benar sebuah kotak pandora yang penuh dengan kemalangan, kedukaan, kesedihan yang tak habis-habisnya.

Lalu kami mencari obat. Di segala sudut kita datangi. Orang pintar dan Kyai. Dari bekasi, cimanggis, Serang dan Sumedang dan entah mana lagi. Setiap pulang, mas bayu seperti tersadar. Dia bertanya-tanya,"Gue kemaren kenapa ya...? Ini hari apa ya? Gue gak kerja dong hari ini?" Tapi beberapa hari kemudian ia kembali lagi seperti sebelumnya. Kata orang, berobat itu cocok-cocokan. Biarpun kebahagiaan itu cuma sehari, sedetik, rasa tenang yang diberikannya serasa seabad. Karena itu ia demikian berharga untuk sebuah pencarian.

Belum lama ini, untuk kesekian kalinya seorang teman bilang padaku. Tuhan tidak pernah memberikan ujian yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.
"Omong kosong", teriakku."Ngomong loe sama ember sana!"
"Kalo loe nggak tau rasanya mending nggak usah ngomong", kataku."Nggak ada itu yang namanya Tuhan. Gue berdoa2 sampe air mata nggak bisa keluar, nggak ada tuh pertolongan dari Dia!" Aku benci mengatakan hal itu. Tapi aku merasa yakin bahwa itu benar.

Sampai suatu saat seorang teman, mantan penderita skizofrenia mengirimkan email motivasi. Katanya "Tuhan punya rencana indah buat kalian!" Pesannya singkat, tapi terasa begitu simpatik. Orang yang telah lebih dari sebelas tahun menderita dan masih berjuang untuk bisa kembali produktif bisa mengatakan itu. Ia tidak mengatakan kapan jawaban itu datang. Hanya memberikan sebuah isyarat harapan bahwa suatu saat tragedi ini akan berubah. Dan saat itu rencana indah Tuhan akan terbuka pada kami. Aku begitu terkesan, sampai-sampai hampir dapat membayangkan bahwa rencana itu sebuah kado yang terbungkus sutra indah. Dan ketika ikatannya terbuka secara ajaib, berkas-berkas sinar terpencar ke segala arah. Seperti radiasi cahaya mentari namun begitu sejuk di wajah kami. Merasuk sukma. Membuat kami lupa segala penderitaan yang lalu.

Emailnya membuat kami sadar bahwa kami tidak sendirian. Toh, hidup juga akan terus berjalan meski keberadaan seluruh semesta ini kita ingkari. Pengalaman yang dahsyat ini nyatanya membuat kami lebih welas asih. Ada empati yang luar biasa besarnya yang tumbuh dalam hati kita, ketika kita pernah melalui penderitaan. Kami juga lebih menghargai betapa berharganya cinta yang diberikan oleh orang-orang di sekitar kami. Itu yang membuat kami tak pernah menyerah pada kebaikan mas Bayu.

Sekali lagi, tak ada jawaban instant, kita memang harus merangkak dan menggapai masa depan dari hari ke hari. Hanya sesekali kita mendapat wild card dan bisa berlari meninggalkan orang lain. Tapi itu karena legacy, jasa2 orang2 disekitar kita dan kasih Tuhan. Dia yang memegang buku kehidupan. Dia yang mengulur benang waktu. Hingga pada saatnya benang itu harus digunting dan kita kembali kepadaNya.

Aku seperti bangun dari mati suri yang panjang. Hidup ini memang seharusnya adalah kepasrahan. Hidup juga sebuah ikhtiar. Tuhan adalah Kekejaman, tapi tak disangkal lagi bahwa Dia adalah Kasih sayang dan Cinta. Ia tak pernah terpisah antara satu dimensi dengan yang lainnya. Aku tak berhak menafsirkannya dalam fikiran yang kalut. Karena dalam kejernihan pikiranpun Ia terlalu Agung untuk kita cerna.

Lebih dari sepuluh tahun kami sekeluarga berjuang melewati fase-fase paling kritis dalam kehidupan kami. Akhirnya mas Bayu berangsur-angsur sembuh.

Di suatu sore yang tenang ia bertanya:
"Do, gue bisa ngajar lagi nggak ya? Gimana gue bisa nyari makan?"
"Udah tar aja kita pikirin itu Yu, yang penting kita santai dulu sekarang...", kami berdua tersenyum kosong. Aku masih tak punya jawabannya. Mungkin kita semua harus menunggu lebih lama hingga kado itu akhirnya benar-benar dapat dibuka. Tapi aku mulai bisa mensyukuri ketenangan dari sekarang.



-----------------
Bogor, 8 Mei 2008


Cerita ini didedikasikan untuk kakakku Mas Bayu dan para penderita skizofrenia dan keluarganya. Untuk tetap semangat menghadapi penyakit dahsyat ini. Semoga dengan cinta dan kasih sayang, suatu saat kita bisa menata kembali kehidupan. Tetap Semangat!

Semoga jangan terjadi pada keluarga lain di dunia ini.

Friday, April 25, 2008

Arti kehilangan

Pagi menjelang. Rerumputan di kebun jeruk depan rumah jadi berwarna hijau muda, sayup-sayup tertutup oleh kabut pagi yang mengambang. Burung-burung prenjak baru satu dua saja yang terbang keluar dari sarang untuk mencari makan. Mereka melompat di dahan pohon rambutan depan rumah membangunkan anak2 untuk segera bersiap2 berangkat ke sekolah. Ado dan Iyo sudah bersiap dari pagi-pagi sekali. Mereka sudah mandi dan berpakaian. Ibu membantu keduanya memasang dasi buntung berwarna merah. Membenahi kerah yang terlipat di belakang leher karena karet dasi. Dari bingkai jendela, terlihat serombongan ibu-ibu berkerudung ngendit baskom yang ditutupi kain di pinggangnya. Mereka berjalan lambat sambil menggumamkan obrolan yang tak begitu jelas. Udara dingin membuat uap air mengepul putih dari mulut.

"Bu, itu orang2 pada ngapain ya?" tanya Ado. Bocah kecil itu menunjukkan jemarinya yang mungil keluar jendela.

"Wah, jangan-jangan ada orang meninggal, bu. Kayaknya pada mau nyelawat..." Mas Bayu nyeletuk duluan sambil membuka pintu depan.

"Ngelayat, bukan nyelawat... " kata ibu mengkoreksi. Ia berjalan keluar rumah dan bertanya pada ibu2 yang lewat."Siapa yang meninggal Bu?"

Ibu2 berhenti sebentar. Lalu Bu Ara menyahut,"Eh, ibu... Ntu bu, kuan... Surya, anaknya Bang Aman sama Mpok Indun nyang paling bontot. Nyang kembar..."

"Wah, kok saya nggak denger beritanya ya...?' Ibu terkejut. Bang Aman dan Mpok Hindun adalah tetangga belakang rumah. Rumahnya selang beberapa rumah, tersembunyi dekat kuburan keluarga di bawah rumpun bambu tali yang lebat."Meninggalnya kenapa bu? Perasaan kemarin masih keliatan main di dekat sawah?"

"Lah kuan, ntu blon jelas, bu. Denger-denger selintasan, katanyah kelelep di empang. Lha ini mangkanya kita aja pagi2 buruan beberes langsung jalan..." gantian Bu Husin yang menjawab.

"Oh begitu bu. Kalo gitu tungguin sebentar deh, ya... Saya bareng ibu aja..." Ibu bergegas masuk ke rumah. Dikenakannya kain batik sebagai bawahan dan mengenakan kerudung menutup kepalanya. Lalu ia menuangkan beberapa liter beras ke dalam baskom lalu menutupnya dengan kain lap lurik yang lebar. Tak lupa diselipkannya uang beberapa ribu rupiah di ikatan kain batik di pinggangnya.

"Ya sudah, kalian berangkat sekolah ya... Itu tali sepatunya dibenerin. Ati-ati nyebrang jalannya. Liat kiri kanan dulu..." kata ibu pada anak-anak.

"Bu, ongkosnya belum dikasih..." mas Yono minta duit.

"Oh iya, ibu sampe lupa deh... Sebentar ibu ambilin", sekali lagi ibu masuk kamar. Lalu memberikan sejumlah uang pada mas Yono. Sudah beberapa bulan ini kami pindah ke kampung pinggir kota. Namun proses pindah sekolah memakan waktu lama. Sehingga kami harus bolak-balik naik oplet lalu disambung metro mini agar bisa bersekolah di kota. Yang disebut oplet pun bukan angkutan resmi. Biasanya kami setop saja kendaraan apapun yang lewat dan menanyakan tujuan mereka. Bila searah, kami ikut. Lalu sebelum turun kami berikan uang seadanya untuk upah capek pak sopir. Karena jauhnya maka kami harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang jadi lumayan malam.

"Berangkat buuu..." seru kami bertiga. Ibu mengantar kami hingga depan rumah dengan pandangannya. Lalu ditutupnya pintu pagar.

"Mari bu..." rombongan ibu2 mengangguk lalu melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan terdengar obrolan mereka yang seru.

"Kuan, kagak dipindain aja bu, anak sekola?"
"Udah diurus bu, cuma jaman begini apa2 lamaa... apa-apa serba duit aja..."
"Lha iyak? Lha emang susah ngkali yak? Rasaan di sekola anak saya aja, sekelas ampe 50 anak... Sebangku diisi 3 orang!"


***

Musim panas sebentar lagi berakhir. Anak-anak kampung memanfaatkan cuaca yang cerah untuk bermain layang-layang sampai puas. Kami duduk di atas gundukan batu kali yang akan digunakan untuk membangun pondasi rumah pak Yanto. Rumah itu nantinya akan berdiri di sebelah kebun bapak. Di depan, kanan dan belakangnya di kelilingi sawah yang terhampar luas sampai ke ujung cakrawala. Sebentar lagi pohon jengkol besar tempat mereka berteduh di siang hari akan masuk ke dalam pagar rumah pak Yanto. Rupanya kemajuan jaman akan segera datang, mengganggu keindahan bentang alam dimana Ado dan kawan-kawan bermain.

"Tur, loe kagak maen layangan?" tanya ado pada eLi. Nama aslinya Rusli.
"Pan duit kita kagak... Do..." ia mengeluh. Orang kampung sini untuk makan saja susah, apalagi untuk membeli mainan.
"Kita ngejar layangan aja yuk?" Rusli mengajak ngejar layangan putus.
"Kagak ah, tar gue dimarahin bapak. Di rumah gue yang dulu, banyak yang ketabrak mobil atawa kesetrum kabel listrik!" Dulu waktu tinggal di kota, jarang ada tanah lapang. Orang-orang bermain layangan di jalan aspal. Sehingga sering terjadi kecelakaan. Layang-layang sering nyangkut di kabel listrik yang semrawut. Anak-anak miskin yang berebut layangan, ada juga yang nekat memanjat tiang listrik sehingga kesetrum.
"Disini kagak ada tiang listrik, kuan?"
"Kagak dah, gue ngangon kambing aja", Ado menampik ajakan Rusli. Sebenarnya bukan cuma itu saja. Sejumlah anak kampung masih enggan bersahabat dengannya. Karena ia dianggap anak kota, anak orang kaya. Meski kenyataannya kemiskinan orang kota dimana Ado tinggal dulu, tak lebih menyedihkan daripada di kampung.
"Do! Sini Do! Lu mainin layangan gua aja, nih!", Surya berteriak memanggilnya. Ia berjalan mendekat lalu menyodorkan layangan dan segulungan benang kenur. "Tapi jangan diadu yak? Kuan ini benang kenur, bukan benang gelasan." Ia menjatuhkan diri di rerumputan.
"Beneran Sur?" Ado kurang yakin.
"Iyak, gi dah, noh maenin sama bang Eli..." katanya lagi.
Rusli tertawa gembira. Surya juga tertawa berbarengan dengan Si Entur alias Mansyur, abang kembarnya. waktu pertama kali pindah kesini, Surya yang pertama kali mengajak mereka bermain bersama. Kini berkat dia, mereka dapat belajar main layangan.

***

Hari ini ketiga anak itu cukup beruntung. Mereka cepat dapat oplet sehingga bisa tiba di rumah lebih cepat. Sampai di rumah, ibu sudah menyiapkan makanan buat mereka. Setelah berganti pakaian, cuci muka, cuci tangan dan kaki. Mereka makan bersama.

"Bu, emang bener ya anaknya bang Aman meninggal? katanya kenapa?" tanya mas Yono sambil mengunyah makanan di mulutnya.
"Nah, itu, kalian mesti ati2 kalo kemana2 ya..." jawab ibu."semalem, katanya itu anak kena diare. Trus dia bolak balik ke jamban di empang blakang..."

Ado dan Iyo mendengarkan cerita ibu dengan seksama.

"Mungkin badannya lemes atau dasar jambannya licin karena ujan... Akhirnya itu anak jatuh.

Akhirnya kelelep deh..." kata ibu melanjutkan. Beliau duduk di salah satu kursi ruang makan."Jembatan bambu ke jambannya memang licin dan kecil. Nggak ada pegangannya lagi. Nggak heran kalau dia jatuh. Kesian banget..."

Wajah kedua bocah itu tetap polos.

"Kesian. Tapi katanya mati tenggelam kan syahid ya bu?" tanya mas Yono lagi.
"Iya... wjahnya aja kayak orang tidur... anteng banget...", ibu mengiyakan saja.
"Kalo begitu dosa-dosanya diampuni dong?"
"Yah anak sekecil gitu mungkin malah belum ada dosanya..." jawab ibu."Cepet diselesaikan makannya gih. Trus ditengokin kambingnya. Abis itu boleh kalo mau tidur siang..."

Mereka segera menghabiskan makanannya. Kemudian Ado dan iyo berlari ke padang rumput di depan rumah. Setelah mengurus kambing-kambingnya, mereka berlari ke sawah. Dari seberang sawah mereka memandang jauh ke jamban tempat Surya mati tenggelam.

"Disitu kali ya, si Surya tenggelem...?" kata Iyo pada kakaknya.
Kakaknya mengangguk,"Iya kali..."

Lalu keduanya duduk di rumput galengan sawah. Tidak tampak airmata kesedihan di kedua wajah anak itu. Mereka memang belum benar-benar mengerti soal kematian. Tapi mereka tahu kalau besok tidak akan ada lagi Surya, sobatnya, menemani mereka bermain.

Angin tidak berhenti bertiup membasuh kepala mereka. Sejuk semilir. Konon ketika satu pintu tertutup, pintu lainnya akan terbuka. Ketika satu kebaikan pergi, kebaikan lainnya akan datang. Ketika satu cinta terbang, berjuta-juta cinta akan datang memenuhi hati kita.

Kedua bocah itu memandang ke langit. Dalam hamparan langit biru yang demikian luas. Awan-awan putih dan kelabu beterbangan seperti layang-layang yang dihentakkan oleh benang-benang. Beberapa waktu kemudian sang surya seperti tersenyum, lalu tergelincir ke haribaan ibu alam. Keduanya pulang sambil menunggu datangnya persahabatan sejati.


=============
Bogor, 25 April 2008



Blom dibaca lagi. mohon koreksi kalo ada salah2 kata.

Friday, April 04, 2008

Mancing lindung!

Di kampung sini, sejak jaman baheula, orang-orang hidupnya bertani. Tanahnya luas2. Lihat saja Wak Haji Balok, Haji Salam, Haji Rais dan kawan-kawan. Tapi itu bukan semata2 warisan.

Orang tempo dulu pekerja keras. Miara kambing, kerbau, ayam, berkebun buah, tanam padi, semua dilakukan sendiri. Pak Haji Salam, sudah tua begitu, masih memetik rambutan atau kecapi sendiri. Dengan bercelana kolor dan sarung terikat di pinggang, beliau memanjat pohon dengan cekatan di pundak kiri mencangklong elang, disebelah kanan menaikkan galah bambu.

Elang itu, semacam keranjang yang dibuat dari bambu yang dijalin. Biasanya dibuat sepasang, diberi tali untuk dipanggul di pundak dengan pikulan. Kalau dahannya licin ia mengikatkan sarungnya pada dahan yang kokoh.

Lalu ia mulai nyengget kecapi dengan mahir. Buah yang sudah nyantol di ujung galah lalu diambilnya dan dilemparkan ke dalam elang yang ia gantungkan di dahan lain. Bila sudah penuh, ia tinggal mengerek elang itu ke bawah lalu melemparkan galah ke tanah. Esok hari bahkan sebelum subuh ia sudah berangkat berjalan kaki memikul elangnya ke pasar. Ia sudah hapal dimana ia harus singgah sejenak di langgar untuk menunaikan sholat subuh sebelum melanjutkan perjalanan.

Tapi anak keturunannya sudah nggak begitu lagi. Contohnya bang Nawi tetangga sebelah, memilih jadi tukang ojek daripada jadi orang tani. Mana mau dia genjot speda onta ke pasar semasa malem masih begitu adem. Sementara baba nya berani genjot sampe pasar bilangan mester atau mayestik. Modal speda onta, dikiri kanannya dipasangin bronjong dari bambu. Isinya bisa mecem2 tergantung musim apa enggaknya hasil bumi. Manakala rambutan lagi berbuah, cimacan, cipelat, aceh, sampe rapiah bakal padet memenuhi bronjong. Sebelom berangkat mereka netak bambu tali, trus dipotong bangsa seruas dua ruas untuk dibelah2 halus jadi tali. Nanti begitu sampe tujuan, daun pisang kering digelar di tanah dan rambutan dibongkar. Barulah rame2 pada ngiket rambutan sedompol-sedompol.

Kalo lagi banyak panen pisang, bronjong diisi pisang. Tandanan utuh dililit daun pisang kering biar kulitnya tetep cakep nggak pada ledes ketindes beban. Nanti di pasar pembeli boleh pilih. Beli tandanan boleh, sisiran juga hayo. Kalo hari itu nggak laku tandanan, pisau yang tajem dikeluarin. Tandanan dipotong sesisir-sesisir. Buah yang gede-gede deket pangkal tandan sudah barang tentu harganya lebih mahal. Nah bagi yang duit belanjanya cekak beli pisang yang di ujung tandan. Tenang saja, biarpun kecil, pisang jaman dulu masih asli. Rasanya enak meresep di lidah dan lembut di kerongkongan. Tentu saja sodara, pupuknya serba asli. Sebab kalo malem2 perut bang Nawi lagi mules, dengan berkerodong sarung ia tinggal nongkrong di deket bonggol pisang. Lah siapa kagak jeri tengah malem pergi ke jamban di empang pinggir sawah? Tempo-tempo, orang ronda ngeliat sesosok anak gadis baju putih-putih ongkang-ongkang kaki di atas rumpun bambu deket jamban. Baunya harum kembang kanthil. Makanya biarpun muka bang Nawi serem kayak begal kondang, tetep aja dia jeri kalau biji alpuketnya dibetot kunti atau sundel bolong.

Karena itulah cara hidup itu dianggapnya terlalu melelahkan, berbeda dengan ngojek yang lebih santai. Jam sepuluh pagi sudah dapat sepuluh dua puluh ribu, bang Nawi pulang ngelonin bini. Anak-anak masih pada sekolah. Bayaran sekolah? Kan ada surat miskin... Nanti kalo anak sudah besar, tinggal jual tanah buat modal ngawinin. Ado tak perduli dengan semua itu. Si Arip, Isah dan Tini anak Bang Nawi adalah teman-teman baru Ado. Sehabis pulang sekolah, mereka berkumpul di halaman rumah yang rindang membuat janji untuk menikmati waktu yang berlimpah.

Baginya teman-temannya adalah sebuah dunia baru yang terbentang luas. Bagi anak kota sepertinya, alam yang asli adalah surga firdaus seperti yang dijanjikan guru ngajinya, pak Abdul Rojak.

***
"Bu, PRnya udah Ado kerjain. Sekarang Ado nengokin kambing yaaa...?" Ado berteriak pada ibu yang sedang sibuk menjemur pakaian di jemuran blakang rumah.
"Iyaaa, jangan maen jauh-jauh ya. Nanti bapak pulang dicariin lho..." pesan ibu dari jauh.

Ado menoleh pada adiknya Iyo. Keduanya meringis gembira. Biarpun PRnya masih jauh dari selesai, bagi anak bengal itu pesan itu dianggap berlaku juga buat dirinya. Giginya yang grupis, hitam disana-sini membuat wajah gembul itu jadi sangat lucu.

"YUKKKK!!!!" kata mereka berdua serempak.

Mereka menutup buku dan segera berhamburan ke padang rumput. Iyo membawa karung dan Ado membawa sebuah arit. Mereka mendapat tugas tambahan mengarit rumput buat si Nyonyo, induk kambing yang baru saja melahirkan. Mereka harus memilih rumput yang segar dan halus agar mudah dicerna oleh si Nyonyo. Setibanya di padang rumput mereka memilih rumput yang tumbuh di tempat yg agak rendah. Bila sedang musim hujan di sisi itu selalu tergenang air banjir.

Kadang-kadang banyak ikan yang terjebak di situ. Ketika hujan sudah mulai berkurang, tanah dibawahnya menjadi lebih basah dibanding bagian lain padang rumput itu. Sehingga, rumput tumbuh segar dan panjang.

Kedua bocah itu mulai mengarit rumput bergantian. Apabila yang satu memotong rumput yang satunya mengumpulkannya dan memasukkan ke dalam karung. Iyo merenggut pucuk-pucuk rumput dengan tangan kiri lalu memotongnya dengan sabit. Dalam waktu tak terlalu lama, karung ukuran satu kuintal sudah penuh oleh rumput. Setelah melepaskan tali cencang yang melilit kaki domba2nya, keduanya pulang ke rumah sebentar untuk membawa pulang rumput yg sudah diarit. Si Nyonyo baru dua hari ini beranak, jadi untuk sementara tidak diangon di padang rumput. Mereka menuang sebagian rumput ke kotak pakan di samping kandang. Lalu Ado mengambil ember bersisi air, mencampurkan sedikit garam dapur lalu memberi minum si Nyonyo.

Ia meminum air cukup banyak. Karena harus menyusui anaknya. Sambil memperhatikan si Nyonyo makan, keduanya menyapu lantai kandang dan kolongnya agar bersih. Kandang yang bersih akan terhindar dari penyakit. Tahi kambing yang terkumpul mereka sekop dan dimasukkan ke dalam lubang penampungan yang digali oleh bapak. Nanti kalau sudah banyak, akan kami angkut ke kebun untuk memupuk tanaman.

Pekerjaan mereka sudah hampir selesai. Tiba2, "Takkkkk!" sebuah kerikil menabrak batang pohon nangka. Keduanya kaget dan mencari arah darimana datangnya batu itu. Ditengok ke kiri-kanan tidak ketahuan asalnya. Mereka kembali bekerja. "plokkkk" kali ini kena kepala si Iyo. Kali ini yang terbang adalah babal pohon nangka, tapi lumayan sakit juga. Barulah mereka teringat kejahilan anak-anak kampung. Rupanya si Arip yang iseng mengganggu mereka berdua. Tadi ia mengintip di balik tembok. Setelah menimpuk, ia berjonggok di sudut pondasi tembok. Ia menutup mulutnya sambil tertawa kecil. Ia tak sadar kalau di belakang punggungnya ada lubang. Tembok batako kapur putih kualitas rendah itu mudah gempur hanya dengan dikorek menggunakan ranting kecil. Lubang itu digunakan oleh Ado dan Iyo untuk mengintai bila bermain perang-perangan. Tak disadari, baju Arip yang merah terang kelihatan dari lubang tersebut.

"Buset, kepala gue ketibanan babal!" iyo berpura2 mengeluh, tetapi matanya melirik ke kakaknya yang sedang memegang sekop. Ia mendekat dan membisikkan sesuatu. Iyo berlari kecil mengambil air di ember. Sementara Ado tetap berpura-pura menyapu.

"Byurrrr" iyo menyiramkan air dari atas tangga yang bersandar di tembok.

"Rasain loe basah kuyup!" Iyo tertawa terpingkal-pingkal.
"Huaaa ampun Yo, ampunnnnn, guah jangan disiram lagi..." Arip melompat kaget. Tapi ia sudah terlanjur basah kuyup. "Waduh, basah dah guah..."
"Lagian loe sih, pala orang ditimpuk babal..." Iyo tertawa senang."Ngapain sih loe tumben amat nongol di belakang?"
"Yah kagak napa2, bocah2 pada mao mancing lindung. Elu pada mao ikutan kagak?" tanya Arip sambil mendongak melihat sobatnya yang bersandar di atas pagar."Kalo mau, sekalian bawa duit pekgo yak? Buat beli kenur sama kail gabus..."
"Lah emang kagak cukup pake pancing betok, Rip?" Ado bertanya dari balik lubang intip.
"Pancing betok mah kagak kuat narik congor lindung, Do!" Arip mengintip dari sebaliknya batako. "Lu kagak tau yak kalo lindung udah ngebetot, berat bangaat!" Biarpun mulutnya cuma terihat sebagian, kedua temannya serasa terbawa oleh mimik muka si Arip yang mirip banget sama bang Nawi. Bener2 mirip kayak kacang ijo abis dipres dari cetakan kue satu. "Lu ikut kagak?"
"Ayo dah, gue pengen tau gimana caranya mancing lindung!" keduanya segera menyelesaikan pekerjaannya kemudian berlari ke luar rumah menemui sobatnya.

***
"Rip, mancing lindung kagak pake walesan kan?" Iyo bertanya. Walesan dalam bahasa indonesianya disebut joran.
"Kagak Yo, kita iket kayu aja, kuan. Buat pegangan mbetot lindung" kata Arip santai."Lu pada bawa berapa duit?"
"Tadi loe kate pekgo, Rip...?" jawab Ado."Cukup kan?"
"Iyak, cukup, perkiraan kail pancing sarang satu, kenur sarang satu meter seorang..." Arip pura2 berhitung."Iyak, cukup dah!" Gayanya seperti ahli aljabar saja. "Nyok buruan dah kita pegi ke warung Wak Jereng!"

Sejurus kemudian mereka sudah berangkat. Ketiganya berjalan beriringan di atas galengan sawah menuju warung Wak Jereng di belakang Masjid Al Hakim. Warung Wak Jereng sangat terkenal di kalangan anak2, karena disitu dijual berbagai perlengkapan yang mereka butuhkan.

Diantaranya, karet bekas ban dalam buat selepetan, benang dan layangan, juga kail, kenur dan pelampung buat memancing. Walesan atau joran juga ada, tapi anak2 lebih suka membuat joran sendiri dari batang bambu. Ada juga berbagai macam celengan tanah liat dan perlengkapan berkebun, seperti cangkul, sabit, topi caping, pengki dan tangguk. Harganya juga terhitung murah.

Mereka bertiga segera membeli benang kenur dan kail. Kenur yang dibeli harus yg agak tebal. Sebab benang itu harus kuat untuk menahan tarikan lindung yang hidup di lubang2 di sawah. Bila lindungnya besar, tidak jarang tali pancingnya sampai putus. Sehingga kailnya akan tertinggal di mulut lindung, atau bahkan tertelan ke dalam perutnya. Kasihan kan? Karena itu selain dipilih kenur yang tebal, nanti benang tersebut harus dipilin hingga menjadi dua lapis. Agar kekuatannya bertambah dua kali dan benang itu jadi lebih kaku sehingga dapat mudah didorong masuk ke dalam lubang lindung.

"Lah, di sini aja yak? Kita pasang pancingnya..." kata si Arip sambil menjatuhkan pantatnya di atas rumput yang empuk kayak karpet. Di atasnya daun pohon ujan dan angsana bergoyang2 ditiup angin sawah yang sejuk. Pohon-pohon itu ditanam dalam garis yang memanjang oleh petani sebagai pagar batas tanah darat dan sawah. di dalam pagar, tanaman sayur2an dan buah seperti daun singkong, labu atau pepaya terlindung dari pagutan hewan ternak yang sedang digembalakan.

Arif menarik ujung celana pendeknya ke atas. Tangan kirinya memegang ujung benang kenur yang sudah dipotong 1 meteran. Ia meletakkan bagian tengah benang di atas paha kanannya. Kemudian ditangkupkannya ujung telapak tangannya di atas benang itu. Ia menekan perlahan sambil mendorong benang itu ke arah lutut. Benang kenur itu terus dipelintir hingga ke ujung satunya. Lalu dengan cekatan ia melipat benang itu jadi dua sehingga kedua bagian benang saling melilit dengan kuat. Setelah selesai, ia mengikat ujungnya supaya lilitan itu tidak terurai lagi.

"Trus masang kailnye gimane, Rip?" tanya Ado ingin tau.
"Gampang dah, gini nih guah unjukin..." Arip menunjukan sebuah simpul sederhana yang akan mengunci kail itu. Tidak akan mungkin kail itu lepas kecuali benangnya putus kena gigit gigi lindung.
"Oh gitu ye...?" Iyo mengangguk2 mengerti."Ajarin gue dong."

Memang tidak mudah mengerjakan tugas itu. Tapi memancing bersama kawan-kawan sungguh menyenangkan. ketiganya saling membantu sehingga pekerjaan itu cepat selesai.

***

"Nah sekarang ayo dah, kita cari empan..." Arip tertawa.
"Kail segede gini empannye apaan? Kodok ye?" tanya Ado.
"Iya, akur pisan. Nih gua bawa plastik buat tempat kodok. Isiin aer dah..." ia menyodorkan plastik bekas satu2.

Kodok bancet adalah sejenis kodok yang hidupnya di sawah. Tubuhnya sangat kecil, paling-paling sebesar ibu jari tangan anak-anak. Warnanya coklat terang agak kehijauan, dan ada sedikit corak berupa garis memanjang dari kepala hingga ke ekor. Mereka berenang-renang mengambang di permukaan air sambil bernyanyi2.

"tekotekotek...kotek" begitu mereka bernyanyi. Biarpun badannya kecil, tapi suara mereka keras. Konon itu doa untuk memanggil air hujan dari langit.

Anak-anak itu berkejaran di sawah mencoba menangkap kodok. Di saat bibit padi baru beranak menjadi rumpun. Sawah harus diairi cukup banyak, agar padi bisa tumbuh subur mengeluarkan tunas-tunas baru. Sebatang bibit padi bisa menjadi berpuluh2 tunas yang nantinya akan mengeluarkan untaian-untaian bulir2 padi yang bisa dipanen. Bila air sedang banyak, menangkap kodok jadi agak susah. Sebab mereka gesit sekali berenang. Mereka menangkap 5 ekor saja, nanti kalau kurang tinggal menangkap lagi.

Nah, bagian paling sulit adalah memasang umpan di kail. Mereka tidak tega menusukkan kodok kecil itu ke kail yang tajam. Tapi apa boleh buat. Memang itu makanan yang disukai oleh lindung.

"Kagak apa-apa Do, kuan 'nti malem pas lindungnya laper, bakal disantap juga itu kodok bancet", Arip menjelaskan.

Mereka menyusuri pematang sawah mencari lubang yang kira2 menjadi rumah si lindung. Kata Arip, kita pilih saja lubang di bawah pematang yang dekat dengan air sawah. Biasanya di mulut lubang terdapat air jernih. Nanti kita masukkan kail yg berisi umpan kodok ke mulut lubang. Jangan lupa dipelintir-pelintir sedikit, biar mudah masuk agak kedalam lubang dan seakan-akan kodoknya bergerak-gerak masih hidup.

"Bujug deh, capek juga mancing lindung ye", Iyo mengeluh. Badannya harus membungkuk untuk mendekati lubang lindung.

"Hahaha lah iya, capek pisan. Pan keadaan, awak luh bogel, kontet", Arip nyela seenak udel.
"Sialan lun, nih makan tai elur!" Iyo tertawa sambil melemparkan segumpal lumpur lunak ke arah sobatnya. Untung lemparannya meleset, kalau tidak mukanya bakal belepetan.

"Nah, nah! Empan gua dapet nih dibetot!" mata Arip terbeliak menarik perhatian teman-temannya. Benangnya tertarik ke dalam oleh tarikan lindung. Kelihatannya ia memakan umpannya.

Tampaknya lindungnya tak seberapa besar, sebab tarikannya tak terlalu kuat. Arip membiarkan si lindung memakan umpannya. Begitu tarikannya terasa nyangkut. Segera ditariknya benang pancing keluar... Ado dan iyo memandangnya dengan antusias.

"Perlu gue bantuin kagak, Rip?"
"Kagak usah, gua bisa nih, Do" Arip menahan tali dengan tangan kiri. Tangan kanannya menarik kuat-kuat. Di sini lah asyiknya memancing.
"Awas, semur jengkol nyolos dari bawah!" Ado meledek.
"Nah kena nih lindung gue panciiiiing!!" Arif menarik kuat-kuat.
"Huaaaaaaaaa!" semuanya berteriak.
"Pejajaran! Dikira lindung, empan gue abis dimakan yuyu!" Arip menggerutu. Di kailnya seekor ketam sawah menggantung asyik sambil memakan daging kodok. Ia melempar yuyu ke tengah sawah lalu mencoba lagi.

***

Menjelang jam 3 sore Arip sudah dapat 2 ekor, Ado dapat 1 sedangkan Iyo belum dapat sama sekali. Mukanya cemberut kecewa.
"Gimane sih caranye? Kok gue kagak dapet2?"
"Orang mancing kuan kagak boleh kesel, ati kita mesti girang" Arip menghibur."Bawa sini dah empan lu gua ludahin..."

Iyo menggantung kailnya di depan mulut Arip yang monyong kayak ikan sili.
"HUEKKKKK....CUHHHH! CUHHH! CUUHHHH!" Arip meludahi kodok yang dijadikan umpan tiga kali."Cing terincing, anak mancing makannya cacing, dok derokdok, anak bogel makannyah kodok!"
"Sialan luh!" muka si Arip diraup pake tangan yang bau ketek.
"Huahahaha eluh tuh yak, udah gua kasih jampi malah manyun ajah...!" Arif tergelak.
"Bodo ah, makan tuh ketek gua", Iyo memasukkan umpan ke dalam lubang.

Ia memilih lubang di sudut pematang. Di situ airnya lebih banyak dan ada sejumlah rumpun genjer yang subur dekat lubang. Sebenarnya ia tak begitu perduli lagi apakah ia akan dapat atau tidak. Tapi ia masih penasaran, siapa tau yang terakhir ini bakal dapat.

Ia kilik-kilik benang kenur di tangannya. Sedikit-sedikit umpannya masuk ke dalam liang. Dia tarik keluar masuk pelan-pelan. Lalu meniru-niru Arip, menyentil permukaan air dekat lubang biar menghasilkan suara seperti kodok bancet lagi berjodo.

Tak disangka2 kailnya berasa ditarik ke dalem. Langsung saja ditahannya itu tarikan. Dikedet-kedet, dibetot-betot dikit biar si lindung keenakan. Serasa makan kodok yang masih ngelawan. Ditarik dikit, dilepas. Diulur, lalu ditarik pelan2. Begitu terus, sampe lindungnya capek sendiri.

"Wah, dapet gue nih!" Iyo berteriak gembira."Kayaknye gede banget. Ditariknye seret!"
Arip dan Ado mendekat. Mereka membantu Iyo menarik lindung keluar dari lobang.
"Ayo tarik dah bareng-bareng! Satu, dua, tigaaa!"
"Dapeeeeettttttt!!!!" tanpa pikir panjang si Iyo menangkap kepala lindung. Lindung jatuh terlepas dari kail. Begitu kepalanya mau terpegang....
"Wadaaaaaooooo!" telunjuk Iyo digigit.
"Bujug buneng, ini mah uler kadut!" Arif melompat ketakutan.

Beruntung si ular kadut buru2 nyemplung sawah. Orang dan uler, sama2 ketakutan. Tinggal Iyo yang nangis memble. Telunjuknya berdarah dan bengkak. Ia berlari pulang diikuti kakaknya dan Arif yang menenteng hasil pancingannya.

"Aduh, kamu kenapa nangiiis?" tanya ibu pada mereka bertiga."Digigit ular?" Beliau makin pakik saja.

Bang Nawi babanya si Arif ikut keluar rumah.
"Astaghfirlohalajiim... ada apa yak?"
"Itu... itu... I... I... Iyo... digigit ula kaduuut..." Arif menjawab takut2.
"Lha kuan ngapah sampe digigit?"
"Huhhuhuhuuuuu..." Iyo menangis terus."mancing linduuung.... huhuhuhu.... dicatek uler.... huhuhu....!"
"Oh jadi begitu kuan perkaranyah..." Bang Nawi tolak pinggang."Yakin ntu ula kadut? Bukan Bedudak?"
Mereka bertiga mengangguk serentak.
"Untung... untuung nasib... uler kadut kagak ada racunnyah... kalo kagak berabe pisan anak orang!" Bang Nawi jadi marah."Maafin anak sayah yak Bu. Ini dia pasti biang keroknyah!"
"Hayuh pulang!" kuping si Arip dijewer Bang Nawi pulang ke rumah."Gaya amat sih luh, Rip, pake ngajak anak orang mancing lindung.... Bangor pisan...! Kuan baba belon ajarin, mana nyang namanyah lobang yuyu, mana yang namanyah lubang lindung, mana yang lobangnyah..... ula kaduuuut!!!"
"Huhuhuu, iye baaaa, ampuuun baaaaa..."

Suara Arip terdengar sedih dari jauh. Demikian juga kedua temannya. Semoga semuanya baik-baik saja.

===========

Bogor, 4 April 2008



Belom dibaca ulang. Harap maklum kalo banyak salah2nya.

*) Lindung = Belut = Eel dalam bahasa inggrisnya.

*) Nyengget = menjolok buah = memetik buah dengan cara dijepit dengan galah bambu yg ujungnya dibelah.

*) Netak = kata dasarnya tetak = memotong batang bambu dengan golok.

*) Babal = pentil buah nangka. Kadang-kadang dibikin rujak babal sama anak-anak kampung.

*) Tai elur = tai cacing, itu tanda sarangnya cacing tanah. Kalo di atas lumpur ada tai elurnya, trus kita keduk lumpur dibawahnya, pasti isinya banyak cacing tanah. Biasanya kita pake buat umpan mancing.

*) Ula = Uler = Ular = Ulo = Snake
*) Baba = babe = Bapak. Kalo betawi pinggiran sini banyak pake sebutan Baba buat manggl bapak. Kurang lebihnya itu yang saya tau.

Wednesday, March 26, 2008

Kesambet Mbah Jambrong

Ado duduk memeluk lututnya di dangau tepi sawah. Matahari sudah tergelincir. Namun cahaya matahari jam dua siang adalah yang paling terik. Bahkan anak angon itu, yang rambutnya menjadi kemerahan karena terbakar matahari tidak mampu menahan terik yang menyengat. Ia bergerak2 mengubah posisinya duduk, menikmati kemurahan hati sang angin yang menyebarkan uap air yang sejuk sepoi-sepoi. Di kejauhan, hamparan padi bergerak mengalun bagaikan ombak samudera yang sedang teduh. Dipucuk2nya, bulir2 padi yang bunting mulai berisi. Warnanya yang hijau mulai berubah terang sedikit menguning.

Bagi petani untaian itu adalah emas hijau yang tak ternilai harganya. Di situlah harapan tumbuh dan masa depan bertumpu. Sebentar lagi pak tani akan memasang tali-tali melintang silang menyilang untuk mengusir burung pipit. Mereka mengikat pita-pita warna-warni berselang seling tiap beberapa depa. Dan diantaranya, mereka gantungkan kaleng-kaleng berisi batu kerikil. Tali2 itu memusat pada sebuah orang-orangan dari jerami yang berdiri tegak di tengah sawah. Ia mengenakan baju komprang hitam, lengkap berselempang sarung dan sebuah topi caping yang sudah butut. Ado tertawa, itu kan baju pak Salim yang kemarin dulu ia pakai waktu nandur. Mungkin beliau sengaja mengenakannya pada si orang-orangan sawah biar gerombolan burung pipit yang ingin memakan padi tertipu.

"Awaaas, pasukan munduuurrr... ada pak haji Salim sedang menyiangi rumput!" mungkin begitu kata para pipit.

Padahal pak Haji sedang duduk di dangau dengan santai sambil sesekali menarik tali yang terikat pada orang2an sawah. Setiap disentak, lengan orang-orangan bergerak menggoyang tali2 dan kaleng kosong yang bergelantungan di sepanjang tali. Sehingga terdengar bunyi ramai kelontangan. Pita-pita warna warni yang terbuat dari robekan kantong kresek bekas pun melambai-lambai menakuti burung.

Namun, mereka tak pernah putus asa. Burung pipit yang datang dalam kelompok yang jumlahnya ratusan terbang datang dan pergi berkali-kali. Mereka menunggu pak haji bosan dan mengantuk. Pak haji akan rebahan di bale2 dangau melepas peci hitamnya dan tidur.

"Biarin dah, biar anak burung peking kebagian makan juga dah..." ia beralasan. Nanti sore ketika istrinya datang menengok pasti deh ia kena marah. Kami anak angon nyengir saja dari jauh. Pak haji Salim belagak pilon saja, masuk kuping kanan keluar kuping kiri.

"Apa lu kata aja dah, Nyi!" memang, siapa yang tahan godaan angin semilir di tengah hari bolong begini? Begitu merebahkan badan dan mata melihat langit biru dan awan berarak-arak, mata pasti akan redup. Mengantuk.

***

"Nah ini dia, orangnyah. Go, bago, dari setadian loe nongkrong disini yak? Gua cari-cariin kemana2 kagak ketemu!" si Samin tiba-tiba muncul dibalik punggungnya. Samin anak bang Entong. Badannya kurus kering, dan agak penakut. Rumahnya agak jauh dibalik bukit. Tapi kalau main ia turun ke dekat rumah Ado yang dekat sawah. Kata temen-teman, ibunya pernah gila, karena itu pikirannya dia juga jadi ikutan setengah. Ado tidak percaya, karena ia pernah bertemu ibunya, orangnya cantik dan baik. Namun karena Samin selalu saja salah menyebut namanya, ia jadi agak percaya.

"Lah emangnya kenapa Min?" tanyanya.
"Dari pada-an elu bengong di sini, mending kita ke kali nyok. Pan si Cemen lagi guyang kebo di bulak noh, seberang kali belakang monumen. Nah kita ikutan ajah," samin membujuk kawannya dengan bersemangat."Lah, kuan, katanya di tempat si cemen guyang kebo, deket empang engkongnya si Cemen, di pinggir kali, banyak lobang lingsang, anjing aer. Nah kita nontonin lingsang buru ikan!"

"Lah ngeri dah gue main di kali. Tar ada buayanya" Ado bergidik. Ia sering lewat situ kalo dapat tugas belanja ke pasar dari ibu. Biasanya Ado dan kakak2nya berjalan beriringan mencari jalan pintas melalui balik bukit yang sepi lalu menyeberangi jembatan gantung dari bambu menyeberangi sungai untuk sampai ke pasar. Di atas bukit itu berdiri monumen pahlawan yang megah. Konon, ada tujuh jenderal yang mati terbunuh di dalam sebuah sumur tua.

"Kagak dah, jamin samber geledek, aman!" mulut samin monyong persis corong minyak tanah. "Si Cemen pan nyebrangnya juga naek kebo. Sama gua juga baderan guah, kuan." Samin mulai sombong. "Kagak dah, kagak ada buaya. Nti dah guah berenang duluan!"

Ado berpikir2 sejenak. Ia harus ngangon kambing. Kalau tidak diawasi bisa2 kambing dombanya dicuri orang. Tapi ia belum pernah liat anjing air...

"Emmmm, ayo dah. Tapi loe bantuin gue nyencang kambing yak? Sama ntu tuh, kakinya si pelana kelibet tambang," ia minta bantuan. Si pelana adalah domba jantan yang besar. Tepat di punggungnya ada sebuah corak berwarna coklat bulat yang bentuknya mirip pelana kuda. Ia kambing jantan yang gagah dengan tanduk melengkung ke bawah, lalu berputar ke depan tajam menantang.

Samin tertawa gembira. Ia mengikuti Ado dari belakang dan membantunya mengikat tali cencang kambing pada sebuah tonggak yang sengaja ia tancapkan di tengah padang rumput. Dalam perjalanan, Ado mengajak kakaknya si Ijot untuk ikut serta melihat anjing air.

***

Mereka bertiga melalui jalan keramat. Terus saja, kemudian diantara rumah temanku Tong Adih dan Ashok, kami belok kiri mengikuti pagar monumen kemudian turun tembus ke balik bukit.

Jalan mengecil menjadi jalan setapak. Di kiri kanan semak belukar yang rimbun. Di sebelah kiri tangan, lereng bukit menjulang tinggi 5 hingga 20 meter. Di puncaknya terlihat tugu-tugu pagar monumen yang terbuat dari batu granit hitam. Di sebelah kanan tangan pohon-pohon besar yang tua tumbuh kuat berpegangan pada tebing sungai yang jatuh hampir tegak lurus ke bawah beberapa meter dalamnya.

Di bawah, sungai berbelok-belok mengikuti bentuk muka bumi. Airnya deras berwarna coklat bekas banjir dari hulu. Di seberang sungai terhampar rawa2 yang penuh ditumbuhi perdu berduri setinggi orang dewasa. Sementara di bawahnya tumbuhan "duri bren" menjulur liar menutup semua jalan masuk ke tengah rawa. Anak-anak kampung menyebutnya duri bren karena durinya sangat banyak itu menimbulkan rentetan bunyi yang khas seperti senapan mesin bren. Breeeet! Dan seketika durinya yang beberapa puluh menempel berjajar membuat luka yang panjang.

"Nah, noh dianya, noh si Cemen lagi guyang kebo!" Samin berseru girang.

Setelah berjalan sekitar setengah jam, akhirnya mereka sampai juga. Di kejauhan terlihat si Cemen dan kawan-kawannya sedang memandikan kerbau pak Bontong, babenya yang berjumlah tujuh ekor. Si cemen sedang menggosok punggung si Bagong, kerbau jantan yang yang paling besar dengan segenggam rumput. Tanduknya membentang panjang dan tajam. Pantas saja ia menjadi kepala keluarga kerbau. Si Bagong berenang2 mengimbangi arus sungai yang cukup deras.

Sesekali ia melenguh keenakan oleh gosokan Cemen.

"Uuuuuak... uuuuak" ia melenguh senang. Sementara anak-anak berenang kesana-kemari sambil bercanda.

Kami tersenyum girang dari jauh. Ado dan Ijot berjongkok melepas lelah di bawah sebuah pohon rengas yang sudah tua. Batangnya lebih dari pelukan dua orang dewasa. Ijot berteriak2 memanggil,"Oooi, oooi! Men, gue ikutaaan!"

Mereka melihat ke atas tebing sambil tertawa. Tapi dalam sekejap raut muka si samin berubah ketakutan.

"Joot awas, jangan di situ... jangan di situ...!" Samin berteriak ketakutan.

"Bago, jangan di situ, jangan di situ...!" ia menarik-narik tangan Ado.
"Ada ape, Min? Gue capek tau!"
"Jangan di situ!" Samin tak sabaran. Ia menarik kedua bersodara itu berlari menjauh. Tak lama kemudian mereka sudah ikut bergabung dengan Cemen dan kawan-kawan.

"Ade apaan sih loe pade?" Ado kebingungan.
"Ssssst, udeh, mendingan elu berdua bantuin kita guyang kebo dah!" kata Cemen pada sobatnya itu. Anak-anak lain mengangguk setuju.

Bermain air siang-siang begini memang nikmat. Menggosok punggung kerbau hingga bersih dan saling menyiramkan air ke teman-teman. Menjelang jam 3 sore kami menarik kerbau untuk mentas. Masing-masing anak menunggang kerbaunya sendiri-sendiri. Cuma si Cemen yang berada di bawah karena harus menarik tali keluh di hidung si Bagong. Kalau pemimpinnya sudah naik ke darat, kerbau-kerbau yang lain juga akan mengikutinya. Mereka membiarkan kerbau-kerbau itu merumput sejenak di tepi sungai sebelum membawanya pulang ke kandang.

Sembari mengeringkan badan, Ado, Ijot, Samin dan kawan-kawan menyusuri tepi sungai mencari sarang lingsang. Lingsang itu seperti musang, namun bulu-bulunya licin sehingga tidak tembus air bila mereka sedang mencari ikan. Kata si Cemen, dahulu kala, di tepi rawa dan sungai sini memang banyak lingsang. Namun ketika penduduk mulai membuat empang-empang untuk memelihara gurami, mereka banyak diburu orang. Karena dianggap hama yang memangsa ternak ikan penduduk.

"Sssssssst, liat noh, disonoh. Deket akar rengas belah kulon..." Si Cemen merunduk ke balik semak. Di seberang sungai terlihat seekor lingsang yang cukup besar membawa ikan tawes di moncongnya.

Si Cemen membidikan ketapelnya. Siuuuut... buuuukkkk. Peluru ketapelnya yang terbuat dari gumpalan tanah liat meleset dari sasaran. Si lingsang melompat dengan gesit menghindar masuk ke semak belukar.

"Ngapah lu selepet itu lingsang, Men?" tanya Samin dengan wajah tololnya. "Emangnya lu doyan daging lingsang?"

"Lah kagak tong..., ntu mah haram kali dagingnyah.."
"Lah kuan kagak usah loe selepet pisan itu anjing aer, kesian.." katanya."Lagian kalo kena, elu mao berenang kesebrang? Kuan, dalem aer disini... Lom lagi tar ada setan lembu...hiiii...."

"Mendingan kita balik dah, jadi merinding nih gue!"

Mereka berlarian kembali ke tempat kerbau digembalakan. Mereka naik ke punggung kerbau satu persatu, lalu beriringan mencari sisi sungai yang dangkal untuk menyeberang.

***

Setengah jam kemudian mereka sampai di kandang kerbau pak Bontong. Ado, Ijot dan Samin mengucapkan selamat tinggal pada teman-temannya.

Dalam perjalanan pulang tak habis-habisnya mereka bercerita tentang pengalaman hari ini. Ado bertanya tentang pohon rengas tadi.

"Min, ngapa sih loe pade takut amat tadi? Pas gue nongkrong di bawah po'on rengas?"
"Husss, kuan gua kagak boleh ngomong..."
"Emang ngapa?"
"Lah kagak, itu bulan kapan pan adek guah si Musa sakit panas abis maen di bawah itu rengas... Ampe pagi ngigo kagak brenti-brenti..." samin bersecrita dengan takut-takut."Pulangin gua...pulangin...gua..... Pegitu katanya. Suaranya kayak engkong-engkong..."
"Napa elu kagak bilang dari setadian?" Ado jadi panik.
"Kesambet maksud lu, Min?" Ijot ikutan panik."Pantes badan gue jadi rada sumeng ye... Anget nih leher gue..." Ijot memegang-megang leher dan jidatnya.
"Nah, loh... ribed dah...!" si Samin melotot ngeri."Buruan gi dah elu pada lari pulang!

Kesambet jin si Jambrong gua kagak tanggung!" ia setengah berteriak.
"Mak dikipe! Yang bener luh Min?" Ijot ternganga-nganga bloon."Kita buruan balik dah!"
"Awas beneran kesambet, gue gerayangin loe Min!"

Di belakangnya, Samin tertawa geli sendirian.

"Ngibrit luh pade diuber mbah jambrong, anak kota abis gua kibulin!"

Semuanya berlari pulang. Setelah lelah seharian bermain di kali, mungkin mereka jadi masuk angin. Celana pendeknya pun kering di badan. Tapi mungkin sudah kodratnya anak-anak kampung jarang sakit. Badannya sehat-sehat ditempa oleh kekuatan alam. Sehingga sudah pasti ketiga sahabat itu akan bertemu lagi esok hari.



==========

Bogor, 26 Maret 2008

*) Guyang kebo = mandiin kerbau

*) Kesambet = ketumpangan setan, ketempelan gitu deh

*) Bader = Bandel, dalem bahasa betawi

*) Tali keluh = itu loh, kerbau biar gampang diatur, tulang rawan idungnya dibolongin trus dipasangin tali tambang. Kalo ditarik kan sakit tuh. Jadi dia nurut sama yang ngangon. Kalo dia diiket lehernya doang kayak iketan anjing, bakal repot ente. Yang ada ente yang keseret sama si kerbau.

*) Pohon rengas = pohon banyaknya di pinggir2 kali. Pohonnya gede banget, tinggi. Trus bergetah. Konon biasanya sih emang banyak setannya. Tumbuhnya aja di pinggir kali... bayangin aja...

*) Mentas = itu naek, keluar dari aer.

*) Dari setadian = maksudnya dari tadi, maklum anak kampung ngomongnya pada kagak pas.

*) Kuan = apa ya... semacam partikel bahasa. Nggak begitu penting, cuma sebagai penekanan pada kalimat. Seperti kata "lah" pada "begini lah".


*) Oh iya, ini betawi ora alias betawi pinggiran. Makanya kasar, emang aneh buat yg gak ngerti betawi.

Ayo Nimbain!

Lonceng sekolah sudah berbunyi. Pak Zul yang super galak hari ini lagi baik hati. Anak-anak berhamburan keluar. Ado nggak mau ketinggalan. Sejak dari tadi pagi pikirannya sudah melayang-layang ke sawah di dekat rumah. Di awal-awal musim hujan begini adalah waktunya anak2 mencari ikan. Sawah yang menunggu giliran dicangkul biasanya ditumbuhi rerumputan. Dan ketika air hujan yang segar di bulan2 oktober membasahinya, benih-benih ikan mulai muncul entah darimana. Pertanyaan itu selalu saja menjadi perdebatan panjang anak2. Ada yang bilang dari langit, ada yang sangat yakin mereka bersembunyi di liang2 di dalam tanah. Ada pula yang berpikir kalau ikan-ikan itu punya semacan danyang yang memelihara mereka di alam gaib, lalu melepaskannya ketika musim penghujan tiba.

Tapi itu tak terlalu penting lagi sekarang. Bagi Ado, begitu lonceng berbunyi, ia harus buru-buru pulang, berganti pakaian. Makan siang. Berpura2 menengok kambing domba yang sedang dicencang di padang rumput. Lalu diam2 mengambil kaleng bekas cat yang ia sembunyikan di balik semak-semak tablo yang rungkut... kemudian... nimbain ikan di sawah!

Ya, sejak kemarin ia sudah mengincar lubuk yang dikiranya banyak ikannya. Lubuk itu tepat di ujung saluran irigasi yang melewati kebun bapak. Du ujungnya air memancur dan mengukir tanah membentuk cekungan yang cukup dalam. Di tempat seperti itu biasanya ikan-ikan besar memiliki ruang gerak yang bebas. Dengan demikian ia mengharap dapat tangkapan yang lebih banyak.

Tentu saja, akal cemerlang seperti itu bukan ia saja yang punya. Meski sudah beberapa tahun di kampung sini. Tapi Ado belum lagi selihay sobat2nya, si entur, si udin, entong adih, si chamim, si mansyur dan banyak lagi. Sebagian dari mereka tidak bersekolah. karena itu, ia mesti buru2 nge-tek tempat timbaan. Siapa duluan, dia yang dapat. Tapi kalau tempatnya terlalu besar, kita bisa berbagi dengan catatan harus saling bantu menimba airnya sampai kering.

"Yo, kita nimbain ikan di kocoran pojok kebon nyuk?" Ado merayu adiknya untuk ikutan.
"Tapi jangan sampe ketahuan ibu. Ntar kita dimarahin deh..."

Adiknya memang teman paling kompak. Paling senang diajak nyari ikan.
"Ayo" iyo setuju tanpa basa-basi."Iye, kayaknye disitu ada kocolannye deh. Trus kemaren gue liat udangnye gede2... Udah biang, banyak telornye!" matanya berbinar-binar membayangkan kejayaan.

"Iye tuh benerrrr! Nah, kmaren gue udeh umpetin kaleng di dalem pohonan tablo," Ado senang dapat konco. "Perkara nimbanye mah kalo kagak dapet perabotan, kita pake tangan aje yak?"
"Setuju, akurrr!" pipi iyo yang gembul makin melembung saking girangnya.

***

Karena itu mereka berdua diam-diam sepakat untuk berlagak rajin, ngangon kambing. Jadi kalau bapak pulang naik vespa. Dia akan tenang, karena kedua anak itu giat bekerja. Bebas dari kewajiban belajar siang ini. Dan kenyataannya kita bakal dapat ikan banyaak... horeee...!

"Nih yok kalengnye" sambil menyodorkan kaleng bekas itu kepada adiknya. "isiin aer gih!"
Iyo mencuci kaleng itu dengan air mengalir beberapa kali. Lalu mengisinya dengan air segar dan dengan cekatan ia mencabut pucuk-pucuk rumput beberapa genggam. Dimasukkannya rumput itu ke dalam permukaan air di kaleng. Kami percaya dengan begitu, ikan2 tidak cepat mati.

Matahari sungguh terik. Namun bulan-bulan ini langit dihiasi awan yang bergerak kesana-kesini menutup cahaya. Bagi anak-anak angon seperti Ado dan Iyo, panas seperti ini sudah biasa. Kulit mereka kenyang matahari. Legam dan berkilat seperti baja yang tuntas dibakar. Di sawah, angin juga tak pernah mati. Selalu saja mengalir, mendinginkan permukaan bumi.

Iyo menunjuk ke kocoran itu. Dari atas galengan, ternyata luas juga tempat yang harus mereka keringkan.

"Do, gede juga tempatnye. Dari sini ke sini aje ye?" usul Iyo.
'Iye deh, tar keburu bapak bangun tidur" ado setuju. "Lagian liat noh, si udin sama entur udeh nongol. Buruan deh kita kerjain."

Mereka lompat ke sawah dan mulai membuat bendungan melingkari lubuk itu. Dengan tangan ditangkupkan menelungkup, mereka mengeduk lumpur sawah dengan gesit. Seperti menggunakan sekop saja layaknya. Dalam beberapa menit saja lubuk itu sudah terkurung benteng lumpur.

"Gue nimba dari sini, loe dari sono ye.." mereka berbagi tugas.

Byur, byurrr, byurrr... suara air yang mereka timba keluar dari kolam. Kali ini tangannya menangkup ke depan untuk mendorong air keluar kolam. Pyuuuh, capek juga. Tapi ternyata airnya tidak terlalu banyak. Tadi mereka sudah mengalihkan air dari hulu irigasi ke arah lain. Sehingga dalam beberapa menit airnya sudah mulai dangkal. Ikan2 yang terperangkap keliatan nenggak di permukaan air beberapa kali. Tenggakannya menimbulkan gelombang melingkar di permukaan. Dari tenggakannya mereka tau ada banyak ikan betik dan sepat. keduanya saling pandang, lalu nyengir senang. Lalu mulai nimbain lagi.

Tiba2 dari atas galengan muncul kepala si udin dan si entur. Muka mereka yang keling persis seperti lutung yang meringis melihat pisang. Mereka sobat baik, karena mengajarkan banyak sekali pengetahuan kepada kedua anak itu. Mulai dari jenis-jenis ikan, tumbuhan, burung dan teknik mancing. Tentu saja, mengingat semua pelajaran itu susah sekali. Namanya aneh2. bandotan, secang, burung peking, ncit madu, celepuk, kodok bancet... Namun Udin dan Entur sangat lugu. Mereka bangga lebih pintar dari anak kota, biarpun tidak sekolah.

"Lah, bagen, lu dah pada nimbain yak? Kagak ngajak2 guah..." Udin berseru."Gue boleh ikutan ngapah?"
"Ini kan bagian gue, Din..." kata si Ado."Loe nimbain gi dah di pojokan sono. Banyak ikannye juga tuh..." Ado nunjuk ke sudut sawah. Di situ juga datangnya aliran irigasi.
"Kagak dah, guah bantuin elo-elo ajah, kuan..." Udin menolak. "Pan kemaren gua liat ada kocolannya di sini. Gua pancing kagak makan-makan."
"Kita bantuin nimbanya dah" si Entur ikutan ngusul.

Ado garuk-garuk kepala. Dia lupa tangannya penuh lumpur sawah yang baunya bacin. Jelas saja rambutnya belepotan lumpur. Belom sadar juga, dia malah pegang hidur. Keruan saja mukanya jadi cemong kayak dakocan :D Semuanya ketawa terbahak. Ia mencuci tangan dan wajahnya di air sawah yang tak begitu pekat.

"Iya dah," kata Ado. Karena kebanyakan ngobrol air kembali merembes ke dalam berupa mata air kecil2. Iyo setuju saja, sebab senja sebentar lagi membayang. Mereka harus menggiring kambing pulang dan memasukkan ayam ke kandang.

"Wah entuknya banyak bangaat. Sini dah gua pampet dulu yak..." Entur menutup lubang mata air dengan pecahan tanah wadas yang agak keras. Sebentar kemudian terdengar lagi suara air ditimba, byurr, byurr, byurr...

Tak seberapa lama, air telah surut menyisakan koloid lumpur yang pekat. Saat itu, sulit sekali menemukan ikan yang terbenam di dalamnya. Kami mengaduk lumpur dengan kaki beberapa kali agar ikan kekurangan nafas. Setelah itu diam sejenak. Biasanya ikan2 akan bergerak sehingga menimbulkan pusaran lumpur yang unik. Itulah saatnya kita menangkap ikan.

"Asik betik nih, gedean... Mana kalengnye, Yo?" Iyo mengambil kaleng dan meletakkannya di gundukan lumpur terdekat. Satu betik, dua sepat, tiga cupag sawah... udang... Banyak sekali yang kami dapat. Udin dan Entur boleh menyimpan kaleng mereka sendiri.

Kecuali untuk.... kocolan!

"Itu tuh, kocolan tuh, buruan tegrep!!!" seru Ado. "Deket kaki loe Yo, itu, itu, itu...!"
Semua anak melupakan daerah kekuasaan masing2. Semua merunduk dan merogohkan tangannya ke tempat yang sama. Kocolan bentuknya panjang dan licin. Ia tidak punya patil, sehingga kita leluasa menangkapnya tanpa ragu-ragu. Kalau dapat, kami semua ingin memeliharanya di empang agar bisa tumbuh besar menjadi ikan gabus.

"Gue dapettttt... gue dapeeeettt!" Iyo berteriak kegirangan. Ia memegang ikan itu erat2.

Tapi dalam situasi begini, tidak ada yang yakin sebelum ikannya masuk kaleng. jadi semuanya terus saja berebutan. Si kocolan pun terlepas. Anak-anak melompat serentak mengejar si kocolan.

Gejeburrrrrrr! Semuanya jatuh tertelungkup di lumpur. Si kocolan meloncat tinggi menyebrangi ke air sawah yang luas di luar bendungan. Ado dan iyo bersungut-sungut marah.

"Gara-gara loe tuh, kocolannya jadi lepas...!" keduanya mengeluh. Tubuh mereka kotor berkubang lumpur. Berarti misi rahasia mereka bakal ketahuan bapak.

Meskipun demikian masih ada sedikit waktu untuk bisa selamat. Terpaksa mereka berempat melupakan sisa2 ikan yang belum tertangkap. Mereka membuka bendungan dan segera mandi di saluran irigasi. Sambil tetap bersungut2 mereka memeras baju hingga agak kering. Lalu segera pulang.

Udin dan Entur membantu keduanya melepas tali cencang kambing2 bapak. Mereka ingin menghibur kekecewaan kedua temannya itu. Ado memegang tali lalu menggiring kambing2 pulang. Iyo menenteng kaleng disisi kambing agar tidak ketahuan ibu.

Sambil berjalan si udin main tebakan.

"Gua kasih tebakan nih. Hayo anak mancing makannya apah?"
"Caciiing!" jawab Ado sengit.
"Salah!" Udin tergelak. "Anak mancing makannya kuan Nasi sama lontong sayurrr!"

"Nah, kalo anak gabus namanya apaan?" Udin terbahak2.
"Kocolan!' Ado menjawab spontan."Eh, sialaaaaaaaaan.....!!!!

Dilepasnya tali cencang kambing lalu lari menguber si Udin dan si Entur yang berlari pulang.

Kambing-kambing berlarian kabur. Semuanya tertawa terbahak2. Melupakan kekecewaan dan hukuman dari bapak nanti malam.



================
Bogor, 19 Maret 2008

*) Kocolan itu ikan gabus kecil. Kalo dah gede baru dibilang gabus.

*) Betik itu anaknya ikan betok. Kalo udah gede batok kepalanya keras. Dan siripnya durinya tajem2. Makanya kalo keras kepala dibilang jidatnye mirip ikan betok :)).. in bisaan gue aje sih hehe

*) Entuk alias Ntuk itu sebutan untuk mata aer. Coba deh liatin orang gali sumur atau gali empang, nanti bakalan ada mata air kecil2. Itu yang kita sebut Ntuk.