THE HEART IS RIGHT
The
Heart is right to cry
Even when the smallest drop of light,
Of love,
Is taken away.
Perhaps you may kick, moan, scream
In a dignified
Silence,
But you are so right
To do so in any fashion
Until God returns
To
You.
Hafidz
"The Gift" - versions of Hafiz by Daniel Ladinsky
Lik Yem memanggilku untuk segera sarapan. Beliau bangun pagi-pagi benar untuk membantu ibu membersihkan rumah, dan menyiapkan sarapan buat kami. Sarapan pagi benar2 istimewa. Sebab biasanya tidak ada sarapan. Bapak pria keras. Katanya anak-laki-laki harus kuat. Harus tahan lapar. Bangun pagi-pagi, segera berangkat ke sekolah. Makan harus cepat, karena kalau ada perang kita pasti akan ketinggalan. Keburu musuh datang. Mungkin itu alasan saja, sebab ia tau betapa berat kerja ibu. Mengurus anak-anak, menggendong berkuintal2 beras untuk warung kami yang sederhana. Meski kami masih kecil, kami mengerti. Kami adalah serdadu cilik yang siap siaga.
Tapi bila ada Lik Yem di rumah, pagi akan jadi istimewa. Kami akan sarapan yang enak dan saat beliau mengantar kami ke sekolah, tak lupa ia memberikan sedikit uang kecil untuk jajan. Nanti setelah pulang sekolah kami akan saling bertanya membandingkan berapa uang yang kami dapat masing2.
"Ayo, Gus. Makannya yang cepet, habis itu pake kaos kaki sama sepatu, kita siap2 berangkat", kata Lik Yem memberi komando.
"Iya Lik Yem", aku mengiyakan dengan mulut penuh. Sambil mengunyah, kubenahi dasi buntungku yang berwarna merah dengan tangan kiri. Lik Yem datang dan menyisir rambutku dari belakang.
Air mataku hampir jatuh mengenangkan saat-saat indah itu. Ku alihkan pandangan ke arah sawah-sawah membentang di luar jendela. Lalu aku sibukkan diri mengatur letak sepeda yang kubawa ke dalam gerbong kereta. Aku akan turun di Madiun, lalu melanjutkan perjalanan dengan sepeda ke sebuah desa kecil di Ponorogo. Aku akan menengok Bu Lik ku yang sendirian.
***
Sekali lagi Ade mengejutkanku dengan klaksonnya yang lantang. Gadis itu tampaknya begitu menyukai kecepatan. Sudah beberapa kali ini ia mendahuluiku di tol. Biasanya aku cuma tergelak melihat pantat mobilnya melesat meninggalkan hempasan angin ke mobil tuaku. Hahaha... gadis edan!
Bukannya aku tak suka ngebut, tapi setir si merah sudah bergetar keras bahkan sebelum speedometer menyentuh angka 100. Aku mencoba nikmati perjalanan di tol dengan bernyanyi2 sendirian agar hasrat untuk menjejak pedal gas kuat-kuat agak mengendur sedikit. Tapi kurasa bagi banyak orang, kecepatan itu menenangkan. Dalam perjalananku ke desa2, saat aku duduk diatas kepala truk yang menanjak seperti gila ke atas gunung, aku menikmatinya. Saat aku berlari beberapa langkah meraih puncak gunung, aku meninggalkan teman yang kelelahan dibawahku. Saat aku mengayuh pedal sepedaku, aku penuh kendali atas mesin sederhana itu. Angin yang menepis wajahku seakan membuatku terbang cepat melintasi bukit2 dan padang yang luas. Berjuta-juta kerikil yang terpatri kuat dalam aspal hitam dibawahku serentak menjadi garis-garis panjang yang berlalu cepat di bawahku.
Jadi, tak ada alasan untuk mungkir. Dalam hal ini aku memahami gadis itu. Aku adalah burung. Suatu saat nanti sayapku akan luruh satu demi satu. Tapi sebelum itu terjadi, aku akan terbang sepuasnya. Membiarkan debu hati dan pikiran berhamburan dihirup oleh langit yang luas. Aku akan hinggap sesekali, dan menemukan kekhawatiran2 hidup lagi. Tapi sementara itu aku akan berkali-kali lagi terbang melalui siang, bintang-bintang malam dan makhluk-makhluk lemah dibawah sana.
"Tadi denger nggak aku klakson?" Ade bertanya. PM nya menyeruak diantara pesan2 teman2 kantor dalam meebo ku.
"Denger kok, sampe kaget deh! :D" jawabku terbahak. Dia ikut terbahak.
"Untung tadi pagi di sms, kalo nggak bablas deh", ia meringis malu."Kangen ya?" emoticonnya sok cool menggodaku.
Aku cuma meringis, sudah pasti itu sebuah ya. "Memangnya weekend ngapain aja sampe kebluk gitu?" tanyaku.
"Aku telponan sampe malem dengan priaku", katanya ringan.
"Pantess..", aku berjanji untuk tidak posesif. Makanya aku cuma tersenyum pendek. Para pengunjung berdatangan ke library ku. Hari ini aku berbagi tugas dengan Fitri. tetap saja email-email para scientist yang menunggu jawaban dengan tidak sabaran bikin hati makin kepingin terbang.
***
Lik Yem adalah adik ibu yang paling beliau sayangi. Sejak kecil hidupnya sangat menderita. Beliau lahir jaman jepang. Kehidupan serba susah. Katanya, dulu ketika nenekku meninggal dunia, Lik Yem masih sangat kecil, mungkin baru berumur satu atau dua tahun. Tapi saat itu ia seakan mengerti ditinggal mati ibunya. Memang ketika melahirkan Lik To, ibunya sakit keras. Tubuhnya terbaring sangat lemah. Suaminya sangat sedih, namun dengan setia menemaninya hingga akhir hayatnya. Ibuku dan Lik Yem yang masih kecil ikut bekerja dan membantu bapaknya mengurus bayi. Kata ibuku, si bayi terpaksa diberi air tajin atau air kelapa muda untuk mengganti susu. Maklum jaman itu jaman susah, tahun 1940an. Kala kakekku menyuapi bayinya, Lik Yem memeluk kaki pria itu. Tak ada yang lebih mengharukan dari mata kecil Lik Yem yang hanya bisa memandang adiknya dengan keluguan yang bersih.
Itu sebabnya, bagi ibu gadis itu sudah seperti belahan jiwanya. Seperti anaknya sendiri. Meski rumah kami cuma sebuah bedeng reot. Ibu memastikan Lik Yem dalam kebaikan. Hingga suatu saat.
"Ibu nggak tau, bahwa Om Joko sudah bilang ke Lik Yem. Yang jelas pagi itu Lik Yem nggak mau berangkat ke Jawa. Dia nggak nangis, nggak apa. Cuma bilang nggak usah berangkat, Mbak. Wong nggak jadi kok" ibuku meraup wajahnya. Bulu matanya basah teringat anak gadisnya itu. "Rupanya malam itu Om Joko membatalkan pernikahan. Ia membatalkan syahadat yang diucapkannya seminggu sebelumnya."
Aku terpana. Jaman itu perkawinan dirayakan sudah sejak seminggu sebelumnya. Kakek menyembelih seekor sapi untuk memeriahkan pernikahan itu. Lik Yem tetap tak menangis.
Bertahun-tahun setelah peristiwa itu. Lik Yem masih sering bertemu Om Joko. Lik Yem adalah seorang Pegawai Negeri Sipil ABRI, sedang Om Joko berpangkat sersan hingga akhir pengabdiannya. Kami tidak pernah tahu bagaimana perasaan wanita sederhana itu. Ia hanya bilang, "Mbak tadi aku bertemu Joko di Kodam. Sudah tua juga ya dia..."
***
Peluit kereta memekik ke udara. Aku tiba di madiun. Kukenakan ransel bututku di punggung, mengenakan helm. Kemudian aku tenteng frame dan roda2 turun ke peron. Dengan hati2 kurakit roda2. Kusetel rem dengan baik. Lalu kutuntun sepeda keluar stasiun untuk mencari makanan. Nanti aku titip sepeda sebentar di warung untuk sedikit bersih2 di toilet sebelum melanjutkan perjalanan.
Setelah selesai. Aku bersiap2 melanjutkan perjalanan. Ku periksa rem, ban dan helm. Kata adiiiku, dari sini jalan akan terus menanjak dan mesti bersaing dengan bus-bus antar kota. kakiku mulai menggenjot pedal perlahan. Dengan kecepatan segini, mungkin aku akan sampai agak lama. Kira-kira 3 jam atau lebih. Angin bertiup perlahan menentang lajunya roda sepeda. Aku tersenyum melihat orang-orang yang agak heran dengan pengendara sepeda yang asing. Anak-anak kecil yang sedang berangkat ke sekolah bersorak gembira ketika aku lewati rombongan sepedanya. Kulambaikan tanganku sebelah untuk menyambutnya, lalu berlalu cepat mendahului. Suasana pagi yang indah.
Buzz! Sebuah tanjakan di depan dan HPku bergetar. Ada sebuah SMS masuk dari Ade. Ia menanyakan apakah aku sudah sampai tujuan. Selain mengobati rinduku pada Lik Yem, aku juga ingin menjauh sejenak dari gadis itu. Ia tau aku menyayanginya. Tapi aku tak berniat berada diantara dia dan kenangan indahnya dengan pria itu. Aku tak akan menjawabnya sekarang. Hari makin panas, masih beribu jejak lagi sebelum aku sampai di tujuan.
***
Lik Yem tak begitu paham agama. Ia hanya hafal surat2 pendek seperti Al Fatihah dan Al Ikhlas. Ketika ia pensiun dan divonis mengalami gagal di kedua belah ginjalnya, ia baru saja belajar sholat lagi. Ibuku mendorongnya untuk ibadah sebisa-bisanya. Badannya yang dulu gemuk kini tinggal tulang berbalut kulit. Tapi seperti biasa, ia tak pernah mengeluh apalagi meminta bantuan. Bahkan ia masih menyempatkan diri mermbuat kue-kue kering untuk kami saat lebaran. Seminggu sebelum lebaran ia selalu saja mengejutkan kami dengan mengantar kue2 itu sendiri ke rumah. Kami selalu melarangnya berbuat begitu karena sakitnya yang tak mungkin lagi membaik.
Namun hatinya adalah Al Fatihah, ibu dari Qur'an. Ibu dari rasa syukur yang tanpa dasar, tanpa langit, tanpa batas ruang dan waktu. Ibu dari segala rasa kasih sayang. Ia tak perlu memahami 6666 ayat, 114 surat. Ia hanya mengasihi dan menyayangi kami semua tanpa alasan yang berarti.
"Lik Yem, maafin Ago. Ago kangen banget sama Lik Yem," kataku terbata. Kutaburkan bunga di pusara Lik Yem sambil berdoa.
Di suatu pagi, para tetangga menemukan beliau terbujur di lantai kamarnya yang sunyi. Malam sebelumnya kemungkinan beliau terkena stroke lagi setelah siangnya menjalani cuci darah untuk yang sekian kali dalam 3 tahun terakhir. Beliau terjatuh setelah menunaikan sholat. Tak ada yang tau karena beliau tinggal sendirian. Ia selalu menolak kami ajak tinggal di rumah kami. Darah mengalir dari mulut dan hidungnya yang suci. Semut mulai mengerumuni ketika tubuhnya ditemukan.
Hingga akhir hidupnya Lik Yem tak pernah menikah. Ia bukan orang kaya. Tapi semua miliknya sepenuhnya disumbangkan buat orang lain. Aku tak pernah sempat lagi melihat wajahnya. Yang kuterima hanya beberapa lembar potret tua yang kini tergantung di dinding rumah kami.
Ah, rahasia cinta...
"Aku dah ketemu Lik Yem, De. Aku balik besok pagi."
***
Tuesday, January 23, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)