"Keong aja punya rumah, masa kita nggak?" kata ibu padaku suatu hari. Beliau orang yang sangat sederhana. Aku cuma tertawa mendengar ungkapannya itu.
"Iya deh, nanti aku beli rumah beneran deh", jawabku masih tertawa-tawa. "Sekarang kan aku dah punya rumah keong. Kalo kemaleman tidur di jok si merah aja".
Beliau cuma tersenyum, lalu melanjutkan kegiatannya menyiangi sayuran di atas tampah tuanya. Aku ingat sekali waktu kami masih kecil2, kami sering berkumpul mengelilingi tampah. Membantu ibu memilihi beras, menyiangi sayuran, menjemur gaplek, nasi kering atau mengayak tepung beras yang kita tumbuk bergantian di lumpang besi. Ibu akan mengajari kita mencari gabah, kutu beras, atau kotoran berupa kerikil dan beling yang tercampur dalam beras. Lain waktu, ia akan menunjukkan caranya melorot daun katuk dari batangnya yang mungil hingga mengeluarkan bunyi gemeretak yang lucu. Aku tau cara menyiangi bayam atau daun kangkung dengan melihatnya setiap hari. Aku agak jijik menyiangi kulit melinjo, karena kadang banyak ulat di dalamnya. Biasanya untuk mengusir rasa jijik ibu akan menceritakan kisahnya waktu kecil, yang harus bekerja lebih keras dari kita2. Waktu ia harus mengangkut telepong sapi dari kandang ke sawah. Sampai ia lari ketakutan melihat larva kumbang tahi yang sebesar jempol kaki orang dewasa. Ceritanya begitu nyata sehingga kami ikut bergidik karena bayangannya.
Tapi ketika kini aku kenang lagi, semuanya jauh lebih menyenangkan. Kadang ingatan itu membuatku ingin mengulang kembali semuanya dan melakukannya dengan lebih baik. Aku ingin membantu ibu dengan lebih gembira. Aku tidak ingin cemberut karena tidak ingin ketinggalan acara televisi atau main bersama anak-anak lain ke sawah. Aku hanya ingin berkeliling di tampah dengan saudaraku membantu ibu sebisa-bisanya.
"Ado berangkat bu," aku meraih tangan kanannya lalu menciumnya. Ibu tersenyum. Waktu terasa begitu singkat, rambutnya kini telah menjadi kelabu. Manusia memang begitu ceroboh dengan waktu. Padahal kita yang terikat kontrak dengan dia, bukan sebaliknya. Kita membiarkan semua hal berlalu seakan detail momen kehidupan kita itu sesuatu yang sudah seharusnya mengalir begitu saja. We take it for granted. Baru ketika menjadi kenangan, kita menjadi sentimentil, ingin memutar balik waktu dan merengkuhnya kembali. Tapi bila waktu bisa diputar ulang apakah kita akan bisa melakukan hal yang sama dengan lebih baik? Ataukah kita makin menganggap remeh hidup kita? Karena kita bisa mengkoreksinya kapanpun kita mau?
Aku merekam wajah ibu baik2 dalam ingatan. Kubuka pintu pagar. Sementara ibu mengantarku hingga ke pagar. Gantian memandangku pergi menjauh.
***
Di kantor, mitra kerjaku sudah menjadi ibu. Fitri belum lama ini menikah dan cukup beruntung karena segera dikaruniai kehamilan. Menanti kedatangan seorang anak membuat perempuan yang masih kekanak2an itu berpikir tentang banyak hal. Bahkan ia mulai membuat kami bosan dengan email2 forward nya yang isinya soal perkawinan, kehamilan dan sejenisnya. Satu lagi, ia sibuk nyari info soal rumah. Bahkan multiplynya pun isinya tentang website2 iklan rumah. Ya ampuuun...
Tapi kalau hati lagi lapang, aku bisa memahami kekuatirannya. Orang tua mana yang nggak ingin anaknya nyaman? Karena itu aku sekali2 mengajaknya ngobrol soal rumah. Betapa mahalnya sebuah rumah. Apalagi kalau beli di perumahan. Harganya mahal, cicilannya tinggi, luasnya tak seberapa. Obrolan itu mengisi sela2 kesibukan kami melayani pengunjung perpustakaan.
Membosankan, tapi kadang bisa mengungkap kenyataan yang baru kita ketahui. Misalnya tentang daerah mana di bogor yang hawanya masih sejuk. Daerah yang air tanahnya terlalu dalam. Perumahan yang kualitas bangunannya kurang baik. Dan lain sebagainya.
Ibu muda itu ingin cepat2 punya rumah, karena tinggal di rumah mertua tentu saja tidak sepenuhnya enak. Ada saja kekurangannya. Kadang aku sok berpengalaman memberi masukan. Menurutku rumah bisa dimana saja. Bila sepasang pengantin baru mampir di rumah mertua beberapa waktu, itu kan wajar saja. Tinggal bagaimana sikap kita terhadap orang tua baru kita. Fitri setuju soal itu, namun mulai bercerita hal-hal yang tak tercatat dalam buku panduan. Semacam bugs program komputer yang unik pada setiap rumah tangga. Yang muncul begitu saja mengacaukan jalannya sistem yang sudah direncanakan dari jauh-jauh hari. Tentang paviliun yg sepi jauh dari rumah utama dan kehadiran keluarga ipar yg lebih membutuhkan. Aku cuma bisa tertegun. Aku kan belum kawin...
***
Kadangkala ada keinginan begitu saja untuk main ke sanggar sebelum pulang ke rumah. Aku stop angkot di dekat stasiun kereta api. Lalu berjalan cepat memasuki koridor baru stasiun bogor. Para penumpang sedikit mengantri di depan loket kumuh untuk membeli tiket. Aku bayar 2000 perak untuk stasiun depok lama. Setelah memilih kereta yang tepat menuju jakarta, sekitar 30 menitan aku sampai di stasiun depok lama.
Sanggarku dulu letaknya dekat pangkalan becak. Disela2 waktu mereka menarik becak, mereka suka mampir dan memainkan gamelan, sendiri atau mengajak teman2nya bergabung. Biasanya mereka cuma mengangguk memberi salam padaku yang sedang duduk di dalam rumah. Aku membalas tersenyum, dan itu berarti persetujuan.
Bagiku, rumah itu tidak menjadi rumah bila gamelan tidak ada yang memainkan. Saat aku tiba di sanggar kira2 menjelang jam 7 malam, satu-satu teman2 penarik becak, supir angkot, pembantu rumah tangga, tukang cuci mobil, semuanya berdatangan. Mereka menempati posisi masing2, lalu melihat ke papan tulis untuk mengingat2 not lagu yang dilatih hari2 lalu. Sebagian masih menikmati kepulan asap rokok atau bercerita tentang tarikan hari ini.
Mas Wandi atau mas Gito mengeluarkan kendhang ke teras.
"Baru dateng mas Bagus?" mas Gito menyapaku dengan ramah.
"Iya mas" jawabku tersenyum. Diletakkannya kendhang sejenak di lantai untuk menyalamiku. Aku berdiri menyambutnya.
"Ini dari kantor langsung?" tanyanya.
"Iya, dari Bogor, Mas. Tadi saya pikir2 mau ke sanggar, jadi turun di stasiun. Langsung naik kereta kesini," jawabku lagi."Monggo, silahkan langsung saja".
Mas Gito tersenyum lalu mengangkat kendhang yang berjumlah 3 buah itu ke teras. Ia baru setahun ini belajar main kendhang, tapi permainannya sudah menakjubkan. Seakan-akan dia terlahir untuk itu. Lalu permainan dimulai. Aku menghirup teh manis hangat yang dihaturkan mas Wawan kepadaku. Kami bercakap2 tentang banyak hal.
Tanpa terasa sudah jam sembilan. Latihan harus berakhir. Itulah kisah yang kami lalui 2 tahun terakhir ini. Saat kami sudah mulai kerasan, justru kami harus pergi. Kontrak rumah sudah berakhir. Di hari terakhir kami di sanggar, aku hanya tersenyum. Sambil berjongkok di teras, aku memandang mas Togar dan mas Wandi yang setia membantu kami pindahan. Bagi orang yang bekerja di jalanan seperti mereka, rumah adalah sebuah impian yang jauh. Mereka punya rumah di kampung, tempat anak dan istri mereka tinggal. Tapi itu hanya anggan-angan yang menghiasi tidur mereka di atas becak atau di emper-emper toko yang dingin.
Saat musim hujan datang, mereka menyatukan dua becak berhadap2an, menutup atap dan kedua sisi samping dengan lembaran plastik. Dan berbagi ruangan jok yang sempit dengan kawannya untuk sekedar dapat tidur dengan kaki lurus. Mas Gito lebih beruntung. Dapat tidur di jok angkot tarikannya. Pakaian dan barang2 disimpan di kos2an yang disewa bersama.
Di sanggar, aku, mas Wawan dan mbak Tuti menganggap mereka keluarga. Saat malam tiba, mas Wawan menggelar tikar tua biar mas Wandi dkk bisa tidur lebih nyaman. Becak bisa di parkir di halaman. Biarpun hidup kasar, budi mereka halus. Mereka selalu menolak kami ajak tidur di dalam. Mereka memilih tidur di teras, atau bila hujan badai, mereka hanya mau tidur di ruang tamu.
"Mas Bagus," kata mas Wandi tiba-tiba."Kalau bisa sih sanggar jangan sampe bubar. Sayang, mas. Biar bagaimanapun caranya pokoknya kumpulane jangan bubar deh".
"Insya Allah, mas," jawabku. "Temen2 jangan kecewa dulu. Kita anggep aja ini istirahat sebulan. Nanti kita usaha lagi bagaimana caranya supaya kita dapet tempat lagi".
Sekali lagi aku cuma bisa tersenyum. Rumah memang bukan cuma tempat kita bisa berteduh dari hujan dan panas. Bukan cuma tempat kita memadu cinta dengan kekasih kita dan beranak pinak. Tapi tempat dimana kita menjadi manusia biasa. Tempat yang menerima kita tanpa pretensi apa2.
***
Aku sudah sebulan ini ngekos setelah hampir setahun bolak balik jakarta bogor dengan mobil merahku. Dulu aku pernah ngekos, mungkin setengah tahun. Tapi karena kota ini begitu sepi, aku pilih menghabiskan waktu menyetir di jalan dan bertemu keluarga. Selain itu dulu aku punya temen bareng pulang, sobatku Nety yang tinggal di Bintaro. Sekarang kontrak kerjanya tidak diperpanjang. Jadi aku merasa iseng juga menyetir sendirian jakarta-bogor.
Singkatnya aku ngekos lagi. Kembali pada kebingungan yang lama. Pulang terlalu cepat dan tidak banyak yang bisa dikerjakan. Membaca buku-buku yg aku bawa dari kantor atau ebook di hp sudah. Keliling2 kuliner kota bogor hampir tiap malam sudah. Jalan2 ke pasar anyar, melihat2 kelinci di emperan kebun raya bogor juga sudah. Akhirnya ikut berenang atau browsing internet di kantor hingga malam.
Untuk membuang waktu, aku blogwalking kesana-sini. Banyak sekali yang menulis dari tempat2 jauh. Satu dua orang sedang belajar di negara seberang bercerita tentang perjuangannya beradaptasi. Aku membayangkan betapa beratnya tinggal di negeri asing yang bahasanya saja susah kita mengerti. Bayi masih lebih beruntung, memang omongannya tidak dimengerti tapi dia nggak perlu mikir nyari duit. Bahkan ia belum punya pikiran.
Sobatku menikah dengan pria bule. Pria holland yang patah hati. Ia bercerai dari istrinya terdahulu yang membawa putranya dan membuatnya bangkrut karena tunjangan untuk anak. Ia beruntung menikah dengan wanita indonesia. Yang begitu baik, setia dan mencintai apa adanya. Aku nggak tau apa sobatku itu dulu sering ke luar negeri atau tidak. Ia hanya bercerita tentang tahun-tahun pertamanya via yahoo messenger. Setidaknya dinginnya cuaca membuat tulangnya ngilu. Waktu kukabari aku bertemu ibunya di rumahnya di tanah abang dia sangat gembira.
Setelah setahun lebih, dia bisa bertahan. Minggu lalu dia lulus kursus bahasa belanda. Katanya dia sudah bisa mengerti banyak bahasa lisan dan membaca dengan baik. Sedangkan menulis memang butuh belajar lebih banyak. Aku rasa, seperti keberuntungan suaminya. Ia juga beruntung menemukan pria yang baik. Yang membuat tempat yang asing sama hangatnya dengan keluarga di tanah air.
Banyak sekali pengalaman yg aku dapet dari blogwalking. Banyak yang memberi semangat, sangat sedikit yang menunjukkan pengalaman pahit selain putus cinta. Padahal pengalaman semacam itu lebih berharga buat kita. Bukan untuk bilang, not in my backyard. Untukku, mendengar cerita bahagia itu menyenangkan, mendengar cerita sedih menjadi sebuah beban. Such a heavy burden to bear. Tapi mendengar orang2 yang survive menempuh kepahitan hidup adalah sebuah inspirasi.
Aku sendiri nggak bisa melupakan masa lalu. Waktu kakakku sedang menderita skizofrenia kronis. Kalau bisa pergi, pasti aku akan pergi. Tapi aku sekeluarga bertahan. Itu memberikan ikatan yang jauh lebih kuat dari sebelumnya. Ia membuat kami sadar bahwa hidup begitu ringkih namun sangat berharga untuk kita tempuh. Tak banyak teman yang bertahan dalam kondisi seperti itu, tapi rumah akan selalu menerima kita.
Ada teman yang memiliki pengalaman sangat pahit di rumah. Kembali ke sana hanya mengingatkan dia pada kegetiran itu. Menurutku rumah seperti itu hanya sebutan, bukan rumah sesungguhnya. Rumah yang sesungguhnya akan memiliki makna yang hangat di hati kita. Ada kegetiran, tapi senyum dan kebahagiaan mendominasi batin kita. Di mana kita merasa menjadi lebih bersahaja menghadapi hidup di situ aku akan pulang. Tempatnya bisa lebih dari satu dan bisa dimana saja, tapi bermuaranya hanya di kedalaman hati kita.
Malam itu aku pulang walaupun weekend masih jauh. Ternyata ibuku kena musibah. Tangannya tersiram minyak panas saat menggoreng makanan. Bapak menyuruhku menengok beliau di kamar. Matanya terpejam berusaha untuk tidur. Namun rasa sakitnya sulit dilawan bahkan dengan bantuan obat. Aku memandangnya diam lalu membiarkannya tertidur. Setelah menanyakan keadaannya pada bapak aku sngat bersyukur pulang ke rumah.
Bogor, 18 Juli 2007
Tuesday, July 17, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)