Ada suatu masa dimana kami cukup miskin. Sehingga untuk memberi makan 7 orang anak yang masih kecil2 terasa sulit. Belum lagi bila ada keluarga bapak atau ibu dari kampung yang menumpang di rumah kami setahun atau dua untuk minta dicarikan pekerjaan. Bila ibu tidak berdagang kelontong, tak mungkin gaji tentara bisa mencukupi. Tapi ketabahan orang-orang dulu memang berbeda. Saat itu bapak atau ibu jarang mengeluh, bahkan bila mereka yang sudah dicarikan pekerjaan sudah lama melupakan kami.
Waktu kami kasih kecil, dunia jauh lebih sederhana daripada jaman sekarang. Televisi sudah ada, tapi masih menjadi barang langka. Radio tua yang kami punya juga jarang dinyalakan. Karena masih ada hal lain yang lebih mendesak daripada membeli baterai eveready bergambar kucing hitam itu. Bosan juga bolak-balik menjemur baterai di panas matahari hanya untuk memperpanjang usianya beberapa jam saja. Hiburan kami setiap hari adalah membantu ibu membuat kantong beras dari kertas bekas setiap malam. Sampai kami mahir dengan kertas dan kanji. Lain waktu kami menimbang gula pasir dan membungkusnya dengan kantong plastik kecil2, atau membungkus minyak goreng eceran dalam plastik secanting-secanting.
Sore hari, ibu memandikan kami satu-satu, membedaki dengan bubuk talk seakan kami akan pentas opera cina. Beliau menyisir rambut kami satu-satu, lalu memasangkan sendal plastik agar kami bisa berjalan2 ke depan kelurahan Bidara Cina melihat bus-bus besar Mayasari atau Pelita Mas Jaya yang bermoncong panjang melintas di jalan raya. Lalu kami berteriak kepada para kondektur untuk meminta karcis bis yang tak terpakai.
"Paaak Kondektuuur minta karciiis doooong!" teriak kami beramai2. selalu ada saja yang bermurah hati melemparkan satu atau dua gepok karcis bus ke pinggir jalan. Kami segera melompat berebutan seperti pengemis yang berebut sedekah. memang, bagi kami anak-anak kecil, segepok karcis seperti segepok uang. Buat kami warna2 dan tulisannya yang belum lagi dapat kami baca begitu aneh dan itu menjadikannya menarik. Karena itu kami menjadikannya alat barter yang bernilai tinggi. Ada satu dua kali aku beruntung mendapatkan karcis. Tapi karcis itu tidak begitu berguna ditangan businessman bodoh sepertiku.
***
Ketika malam tiba, kami semua harus belajar. Kami semua "nggeloso" di lantai tegel hitam yang licin karena dipel dengan sisa ampas kelapa. Seingatku, bapak atau ibu tidak terlalu keras dalam menyuruh kami belajar. Hanya saja kami tidak boleh terlalu banyak bermain.
Diantara itu ada malam-malam dimana listrik padam. Malam itu jadi sangat berharga. Bukan saja karena kami bebas dari kewajiban belajar, tapi karena di malam seperti itu bapak atau ibu bercerita untuk kami. Di dalam cahaya lilin atau lampu sentir yang redup kami berkumpul di ruang tengah. Kakakku memeluk sudut meja dengan kedua tangannya untuk tempat dagunya bersandar. Yang lain duduk bersandar di bahu ibu, duduk bersila, atau bersimpuh di kaki kursi panjang tempat ibu duduk.
Ibu mengelus rambut adik bungsu yang duduk di atas telapak kaki ibu sambil memeluk kedua betis beliau. Lalu ibu mulai bercerita. ia mengangkat kedua kakinya naik turun, menguncang-uncang adik seperti sebuah ayunan yang lembut. Cerita mengalir melalui sejarah hidupnya waktu kecil bersama nenek, membuka lembar-lembar kisah yang lebih pahit dari masa kecilnya. Dan berakhir dengan dongeng-dongeng kuno yang diingat oleh wanita lugu itu. Salah satunya adalah kisah Jelogro si kurang panarimo.
***
Alkisah di suatu waktu, di suatu tempat, hidup seorang miskin. Ia hidup dari mengumpulkan kayu bakar di hutan untuk dijual di pasar. Hasil penjualan kayu bakar itu hanya cukup untuk makan hari itu. Bila ia sakit atau saat musim hujan tiba, ia tidak dapat mencari kayu. Ia juga tak mampu membeli pakaian yang baik. Bajunya compang-camping. Tinggalnya di gubug reot tepi hutan jauh dari desa. Bilamana ia berjalan menuju ke pasar, orang-orang menjauhinya seraya menghina. Hal itu membuat batinnya tertekan dan selalu mengeluh atas kemalangannya yang berlarut-larut.
Suatu hari berlalu seorang saudagar kaya di pasar tempat ia berjualan. Melihat betapa semua orang menghormati si saudagar kaya, hati si penjual kayu bakar menjadi iri. Benaknya berkata:
"Andaikan aku jadi orang kaya, pasti aku tidak akan dihina seperti ini," katanya. Kemudian ia berdoa kepada Tuhan agar dijadikan orang kaya.
Melihat kesengsaraannya Tuhan berkehendak. Dalam sekejap mata, Ia merubah alur kehidupan dan seperti baru siuman, si penjual kayu bakar mendapati dirinya menjadi orang kaya. Tapi ternyata menjadi kaya, tidak memberi kebaikan pada dirinya. Ia malah sibuk membalas sakit hatinya kepada orang yg dulu meremehkannya. Ia menjadi tinggi hati. Hingga pada suatu saat ada rombongan Raja lewat di jalan kotaraja. semua orang menyingkir dan menundukkan kepala tak terkecuali si penjual kayu bakar. Timbullah keinginan dalam hatinya untuk menjadi Raja. Sekali lagi Tuhan mengabulkan permintaannya menjadi raja.
Tapi menjadi raja tidak membuatnya puas. Ia ingin lebih kuat dan lebih berkuasa lagi. Ia bertanya kepada semua penasihatnya. Apa yang lebih hebat dari seorang raja. Sehingga dalam beberapa kejap saja Tuhan menjadikannya awan yang mendatangkan hujan yang dapat menyapu bumi dalam sekejap. Namun tanpa disangka, angin bertiup membuyarkan awan. Itu membuatnya kecewa dan ingin menjadi angin. Jadilah ia angin. Dengan kekuatannya ia memporakporandakan muka bumi. Ia meniup awan hingga terpencar berarak-arak.
Dengan pongahnya ia berkata menyombongkan diri, "Hahaha, siapa lagi yang lebih berkuasa dariku?"
Awan hanya tersenyum. Angin adalah udara kosong tanpa daya, bila bukan karena mentari. Ia yang menyembunyikan cahaya untuk memberi keteduhan dunia di malam hari demi memberi kehangatan kehidupan di sisi yang lainnya. Matahari yang menarik planet2 dalam tangannya yang tak kasat mata, mengelilingi orbit yang maha jauh. Sang Angin jadi tersadar betapa kekuatannya bukan apa2 dibanding Matahari. Maka mulailah ia memohon kepada Tuhan untuk dijadikan Matahari.
Bukankah tak ada yang lebih murah hati dari Tuhan? Dalam sekejap Tuhan menjadikan si penjual kayu bakar yang hina telah menjadi Matahari. Namun hawa nafsu adalah sumur tanpa dasar, kantong bolong. Betapapun banyaknya diisi, ia tak akan pernah penuh dan selalu minta diisi. Ia berkoar-koar dengan bangganya ke seluruh jagad raya, sebagai sang Matahari, inti daya gerak seluruh semesta. Menghukum planet2 yang membangkang dan menelan asteroid dan komet-komet yang mengejeknya dengan lincah.
Ketika ia sedang sibuk mengacaukan tata surya dengan keangkuhannya, terdengar suara sayup2 dari sebuah bintang yang mungil di kegelapan ruang tanpa batas.
"Wahai matahari, kau bahkan tidak setara dibanding dengan tahi lalatnya Tuhan," bisiknya.
Matahari makin panas oleh angkaranya sendiri. Maka, matahari mbanggel, memberontak dari hukum alam. Ia membatin, ingin menjadi Tuhan!
***
"Tentu aja itu nggak bisa," kata ibu mengakhiri cerita."Tuhan marah, lalu mengembalikannya menjadi penjual kayu bakar seperti sedia kala".
Kami masih melongo menatap wajahnya dalam cahaya redup. Kemudian ibu bangkit dan mengajak kami makan malam. Ia menyendok nasi dari dandhang ke dalam beberapa piring kaleng warna-warni. Beras porase pembagian dari Kodam itu masih hangat mengepulkan bau karung goni yang apek. Bila sedang beruntung, ibu mengajak kita membakar tempe bungkusan atau ikan asin yang dibumbui air garam. Bila tidak, kami bisa membakar terasi atau cukup menaburi nasi dengan garam dan dikepret sedikit air teh hangat biar tidak seret di leher.
Sambil makan bersama, salah satu dari kami bertanya ingin tahu. "Trus gimana terusannya ceritanya bu?"
"Habis, kan sudah jadi penjual kayu bakar lagi. Tapi sekarang dia sadar akan kesalahannya" ibu menutup ceritanya dengan singkat.
Kami tidak begitu paham tentang cerita yang berputar-putar itu hingga waktu yang lama. Tapi rasanya masih lebih sengsara hidupnya si penjual kayu bakar.
**********
Selamat Hari Raya Idul Fitri 1428 Hijriyah.
Mohon maaf Lahir dan Batin
Maaf juga kalo ceritanya nggak akurat ya... ;-)
Sunday, October 21, 2007
Subscribe to:
Posts (Atom)