Sunday, March 11, 2007

Sang Badai

Hujan turun sangat dahsyat. Butir-butir air berukuran besar seperti serbuan senapan mesin menabrak dinding-dinding kayu tua rumah simbok. Mengetuk2 keras hingga suasana dalam rumah kuno itu menjadi riuh. Simbok berlari ke dalam rumah, membawa tampah berisi jemuran gaplek yang hampir kering. Gaplek itu sudah mengering dengan sempurna, warnanya putih rata. Bila tak segera diangkat, besok pasti berjamur. Gaplek itu adalah tandon makanan musim paceklik mendatang. Gaplek dideplok lalu di "dhang" jadi thiwul. Jadi buat Simbok Mar, benda itu berharga seperti emas. Masih ada dua tampah lagi yang harus diangkat. Laki-laki muda itu ikut berlari keluar, menumpuk kedua tampah itu jadi satu dan mengangkatnya segera ke dalam rumah.

"Matur Nuwun Mas," simbok tersenyum. Rambut2nya yang didominasi uban terlihat basah karena hujan. Rio sudah beberapa bulan harus berpindah tempat tinggal. Rumah Simbok adalah tempatnya menginap beberapa minggu terakhir. Tugasnya di lapangan memaksanya begitu. Tapi itu bukan sesuatu yang menyulitkan. Sebaliknya malah menyenangkan. Tidak ada pekerjaan sebaik ini. Menyentuh kehidupan orang-orang biasa adalah sebuah gairah tersendiri baginya. Bahkan jauh sebelum ia memutuskan ikut dengan organisasinya sekarang ia telah menjadikan minatnya itu sebuah hobi. Dalam waktu-waktu senggangnya ia berjalan menyusuri lorong2 kotanya yang kumuh. Menghisap rokok bersama para pengangguran di pos ronda. Turun dalam gotong royong kebersihan kampung. Menghabiskan malam dengan obrolan tak penting dengan para perempuan jalanan di kota. Atau bermain catur dengan para kuli angkut pasar induk. Ia pribadi yang unik. Kedalaman pikirannya sama sulitnya dengan memahami perasaan hatinya.

Tidak, ia bukan pria malas karena memilik keunikan semacam itu. Ia menghasilkan uang yang lebih dari cukup untuk dirinya sendiri. Tapi panggilan untuk tenggelam dalam pernak-pernik kehidupan manusia adalah darahnya sendiri. Daripada berdandan perlente, ia memilih berpakaian sederhana, dengan topi baseball tuanya memanggul ransel berisi kamera analognya yang setia.

"Aku melihat mereka seperti cermin yang berhadapan. Matanya dan mataku memantulkan citra diriku secara berlawanan terus menerus tanpa batas," katanya suatu saat."Mata tak berbohong. Karena hakikatnya ia hanya sebuah alat optik bersahaja yang memantulkan segala sesuatu apa adanya. Hati yang memutuskan, mulut dan laku yang mengejawantahkan".

Ia tak sekedar berfilsafat. Semua orang tahu bagaimana ia menjalani hidupnya dengan jujur. Dia memang berjanji pada dirinya untuk selalu teguh pada kejujuran kamera klasiknya. Hidupnya adalah kumpulan ribuan potret yang diambilnya kemanapun ia pergi. Dalam kamarnya yang redup, berpuluh-puluh potret ditempel di dinding. Mungkin potret-potret itu adalah wakil dari makna hidup yang ingin dicarinya. Tapi untuk menterjemahkan wataknya secara utuh rasanya hampir tidak mungkin.

Di luar hujan makin menggila, bangunan kayu itu berderit keras. Ia meronta melawan terpaan badai yang tak seperti biasanya itu. Wajah Simbok terlihat panik. Ia bergegas ke dalam mengambil selendang tuanya. lalu ia berjalan ke beranda, mengikatkan selendang tuanya ke tiang.

"Lewat, lewat, lewat, lesus gedhe ojo lewat omahku... lewato ratan kono," bibir perempuan tua itu berbicara kepada angin. Angin menderu keras, ujung jariknya tersapu ke samping. Simbok ketakutan dan berlari ke dalam sambil berpegangan pada pintu. Lalu terduduk pada amben dengan lesu. Gantian Lik Gino yang keluar, ia mengumandangkan adzan dengan lantang. Berseru memanggil Tuhan, sang pemilik angin. Rio hanya bisa berdoa dalam hati. Lalu menyodorkan segelas air putih untuk menenangkan Simbok. Badai sedang tak bermurah hati. Lidah-lidah angin menjilat muka bumi dan menelannya seketika itu juga ke langit.

***

Cara hidup seperti itu membingungkan Ade. Pria itu penyayang bukan main. Kesederhanaannya baginya juga sesuatu yang menyenangkan. Rio juga pria yang hangat. Ia mudah dekat dengan siapa saja termasuk sengan sahabat2nya. Dalam kesempatan lain ia juga tak ragu-ragu menggamit lengannya dengan mesra dan memperkenalkannya pada teman-temannya dan bahkan kepada keluarganya di rumah. Ia melakukannya itu semua dengan tulus. Rio tahu, meski Ade mencintainya namun gadis itu tak mau menikah. Bukankah Ade juga memiliki pikirannya sendiri? Pengalaman hidupnya sendiri?

"Hmm," pria itu bergumam mendengar perkataan Ade. Ia memeluk gadis itu lembut. Direkatkannya wajahnya pada dahi kekasihnya. Ade balik memeluk dadanya.

"Hmm apa?" tanya Ade. Pria itu menarik selimut putih menutupi punggung Ade yang terbuka. Mulutnya mencium dahi gadis itu. Ia sayang. Sementara ia berfikir Ade mencium dagunya.

"Cuma hmm aja kok", ia tersenyum.

"Tell me, ayo bilang!" gadis itu merajuk. Kepalanya diangkat, sehingga wajah keduanya berhadapan satu sama lain.

Rio melihat dirinya dalam pupil Ade yang hitam jernih, begitu juga sebaliknya. Diantara mereka zarah-zarah energi mengalir, menyelami pikiran dan semua sel yang tersembunyi.

"Nothing dear. Aku sayang kamu aja kok," katanya singkat. Ade tersenyum, wajah keduanya saling mendekat menjadi sebuah ciuman yang indah. Lalu, mereka bercinta seperti sepasang kekasih yang terpisah bertahun-tahun lamanya. Seperti sepasang camar yang baru menyelesaikan migrasi ribuan kilometer jauhnya melintasi benua. Seperti umat manusia akan punah dan hanya mereka berdua yang akan melanjutkan peradaban ini.

***

Badai terus menerus menggempur. Pepohonan tak mampu lagi meliuk menghindari kekuatan angin. Batangnya membungkuk seperti bersujud takluk. Genting-genting tanah liat beterbangan. Lik Gino memeluk erat tiang. Kumandang adzan terdengar juga dari beberapa tempat. Gusti Allah menggenggam semesta alam dalam tangannya yang lebih lembut dari beledu, Ia mendengar. Angin mereda beberapa menit kemudian. Hanya menyisakan hujan serta puing-puing terserak. Lik Gino berjongkok di kaki tiang. Ia tampak bersyukur semuanya berakhir. Rumah Simbok masih utuh, hanya beberapa genting hilang dan dua lembar seng terbang entah kemana. Pohon2 di pekarangan juga ada yang tumbang. Tapi syukurlah semua selamat.

Simbok kembali tenang. Lik Gino mengecek situasi rumah dan pekarangan lalu minta ijin simbok pergi mengecek ke dusun sebelah. Hari ini Istrinya menengok keluarga di dusun sebelah. Semoga saja istri dan anaknya selamat. Ia menuntun sepeda onthelnya keluar, lalu mengayuhnya dengan cepat menyusuri jalan desa yang becek.

Rio menelpon teman2nya di kota mengabarkan kejadian barusan. Setelah itu ia keluar mengontrol keadaan. Sebuah dahan pohon petai yang cukup besar menimpa kabel listrik menuju rumah simbok. Ia mengamankan ujung kabel itu dengan sebuah potongan bambu kering yang diambil dari dapur. Tak lama para tetangga berdatangan. Mereka saling menanyakan kabar dan membawa berita2 tentang sanak saudara di dusun-dusun sebelah. katanya angin melintas ke arah timur. Simbok masih beruntung, rumah-rumah lain banyak yang roboh atau kehilangan atapnya.

Mereka membereskan segala sesuatunya, menyiapkan lampu sentir dan petromaks untuk penerangan malam ini. Sesorean itu Rio belajar menyalakan petromaks untuk pertama kalinya. Senyum lebarnya mengembang ketika akhirnya lampu itu berhasil menyala dengan terang. Ia menggantungnya di ruang tengah. Dan menempatkan sebuah lampu sentir di dapur untuk menerangi simbok yang sedang masak.

***

"Simbok jadi ingat waktu suami mbok mau pergi," Mbok Mar memulai ceritanya. Mereka sudah selesai makan malam. Simbok menghangatkan sayur lodeh tadi siang, menggoreng tempe yang baru setengah jadi, beberapa potong ikan asin dan sambal yang enak.

"Bapak sudah sakit tiga tahun penuh," lanjutnya. "Habis jatuh dari pohon, bapak sakit terus. Ndak bisa macul, ndak bisa jalan jauh."

Kami semua duduk bersila di tikar pandan lusuh yang digelar diatas lantai tanah. Petromaks di atas kami menarik sejumlah laron. beberapa diantaranya jatuh kebawah setelah sayapnya tersengat panas. Istri Lik Gino menepis laron2 itu dari atas ketel sayur, kemudian membereskan semuanya ke belakang. Tinggal aku dan Lik Gino dan putri ketiganya yang mungil.

"Setahun terakhir bapak tidur saja. Apa-apa harus diladeni simbok," simbok terlihat sedih. Dari kisah sedih kepergiannya, cerita itu terulur ke belakang saat mereka berdua jatuh cinta, menikah, punya anak dan mempunyai cucu. "Habis liat si gendhuk ini lahir, besoknya bapak nggak ada. Bapak nggak bisa ngomong, cuma air matanya nretes kesini.." Simbok menunjuk sudut matanya yang berkerut. Tangan yang satunya mengelus rambut cucunya yang tertidur di pangkuannya.

Rio memandang wanita tua itu hingga kisahnya berakhir. Bapak adalah pria satu-satunya dalam hidup simbok. Ketika beliau pergi, wanita lugu itu hanya tau melanjutkan hidup saja. Menjual sayuran dan telur bebek ke pasar untuk membantu anaknya membesarkan cucu2nya. Ia menikmati hari-hari dalam kesendirian pribadi. Namun meski kehangatan keluarga dan warga dusun membuat ia tak pernah merasa sendirian, kenangan tentang bapak selalu mendatangkan kerinduan di hatinya.

Sisa malam mereka habiskan untuk bercerita tentang badai tadi siang yang membuat setiap hati manusia kuatir tentang kesendirian. Sebelum kegelapan menyelimuti desa karang pandan.