Saturday, October 02, 2004

Pak Rizki sang kaki Halilintar

Berbeda dengan kebanyakan porter di Taman Nasional Rinjani badannya kurus kerempeng, mata sipit kulit cenderung putih. Agak mengherankan karena matahari lombok sangat tajam dan biasanya akan segera membuat kulit hitam legam seperti arang atau kemerahan seperti para bule. Tapi pria satu ini agak lain, sudah tak terhitung berapa banyaknya ia naik turun gunung Rinjani tapi tetap saja kulitnya tak menjadi gelap.

Di Lombok khususnya warga Sembalun, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil pria yang sudah berkeluarga dengan nama putranya yang pertama. Entah anak itu laki-laki atau perempuan, sejak saat itu sang pria akan kehilangan namanya sendiri. Pak Rizki, begitu pria ini dipanggil, meski umurnya belum lagi mencapai 20 tahun, lebih 10 tahun lebih muda dari kami ia telah menjadi ayah sorang putra. Rizki, katanya merupakan ucapan terima kasih dan harapan kepada Allah yg memberikan rezeki yg banyak untuknya.

Hari ini Pak Rizki dan rekannya Pak Is, menjadi teman kami mendaki. Sebagai porter resmi Taman Nasional yang terlatih, kewajiban mereka tak hanya sebatas kekuatan memanggul berpuluh kilo beban di carrier para pendaki, tapi juga menjaga keselamatan, memasak dan mencari air. Jangan menganggap enteng tugas ini. Rinjani merupakan salah satu gunung di Indonesia yang memiliki trek panjang. Puncak yang kelihatan di depan mata, sebenarnya berada nun jauh dibalik bukit yang seperti tak ada habisnya. Di musim kering seperti ini, pendaki yang tak siap fisik akan kerepotan menghadapi tanjakan demi tanjakan yang terjal. Iklimnya yang panas juga menghabiskan tenaga dan membuat kita dahaga tak ada habisnya. Pada kondisi itu, sebaiknya kita menghemat persediaan air. Minumlah sedikit-sedikit kalau tidak ingin kehabisan tenaga sampai di pos yang ditargetkan.

Satu-satunya semangat adalah suguhan pemandangan bukit-bukit yang menjulang hijau bercampur jingga paduan tanah yang kering dan sinar matahari. Di belakang lembah subur sembalun dengan sapi-sapi bali coklat yang sibuk memagut rumput tua musim panas. Sobatku Ijo melangkah pelan-pelan menapaki pematang sawah tadah hujan. Sesekali kakinya melompat-lompat menghindari tai sapi yang masih basah. Di rinjani ini ia berniat membakar lemak dan melatih otot2 yang kaku setelah berbulan-bulan bekerja di belakang meja tanpa istirahat. Aku tersenyum, rasanya Ijo akan mendapatkan apa yang ia cari.

***

Kami tiba kira-kira jam satu siang, matahari sedang panas-panasnya. Di pos pendakian Taman Nasional pak Rizki menyambut kami. Ia bukan petugas, namun setiap saat membantu kegiatan sehari-hari di pos. Melayani para pendaki, menjawab pertanyaan-pertanyan dan melayani penjualan kaos atau peta dan buku panduan. Di musim pendakian ini penduduk setempat sibuk menjadi porter para pendaki di luar itu mereka beristirahat dan bertani. Pak Rizki hanya memiliki sedikit lahan apalagi sapi, karena itulah ia mengisi waktunya dengan membantu di Pos.

"Di sini kami menanam bawang putih" ia melanjutkan cerita.
"Dulu orang sembalun berjaya karena bawang. Apapun terbeli. Tapi sekarang nasib sedang menurun. Harga bawang putih tak sebagus dulu. Kamipun tak bisa seperti orang di Lombok Timur menanam tembakau, tanahnya kurang cocok."

Memang sepanjang perjalanan di sembalun aku memang melihat ikatan bawang putih sedang digantung di para-para bambu hampir di setiap halaman rumah. Umbi bawangnya tak begitu besar, mungkin panen kali ini tak begitu bagus.

Obrolan kami terhenti oleh asap. Di depan kami hamparan rumput terbakar habis. Di tepi tanah yang menghitam, lidah api menari-nari ditiup angin gunung. Hati kami miris melihatnya. Kami maju terus menelusuri jalan setapak yang menanjak. Jelaga yang beterbangan mengotori wajah kami. Setengah berlari kami menghindari asap tebal yang berganti-ganti arah. Beruntung awan melindungi sepanjang jalan, sehingga panasnya akar-akar rumput yang terbakar tak menambah berat perjalanan.

"Jangan-jangan itu ulah peternak sapi juga ya?" kataku setengah bertanya.
"Ah, iya... betul itu," seloroh pak Rizki. Pak is juga mengiyakan.
"Di banyak tempat, peternak sering membakar rumput untuk pakan ternak. Pupus rumput yang baru tumbuh merupakan makanan yang segar bagi sapi.

"Disini sapi-sapi dibiarkan liar" kisah pak Is. "Tapi mudah mengumpulkannya. Yang punya punya cara untuk memanggil. Ada yang dengan peluit, kerincing dan lain-lain. Saat itu mereka kan hitung ternaknya. Anehnya kalau kita yang panggil mereka tak mau datang, meskipun pakai cara yang sama" lanjut pak Is dengan tertawa.

"Jeleknya yah itu tadi, mereka sering membakar rumput. Sapi-sapinya juga merusak mata air seperti ini," pak Is menunjuk mata air di pos 3 yang kotor dan rusak diinjak-injak ternak. Airnya bercampur tai sapi, tak bisa diminum.

"Pak Is dan Pak Rizki punya sapi dong?" tanyaku menyelidik.
"Wah, mana dapat kami beli sapi..?" jawabnya tersenyum merendah. "Sapi yang kita liat di sembalun itu paling tidak dua juta setengah seekor."

Katanya, ada paling tidak 500 ekor sapi di sembalun. Pemiliknya umumnya pak haji yang cukup kaya. Seorang bisa memiliki puluhan ekor. Aku manggut-manggut mendengarkan sambil tersenyum kecut. Rupanya kemeja dan dasiku yang perlente di jakarta tak ada apa-apanya dibanding sarung lusuh pak haji di sembalun. Indomie telah masak, kami makan untuk bisa melanjutkan perjalanan ke plawangan.

***

Puncak sudah tertinggal sehari di belakang. Istana Dewi Anjani itu memang indah dan megah. Dinaungi langit Lombok yang biru jernih, kawahnya menghampar seperti permadani merah. Dari bawah kabut merayapi dinding2 tebing, bagaikan membasuhnya dengan beledu lembut. Hari ini kami memandangi puncak rinjani nun di kejauhan dan danau segara anak yang hijau kebiruan. Keindahan surgawi itu sejenak menyapu kegundahan hati manusia rapuh seperti kami.

Dengan haru mata kami memandang kebawah, ke camping ground tempat kami bermalam kemarin. Menyadari betapa kecilnya manusia di semesta ini. Ijo dan aku menjepretkan kamera berkali-kali. Begitu turun dari Plawangan Senaru, Rinjani akan menjadi kenangan. Karena jalan menuju senaru dipenuhi hutan lebat, inilah kesempatan terakhir kami menghabiskan sebagian besar film.

Sejenak kemudian kami mulai berlari menuruni bukit. Tanah merah berhamburan dan terbang menjadi debu yang mengekor di belakang kami. Tinggal tersisa beberapa jam lagi sebelum malam menjelang. Tak ada cara lain kecuali berlari non stop menuruni bukit dan menembus hutan. Aku berada paling depan diikuti pak Rizki. Ijo, Pak Is, Ming dan Yudhi beberapa meter di belakang.

Fisikku tak begitu bagus, tapi aku lebih baik berlari siang hari daripada harus berjalan kemalaman di hutan. Bukan karena takutnya tapi berjalan menyandung akar sungguh tidak menyenangkan. Kalau sedang sial, kita bisa tersungkur ke pokok-pokok kayu kecil yang tajam. Walaupun kami cukup membawa cadangan baterai senter, tapi aku tetap memilih berlari.

Pak Rizki berlari sangat cepat rapat di belakang ku. Peluh mengucur di seluruh tubuhnya. Pinggangnya lecet tergesek pantat carrierku. Sejak kemarin ia mengenakan kemeja nilon yang tak seberapa menyerap keringat sehingga gesekannya ke kulit menjadi panas. Tapi bagi seorang porter berpengalaman, luka itu belum apa-apa. Ia setuju untuk secepatnya turun, agar kaki tidak keburu kaku karena kebanyakan istirahat.

***

Jam 7 malam perjalanan kami berakhir. Ujung perjalanan ini adalah pos pendakian di Senaru. Kami bermalam di semacam balai desa adat tradisional Sasak. Desa tradisonal ini terpelihara dengan baik. Perangkat desa menyajikan brem, minuman air tape ketan yang sudah disimpan agak lama. Kami minum sebagai penghormatan bagi adat tuan rumah. Setelah itu menyendok sejumput kacang mirip kedelai hitam yang dimasak dengan santan. Cuma Pak Rizki yang diam di sudut bale menyeruput kopi. Ia tak minum brem.

Sebelumnya di pos tiga Bunut Ngengkang yang berarti Beringin mengangkang. Yaitu tiga batang pohon beringin besar yang diatasnya menyatu menjadi satu batang. Ia bercerita tentang istrinya yang berasal dari desa Bayan, tempat kami bermalam. Brem, minuman keras tradisional sudah menjadi suguhan umum disini, juga tentang kepercayaan Wetu Telu, Islam dengan hanya 3 waktu sholat. Dan tentu saja kampungnya di Sembalun.

Apalagi tentang betapa misterius pertemuan dengan istrinya yang terpisah disisi gunung yang berbeda. Melalui HT petugas kehutanan di Sembalun. Bagaimana setamat SMA ia menikahi gadis itu tanpa bekal apa2. Dan memberi makan anak istrinya dengan menjadi porter di gunung. Sambil mengurut kakinya yang kaku serta jari-jari yang melepuh ia turut menertawakan sobat ku Ijo yang mulai mabuk.

Diam-diam pak Rizki membisikkan pesan padaku. Akupun membalikkan gelas setelah brem kutenggak habis agar minuman baru tak dituang lagi oleh tuan rumah. Sembalun tak lebih beradab dari Bayan. Namun Pak Rizki memiliki kesetiaan dan cinta seorang istri. Yang selalu berpesan untuk menghindari air api demi kesehatannya. Menjadi porter ada batasnya, maka itu fisik harus dijaga baik-baik.

Setelah meneguk segelas lagi brem tua sebagai penutupan dari tetua adat kami beranjak tidur. Ijo terus saja meracau dan tertawa2. Rupanya ia mabuk berat. Aku menarik rapat retsleiting sleeping bag merah ku. Dalam setengah sadar aku mengingat-ingat perjalanan kami seharian ini. Dan aku mengingat pak Rizki si kaki halilintar!

No comments: