Tuesday, November 09, 2004

Selamat Lebaran Anshori!

Sebadung-badungnya anak, itulah Anshori! Tapi malangnya bocah, itulah juga Anshori. Mungkin kita tak pernah memahami takdir atau sekedar kekejaman dunia. Atau mungkin lebih baik kita biarkan saja bumi menggelinding seperti hari-hari biasanya.

***

Kami masih ingat kedatangannya dari Batam. Anak ini memang lain dari yang lain. Ia tak mudah didekati, meskipun keluguannya tak menghalanginya untuk berbicara kepada orang yang ia inginkan. Kami hanya tertarik mendengar cerita tentang bocah malang itu, Anshori. Dalam usia yang masih sangat kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang buruh lepas di perantauan Batam, meninggal dunia di usia muda. Entah apa sebabnya, barangkali kecelakaan kerja. Apa pula yang bisa dilakukan perempuan miskin berpendidikan rendah di bedeng reot ini? Membanting tulang tanpa henti hingga tubuh merapuh, sakit. Tak lama berselang ibundanya menyusul mati merana sementara mengurus putranya yang masih balita.

Si kecil Anshori, mungkin tak paham apa-apa tentang dunia. Namun darahnya telah cukup lama menyatu dengan induknya. Mulutnya yang mungil telah merasai kasih dari kedua puting ibu. Ketika kedua orang tercintanya pergi, batinnya seakan terkoyak. Bocah itu berkelana mencari makan tanpa arah. Mengais2 kasihan dari rasa iba manusia. Kami tak tau kepahitan apa yang dialaminya dalam usia sekecil itu. Yang kami dengar, Anshori menyimpan kemarahan yang begitu besar dalam dadanya. Tubuh kecil itu seakan bola energi yang tak terduga. Satu saat ia begitu lugu sperti anak-anak yang lain, di saat lain ia sukar dikendalikan.

Kedatangannya disini sebenarnya juga bukan tempat yang tepat. Disini kami merawat anak-anak down syndrome, bukan seperti dia. Sayang Anshori tak punya pilihan lain. Keluarga tetangga yang baik hati merasa tak mampu lagi merawatnya. Segala cara sudah digunakan namun tak mampu menyelami pikiran bocah itu. Dengan sedih, mereka menitipkannya di panti sosial di Batam. Kali ini, panti sosial di batam juga angkat tangan. Karena keterbatasan sumberdaya dan fasilitas terpaksa si kecil harus berangkat ke Bogor.

***

Anshori, seperti anak-anak lain seusianya, sedang senang-senangnya bermain dan mencoba banyak hal. Ia menikmati kesehariannya dengan teman-teman barunya di panti. Suasana ramai anak-anak cukup menghiburnya.

Di hari-hari tertentu kami petugas panti membagikan sedikit uang jajan untuk anak-anak. Tak banyak, cuma seribu dua ribu rupiah, cukup untuk semangkuk bakso atau siomay yang lewat hari itu di depan panti. Kami ingin mereka merasa bahagia, bisa membeli sendiri jajanan yang mereka inginkan. Cara ini terbukti menyenangkan, bila kamu ada disini kamu bisa melihat wajah-wajah mereka yang ceria. Sambil makan, mereka akan berceloteh dan tertawa dengan lugunya. Begitu pula Anshori kita.

Di saat lain, Anshori bermain dengan anak-anak petugas panti. Anak-anak memang hidup menyatu, tak terpisah antara anak asuh panti dengan anak-anak petugas. Tapi ada saat2 dimana anak2 harus mengerjakan tugas sementara anak2 petugas bebas bermain di luar. Saat itu Anshori senang bisa bermain dengan mainan yang mungkin tak dimilikinya. Anak-anak biasanya tak keberatan berbagi. Namun Anshori kadang begitu berat mengembalikan mainan itu. Tak seperti anak lainnya, ia akan mengamuk bila mainan itu direbut.

Hari berganti dan pengurus panti harus berotasi. Kini uang jajan tak lagi diberikan. Di hari-hari khusus itu, petugas memasak bubur kacang hijau atau makanan lain yang lezat untuk anak-anak. Anak-anak ada yang kecewa, tapi tetap senang dengan kelezatan makanan yang disajikan. Anshori juga makan dengan lahap, tapi setelah kenyang ia tetap meminta jatah jajannya. Kami selalu iba melihat wajah mungilnya, secara bergantian kami memberikan jajan dari kantong kami sendiri.

Namun kantong PNS kecilan seperti kami tak selalu berisi. Gaji yang tak seberapa itu tak mampu mengejar kebutuhan hidup yang makin hari makin melesat jauh. Waktu kami tersita untuk mengurus anak-anak. Hampir tak mungkin mencuri-curi kesempatan mencari sampingan di luar. Di saat seperti itu Anshori kehilangan uang jajannya. Dan entah apa yang pernah terjadi di kehidupan sebelumnya, bocah kecil itu mengamuk, memecahkan kaca2 panti. Merusak sepeda motor atau perlengkapan lainnya. Seakan ia tak rela ada yang merenggut secuil remah kebahagiaan yang ia punya.

Bocah itu benar-benar mengombang-ambingkan perasaan kami. Antara iba dan kasih dengan kekesalan menghadapi kenakalan Anshori. Bagaimanapun tak mudah merawat begitu banyak anak-anak down syndrome dengan sifatnya masing-masing. Tapi kami sudah terbiasa dan punya bekal yang cukup untuk merawat mereka. Tidak dengan Anshori, ia berbeda. Manusiawi kalau kami kesal, tapi kami juga ibu dan ayah. Sambil mengelus dada kami hanya berdoa agar luka hatinya akan sembuh bersama waktu.

Pernah suatu hari ibu Tuti lepas kesabarannya, ia harus memukul Anshori untuk menenangkannya. Setelah rekan-rekan yang lain membawa anak itu ke kamar, air mata meleleh di kedua belah pipinya. Perasaannya yang halus sebagai seorang ibu seakan terkoyak. Anak itu hanyalah bcah kecil yang tak mengenal benar salah, baik buruk. Entah pula apa ia telah mengenal hitam putihnya dunia. Ia cuma anak yatim piatu, yang bahkan tak mengenal wajah orang tuanya. Persis ketika ia kecil dulu. Seminggu ia tak dapat tidur dengan nyenyak.

***

Hari ini, hari kerja terakhir sebelum Hari Raya Idul Fitri. Para petugas satu persatu mudik. Anak-anak asuh panti satu-satu dijemput keluarganya pulang ke rumah untuk berlebaran. Tawa-tawa lebar menghiasi wajah mereka. Dengan baju baru yang rapi bersih, mereka menyambut papa mamanya yang datang dengan penuh haru. Ruang-ruang panti yang ramai, kini semakin sepi.

Hanya tertinggal sedikit suara kecil di satu sudut panti. Ada empat orang anak yang tinggal, 1 perempuan dan 4 anak lelaki. Mereka tak dijemput karena tak diketahui asal keluarganya. Ada yang karena terlantar di jalan, dibuang oleh orang tuanya, atau sengaja dititipkan selamanya di panti ini. Termasuk Anshori yang malang. Di saat seperti ini para petugas selalu berusaha membahagiakan mereka dengan berpatungan membelikan pakaian atau makanan yang enak. Bukankah kami satu-satunya keluarga yang mereka miliki?

Hari ini kami juga berangkat pulang ke Jakarta. Fahmi, putra kami yang semata wayang, mengucapkan selamat tinggal pada sobat-sobatnya yang tertinggal. Sementara suamiku mengangkat travel bag ke taksi, kudengar suara Anshori berceloteh pada Fahmi...

"nanti siang dong, Anshori mau dijemput ibu Anshori..." katanya. Jari-jari mungilnya menunjuk foto di potongan majalah bekas yang sudah lusuh.


Jakarta, 12 November 2004.

Didedikasikan untuk Mbak Nitah dan rekan2 yang sedang bekerja di salah satu panti Departemen Sosial di Bogor.
Mohon maaf utk bahasanya, blom diedit neh :-p

1 comment:

azazi said...

um.. touchy banget deh...
semoga Anshori bisa nemuin dan dapetin ibu lagi