Friday, August 31, 2007

Ciptakan relungmu sendiri

Dalam sebuah diskusi tentang strategi, Ibu Moira Moeliono, peneliti senior kami mengungkapkan tentang "niche" yang beliau terjemahkan secara unik dengan kata "relung". Waktu itu kami membicarakan posisi organisasi kami menghadapi masa depan. Bagaimana di usia melewati satu dekade, organisasi ini mendapat begitu banyak kesempatan namun pada saat yang bersamaan harus menghadapi tantangan yang luar biasa. Betapa semuanya itu membuat kita terperangah sehingga kita harus menarik nafas dalam-dalam, merenung sebelum berfikir untuk menentukan langkah ke depan.

Aku tidak akan membicarakan tentang kantor, karir dan lain-lain. Karena itu bisa sangat membosankan. Aku hanya tertarik dengan "relung" itu. Aku pikir, bukankah akhir2 ini kita juga memiliki masalah yang sama? Begitu banyak perubahan yang kita hadapi di dunia dewasa ini, yang sepertinya "too much that we can handle"?

Aku menghindar dari sebuah pembahasan yang membosankan, tapi malah beralih ke pembicaraan yang lebih klise lagi. Karena itu kalian boleh berpaling ke lembar lain yang lebih menarik daripada membaca pikiranku yang berikut ini.

Perubahan

Kita tak akan bisa lepas dari perubahan. Perubahan itu waktu. Kita dalam kungkungan waktu. Ada yang mengatakan bahwa kemampuan otak dan akal budi manusia itu tak terbatas. Namun kenyataannya, ia begitu kecil. Ia lekang. Karenanya manusia memotong-motong rangkaian panjang keabadian dalam periode2. Dalam detik, menit, hari bulan, tahun, windu, dekade, ulang tahun perak, emas, abad, milenia agar dapat memahami fenomena itu sedikit-sedikit.

Ibu ingat kata pertama yang diucapkan anaknya. Dan ketika anak itu dewasa, ia menitikkan air mata harunya melepas putrinya disunting kekasihnya. Sepasang kekasih mengenang pertemuan mereka untuk menyegarkan cinta mereka yang fluktuatif. Seorang karyawan menunggu hari gajian dengan harap-harap cemas berapa sisa yang dapat ia simpan untuk melanjutkan hidup hingga gajian berikutnya.

Manusia secara naluriah hanya mengingat apa yang menyenangkan mereka saja. Karena itu manusia terbatas. Mereka tidak dapat memahami bahwa rentang waktu adalah rangkaian panjang keabadian. Lihatlah keabadian itu. Di antara kesenangan ada kedukaan. Terpeleset, khilaf dan kesalahan. Atau paduan semuanya. Di antara malam dan siang ada fajar yang dingin dan pagi yang sejuk cerah. Di antara siang yang membakar dan malam yang gelap, ada lembayung senja yang syahdu. Dalam kefanaan cara pandang kita sebagai manusia, cobalah memahami cara pandang Tuhan yang menyeluruh.

Hidup bergerak dari satu titik ke ujung titik yang lain. Dalam pergerakan itu kita merangkak dari satu peristiwa ke peristiwa lainnya. Dan pada saat yang bersamaan peristiwa-peristiwa juga berlangsung pada setiap unsur di semesta. Kadang tidak bersinggungan, namun seringkali orang-orang di sekitar kita menyentuh hidup kita begitu mendalam. Mereka menjadi berkah yang memberi keindahan atau sebaliknya meninggalkan luka. Gerakan waktu adalah perubahan itu.

Perubahan harusnya menyadarkan bahwa hidup ini tidak statis, tapi bergerak secara dinamis. Mengikuti gerak itu adalah sebuah keniscayaan. Tidak ada yang dapat menghindar. Misalnya, kini dunia memiliki internet. Bagi alam, ia hanya sejumput kecil gaya yang menggerakkan semesta. Bagi manusia itu perubahan besar. Ia mengubah cara pandang kita terhadap semua. Ia seperti meredefinisi cara kita bertahan hidup. Seakan untuk hidup, tidak cukup hanya kerja keras dan semangat. Tapi juga kecerdasan dan kesempatan untuk mempelajari dan kemampuan mencerna banyak hal sekaligus.

Dunia digital membuka kesempatan bagi banyak orang. Membuka banyak bidang yang dahulu sangat ekslusif menjadi lebih egaliter. Fotografi jadi lebih mudah buat para pemula. Pemerintahan jadi lebih transparan. Navigasi darat, cukup dengan google earth dari layar pc kita. Dan banyak lagi.

Proses itu menggembirakan, tapi di sisi lain ia juga membuat kita linglung. Karena kecepatan perubahan itu datang, maka sedikit saja kita terlambat, sudah jauh ketinggalan. Begitu banyak informasi, dan tak ada lagi tempat bagi kita untuk berperan. Setiap orang telah memiliki spesialisasinya sendiri. Kita juga dapat melihat keunggulan kreasi manusia yang mengagumkan di belahan bumi yang lain. Sehingga membuat diri kita seakan tak ada apa-apanya, membuat ide cemerlang kita usang. Mendatangkan kekhawatiran sendiri dalam hati kita. Akankah kita dapat bertahan dalam gelombang perubahan? Meski harus tertatih2 mendayung segala daya? Dimanakah kita seharusnya berada?

Sebagai sebuah pribadi, manusia menemukan sarana baru dalam berkomunikasi. Orang-orang yang lebih introvert lebih mudah mengungkapkan perasaannya melalui email, blog, skype dan lain-lain. Orang-orang yang lebih ekstrovert lebih terbuka lagi terhadap ekplorasi perasaannya. Perkembangan social networking site seperti friendster, myspace dkk juga mengungkapkan cara baru bertatap muka. Ia tidak hanya memberi kesempatan kita berjumpa orang-orang yang memiliki kesamaan minat dengan kita, tapi juga memperkenalkan kita pada teman-teman baru dengan spektrum latar belakang yang jauh lebih luas. Melewati batasan lingkaran pergaulan di dunia nyata.

Tapi apakah semua itu membuat sebuah hubungan antar manusia menjadi lebih mudah? Rasanya tidak serta-merta demikian. Bahkan, bila kita tidak dapat mengelolanya dengan baik, dunia kita akan jadi hiruk pikuk.

Relungmu

Apakah itu sebuah ungkapan ketakutan? Mungkin ya. Memang pada hakikatnya manusia selalu ketakutan terhadap ketidak pastian. Sesuatu yang tidak bisa disentuh, dirasa, diduga oleh indranya secara langsung akan diasumsikan sebagai ancaman terhadap eksistensinya. Manusia seringkali terikat begitu akrab dengan wadag kasarnya yang lemah. Sehingga kadang ia lupa menuruti hakikatnya yang lebih mulia di alam rohani.

Bukankah secara rohaniah kita ini adalah percikan keabadian Sang Penguasa Hidup? jadi kenapa kita mesti takut terhadap perubahan? Kita datang dari keabadian, dan suatu saat akan kembali ke alam tanpa batas. Mengapa mesti kuatir?

Hidup adalah keseharian. Selama masih berpijak di tanah, kita akan berbicara atas kekasaran rupa kita ini. Lumrah sekali kalau sebagian besar manusia tunduk pada hukum ini. Dan selama hidupnya akan ditemani oleh kekuatiran2 itu.

Perubahan yang terjadi secara serempak pada setiap unsur semesta adalah kemajemukan hidup. Kemajemukan itu menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Karena ia berada di luar dirinya. Ia tak dapat kita kontrol. Karena itu ia adalah suatu ancaman bagi diri. Kita takut suatu saat jati diri kita akan tenggelam dalam kemajemukan citra individu lain di dunia ini.

Jadi, bagaimana seharusnya kita menjalani kehidupan? Apakah sedemikian rumitnya? Aku tidak dapat menjawabnya. Bagiku semuanya kembali kepada berkah Tuhan yang namanya kemajemukan alias keragaman itu sendiri? Aku memilih percaya kepada kejeniusan Tuhan dengan menciptakan keragaman sesuai kehendakNya tanpa kita minta. Ia seperti ibu yang punya anak banyak. Ia seakan punya anak yang favorit, yang lebih dicintai dibanding anak yang lain. Sehingga membuat kita iri dengan saudara kita. Padahal kasihNya tidak sesempit pandangan kita. KasihNya seperti sumber air yang sejuk abadi. Seperti udara yang tidak kita ketahui asal usulnya tapi membuat semua makhluk hidup bernafas lega. Semuanya kebagian.

Orang-orang tua jaman dulu sering mencoba membantu kita memahami hidup dengan ungkapan2 kuno yang terkesan kolot. Hidup hanya numpang ngombe, mampir minum. Jalani hidup seperti air mengalir dan lain sebagainya. Kita kadang merasa bahwa tantangan hidup kita dewasa ini jauh lebih canggih sehingga ungkapan2 itu seakan tak relevan lagi. Namun proses hidup bukan hal yang baru bagi alam. Ia merupakan pengulangan-pengulangan yang mengikuti pola2 tertentu. Hanya membutuhkan sebuah kelapangan dan kecermatan sudut pandang kita terhadap dunia agar dapat melihat pola-pola itu.

Melalui pemahaman itu kita akan melihat dimana posisi kita dalam permainan. Dari situlah awal kita menjelajah. Jelajahi segala potensimu. Dan barengi dengan keyakinan akan adanya keragaman tadi. Kehadiran kita di dunia ini adalah atas sebuah alasan yang ada di benak Tuhan. Alasan itu adalah keunikan setiap ciptaan. Dalam sebuah ekosistem, semua unsur alam memiliki fungsi tertentu. Seremeh2nya suatu unsur, ada perannya dalam harmoni orkestra kehidupan. Keyakinan itu akan memberi keteguhan dalam hati kita dalam menekuni bidang kita atau memberi kita energi untuk memulai penjelajahan baru melewati rentang kemampuan kita.

Jadilah unik dalam gayamu sendiri. Bila kamu menekuni sesuatu, tekunilah dengan mendalam. Banyak orang yang memiliki perhatian yang begitu luas. Tetaplah demikian, mungkin keluasan pengetahuan adalah keunikanmu. Tapi bila itu membuatmu tidak fokus, pilihlah mana yang benar2 kau suka. Ibarat kamu memilih kekasih, pekerjaanmu, hobimu, perhatianmu atas sesuatu bidang adalah teman yang akan mendampingimu menempuh hidup. Jadi jangan membuatnya membosankan.

Oh ya, ada yang bilang bahwa waktu adalah obat yang terbaik. Oleh sebab itu, manfaatkan waktu2 tertentu untuk merefleksi kehidupan kita. Jadikan tahapan2 hidup sebagai sebuah cermin untuk mendefinisikan hidup kita kembali. Dan mengisinya dengan hal-hal yang lebih menyenangkan lagi. Aku sekali waktu mengakui kebodohan, kekonyolan dan kepicikanku sendiri untuk tidak mengulanginya di lain kesempatan. Tapi justru saat itu aku merasa menjadi manusia biasa dan tidak perlu menjadi orang lain hanya untuk diterima oleh suatu komunitas. Beauty is in the eyes of beholder. Biarkan penonton dengan asumsinya sendiri. Aku akan tetap memiliki kebebasan untuk mengatakan siapa diri kita sebenarnya.

Aku selalu merasa bahwa pada umumnya orang menyukai orang yang memiliki integritas pribadi. Bagiku itu adalah pedoman sebelum pada akhirnya aku akan menemukan relungku sendiri dalam kehidupan ini. Ini belum lagi membuahkan hasil, tapi baru sebuah ikhtiar belaka, jadi doakan semoga berhasil! ;-)


*******

gak terlalu konek dgn judulnya kan? namanya juga garing2an di siang hari... hehehe
bogor, 4 september 2007.

No comments: