Tuesday, December 18, 2007

Now Please!

Wow, sebuah Ford Mustang 69 merah terdiam di ujung lapangan parkir kantor! Aku datang terlambat pagi ini, tapi persetan dengan segala tata krama itu. Aku harus melihat mobil itu dulu. Bukan BMW atau Mercy terbaru, tapi Mustang. Aku berjalan berkeliling memandangi mobil itu dari jarak 2 meteran. Memang tidak semulus yang kubayangkan, tapi tetap istimewa. Seakan aku bisa merasakan lekukan tubuhnya yang elok. Aku mendekat, melongok melalui kaca jendelanya yang hitam untuk melihat interiornya. Ini karya seni, bukan sekedar tunggangan biasa.

"Mobil siapa nih pak?" tanyaku pada pak satpam yang sedang bertugas.

"Mobilnya pak Santo, mas", jawab beliau.

Hmm rupanya Santo, manusia unik itu... Rupanya tidak cuma unik, tapi punya taste juga dia. Aku tinggalkan lapangan parkir. Sekarang waktunya bekerja.

***

Santo adalah the travel guy, wakil staf perusahaan travel yang berkantor di sini. Aku tidak kenal dekat dengannya. Tapi dia baik. Dia orang yang dengan mudah membaur dengan suasana. Dia inklusif, berbicara dengan semua orang, boss atau kroco dengan sama intensnya.

"Masih pake mesin aslinya, To?" tanyaku tentang Mustangnya.

"Udah gua ganti, gus, pake mesin kijang", katanya. "Orang pake bmw udah biasa. Tapi kalo gua ke jalan pake si merah, orang pasti nengok, iya opo ra, Son?" ia tertawa menyeringai. "Tapi jarang gua bawa jalan, Gus, sayang". Lanjutnya lagi.

Pria itu sudah berkeluarga. Ada seorang gadis kecil yang meramaikan kehidupannya sekarang ini. Gadis kecil itu yang selalu membuatnya ingin cepat-cepat pulang ke rumah. Ia bukan lagi lelaki bergajulan yang lalu. Ia sangat berharga.

***

Keliatannya dia sangat suka warna biru. Setiap hari pakai kemeja lengan panjang warna biru, digulung sedikit mendekati siku. Rambutnya panjang sebahu. Dengan celana jeans straightnya yang khas, ia melenggang gontai melewati lorong. Di depan meja kerjaku ia selalu berhenti sejenak. Biasanya itu sudah waktunya sholat.

"Ayo malih, sholat dulu!" ajaknya. "Now, please!" ia nyengir kuda.
"Hehehe, tar dulu son, gue lagi nanggung nih..." aku selalu saja menunda ajakannya. "Duluan deh, tar gue susul".
"Bener ye...?" ia menegaskan. "Be there... or left behind!" tawa kami meledak :D

Ritual itu selalu saja diulangnya setiap saat. Setidaknya, sampai sekarang ia masih belum bosan. Setiap berhenti, ia mulai dengan variasi ajakan terbaru.

"Tinggalkan duniawi sejenak bro..."
"Lupakan berhala2 itu..."
"Haya ala sholla, tinggalkan transaksi yang sedang berlangsung..."

Semuanya diakhiri dengan tawa.

***

Sebentar lagi jam 7 malam. Hujan tidak keliatan mau reda. So, kami memutuskan pulang saja. Kebetulan kami bisa nebeng mobil Indra. Santo juga ikut. Beberapa minggu belakangan ini ia sangat sibuk, sehingga harus pulang agak malam. Maklum, ia harus melayani banyak orang. Menjelang konferensi perubahan iklim di Bali, banyak scientist yang berdatangan, belum lagi BOT meeting pertengahan Desember ini. Banyak sekali jadwal penerbangan yang harus diatur.

"Puyeng nih gue, mesti ngitung mileage segala" katanya mengeluh. "Gara-gara greening cifor-icraf nih, gue yang kebagian pe-er".

Mau bagaimana lagi, karena mau jadi kantor yang environmentally friendly, jadwal penerbangan juga mesti diatur sedemikian rupa agar emisi karbonnya serendah mungkin. Caranya yah dengan memperhitungkan jarak yang paling efisien. Itu berarti ekstra pekerjaan buat staf biro travel.

"Ngomong2 gimana bini loe? Udah sembuh, To?" salah satu dari kami bertanya tentang istrinya yang kena flek.
"Udah, tapi mesti istirahat, kagak boleh capek dulu" jawabnya. "Oh iya, weekend kemaren temen lama gue mampir ke rumah. Gua disuruh turunin itu poster jahiliyah, rolling stone. Gimana coba, son?" Dia tertawa lebar, kami ikut terpingkal2.

Sejak sakitnya Mbak Suma oleh kanker, kami membiasakan saling membacakan al fatihah setelah sholat berjamaah buat rekan2 yang sedang dapat musibah. Itu juga berkat si gondrong. Ketika ia harus menunggu istrinya yang sakit, kami gantian berdoa untuknya.

***

Suatu sore, kami menjenguk istri teman kantor yang sedang sakit. Katanya, air ketuban istrinya rembes, jadi harus dirawat. Kemungkinan dokter akan mengoperasi cesar. Untuk mencegah hal yang tidak diinginkan.

Kami berempat menunggu sejenak di ruang tunggu. Si calon bapak sedang menunggu di dalam ruang perawatan. Aku satu-satunya bujangan. Jadi hanya bengong saja mendengar cerita tentang kelahiran putra putri mereka.

"To, gimane rasanya punya anak?" aku mengajukan pertanyaan bodoh.
"Wah, gimane ye... susah digambarin dah", ia bercerita panjang lebar tentang proses kelahiran buah hatinya dan betapa berat perjuangan wanita. "Waktu pertama kali gw gendong anak gue... Gak bisa gw ungkapin dengan kata2 deh. Ternyata ye, gue bisa juga punya anak!"

"Nah, itu loe nggak bakal ngerti dah, son. Biar gua jelasin juga percuma...", ia tertawa.

"Hahaha, sialan loe...", seruku. "Tapi iya sih. Gue gak bisa ngebayangin." Aku tersenyum.

Ia masih saja tertawa. tapi matanya berbinar, seakan-akan menembus ruang, jarak dan waktu, langsung menuju kepada momen lampau yang berputar ulang dalam kenangannya.

"Itu lah son, makanya... ibaratnya nih kita minta ambilin koran sama anak gue. Padahal gua bisa sih ngambil sendiri, cuma kita mau ngetes aja", ia mulai bercerita. "Anggie, coba ambilin koran buat papa sayang. Trus jawabnya apa? Enggak ah papa, Anggie kan lagi sibuk papa... lagi main..."

Ia begitu bersungguh-sungguh.

"Gitu juga kita ama Tuhan, son. Kita dipanggil sholat, suka entar2. Padahal Dia nggak butuh kita sembah. Ibaratnya itu tadi, dia cuma ngetest kita. Tapi dia tetep sayang ama kita. Betapa sayangnya gua sama anak gua..." ia menarik nafas dan menyandarkan kepalanya pada sofa yang sesak oleh kami berempat.

Aku tersenyum lagi. Mas Yahya, si calon bapak, mengajak kita masuk ke ruang perawatan untuk menjenguk istrinya.

"Memang pertanyaan bodoh!" umpatku dalam hati. Bukankah itu akan tetap menjadi rahasia bagiku hingga saatnya tiba nanti?

Tapi bagaimana pria seperti Santo dapat menunjukkan empati kepada Mas Yahya dan istrinya, benar2 indah. Seperti Tuhan sedang mencium sayang Angie dengan bibirnya sendiri.


Bogor, Desember 19, 2007


***

No comments: