Friday, April 25, 2008

Arti kehilangan

Pagi menjelang. Rerumputan di kebun jeruk depan rumah jadi berwarna hijau muda, sayup-sayup tertutup oleh kabut pagi yang mengambang. Burung-burung prenjak baru satu dua saja yang terbang keluar dari sarang untuk mencari makan. Mereka melompat di dahan pohon rambutan depan rumah membangunkan anak2 untuk segera bersiap2 berangkat ke sekolah. Ado dan Iyo sudah bersiap dari pagi-pagi sekali. Mereka sudah mandi dan berpakaian. Ibu membantu keduanya memasang dasi buntung berwarna merah. Membenahi kerah yang terlipat di belakang leher karena karet dasi. Dari bingkai jendela, terlihat serombongan ibu-ibu berkerudung ngendit baskom yang ditutupi kain di pinggangnya. Mereka berjalan lambat sambil menggumamkan obrolan yang tak begitu jelas. Udara dingin membuat uap air mengepul putih dari mulut.

"Bu, itu orang2 pada ngapain ya?" tanya Ado. Bocah kecil itu menunjukkan jemarinya yang mungil keluar jendela.

"Wah, jangan-jangan ada orang meninggal, bu. Kayaknya pada mau nyelawat..." Mas Bayu nyeletuk duluan sambil membuka pintu depan.

"Ngelayat, bukan nyelawat... " kata ibu mengkoreksi. Ia berjalan keluar rumah dan bertanya pada ibu2 yang lewat."Siapa yang meninggal Bu?"

Ibu2 berhenti sebentar. Lalu Bu Ara menyahut,"Eh, ibu... Ntu bu, kuan... Surya, anaknya Bang Aman sama Mpok Indun nyang paling bontot. Nyang kembar..."

"Wah, kok saya nggak denger beritanya ya...?' Ibu terkejut. Bang Aman dan Mpok Hindun adalah tetangga belakang rumah. Rumahnya selang beberapa rumah, tersembunyi dekat kuburan keluarga di bawah rumpun bambu tali yang lebat."Meninggalnya kenapa bu? Perasaan kemarin masih keliatan main di dekat sawah?"

"Lah kuan, ntu blon jelas, bu. Denger-denger selintasan, katanyah kelelep di empang. Lha ini mangkanya kita aja pagi2 buruan beberes langsung jalan..." gantian Bu Husin yang menjawab.

"Oh begitu bu. Kalo gitu tungguin sebentar deh, ya... Saya bareng ibu aja..." Ibu bergegas masuk ke rumah. Dikenakannya kain batik sebagai bawahan dan mengenakan kerudung menutup kepalanya. Lalu ia menuangkan beberapa liter beras ke dalam baskom lalu menutupnya dengan kain lap lurik yang lebar. Tak lupa diselipkannya uang beberapa ribu rupiah di ikatan kain batik di pinggangnya.

"Ya sudah, kalian berangkat sekolah ya... Itu tali sepatunya dibenerin. Ati-ati nyebrang jalannya. Liat kiri kanan dulu..." kata ibu pada anak-anak.

"Bu, ongkosnya belum dikasih..." mas Yono minta duit.

"Oh iya, ibu sampe lupa deh... Sebentar ibu ambilin", sekali lagi ibu masuk kamar. Lalu memberikan sejumlah uang pada mas Yono. Sudah beberapa bulan ini kami pindah ke kampung pinggir kota. Namun proses pindah sekolah memakan waktu lama. Sehingga kami harus bolak-balik naik oplet lalu disambung metro mini agar bisa bersekolah di kota. Yang disebut oplet pun bukan angkutan resmi. Biasanya kami setop saja kendaraan apapun yang lewat dan menanyakan tujuan mereka. Bila searah, kami ikut. Lalu sebelum turun kami berikan uang seadanya untuk upah capek pak sopir. Karena jauhnya maka kami harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang jadi lumayan malam.

"Berangkat buuu..." seru kami bertiga. Ibu mengantar kami hingga depan rumah dengan pandangannya. Lalu ditutupnya pintu pagar.

"Mari bu..." rombongan ibu2 mengangguk lalu melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan terdengar obrolan mereka yang seru.

"Kuan, kagak dipindain aja bu, anak sekola?"
"Udah diurus bu, cuma jaman begini apa2 lamaa... apa-apa serba duit aja..."
"Lha iyak? Lha emang susah ngkali yak? Rasaan di sekola anak saya aja, sekelas ampe 50 anak... Sebangku diisi 3 orang!"


***

Musim panas sebentar lagi berakhir. Anak-anak kampung memanfaatkan cuaca yang cerah untuk bermain layang-layang sampai puas. Kami duduk di atas gundukan batu kali yang akan digunakan untuk membangun pondasi rumah pak Yanto. Rumah itu nantinya akan berdiri di sebelah kebun bapak. Di depan, kanan dan belakangnya di kelilingi sawah yang terhampar luas sampai ke ujung cakrawala. Sebentar lagi pohon jengkol besar tempat mereka berteduh di siang hari akan masuk ke dalam pagar rumah pak Yanto. Rupanya kemajuan jaman akan segera datang, mengganggu keindahan bentang alam dimana Ado dan kawan-kawan bermain.

"Tur, loe kagak maen layangan?" tanya ado pada eLi. Nama aslinya Rusli.
"Pan duit kita kagak... Do..." ia mengeluh. Orang kampung sini untuk makan saja susah, apalagi untuk membeli mainan.
"Kita ngejar layangan aja yuk?" Rusli mengajak ngejar layangan putus.
"Kagak ah, tar gue dimarahin bapak. Di rumah gue yang dulu, banyak yang ketabrak mobil atawa kesetrum kabel listrik!" Dulu waktu tinggal di kota, jarang ada tanah lapang. Orang-orang bermain layangan di jalan aspal. Sehingga sering terjadi kecelakaan. Layang-layang sering nyangkut di kabel listrik yang semrawut. Anak-anak miskin yang berebut layangan, ada juga yang nekat memanjat tiang listrik sehingga kesetrum.
"Disini kagak ada tiang listrik, kuan?"
"Kagak dah, gue ngangon kambing aja", Ado menampik ajakan Rusli. Sebenarnya bukan cuma itu saja. Sejumlah anak kampung masih enggan bersahabat dengannya. Karena ia dianggap anak kota, anak orang kaya. Meski kenyataannya kemiskinan orang kota dimana Ado tinggal dulu, tak lebih menyedihkan daripada di kampung.
"Do! Sini Do! Lu mainin layangan gua aja, nih!", Surya berteriak memanggilnya. Ia berjalan mendekat lalu menyodorkan layangan dan segulungan benang kenur. "Tapi jangan diadu yak? Kuan ini benang kenur, bukan benang gelasan." Ia menjatuhkan diri di rerumputan.
"Beneran Sur?" Ado kurang yakin.
"Iyak, gi dah, noh maenin sama bang Eli..." katanya lagi.
Rusli tertawa gembira. Surya juga tertawa berbarengan dengan Si Entur alias Mansyur, abang kembarnya. waktu pertama kali pindah kesini, Surya yang pertama kali mengajak mereka bermain bersama. Kini berkat dia, mereka dapat belajar main layangan.

***

Hari ini ketiga anak itu cukup beruntung. Mereka cepat dapat oplet sehingga bisa tiba di rumah lebih cepat. Sampai di rumah, ibu sudah menyiapkan makanan buat mereka. Setelah berganti pakaian, cuci muka, cuci tangan dan kaki. Mereka makan bersama.

"Bu, emang bener ya anaknya bang Aman meninggal? katanya kenapa?" tanya mas Yono sambil mengunyah makanan di mulutnya.
"Nah, itu, kalian mesti ati2 kalo kemana2 ya..." jawab ibu."semalem, katanya itu anak kena diare. Trus dia bolak balik ke jamban di empang blakang..."

Ado dan Iyo mendengarkan cerita ibu dengan seksama.

"Mungkin badannya lemes atau dasar jambannya licin karena ujan... Akhirnya itu anak jatuh.

Akhirnya kelelep deh..." kata ibu melanjutkan. Beliau duduk di salah satu kursi ruang makan."Jembatan bambu ke jambannya memang licin dan kecil. Nggak ada pegangannya lagi. Nggak heran kalau dia jatuh. Kesian banget..."

Wajah kedua bocah itu tetap polos.

"Kesian. Tapi katanya mati tenggelam kan syahid ya bu?" tanya mas Yono lagi.
"Iya... wjahnya aja kayak orang tidur... anteng banget...", ibu mengiyakan saja.
"Kalo begitu dosa-dosanya diampuni dong?"
"Yah anak sekecil gitu mungkin malah belum ada dosanya..." jawab ibu."Cepet diselesaikan makannya gih. Trus ditengokin kambingnya. Abis itu boleh kalo mau tidur siang..."

Mereka segera menghabiskan makanannya. Kemudian Ado dan iyo berlari ke padang rumput di depan rumah. Setelah mengurus kambing-kambingnya, mereka berlari ke sawah. Dari seberang sawah mereka memandang jauh ke jamban tempat Surya mati tenggelam.

"Disitu kali ya, si Surya tenggelem...?" kata Iyo pada kakaknya.
Kakaknya mengangguk,"Iya kali..."

Lalu keduanya duduk di rumput galengan sawah. Tidak tampak airmata kesedihan di kedua wajah anak itu. Mereka memang belum benar-benar mengerti soal kematian. Tapi mereka tahu kalau besok tidak akan ada lagi Surya, sobatnya, menemani mereka bermain.

Angin tidak berhenti bertiup membasuh kepala mereka. Sejuk semilir. Konon ketika satu pintu tertutup, pintu lainnya akan terbuka. Ketika satu kebaikan pergi, kebaikan lainnya akan datang. Ketika satu cinta terbang, berjuta-juta cinta akan datang memenuhi hati kita.

Kedua bocah itu memandang ke langit. Dalam hamparan langit biru yang demikian luas. Awan-awan putih dan kelabu beterbangan seperti layang-layang yang dihentakkan oleh benang-benang. Beberapa waktu kemudian sang surya seperti tersenyum, lalu tergelincir ke haribaan ibu alam. Keduanya pulang sambil menunggu datangnya persahabatan sejati.


=============
Bogor, 25 April 2008



Blom dibaca lagi. mohon koreksi kalo ada salah2 kata.

No comments: