Wednesday, June 25, 2008

Bahasa Menyelamatkan Bangsa

Aku baru aja bersiap2 pulang ketika Agus mengajak makan malam bersama di warung ayam geprek Taman Yasmin. Katanya besok pagi Luke akan berangkat ke Kamboja. Adrian juga akan kembali ke filipina minggu depan. Tidak banyak kesempatan lagi untuk makan malam bersama di beberapa hari ke depan. Luke juga akan berulang tahun akhir bulan ini, teman-teman berniat membelikan cake mungil untuknya. Sementara Adrian, setelah beberapa kali perpanjangan kontraknya dengan Livelihood program, kali ini ia akan pulang untuk melanjutkan studinya ke jenjang doktoral. Ia masih menunggu berita soal itu dari universitasnya.

Karena kontraknya sudah berakhir, seminggu ini ia bekerja dengan laptop di library. Tapi seharian ini ia tak ada di sudut meja sana. Aku tak jadi mematikan komputer, kalau Adrian sudah ketemu, baru aku siap2 berangkat. Sebab Adrian yang punya acara. Nggak sampai sepuluh menit ia muncul di pintu library.

"Bagus, are you coming?" tanyanya.
"Iya saya ikut"
"Are we going out by bus?" tanyanya lagi."Kita akan naik shuttle?"
"No, I go with Indra," jawabku. "I think there are enough room for all of us. You can join Mas Jo's car. Who else are coming?"
"Andreas, Mel, Tim and John are coming later. But they can go by bus," ujarnya.
"Lets go then. Let me shut down the computer, I'll join you at the lobby," kumatikan komputer dan mengunci ruangan koleksi library.

Aku ke toilet sebentar, lalu bergabung dengan teman-teman di lobby. Sebagian duduk di sofa, sebagian lagi menghabiskan rokok di luar. Begitu aku datang, semua segera bersiap. Formasinya berubah. Luke, Andrea, Adrian dan aku bergabung di mobil mas Jo. Yang lainnya bergabung di mobil Indra. Kami berangkat ke Warung Ayam Geprek di Taman Yasmin, lagi. Apa boleh buat, kantor kami yang terletak di pinggiran kota tidak memberikan banyak pilihan untuk memenuhi selera bule dan pribumi.

Tak sampai seperempat jam kami tiba di restoran itu. Setelah menata tempat duduk untuk kami semua, kami bercakap-cakap melanjutkan obrolan di dalam mobil ketika Andrea memperkenalkan diri padaku.

"Hi, I'm Andrea, nice to meet you," ia tersenyum manis.
"I'm Bagus, we met before at the library," Andrea hanya beberapa hari di Bogor. Ia membutuhkan beberapa literatur dan ingin bertemu beberapa narasumber untuk risetnya di Australia.
"You mean, Bagus...bagus?" katanya tersenyum heran.
"Yes, Bagus... bagus," aku tertawa. Ini bukan pertama kalinya. Semua orang asing yang berkenalan denganku selalu menanyakan hal itu.
"Yeah, bagus is good," Luke menimpali. Semuanya tertawa dan mengajukan beberapa ungkapan yang lucu tentang itu.
"My Bagus is Javanese name. Balinese is also have Bagus, blablabla..." Andrea manggut-manggut. Aku yakin dia sudah tau itu.

Orang-orang Australia biasanya sudah belajar banyak tentang Indonesia dari Bali. Adrian lalu bercerita, kalau di Filipina ada kebiasaan memberi julukan kepada orang dari keadaan orang itu. Misalnya bila orang itu buta, dia akan dipanggil si buta. Kalau ia pincang, ia dipanggil si pincang. Ayahnya Adrian, misalnya punya nama tagalog yang artinya "nobody cares" karena waktu lahir ia yatim piatu. Hampir mirip lah dengan di Indonesia.

Sambil menunggu pesanan kami ngobrol ngalor-ngidul soal Filipina.
"Hey Adrian, i read update news about the disaster. They already found 33 survivor, and some dead people," ceritaku.
"Oh ya? I heard there are more, it's about 50."
"The thypoon must be very big, ya?" aku tak perlu mikir soal tata bahasa bila ngobrol dengan Adrian, ia berbahasa Indonesia dgn cukup baik.
"Actually not, the ship company has a bad reputation. It was owned by a politician."
"Really? I thought it was the thypoon..."
"I mean, not well managed," Adrian mulai menjelaskan angka2 kecelakaan kapal-kapar yang berkibar di bawah bendera perusahaan itu.
"Is it like metro mini in Indonesia?" aku asal nyeplos seperti biasanya.
"Maybe..."

Lalu ia bercerita tentang betapa korupnya pemerintahan di negaranya. Dibanding filipina, Indonesia masih lebih mendingan. Masih ada arah pembangunan yang cukup jelas. Militer tak sekuat disini, tapi korupsi merajalela.

"How old are you when marcos going down?"
"I was born 1990, so I was 6 years old," ia tertawa. Mas Jo ikut tertawa. Kami memang jarang bicara serius, jadi selalu saja ada gurauan di sana-sini.
"I was in college when it happened. It was a big news in Indonesia," aku sedikit membual."But only litle coverage in newspapers. We are still in Suharto era. I think he didn't want it to happen in Indonesia. It could be a trigger you know..."
"Oh really? Now is a bit different. But the corruption still there."
"How come? My brother is in beijing for almost 15 years now. He told me, he admire filipino so much. They are everywhere. From maid into big star singer. Every pub, there is filipino. And they are good!" minuman sudah datang. Sambil menyeruput juice strawberry aku melanjutkan.
"Exactly, katanya. You know, the only advantage we have than other asean countries is English as speaking language. From about 80 million population 6 million of us are working abroad. Thats a huge income to the countries."

Namun sebagian besar pekerja itu menjadi sapi perah bagi para politisi. Mereka menggunakan perusahaan2 pengerah tenaga kerja sebagai alat untuk mengambil keuntungan. Dari surat-menyurat administratif hingga biaya sponsorship. Semuanya berafiliasi pada politisi atau orang-orang yang berpengaruh.

"I mean they are working in Europe, US, and many modern countries. How come they didn't bring changes?"
"That's because they use all the resource they get to go out the country," jawabnya.
"So, for example, I am working in US and you are my brother. If i get money, i will sponsor you to go to US as well?"
"Exactly!"

Aku mengangguk mengerti.

"The funny thing is, when i went to Nepal. I saw, so many advertisement on study abroad services."
"And they are using it for working ilegally?"
"Yes. Nepal is 30 million population and about 6 million is working abroad. The tourism activities companies belong to foreigners, bule's."

"I saw the advertisement in public spaces, in newspapers. Everywhere. It means they are taking the services. Going abroad is a big business."

Makanan sudah disajikan. Tim, John, Mel dan Andreas tiba. Kami menunggu mereka memesan makanan sebelum mulai menyantap makanan kami. Obrolan kami jadi agak menyerempet2 bahaya. Adrian sedikit cerita kalau sebagian dari para pekerja migran itu berada di bisnis esek-esek. Bagaimana bisnis itu sebenarnya sangat tercela dalam katolik. Tapi juga tak terhindarkan. Sejak Kardinal Sin meninggal belum ada figur sekharismatik itu di kalangan gereja katolik filipina.

"Are you running porn website? Genuine Filipino girl?"
"Well, Bagus. That's why I am here, working abroad," katanya sambil tertawa.
Kami semua tertawa.
"That's the only thing why we didn't have revolution, otherwise we have already bankrupt."

Sungguh salut untuk para pekerja migran!



Bogor, 25 June 2008.



*) Disasternya itu tentang kapal Ferry yang terbalik karena Topan Fengshen.

2 comments:

cyn said...

salut untuk pahlawan devisa..
*pengen ikut ke ayam geprek*

sonn said...

oh, saya baru tahu tuh kalo ternyata di filipina pemerintahannya sami mawon sama indonesia..