Friday, April 25, 2008

Arti kehilangan

Pagi menjelang. Rerumputan di kebun jeruk depan rumah jadi berwarna hijau muda, sayup-sayup tertutup oleh kabut pagi yang mengambang. Burung-burung prenjak baru satu dua saja yang terbang keluar dari sarang untuk mencari makan. Mereka melompat di dahan pohon rambutan depan rumah membangunkan anak2 untuk segera bersiap2 berangkat ke sekolah. Ado dan Iyo sudah bersiap dari pagi-pagi sekali. Mereka sudah mandi dan berpakaian. Ibu membantu keduanya memasang dasi buntung berwarna merah. Membenahi kerah yang terlipat di belakang leher karena karet dasi. Dari bingkai jendela, terlihat serombongan ibu-ibu berkerudung ngendit baskom yang ditutupi kain di pinggangnya. Mereka berjalan lambat sambil menggumamkan obrolan yang tak begitu jelas. Udara dingin membuat uap air mengepul putih dari mulut.

"Bu, itu orang2 pada ngapain ya?" tanya Ado. Bocah kecil itu menunjukkan jemarinya yang mungil keluar jendela.

"Wah, jangan-jangan ada orang meninggal, bu. Kayaknya pada mau nyelawat..." Mas Bayu nyeletuk duluan sambil membuka pintu depan.

"Ngelayat, bukan nyelawat... " kata ibu mengkoreksi. Ia berjalan keluar rumah dan bertanya pada ibu2 yang lewat."Siapa yang meninggal Bu?"

Ibu2 berhenti sebentar. Lalu Bu Ara menyahut,"Eh, ibu... Ntu bu, kuan... Surya, anaknya Bang Aman sama Mpok Indun nyang paling bontot. Nyang kembar..."

"Wah, kok saya nggak denger beritanya ya...?' Ibu terkejut. Bang Aman dan Mpok Hindun adalah tetangga belakang rumah. Rumahnya selang beberapa rumah, tersembunyi dekat kuburan keluarga di bawah rumpun bambu tali yang lebat."Meninggalnya kenapa bu? Perasaan kemarin masih keliatan main di dekat sawah?"

"Lah kuan, ntu blon jelas, bu. Denger-denger selintasan, katanyah kelelep di empang. Lha ini mangkanya kita aja pagi2 buruan beberes langsung jalan..." gantian Bu Husin yang menjawab.

"Oh begitu bu. Kalo gitu tungguin sebentar deh, ya... Saya bareng ibu aja..." Ibu bergegas masuk ke rumah. Dikenakannya kain batik sebagai bawahan dan mengenakan kerudung menutup kepalanya. Lalu ia menuangkan beberapa liter beras ke dalam baskom lalu menutupnya dengan kain lap lurik yang lebar. Tak lupa diselipkannya uang beberapa ribu rupiah di ikatan kain batik di pinggangnya.

"Ya sudah, kalian berangkat sekolah ya... Itu tali sepatunya dibenerin. Ati-ati nyebrang jalannya. Liat kiri kanan dulu..." kata ibu pada anak-anak.

"Bu, ongkosnya belum dikasih..." mas Yono minta duit.

"Oh iya, ibu sampe lupa deh... Sebentar ibu ambilin", sekali lagi ibu masuk kamar. Lalu memberikan sejumlah uang pada mas Yono. Sudah beberapa bulan ini kami pindah ke kampung pinggir kota. Namun proses pindah sekolah memakan waktu lama. Sehingga kami harus bolak-balik naik oplet lalu disambung metro mini agar bisa bersekolah di kota. Yang disebut oplet pun bukan angkutan resmi. Biasanya kami setop saja kendaraan apapun yang lewat dan menanyakan tujuan mereka. Bila searah, kami ikut. Lalu sebelum turun kami berikan uang seadanya untuk upah capek pak sopir. Karena jauhnya maka kami harus berangkat pagi-pagi sekali dan pulang jadi lumayan malam.

"Berangkat buuu..." seru kami bertiga. Ibu mengantar kami hingga depan rumah dengan pandangannya. Lalu ditutupnya pintu pagar.

"Mari bu..." rombongan ibu2 mengangguk lalu melanjutkan perjalanan. Dari kejauhan terdengar obrolan mereka yang seru.

"Kuan, kagak dipindain aja bu, anak sekola?"
"Udah diurus bu, cuma jaman begini apa2 lamaa... apa-apa serba duit aja..."
"Lha iyak? Lha emang susah ngkali yak? Rasaan di sekola anak saya aja, sekelas ampe 50 anak... Sebangku diisi 3 orang!"


***

Musim panas sebentar lagi berakhir. Anak-anak kampung memanfaatkan cuaca yang cerah untuk bermain layang-layang sampai puas. Kami duduk di atas gundukan batu kali yang akan digunakan untuk membangun pondasi rumah pak Yanto. Rumah itu nantinya akan berdiri di sebelah kebun bapak. Di depan, kanan dan belakangnya di kelilingi sawah yang terhampar luas sampai ke ujung cakrawala. Sebentar lagi pohon jengkol besar tempat mereka berteduh di siang hari akan masuk ke dalam pagar rumah pak Yanto. Rupanya kemajuan jaman akan segera datang, mengganggu keindahan bentang alam dimana Ado dan kawan-kawan bermain.

"Tur, loe kagak maen layangan?" tanya ado pada eLi. Nama aslinya Rusli.
"Pan duit kita kagak... Do..." ia mengeluh. Orang kampung sini untuk makan saja susah, apalagi untuk membeli mainan.
"Kita ngejar layangan aja yuk?" Rusli mengajak ngejar layangan putus.
"Kagak ah, tar gue dimarahin bapak. Di rumah gue yang dulu, banyak yang ketabrak mobil atawa kesetrum kabel listrik!" Dulu waktu tinggal di kota, jarang ada tanah lapang. Orang-orang bermain layangan di jalan aspal. Sehingga sering terjadi kecelakaan. Layang-layang sering nyangkut di kabel listrik yang semrawut. Anak-anak miskin yang berebut layangan, ada juga yang nekat memanjat tiang listrik sehingga kesetrum.
"Disini kagak ada tiang listrik, kuan?"
"Kagak dah, gue ngangon kambing aja", Ado menampik ajakan Rusli. Sebenarnya bukan cuma itu saja. Sejumlah anak kampung masih enggan bersahabat dengannya. Karena ia dianggap anak kota, anak orang kaya. Meski kenyataannya kemiskinan orang kota dimana Ado tinggal dulu, tak lebih menyedihkan daripada di kampung.
"Do! Sini Do! Lu mainin layangan gua aja, nih!", Surya berteriak memanggilnya. Ia berjalan mendekat lalu menyodorkan layangan dan segulungan benang kenur. "Tapi jangan diadu yak? Kuan ini benang kenur, bukan benang gelasan." Ia menjatuhkan diri di rerumputan.
"Beneran Sur?" Ado kurang yakin.
"Iyak, gi dah, noh maenin sama bang Eli..." katanya lagi.
Rusli tertawa gembira. Surya juga tertawa berbarengan dengan Si Entur alias Mansyur, abang kembarnya. waktu pertama kali pindah kesini, Surya yang pertama kali mengajak mereka bermain bersama. Kini berkat dia, mereka dapat belajar main layangan.

***

Hari ini ketiga anak itu cukup beruntung. Mereka cepat dapat oplet sehingga bisa tiba di rumah lebih cepat. Sampai di rumah, ibu sudah menyiapkan makanan buat mereka. Setelah berganti pakaian, cuci muka, cuci tangan dan kaki. Mereka makan bersama.

"Bu, emang bener ya anaknya bang Aman meninggal? katanya kenapa?" tanya mas Yono sambil mengunyah makanan di mulutnya.
"Nah, itu, kalian mesti ati2 kalo kemana2 ya..." jawab ibu."semalem, katanya itu anak kena diare. Trus dia bolak balik ke jamban di empang blakang..."

Ado dan Iyo mendengarkan cerita ibu dengan seksama.

"Mungkin badannya lemes atau dasar jambannya licin karena ujan... Akhirnya itu anak jatuh.

Akhirnya kelelep deh..." kata ibu melanjutkan. Beliau duduk di salah satu kursi ruang makan."Jembatan bambu ke jambannya memang licin dan kecil. Nggak ada pegangannya lagi. Nggak heran kalau dia jatuh. Kesian banget..."

Wajah kedua bocah itu tetap polos.

"Kesian. Tapi katanya mati tenggelam kan syahid ya bu?" tanya mas Yono lagi.
"Iya... wjahnya aja kayak orang tidur... anteng banget...", ibu mengiyakan saja.
"Kalo begitu dosa-dosanya diampuni dong?"
"Yah anak sekecil gitu mungkin malah belum ada dosanya..." jawab ibu."Cepet diselesaikan makannya gih. Trus ditengokin kambingnya. Abis itu boleh kalo mau tidur siang..."

Mereka segera menghabiskan makanannya. Kemudian Ado dan iyo berlari ke padang rumput di depan rumah. Setelah mengurus kambing-kambingnya, mereka berlari ke sawah. Dari seberang sawah mereka memandang jauh ke jamban tempat Surya mati tenggelam.

"Disitu kali ya, si Surya tenggelem...?" kata Iyo pada kakaknya.
Kakaknya mengangguk,"Iya kali..."

Lalu keduanya duduk di rumput galengan sawah. Tidak tampak airmata kesedihan di kedua wajah anak itu. Mereka memang belum benar-benar mengerti soal kematian. Tapi mereka tahu kalau besok tidak akan ada lagi Surya, sobatnya, menemani mereka bermain.

Angin tidak berhenti bertiup membasuh kepala mereka. Sejuk semilir. Konon ketika satu pintu tertutup, pintu lainnya akan terbuka. Ketika satu kebaikan pergi, kebaikan lainnya akan datang. Ketika satu cinta terbang, berjuta-juta cinta akan datang memenuhi hati kita.

Kedua bocah itu memandang ke langit. Dalam hamparan langit biru yang demikian luas. Awan-awan putih dan kelabu beterbangan seperti layang-layang yang dihentakkan oleh benang-benang. Beberapa waktu kemudian sang surya seperti tersenyum, lalu tergelincir ke haribaan ibu alam. Keduanya pulang sambil menunggu datangnya persahabatan sejati.


=============
Bogor, 25 April 2008



Blom dibaca lagi. mohon koreksi kalo ada salah2 kata.

Friday, April 04, 2008

Mancing lindung!

Di kampung sini, sejak jaman baheula, orang-orang hidupnya bertani. Tanahnya luas2. Lihat saja Wak Haji Balok, Haji Salam, Haji Rais dan kawan-kawan. Tapi itu bukan semata2 warisan.

Orang tempo dulu pekerja keras. Miara kambing, kerbau, ayam, berkebun buah, tanam padi, semua dilakukan sendiri. Pak Haji Salam, sudah tua begitu, masih memetik rambutan atau kecapi sendiri. Dengan bercelana kolor dan sarung terikat di pinggang, beliau memanjat pohon dengan cekatan di pundak kiri mencangklong elang, disebelah kanan menaikkan galah bambu.

Elang itu, semacam keranjang yang dibuat dari bambu yang dijalin. Biasanya dibuat sepasang, diberi tali untuk dipanggul di pundak dengan pikulan. Kalau dahannya licin ia mengikatkan sarungnya pada dahan yang kokoh.

Lalu ia mulai nyengget kecapi dengan mahir. Buah yang sudah nyantol di ujung galah lalu diambilnya dan dilemparkan ke dalam elang yang ia gantungkan di dahan lain. Bila sudah penuh, ia tinggal mengerek elang itu ke bawah lalu melemparkan galah ke tanah. Esok hari bahkan sebelum subuh ia sudah berangkat berjalan kaki memikul elangnya ke pasar. Ia sudah hapal dimana ia harus singgah sejenak di langgar untuk menunaikan sholat subuh sebelum melanjutkan perjalanan.

Tapi anak keturunannya sudah nggak begitu lagi. Contohnya bang Nawi tetangga sebelah, memilih jadi tukang ojek daripada jadi orang tani. Mana mau dia genjot speda onta ke pasar semasa malem masih begitu adem. Sementara baba nya berani genjot sampe pasar bilangan mester atau mayestik. Modal speda onta, dikiri kanannya dipasangin bronjong dari bambu. Isinya bisa mecem2 tergantung musim apa enggaknya hasil bumi. Manakala rambutan lagi berbuah, cimacan, cipelat, aceh, sampe rapiah bakal padet memenuhi bronjong. Sebelom berangkat mereka netak bambu tali, trus dipotong bangsa seruas dua ruas untuk dibelah2 halus jadi tali. Nanti begitu sampe tujuan, daun pisang kering digelar di tanah dan rambutan dibongkar. Barulah rame2 pada ngiket rambutan sedompol-sedompol.

Kalo lagi banyak panen pisang, bronjong diisi pisang. Tandanan utuh dililit daun pisang kering biar kulitnya tetep cakep nggak pada ledes ketindes beban. Nanti di pasar pembeli boleh pilih. Beli tandanan boleh, sisiran juga hayo. Kalo hari itu nggak laku tandanan, pisau yang tajem dikeluarin. Tandanan dipotong sesisir-sesisir. Buah yang gede-gede deket pangkal tandan sudah barang tentu harganya lebih mahal. Nah bagi yang duit belanjanya cekak beli pisang yang di ujung tandan. Tenang saja, biarpun kecil, pisang jaman dulu masih asli. Rasanya enak meresep di lidah dan lembut di kerongkongan. Tentu saja sodara, pupuknya serba asli. Sebab kalo malem2 perut bang Nawi lagi mules, dengan berkerodong sarung ia tinggal nongkrong di deket bonggol pisang. Lah siapa kagak jeri tengah malem pergi ke jamban di empang pinggir sawah? Tempo-tempo, orang ronda ngeliat sesosok anak gadis baju putih-putih ongkang-ongkang kaki di atas rumpun bambu deket jamban. Baunya harum kembang kanthil. Makanya biarpun muka bang Nawi serem kayak begal kondang, tetep aja dia jeri kalau biji alpuketnya dibetot kunti atau sundel bolong.

Karena itulah cara hidup itu dianggapnya terlalu melelahkan, berbeda dengan ngojek yang lebih santai. Jam sepuluh pagi sudah dapat sepuluh dua puluh ribu, bang Nawi pulang ngelonin bini. Anak-anak masih pada sekolah. Bayaran sekolah? Kan ada surat miskin... Nanti kalo anak sudah besar, tinggal jual tanah buat modal ngawinin. Ado tak perduli dengan semua itu. Si Arip, Isah dan Tini anak Bang Nawi adalah teman-teman baru Ado. Sehabis pulang sekolah, mereka berkumpul di halaman rumah yang rindang membuat janji untuk menikmati waktu yang berlimpah.

Baginya teman-temannya adalah sebuah dunia baru yang terbentang luas. Bagi anak kota sepertinya, alam yang asli adalah surga firdaus seperti yang dijanjikan guru ngajinya, pak Abdul Rojak.

***
"Bu, PRnya udah Ado kerjain. Sekarang Ado nengokin kambing yaaa...?" Ado berteriak pada ibu yang sedang sibuk menjemur pakaian di jemuran blakang rumah.
"Iyaaa, jangan maen jauh-jauh ya. Nanti bapak pulang dicariin lho..." pesan ibu dari jauh.

Ado menoleh pada adiknya Iyo. Keduanya meringis gembira. Biarpun PRnya masih jauh dari selesai, bagi anak bengal itu pesan itu dianggap berlaku juga buat dirinya. Giginya yang grupis, hitam disana-sini membuat wajah gembul itu jadi sangat lucu.

"YUKKKK!!!!" kata mereka berdua serempak.

Mereka menutup buku dan segera berhamburan ke padang rumput. Iyo membawa karung dan Ado membawa sebuah arit. Mereka mendapat tugas tambahan mengarit rumput buat si Nyonyo, induk kambing yang baru saja melahirkan. Mereka harus memilih rumput yang segar dan halus agar mudah dicerna oleh si Nyonyo. Setibanya di padang rumput mereka memilih rumput yang tumbuh di tempat yg agak rendah. Bila sedang musim hujan di sisi itu selalu tergenang air banjir.

Kadang-kadang banyak ikan yang terjebak di situ. Ketika hujan sudah mulai berkurang, tanah dibawahnya menjadi lebih basah dibanding bagian lain padang rumput itu. Sehingga, rumput tumbuh segar dan panjang.

Kedua bocah itu mulai mengarit rumput bergantian. Apabila yang satu memotong rumput yang satunya mengumpulkannya dan memasukkan ke dalam karung. Iyo merenggut pucuk-pucuk rumput dengan tangan kiri lalu memotongnya dengan sabit. Dalam waktu tak terlalu lama, karung ukuran satu kuintal sudah penuh oleh rumput. Setelah melepaskan tali cencang yang melilit kaki domba2nya, keduanya pulang ke rumah sebentar untuk membawa pulang rumput yg sudah diarit. Si Nyonyo baru dua hari ini beranak, jadi untuk sementara tidak diangon di padang rumput. Mereka menuang sebagian rumput ke kotak pakan di samping kandang. Lalu Ado mengambil ember bersisi air, mencampurkan sedikit garam dapur lalu memberi minum si Nyonyo.

Ia meminum air cukup banyak. Karena harus menyusui anaknya. Sambil memperhatikan si Nyonyo makan, keduanya menyapu lantai kandang dan kolongnya agar bersih. Kandang yang bersih akan terhindar dari penyakit. Tahi kambing yang terkumpul mereka sekop dan dimasukkan ke dalam lubang penampungan yang digali oleh bapak. Nanti kalau sudah banyak, akan kami angkut ke kebun untuk memupuk tanaman.

Pekerjaan mereka sudah hampir selesai. Tiba2, "Takkkkk!" sebuah kerikil menabrak batang pohon nangka. Keduanya kaget dan mencari arah darimana datangnya batu itu. Ditengok ke kiri-kanan tidak ketahuan asalnya. Mereka kembali bekerja. "plokkkk" kali ini kena kepala si Iyo. Kali ini yang terbang adalah babal pohon nangka, tapi lumayan sakit juga. Barulah mereka teringat kejahilan anak-anak kampung. Rupanya si Arip yang iseng mengganggu mereka berdua. Tadi ia mengintip di balik tembok. Setelah menimpuk, ia berjonggok di sudut pondasi tembok. Ia menutup mulutnya sambil tertawa kecil. Ia tak sadar kalau di belakang punggungnya ada lubang. Tembok batako kapur putih kualitas rendah itu mudah gempur hanya dengan dikorek menggunakan ranting kecil. Lubang itu digunakan oleh Ado dan Iyo untuk mengintai bila bermain perang-perangan. Tak disadari, baju Arip yang merah terang kelihatan dari lubang tersebut.

"Buset, kepala gue ketibanan babal!" iyo berpura2 mengeluh, tetapi matanya melirik ke kakaknya yang sedang memegang sekop. Ia mendekat dan membisikkan sesuatu. Iyo berlari kecil mengambil air di ember. Sementara Ado tetap berpura-pura menyapu.

"Byurrrr" iyo menyiramkan air dari atas tangga yang bersandar di tembok.

"Rasain loe basah kuyup!" Iyo tertawa terpingkal-pingkal.
"Huaaa ampun Yo, ampunnnnn, guah jangan disiram lagi..." Arip melompat kaget. Tapi ia sudah terlanjur basah kuyup. "Waduh, basah dah guah..."
"Lagian loe sih, pala orang ditimpuk babal..." Iyo tertawa senang."Ngapain sih loe tumben amat nongol di belakang?"
"Yah kagak napa2, bocah2 pada mao mancing lindung. Elu pada mao ikutan kagak?" tanya Arip sambil mendongak melihat sobatnya yang bersandar di atas pagar."Kalo mau, sekalian bawa duit pekgo yak? Buat beli kenur sama kail gabus..."
"Lah emang kagak cukup pake pancing betok, Rip?" Ado bertanya dari balik lubang intip.
"Pancing betok mah kagak kuat narik congor lindung, Do!" Arip mengintip dari sebaliknya batako. "Lu kagak tau yak kalo lindung udah ngebetot, berat bangaat!" Biarpun mulutnya cuma terihat sebagian, kedua temannya serasa terbawa oleh mimik muka si Arip yang mirip banget sama bang Nawi. Bener2 mirip kayak kacang ijo abis dipres dari cetakan kue satu. "Lu ikut kagak?"
"Ayo dah, gue pengen tau gimana caranya mancing lindung!" keduanya segera menyelesaikan pekerjaannya kemudian berlari ke luar rumah menemui sobatnya.

***
"Rip, mancing lindung kagak pake walesan kan?" Iyo bertanya. Walesan dalam bahasa indonesianya disebut joran.
"Kagak Yo, kita iket kayu aja, kuan. Buat pegangan mbetot lindung" kata Arip santai."Lu pada bawa berapa duit?"
"Tadi loe kate pekgo, Rip...?" jawab Ado."Cukup kan?"
"Iyak, cukup, perkiraan kail pancing sarang satu, kenur sarang satu meter seorang..." Arip pura2 berhitung."Iyak, cukup dah!" Gayanya seperti ahli aljabar saja. "Nyok buruan dah kita pegi ke warung Wak Jereng!"

Sejurus kemudian mereka sudah berangkat. Ketiganya berjalan beriringan di atas galengan sawah menuju warung Wak Jereng di belakang Masjid Al Hakim. Warung Wak Jereng sangat terkenal di kalangan anak2, karena disitu dijual berbagai perlengkapan yang mereka butuhkan.

Diantaranya, karet bekas ban dalam buat selepetan, benang dan layangan, juga kail, kenur dan pelampung buat memancing. Walesan atau joran juga ada, tapi anak2 lebih suka membuat joran sendiri dari batang bambu. Ada juga berbagai macam celengan tanah liat dan perlengkapan berkebun, seperti cangkul, sabit, topi caping, pengki dan tangguk. Harganya juga terhitung murah.

Mereka bertiga segera membeli benang kenur dan kail. Kenur yang dibeli harus yg agak tebal. Sebab benang itu harus kuat untuk menahan tarikan lindung yang hidup di lubang2 di sawah. Bila lindungnya besar, tidak jarang tali pancingnya sampai putus. Sehingga kailnya akan tertinggal di mulut lindung, atau bahkan tertelan ke dalam perutnya. Kasihan kan? Karena itu selain dipilih kenur yang tebal, nanti benang tersebut harus dipilin hingga menjadi dua lapis. Agar kekuatannya bertambah dua kali dan benang itu jadi lebih kaku sehingga dapat mudah didorong masuk ke dalam lubang lindung.

"Lah, di sini aja yak? Kita pasang pancingnya..." kata si Arip sambil menjatuhkan pantatnya di atas rumput yang empuk kayak karpet. Di atasnya daun pohon ujan dan angsana bergoyang2 ditiup angin sawah yang sejuk. Pohon-pohon itu ditanam dalam garis yang memanjang oleh petani sebagai pagar batas tanah darat dan sawah. di dalam pagar, tanaman sayur2an dan buah seperti daun singkong, labu atau pepaya terlindung dari pagutan hewan ternak yang sedang digembalakan.

Arif menarik ujung celana pendeknya ke atas. Tangan kirinya memegang ujung benang kenur yang sudah dipotong 1 meteran. Ia meletakkan bagian tengah benang di atas paha kanannya. Kemudian ditangkupkannya ujung telapak tangannya di atas benang itu. Ia menekan perlahan sambil mendorong benang itu ke arah lutut. Benang kenur itu terus dipelintir hingga ke ujung satunya. Lalu dengan cekatan ia melipat benang itu jadi dua sehingga kedua bagian benang saling melilit dengan kuat. Setelah selesai, ia mengikat ujungnya supaya lilitan itu tidak terurai lagi.

"Trus masang kailnye gimane, Rip?" tanya Ado ingin tau.
"Gampang dah, gini nih guah unjukin..." Arip menunjukan sebuah simpul sederhana yang akan mengunci kail itu. Tidak akan mungkin kail itu lepas kecuali benangnya putus kena gigit gigi lindung.
"Oh gitu ye...?" Iyo mengangguk2 mengerti."Ajarin gue dong."

Memang tidak mudah mengerjakan tugas itu. Tapi memancing bersama kawan-kawan sungguh menyenangkan. ketiganya saling membantu sehingga pekerjaan itu cepat selesai.

***

"Nah sekarang ayo dah, kita cari empan..." Arip tertawa.
"Kail segede gini empannye apaan? Kodok ye?" tanya Ado.
"Iya, akur pisan. Nih gua bawa plastik buat tempat kodok. Isiin aer dah..." ia menyodorkan plastik bekas satu2.

Kodok bancet adalah sejenis kodok yang hidupnya di sawah. Tubuhnya sangat kecil, paling-paling sebesar ibu jari tangan anak-anak. Warnanya coklat terang agak kehijauan, dan ada sedikit corak berupa garis memanjang dari kepala hingga ke ekor. Mereka berenang-renang mengambang di permukaan air sambil bernyanyi2.

"tekotekotek...kotek" begitu mereka bernyanyi. Biarpun badannya kecil, tapi suara mereka keras. Konon itu doa untuk memanggil air hujan dari langit.

Anak-anak itu berkejaran di sawah mencoba menangkap kodok. Di saat bibit padi baru beranak menjadi rumpun. Sawah harus diairi cukup banyak, agar padi bisa tumbuh subur mengeluarkan tunas-tunas baru. Sebatang bibit padi bisa menjadi berpuluh2 tunas yang nantinya akan mengeluarkan untaian-untaian bulir2 padi yang bisa dipanen. Bila air sedang banyak, menangkap kodok jadi agak susah. Sebab mereka gesit sekali berenang. Mereka menangkap 5 ekor saja, nanti kalau kurang tinggal menangkap lagi.

Nah, bagian paling sulit adalah memasang umpan di kail. Mereka tidak tega menusukkan kodok kecil itu ke kail yang tajam. Tapi apa boleh buat. Memang itu makanan yang disukai oleh lindung.

"Kagak apa-apa Do, kuan 'nti malem pas lindungnya laper, bakal disantap juga itu kodok bancet", Arip menjelaskan.

Mereka menyusuri pematang sawah mencari lubang yang kira2 menjadi rumah si lindung. Kata Arip, kita pilih saja lubang di bawah pematang yang dekat dengan air sawah. Biasanya di mulut lubang terdapat air jernih. Nanti kita masukkan kail yg berisi umpan kodok ke mulut lubang. Jangan lupa dipelintir-pelintir sedikit, biar mudah masuk agak kedalam lubang dan seakan-akan kodoknya bergerak-gerak masih hidup.

"Bujug deh, capek juga mancing lindung ye", Iyo mengeluh. Badannya harus membungkuk untuk mendekati lubang lindung.

"Hahaha lah iya, capek pisan. Pan keadaan, awak luh bogel, kontet", Arip nyela seenak udel.
"Sialan lun, nih makan tai elur!" Iyo tertawa sambil melemparkan segumpal lumpur lunak ke arah sobatnya. Untung lemparannya meleset, kalau tidak mukanya bakal belepetan.

"Nah, nah! Empan gua dapet nih dibetot!" mata Arip terbeliak menarik perhatian teman-temannya. Benangnya tertarik ke dalam oleh tarikan lindung. Kelihatannya ia memakan umpannya.

Tampaknya lindungnya tak seberapa besar, sebab tarikannya tak terlalu kuat. Arip membiarkan si lindung memakan umpannya. Begitu tarikannya terasa nyangkut. Segera ditariknya benang pancing keluar... Ado dan iyo memandangnya dengan antusias.

"Perlu gue bantuin kagak, Rip?"
"Kagak usah, gua bisa nih, Do" Arip menahan tali dengan tangan kiri. Tangan kanannya menarik kuat-kuat. Di sini lah asyiknya memancing.
"Awas, semur jengkol nyolos dari bawah!" Ado meledek.
"Nah kena nih lindung gue panciiiiing!!" Arif menarik kuat-kuat.
"Huaaaaaaaaa!" semuanya berteriak.
"Pejajaran! Dikira lindung, empan gue abis dimakan yuyu!" Arip menggerutu. Di kailnya seekor ketam sawah menggantung asyik sambil memakan daging kodok. Ia melempar yuyu ke tengah sawah lalu mencoba lagi.

***

Menjelang jam 3 sore Arip sudah dapat 2 ekor, Ado dapat 1 sedangkan Iyo belum dapat sama sekali. Mukanya cemberut kecewa.
"Gimane sih caranye? Kok gue kagak dapet2?"
"Orang mancing kuan kagak boleh kesel, ati kita mesti girang" Arip menghibur."Bawa sini dah empan lu gua ludahin..."

Iyo menggantung kailnya di depan mulut Arip yang monyong kayak ikan sili.
"HUEKKKKK....CUHHHH! CUHHH! CUUHHHH!" Arip meludahi kodok yang dijadikan umpan tiga kali."Cing terincing, anak mancing makannya cacing, dok derokdok, anak bogel makannyah kodok!"
"Sialan luh!" muka si Arip diraup pake tangan yang bau ketek.
"Huahahaha eluh tuh yak, udah gua kasih jampi malah manyun ajah...!" Arif tergelak.
"Bodo ah, makan tuh ketek gua", Iyo memasukkan umpan ke dalam lubang.

Ia memilih lubang di sudut pematang. Di situ airnya lebih banyak dan ada sejumlah rumpun genjer yang subur dekat lubang. Sebenarnya ia tak begitu perduli lagi apakah ia akan dapat atau tidak. Tapi ia masih penasaran, siapa tau yang terakhir ini bakal dapat.

Ia kilik-kilik benang kenur di tangannya. Sedikit-sedikit umpannya masuk ke dalam liang. Dia tarik keluar masuk pelan-pelan. Lalu meniru-niru Arip, menyentil permukaan air dekat lubang biar menghasilkan suara seperti kodok bancet lagi berjodo.

Tak disangka2 kailnya berasa ditarik ke dalem. Langsung saja ditahannya itu tarikan. Dikedet-kedet, dibetot-betot dikit biar si lindung keenakan. Serasa makan kodok yang masih ngelawan. Ditarik dikit, dilepas. Diulur, lalu ditarik pelan2. Begitu terus, sampe lindungnya capek sendiri.

"Wah, dapet gue nih!" Iyo berteriak gembira."Kayaknye gede banget. Ditariknye seret!"
Arip dan Ado mendekat. Mereka membantu Iyo menarik lindung keluar dari lobang.
"Ayo tarik dah bareng-bareng! Satu, dua, tigaaa!"
"Dapeeeeettttttt!!!!" tanpa pikir panjang si Iyo menangkap kepala lindung. Lindung jatuh terlepas dari kail. Begitu kepalanya mau terpegang....
"Wadaaaaaooooo!" telunjuk Iyo digigit.
"Bujug buneng, ini mah uler kadut!" Arif melompat ketakutan.

Beruntung si ular kadut buru2 nyemplung sawah. Orang dan uler, sama2 ketakutan. Tinggal Iyo yang nangis memble. Telunjuknya berdarah dan bengkak. Ia berlari pulang diikuti kakaknya dan Arif yang menenteng hasil pancingannya.

"Aduh, kamu kenapa nangiiis?" tanya ibu pada mereka bertiga."Digigit ular?" Beliau makin pakik saja.

Bang Nawi babanya si Arif ikut keluar rumah.
"Astaghfirlohalajiim... ada apa yak?"
"Itu... itu... I... I... Iyo... digigit ula kaduuut..." Arif menjawab takut2.
"Lha kuan ngapah sampe digigit?"
"Huhhuhuhuuuuu..." Iyo menangis terus."mancing linduuung.... huhuhuhu.... dicatek uler.... huhuhu....!"
"Oh jadi begitu kuan perkaranyah..." Bang Nawi tolak pinggang."Yakin ntu ula kadut? Bukan Bedudak?"
Mereka bertiga mengangguk serentak.
"Untung... untuung nasib... uler kadut kagak ada racunnyah... kalo kagak berabe pisan anak orang!" Bang Nawi jadi marah."Maafin anak sayah yak Bu. Ini dia pasti biang keroknyah!"
"Hayuh pulang!" kuping si Arip dijewer Bang Nawi pulang ke rumah."Gaya amat sih luh, Rip, pake ngajak anak orang mancing lindung.... Bangor pisan...! Kuan baba belon ajarin, mana nyang namanyah lobang yuyu, mana yang namanyah lubang lindung, mana yang lobangnyah..... ula kaduuuut!!!"
"Huhuhuu, iye baaaa, ampuuun baaaaa..."

Suara Arip terdengar sedih dari jauh. Demikian juga kedua temannya. Semoga semuanya baik-baik saja.

===========

Bogor, 4 April 2008



Belom dibaca ulang. Harap maklum kalo banyak salah2nya.

*) Lindung = Belut = Eel dalam bahasa inggrisnya.

*) Nyengget = menjolok buah = memetik buah dengan cara dijepit dengan galah bambu yg ujungnya dibelah.

*) Netak = kata dasarnya tetak = memotong batang bambu dengan golok.

*) Babal = pentil buah nangka. Kadang-kadang dibikin rujak babal sama anak-anak kampung.

*) Tai elur = tai cacing, itu tanda sarangnya cacing tanah. Kalo di atas lumpur ada tai elurnya, trus kita keduk lumpur dibawahnya, pasti isinya banyak cacing tanah. Biasanya kita pake buat umpan mancing.

*) Ula = Uler = Ular = Ulo = Snake
*) Baba = babe = Bapak. Kalo betawi pinggiran sini banyak pake sebutan Baba buat manggl bapak. Kurang lebihnya itu yang saya tau.