Saturday, June 11, 2005

Si Lugu

"Loe mo beli mobil apa mo baca nah ini dia Gus?" kata Irma sambil tertawa. Tangannya membalik-balik halaman koran yang tampak caur dengan warna tinta yg semu. Aku tertawa terbahak-bahak lalu menekan gas melewati lampu merah.
"Iseng2 aja Ma, liat2 iklan, duit sih kagak ada, hahaha", jawabku sekenanya. "Sekedar nyari ide aja, loe tau kan gw suka dagang..."
Irma ikut tertawa mendengar jawabanku. Matanya masih mencari-cari apa yang menarik di koran yang aneh itu.

***

Yah ini memang koran aneh, perpaduan antara berita kriminal dan iklan baris yang tak ada habisnya. Segala barang ada di dalamnya. Mulai dari handphone, mobil atau motor bekas, hingga tanah dijual. Bagi yang penat dengan kehidupan kota, silahkan juga lihat iklan pijat asoy atau mencari paranormal biar cepat kaya dan tersohor. Bahkan beberapa kali aku membaca sebuah komentar yang mengkritik masalah korupsi dari sebuah kolom yang dikelola oleh seseorang yang pernah menjadi bagian dari pemerintahan yang sangat korup.

Sayang lembergar semakin menciut. Padahal sudah begitu lama kami membacanya. Rasanya lembergar satu2nya yang begitu setia menghibur setiap hari saat ku kecil dulu. Masih teringat penjual koran yang setiap pagi mengantarkan koran ke rumah dengan sepeda jengkinya. Anak muda yang berusaha membayar uang kuliahnya dari berjualan koran. Dan pedagang2 sayuran di depan rumah yang berebutan membaca si Doyok. Sebuah satir kecil terhadap kondisi saat itu.

Kini, orang membeli poskota hanya untuk iklannya, nah ini dia atau liputan khusus ke tempat2 klenik atau mesum di pojok kiri bawah. Berita kriminal, bencana, atau berita heboh lainnya diexpose besar2 di halaman muka. Intinya tentang sulitnya cari duit, keruwetan hubungan antar manusia, seks, dan bobroknya pemerintahan. Sebuah koran yang sesuram penampilannya.

Namun aku tetap sesekali membelinya. Ia seakan menjadi sebuah rutinitas yang unik dari hari-hariku yang membosankan.

Seperti pagi ini. Udin dkk, penjual koran di perempatan cawang bawah berlarian mengejar mobilku yang melambat.

"Poskota bos? Atau lipstik hahaha..?", Mulutnya tertawa lebar karena berhasil sampai lebih dahulu di samping ku. Tangan kanan menyodorkan poskota, sedang yang satunya mengangkat tumpukan koran didekapannya untuk menunjukkan pose hot seorang wanita dari sebuah tabloid. Ia berusaha menggodaku.

"Berapa? 1000 kan?", tanyaku sambil tersenyum.
"1500 boss, gak dapet 1000", katanya.
"Ah elo tuh, ama langganan gitu, udah nih 1000", kuambil koran di tangannya. Ia hanya tertawa sambil meluruskan lembaran uang itu.

Kami sering mengobrol, meski waktu kami singkat. Dengan Udin atau kawan2 yang lain. Pembicaraan basa basi saja. Tapi bisa membuat kami tertawa atau sedikitnya tersenyum. Beberapa waktu kemudian, uang seribu rupiah itu menjadi cukup berharga. Meski aku tak membacanya, aku juga tak merasa menolong mereka. Kurasa aku hanya berusaha mencuri hiburan.

***

Dulu kupikir, berita2 di poskota bohong belaka. Sekedar kebisaan redaksi membuat cerita agar korannya laris. Tapi kini seringkali mengejutkan. Karena apa yang kubaca disini, kemudian diliput oleh berbagai stasiun TV. Hal itu membuatnya begitu nyata dan dekat dengan kehidupan.

"Criiing!", sebuah pop uw window muncul di layar ku. Privat message dari Linda sobatku di UI."Oi!", begitu isinya dan kujawab dengan "Oi!" juga.
"Gw mo cerita nih! Temen gw lakinya kawin lagi! Loe tau gak gimana caranya cerai?", lanjutnya.
"Detilnya gw gak tau, tapi kayaknya mesti ke pengadilan agama. Loe tanya2 aja dulu, di depok kan ada pengadilan agama", ketikku.
"Temen gw bego nih, suaminya kawin lagi ama penjual jamu keliling, dan taunya sekarang udah punya anak. Emang sih sama temen gw gak punya anak. tapi gw saranin minta cerai aja", katanya lagi."Tapi dari dulu emang mesum tuh lakinye. Semua orang kantor dah tau. Malah pernah kepergok bawa cewe di mobil."
"Laki gitu mah ceraiin aja".
"Thanks ye", percakapan kami tak panjang, Linda harus segera pergi karena dipanggil bossnya.

***

"Criiiing", sebuah pop up windows muncul lagi dari Linda.
"Gw abis dr pengadilan agama nih, nemenin temen gw masukin gugatan cerai", katanya. "Bisa kok ternyata, meskipun suaminya gak mau nyeraikan dia".
"Loe tuh kerajinan amat nemenin orang cerai segala?", ketikku.
"Lah gw kan sekedar menolong, pengen berbuat baek? Lagian gw udah ijin ama Hendro", Linda ngeyel.
"Eh, temen sih temen tapi yg sewajarnya aja. Kalo loe susah belon tentu dia mau nolong", kataku.
"Manusia kan makhluk sosial", Linda masih ngeyel.
"Iye tau, itu emang baek. Tapi inget loe orang biasa. Loe kan punya anak yg masih kecil2 pula. Lagian loe yang cerita sendiri, temen loe itu dulu kalo dikasih tau malah suka ngomong ke suaminya sampe dia marah ama loe. Kejadian gitu kan kebodohannya dia juga. Tar kalo suaminya pikir loe yg nyaranin cerai berabe loh! Bantu supaya dia mandiri aja lah. Ati2 jaman sekarang orang aneh2."
"Iye juga sih", Linda manggut2 dari jauh. "iya deh dek, thanks. Gw udahan dulu ye, Hendro jemput nih". Sekilas kemudian Yahoo messengernya off.

Aku bersiap pulang juga. Kulipat poskota di meja kerjaku.
"Pedagang kelontong mengadu ke Propan Polda Metro: Bininya dikumpul keboi oknum Polisi.39 Bacokan akhiri hidup supir angkot. Motif diduga dendam."

No comments: