Monday, June 27, 2005

Menuju Kerinci

Suara Jane adiknya terdengar dari balik pintu kamar Rio. Hari sudah pagi, sebenarnya ia sudah agak terlambat masuk kantor. Tapi matanya masih terasa berat. Bukan hanya rasa kantuk akibat pulang kemalaman tapi kejadian semalam seakan membuatnya enggan memulai hari. Pikirannya masih bermimpi, terbangun dengan seorang yang dia cintai berada disampingnya. terpejam, berhadapan, dahi bertemu dahi dan mendengar suara nafasnya mengalir hangat. Tangannya membetulkan selimut menutupi bahu, lalu mendekap pasangannya erat-erat. Ia ingin membekukan waktu, dan meresapi kulit lembut Rahma dengan perasaan cintanya yang begitu mendalam. Tak ada yang tahu bahkan lelaki setegar itu dapat luluh oleh suasana pagi yang dingin di musim pancaroba ini.

Rio membuka matanya dan menggeser tirai perlahan. Sinar matahari mencuri pandang ke dalam kamarnya. Namun sinarnya redup terhalang mendung. Sudah jam tujuh, tapi langit seperti baru menjelang fajar. Rio merebahkan badannya kembali, matanya menerawang keluar.

"Aku sayang kamu Rio. Kamu teman terbaik yang pernah aku punya!", kata-kata Rahma itu terus memenuhi otaknya sebelum alarm handphone memaksanya bangkit bergegas mandi dan berangkat ke kantor.

***

Hari ini Rio harus melakukan presentasi. Tentu saja ini bukan yang pertama. Di kantornya yang lama, hampir setiap saat ia harus siap mempresentasikan kemajuan hasil kerjanya yang lalu ataupun rencana mendatang. Tapi hari ini ia harus berbicara di depan bos2 bule, direktur2 NGO dan pejabat departemen. Tak mudah membicarakan topik pemberdayaan masyarakat apalagi mengimplementasikannya di lapangan kepada orang-orang desa yang lugu. Sudah 2 tahun ini Rio mengerjakan proyek itu, dan sebenarnya ia cukup berhasil. Wataknya yang ramah membuatnya mudah menyelami kehidupan warga desa. Presentasi hari ini seharusnya akan lebih meyakinkan semua mitra kerjanya. Sebuah program lima tahun kedepan yang melibatkan lebih dari 20 desa di beberapa kabupaten untuk mengendalikan kebakaran hutan yang merusak alam negeri ini.

Namun benaknya selalu tergoda untuk mengulang-ulang kata2 gadis manis itu. Tangannya meremas print out powerpoint yang baru saja ia cetak. Keranjang sampah hampir penuh oleh gumpalan kertas. Sudah beberapa jam ini tak ada rancangan presentasi yang memenuhi kepuasan hatinya. Dengan segala usahanya, ia tak bisa membuat Rahma jatuh hati.

"Brengsek, tinggal dua jam lagi!", mulutnya mengumpat. Lina memandangi dengan iba. Ia bangkit dan menghampiri laki-laki mumet itu.
"Udah Rio, kita break dulu sebentar yuk. Gw traktir loe es krim di kantin bawah ya?", Lina menarik lengan Rio. Ia tak berdaya, dan bangkit dengan segan mengikuti langkah Lina keluar ruangan. Jemarinya memijit tombol lift. Sebentar kemudian mereka tiba di kantin.

***

Rio memandang ke bawah. Melihat hamparan hijau hutan yang semakin terdesak oleh kembang kol dan kentang. Indah, tapi masih tampak indah di mataku. Hari ini kami memulai perjalanan menapak lereng kerinci yang hijau gagah. Dengan disambut kabut tipis, kami menyeruak semak belukar di permulaan pintu rimba. Biar bagaimanapun ini kesempatan cuti yang langka. Bismillah, semoga Allah meridhoi perjalanan kami kali ini.

***

Sudah cukup lama juga sejak terakhir kali Rio melakukan perjalanan seperti ini. Nafasnya tersengal-sengal menyemburkan uap bak seekor binatang kelelahan. Kabut berubah menjadi gerimis kecil2. "Loe duluan deh Rud", seru Rio. Jalur didepan cukup jelas untuk diikuti, sehingga Rio cukup percaya diri untuk berjalan sendirian di belakang.

"Jangan-jauh2 man!", jawab Rudi mendahului. Rio masih berhenti mengatur nafas pelan2.
Di beberapa titik Rimba mulai mengurung mereka. Pohon2 yang tinggi tegap menjulang ke langit. Daun-daunnya menutupi cahaya mentari memberi kehidupan bagi paku-pakuan dan lumut di pokoknya. Rio langkahkan kaki terus menanjak. Rudi, Zul dan kawan-kawan timbul tenggelam di balik perdu beberapa langkah didepan. Air hujan melompat-lompat dari daun satu ke lainnya sebelum jatuh membasahi tanah. Rio bergegas maju, mendengar panggilan zul.

"Yo, are you okay?" katanya.
"Kay Zul".
Mereka terus bergerak. Beruntung mereka dilindungi hutan, kalau tidak, hawa dingin pasti akan menggerogoti stamina. Karena matahari mulai tergelincir, angin mulai bergerak perlahan menyusuri lekuk lereng gunung. Waktu Dzuhur mereka harus segera mencapai pos satu untuk beristirahat sejenak, makan dan sholat. Tampaknya jaraknya masih jauh lagi. Setelah sebuah tanjakan dibalik padang alang-alang teman-temannya beristirahat di sebuah shelter roboh.

"Haha Sampe juga loe Yo!", teriak Donni terkekeh. Rio balik terbahak. Ia jatuhkan ransel ke atas batang kayu lapuk.
"Hahaha ini yg gw suka, baru datang makanan sudah siap".
Rudi meringis, "Sialan loe". Laki-laki bukittinggi ini sudah seperti koki dalam setiap perjalanan. Ranselnya selalu penuh makanan dan peralatan masak. Hebatnya lagi, ia tak pernah kehabisan energi untuk mengubah semua itu jadi makanan yang lezat.

Tiba-tiba gerimis berubah lebat. Pandangan menjadi samar oleh kabut tebal. Dinginnya tak dapat diceritakan. Rio menarik ranselnya kebawah pokok pohon besar lalu berlari berlindung ke sebuah rongga gelap yg terbentuk dari semak perdu lebat di pojok tebing. Ia tak sendirian. Budi, porter yang disewa Suzie dan Sri sobat dari OGKL(Orang Gunung Kuala Lumpur) serta adiknya Dwi sudah lebih dulu meringkuk didalam. Lebih sial lagi, mereka sedang makan nasi bungkus dengan menu lengkap rendang, lalap dan sambal terasi! Bahkan koki selihai Rudi nggak akan bisa mengalahkan menu sedahsyat itu.

"Ayo bang Yo, makan bareng", ajak mereka. "Ayo bang, kita bawa banyak nih" ujarnya lagi.
"Makasih Bud", tampik Rio sambil menggigit wafer ditangannya. Tak sebanding. Kami semua terbahak menertawakan kebodohan kami sendiri.

***

Entah langkah kami yang begitu lambat atau matahari yang turun terlalu cepat. Namun tanjakan di depan seakan tak ada habisnya. Kemiringan antara 40 hingga 60 derajat. Tanah gembur hutan yang tergerus air membuat longsor jalur pendakian hingga kadang memaksaku mengangkat lutut hingga ke dada. Meraih akar-akaran hutan diatas untuk naik.

"Ayo Yo, sedikit lagi", Donni memberi semangat.
Aku tersenyum, melangkah tak berhenti. Rasanya anak muda itu hanya berusaha menghiburku. Sejak tadi sudah beberapa kali aku mendengar kalimat itu. Dari Rudi, Zul, Suzie dan yang lain. Aku memang titik lemah. Tapi masih ada semangat di hatinya.

Pos 2 masih belum kelihatan. Tanpa terasa, hari mulai benar2 gelap. Tapi kami tak boleh berhenti sebelum mencapai pos 2. Karna konon jarak pos 2 ke pos 3 dan ke puncak cukup jauh. Kami ingin melihat puncak sehingga harus siap menempuh medan berat ini dalam kegelapan. Jalan semakin curam, sesekali melewati jurang di sisi. Donni dan Sri menungguku di atas sebuah tikungan terjal.

Donni menyodorkan botol minuman padaku. kubasahinya tenggorokan sambil bersandar di cadas tempet mereka berdua duduk. Pandangan kami mengarah ke kerlap-kerlip lampu jauh di kaki gunung. Pernahkah kau melihat sejauh ini di Jakarta? Atau bahkan seumur hidupmu? Aku menghela nafas panjang. Teringat saran2 Lina sobatku. Teringat Rahma yang tak pernah memahami semua perjalananku.

"Lanjut yuk!", Kataku.
Donni berdiri dan melanjutkan perjalanan. Kami harus melewati gorong-gorong yang dalam dan panjang. Gorong-gorong setinggi orang dewasa yang sempit dan licin. Semak2 berduri tajam di atasnya terjalin rapat membuat selokan air ini perangkap yang sempurna. Senter yang kami bawa hanya mampu menerangi beberapa langkah ke depan. Tak ada yang menyadari selepas pos 1 tadi hidungku mencium bau wangi. Entah apa yang menunggu di atas sana. Kami hanya bisa maju dan maju, menerabas masuk suaka terakhir Harimau Sumatera ini.

***

"Inilah pos 3", ujar Zul kepadaku. Kami baru saja melewati gorong2 aliran air yang jauh lebih dahsyat dari semalam. Kini di hadapan kami menunggu jalur berbatu batas vegetasi. Tempat yang membuat orang jeri melihat puncak.
"Ayo Zul lanjut!" aku bersemangat.

Budi dan adiknya memimpin paling atas, kemudian Zul, Suzie, Doni, Sri, aku dan Rudi di belakang. Langkah jadi lebih pendek dari sebelumnya. Aku seperti pecundang, berhenti beberapa menit untuk sekedar maju satu atau dua langkah. Tapi itu perjalanan terindah. Seluruh keindahan kerinci terhampar dibawahnya.

***

Rio menghitung dalam hati. "Satu, dua, tiga, empat lima!" berlari 5 langkah ke atas lalu berhenti dalam posisi merangkak. Angin bergerak menggelindingkan batu-batu kerikil jatuh ke bawah. "Satu, dua, tiga, empat, lima, enam!" Rio terus berhitung. Budi yang mendaki paling cepat keliatan seperti titik olehnya. Tapi puncak sudah dekat. Aroma sulfur dari kawah mulai terasa menyengat. Bahkan asap belerang sesekali menuju arah mereka.

***

Tepat jam 2 siang mereka semua berhasil mencapai puncak. Budi dan adiknya, disusul Zul, Donni, Sri, Rio dan Rudi. Ia terduduk di bibir kawah yg tipis. Terkesima oleh dalamnya kawah seperti sumur yang amat dalam. Dinding-dindingnya dipenuhi lajur2 seperti cincin lapisan lahar masa silam. Dengan berhati2 mereka berjalan ke bibir kawah yg dipercaya sebagai titik tertinggi untuk berfoto.

Mereka terdiam memandang ke kedalamannya. Ah siapa yang tak gentar melihat kekuatan gunung tertinggi yang menjaga pulau ini? Angin membawa asap tebal belerang menutupi puncak. Ini saatnya berpisah dengan sang Kerinci. Rio menatap ke atas terakhir kalinya. Dengan berselempang tripod dan kamera ia berjalan cepat menuruni puncak.

Perjalanan esok akan lebih panjang baginya, menuju Danau Gunung Tujuh, kembali ke Jakarta lalu menuju lokasi proyeknya di sebuah pulau. Proposal yang sukses untuk melupakan orang yang dicintainya.


Bogor, 30 November 2005.
Maklum ye kalo ada salah2, soale gak punya catetan.

No comments: