Friday, November 10, 2006

Perang Ketapel

Bel dipukul beberapa kali oleh pak guru. Jam 12 siang, waktunya pulang kerumah. Anak kecil itu berlari kencang. Kakinya yang pendek melompat2 menjejak tanah dengan kuat. Ransel coklat kulit imitasi yang hinggap di punggungnya terguncang2 ke sana kemari. Pikirannya melayang ke sawah dekat rumah. Hari ini ia mesti secepatnya sampai rumah, mengontrol kambing2 domba yang sedang di cencang di padang rumput, lalu berlari ke sawah merebut tempat terbaik untuk menimba ikan.

Ya, mereka menyebutnya "nimbain" ikan. Sebab kita memang harus menimba air untuk mendapatkan ikannya. Pertama2, buat bendungan dari lumpur sawah mengelilingi tempat yang banyak ikannya. Setelah itu kita mencari kaleng bekas untuk wadah ikan yang didapat nanti. Kaleng itu diisi air segar supaya ikannya tidak mabok. Masukkan rumput atau daun2an sedikit biar dingin. Setelah itu, mulai deh airnya ditimba keluar. Bisa menggunakan kaleng, sepotong lembaran papan, atau dengan menangkupkan kedua telapak tangan saja.

Kemarin, kelompok Tong Adih mendapat 3 ekor kocolan di sawah sebelah. Mereka menimba tepat dibawah kocoran air irigasi. Tempat seperti itu otomatis akan menjadi lebih dalam membentuk lubuk-lubuk kecil yang penuh dengan ikan dan udang. Ago sudah berencana akan menimba tempat itu, tapi ternyata ia kalah cepat. Anak-anak lain sudah jauh lebih dulu bekerja. Akibatnya ia hanya kebagian menonton saja.

Anak-anak bersorak gembira ketika seekor kocolan melompat keluar dari kubangan. Rupanya ia tak tahan dalam lumpur yang di"ubek" sampai pekat. Ikan itu memang bisa melompat tinggi. Bisa semeter lebih lompatannya. Anak-anak segera melompat mengejarnya dan berebut merogohkan tangan ke dalam gundukan lumpur di depan. Ekor ikan itu bergerak menimbulkan semacam pusaran di permukaan lumpur seperti sebuah glazur coklat indah di atas sebuah keramik. Anak2 segera menangkapnya. Ikan itu berontak sebisanya, tapi tangan Bedul yang cekatan mencekalnya dengan baik. Seekor kocolan yang besar hampir sebedar gagang sapu ijuk!

"Tiup matanya, tiup matanya!" anak-anak berseru was was.

"Fuh, fuh, fuh!" mulut Bedul meniup kuat ke mata ikan yang malang itu. Semua menahan nafas. Tapi segera mereka tertawa. Kocolan itu tak berkedip, berarti ia bukan ikan jadian. Semua gembira akan mendapat makanan lezat nanti malam. Ago ikut senang, tapi ia cuma bisa meringis sedikit. Bagi anak2 kampung, mendapat kocolan itu hebat. Ia sendiri sudah berencana akan memelihara kocolan di empang samping rumah agar bisa jadi ikan gabus yang besar! Kalau dapat...

***

Sampai di rumah, anak itu segera menyerbu ke dalam. Sepatu warriornya yang mungil ia lemparkan begitu saja di depan pintu. Ibu hapal soal itu.

"Go, hayo sepatunya disimpan di dalem. Tar hilang lagi lho!" teriaknya. Kampung sini memang banyak orang miskin. Jangankan sepatu, sendal jepit bututpun akan hilang bila diletakkan diluar. Rumah pendatang dari kota seperti kami sudah tentu menjadi sasaran empuk.

Anak kecil itu dengan segan segera kembali dan menyimpan sepatunya di pojok rumah. Dibukanya kancing baju seragam dengan tergesa. Menyimpan tas sekolah lalu mencuci tangan dan kaki untuk segera makan. Ibu memasak sayur asem ditambah ikan asin yg digoreng kering. Setelah makan Ia harus memberi makan ayam di belakang rumah. Tapi ia benci tidur siang. Daripada melakukan hal membosankan itu, lebih baik ia pergi ngangon kambing.

Tempat favoritnya adalah sebuah pohon jambu yang rindang di tepi padang rumput. Ia suka naik di cabangnya sambil makan jambu air atau menghisap madu yang ada di balik serbuk sari bunganya.

"Bu Ago ke kebon jeruk ya, " ia meminta ijin. Padang tempat ia ngangon memang sebenarnya kebun jeruk siam yang luas. Sayang tanaman itu tak dirawat dengan baik sehingga batang2nya kurus dan daunnya meranggas. Ago mengambil aritnya di belakang rumah, lalu berlari kecil menuju padang. Panas terik tidak terlalu terasa, sebab angin semilir membawa uap air melintasi hamparan sawah menuju padang rumput yang hijau ini. Di kejauhan terlihat kambing dombanya yang 12 ekor merumput.

Ago melompati genangan air mendekati si pelana. Si pelana adalah domba jantan yang besar. Tanduknya melingkar kebawah seperti terompet lalu mencuatkan ketajamannya di depan dahi yang kuat. Bulunya putih seperti kapas namun bulatan coklat di tengah punggungnya yang jatuh ke kiri dan kanan persis sebuah pelana kuda. Domba itu mengembik keras. Kakinya terlilit tali cencang sehingga ia tak dapat menjangkau rumput segar yang jauh. Dengan hati-hati ia mendekati domba itu, mengangkat kaki belakangnya dan membebaskannya dari lilitan tali cencang yang melilit kaki2 itu. Lalu ditariknya tali di leher si pelana mengajaknya menjauhi pasak cencangnya. Dekat parit irigasi, pucuk2 rumput berwarna hijau muda pasti akan mengenyangkan kambing kesayangannya itu.

Sebentar kemudian ia memindahkan cencang induk domba ke dekat pohon jambu air. Ia berharap kerimbunan pohon itu dapat melindungi cempe*) yang belum bisa makan rumput dari panasnya sinar matahari. Setelah semuanya beres. Ia duduk di ayunan ban yang tergantung di dahan jambu yg kokoh. Ia mulai menjejakkan kakinya mengayun.

"Nunggu iyo aja ah. Kalo udah dateng baru kita nyari ikan," gumamnya sendirian. Iyo adalah adiknya yang baru duduk di kelas satu. Adiknya adalah anak yang pemberani. Ia jagoan kecil di sekolah maupun di kampung sini. Mereka berdua juga nelayan cilik yang hampir setiap hari mencari ikan di sawah dan saluran irigasi. Kuku-kuku jari tangannya sampai menghitam terendam lumpur sawah. Tapi kalau dapat, mereka lebih senang memelihara ikan-ikan di empang samping rumah. Betik, anak gabus, kocolan, cupang sawah dan sepat itu yang mereka cari. Ikan lele sudah jarang ditemukan di sawah. Kalau mau dapat mesti ke saluran irigasi besar dan merogoh lubang2 di tepi tanggul. Itu agak berbahaya, kalian bisa kena patil sampai bengkak. Patil lele lokal sangat berbisa, sekali tertusuk bisa bengkak, diikuti demam kadang sampai meninggal.

Atau pas kita rogoh liang2 di dalam air itu, yang keluar ketam atau ular kadut yang besarrr! Tidak sekali dua kali kami bertemu ular kadut*). Meskipun ular air itu tidak beracun, tapi siapa yang mau digigit ular? Biasanya mereka akan melompat kabur serabutan keluar dari air. Sementara ular berwarna hitam kecoklatan itu hanya melenggok santai melintasi air entah kemana :))

***

Ago masih berayun2 di ayunan ban bekas. Sekali2 ia memanjat untuk memetik beberapa buah jambu yg segar, lalu berayun lagi menunggu teman2 datang. Ia berharap bisa menimba di ujung saluran irigasi dekat kebun bapak. Sudah beberapa hari ia mengamati tempat itu. Ada banyak "tenggakan" di permukaan air*). Ia menduga banyak ikan betik disitu untuk semua teman2.

Seekor burung alap-alap terbang berputar2 di langit tepat di atas kepalanya. Ia berteriak-teriak mengusir pemangsa itu jauh2. Kata bapak, burung itu suka menyambar anak ayam. Tapi burung itu terbang terlalu tinggi. Suara anak kecil itu hampir tak terdengar. Ia terus berputar-putar ketika satu persatu sobatnya datang.

"Sur, nimbain yuk di pojokan sono," ajaknya.

Surya belum lagi menjawab, udin sudah menyambar." Kagak dah, Go. Lah kuan kita mau ke kuburan rame2 metik bacang".

"Iyak, lah kita juga mao nyari cengkal buat selepetan. Kayaknya banyak cengkal jambu batu cakep-cakep di sono. Kayak cengkal selepetannya Tong Adih tuh lah cakep banged dah.." Cacan menyetujui.

Iyo datang, dan mereka berdebat menentukan tujuan petualangan hari ini. Nampaknya kedatangan adiknya tak banyak membantu. Rencananya hari ini gagal. Tapi kata Yassin, kami mesti bersiap berperang. Anak kampung sebelah sedang membuat ketapel masing2. Tong Adih yang badannya paling besar adalah penembak jitu mereka. Semua mesti siaga. Setidaknya mereka tak akan sempat mencari ikan juga hari ini.

Maka jadilah anak-anak pemberani itu pergi ke kober dengan bersemangat. Di kuburan angker itu mereka akan memanjat pohon mencari cabang seperti hurup Y. Setelah itu memetik buah bacang muda dan jambu cingcalo yang besar2 dan manis.

***

Hari masih siang ketika mereka tiba di kober. Disana mereka bertemu beberapa anak yang sudah lebih dahulu bermain disana. Anak-anak perempuan bermain masak-masakan. Memetik daun bunga-bungaan liar sebagai sayur dan yang lain mengulek daun2 tertentu dan memerasnya dengan air sebagai minyak goreng. Yang lain menyapu dengan sapu lidi seakan asyik membersihkan rumah mereka sendiri. Pualam makam menjadi kursi. Semenan menjadi dapur dan pohon2 jarak seakan menjadi tiang rumah. Selagi matahari masih bersinar, tidak ada yang dapat mengganggu dunia anak-anak. Bahkan patok-patok kayu makam yang lapuk seakan menjadi tamu dari rumah mereka yang indah.

Ago agak takut-takut. Meski sudah cukup lama menjadi anak kampung sini, masih banyak yang belum ia ketahui. Sobat-sobat kecilnya duduk di kepala makam seperti duduk di sofa-sofa yang empuk. Itu makam nenek moyang mereka. Kata bapak, "nggak ilok" duduk di kepala orang tua. Apakah itu karena digendong di pundak, duduk di sandaran bangku, atau duduk bagian kepala kasur. Apalagi duduk di kepala kuburan!

"Yo, jangan duduk disitu Yo," ia menyuruh adiknya pindah dari atas nisan."Kalau disitu boleh!" katanya.

Adiknya yang masih kecil tak begitu peduli, tapi ia beringsut juga sejenak. Kemudian ia bangkit dan mengikuti anak-anak lain memanjat pohon jambu yang sangat besar. Anak-anak berayun-ayun hingga ke ujung dan menggoyangkan dahan yang penuh dengan jambu cingcalo yang merah ranum. Buah jambu yang besar besar berjatuhan ke bawah. Yasin, cacan, surya, maman, rusli dan ocid mengumpulkan buah2an itu. Jambu cingcalo memiliki biji yang besar. Sebelum memakannya mereka memecahkan jambu itu menjadi dua. Caranya dengan menjepitnya diantara pangkal telapak tangan. Jari jari yang menjalin kuat seperti engsel membantu memecahkan jambu itu. Setelah membuang bijinya, bulu2 serbuk sari yang kering dan sisa kelopak di dasar buah, jambu itu bisa dimakan.

"Huek, huek!" Yasin memuntahkan jambu yg dimakannya."Bujug buneng, lah gua makan ulat!" Anak-anak serempak tertawa. Satu-satu mendapat giliran memakan jambu busuk. Tapi semuanya gembira, jambu, mangga yang tumbuh di kuburan adalah buah yang paling manis. Mungkin orang mati adalah pupuk yang baik. Lebih baik dari pupuk kandang ayam yang dipakai bapak untuk memupuk labu air di kebun? Atau kebaikan mereka yang menjadikannya manis. Anak-anak tak pernah ambil pusing soal hal-hal serius seperti itu.

***

Matahari bergulir ke bawah menjadikan bayangan pohon2 di kober ini jatuh memanjang. Anak-anak baru sadar bahwa misi mereka mencari cengkal yang baik belum mereka laksanakan. Di kelompok itu semua kecil-kecil. Maman yang bertubuh paling besar juga bukan tipe pemimpin. Semua sama. Mereka segera berhamburan ke bawah pohon jambu biji. Memandangi cabang2nya mencari huruf Y yang tersembunyi. Tidak ada aturan pohon apa yang paling baik untuk cengkal selepetan. Yang penting kayunya keras. Cukup kuat untuk menahan tarikan karet ban pelontarnya.

Tapi kata anak-anak, bulan lalu solon, anak rt01 mendapat cengkal yang sangat indah dari pohon jambu air. Ago sendiri sempat melihat cengkal itu. Memang dahan yang bagus. Pegangannya dibuat sedikit panjang, namun lurus dari aslinya. Sedangkan cabangnya tidak seperti huruf V yang tajam, tapi lebih seperti lekukan huruf U yang melengkung halus sama besarnya di kiri dan kanan.Solon mengecatnya dengan warna merah menyala. Memasang karet bandalam warna hitam dan kulit asli dari sepatu bekas di ujungnya untuk memegang peluru. Saat melihatnya, Ago berlagak tidak kagum, tapi rasa iri terhadap keberuntungan semacam itu tak bisa ditutup-tutupi.

"Asik gua dapet satu nih," Ago teriak gembira. Ia mengayunkan arit nya menebas dahan itu beberapa kali. Dari jauh dahan itu terlihat sempurna, persis seperti punya si solon. Tapi begitu sampai di tanah ia sedikit kecewa, cengkal itu tidak sama besarnya antara kiri dan kanan. Bila ia mengupas kulit kayunya, pasti akan keliatan betapa keduanya tak seimbang. Lagipula cengkal seperti itu akan berbahaya, sebab bila salah satu sisinya patah, salah2 peluru akan terlontar balik ke diri sendiri. Walaupun anak2 hanya memakai peluru dari tanah liat basah yg dibulatkan dengan tangan, tetap saja akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa. Karena itulah ia segera terlibat pencarian lagi bersama teman-teman yang lain.

Menjelang sore, Ago dan kawan-kawan harus pulang. Ia sendiri harus kembali ke padang rumput membantu kambing2 dombanya yang sering terlilit tali cencang. Ia juga haru mengarit sedikit rumput buat induk kambing yang baru saja beranak. Induk domba itu harus diberi makan di kandang malam hari agar bisa menghasilkan cukup susu untuk anaknya. Nanti bila anaknya sudah bisa makan rumput sendiri, ia bisa libur mengarit sementara waktu.

Mereka pulang membawa cengkal masing-masing. Hari itu tak ada yang mendapat dahan sebaik Solon. Tapi paling tidak minggu depan mereka punya senjata untuk berperang. Tong Adih dan kawan2 adalah lawan yang hebat. Setelah cengkal, mereka harus menghemat uang untuk membeli karet ban. Sedang untuk kulit, ia sudah punya sepatu bekas. Mungkin bisa dibagi untuk beberapa teman. Dengan gembira mereka pulang. Seperti prajurit mereka menyusuri pematang sawah yang panjang. Langit menjadi kemerahan sebelum meraka sampai di rumah.

Untuk seminggu ke depan saja anak-anak kampung Tong Adih akan menjadi lawan. Setelah itu mereka akan tertawa bersama lagi. Menimba ikan, menangguk udang, memancing lindung atau berburu burung peking saat panen padi sudah menguning. Semuanya relatif dalam dunia kanak-kanak. Sungguh sesuatu yang sangat membahagiakan.



----

Untuk sobat2 masa kecil.

Judulnya dah cocok belom? Hayo kasih input ... ;-)

*)Cempe=anak kambing

*)Tenggakan=waktu ikan muncul di atas permukaan, ia akan menginggalkan gelombang melingkar dan bunyi kecipak yg khas

*)Bacang=sejenis buah mangga, anak2 sering memakannya saat mentah. Kalau matang rasanya manis dan harumnya bukan main.

*)Kocolan itu sebenernya ikan gabus juga, tapi kalo ukurannya masih kecil. Setelah besar dia disebut ikan gabus. Sama seperti betik yang kalo gede disebut ikan betok. Duri2 di sirip nya tajam dan batok kepalanya keras banget. Tapi dagingnya tebal.

*)kober sih pastinya pada tau kyknya, kober itu kuburan

1 comment:

Kalyana Shira Film said...

Lucu ceritanya...Menarik