Tuesday, November 27, 2007

Sang Resi

Ya, akulah Hanoman, Raja Kera putih mukjizat. Dengan mengangkat sebelah kaki ke bibir kawah yang lebih tinggi aku menjenguk kedalaman dapur magma yang tegak menghujam kedalaman bumi. Putra sang dewa angin, dengan kekuatan tujuh gunung dijadikan satu - menaklukan puncak gunung ini dalam semalam.

Sobat-sobat, rekan seperjalanan yang semalaman meniti pokok pohon tumbang yang licin seperti rakyat kera yang membangun tambak untuk sri Rama. Kami adalah lakon, Rama tambak. Menumbangkan raksasa angkara murka, membangun galengan ribuan kilometer jauhnya untuk menyeberang ke Alengka Diraja menyelamatkan Dewi Sinta.

Ya aku lah aji mundri, yang menabok Rahwana dengan kekuatan maha dahsyat. Gunung jugrug, segoro asat. Gunung hancur lebur, samudera surut hingga ke dasar! Rahwana yang sebesar mahameru kepontal-pontal oleh tonjokkan telapak tangan kera kecil mungil itu. Dengan sekali jejak hanoman melesat meninggalkan raksasa seram itu bergulingan menahan jerih nggrenyem sampai ke sumsum.

Namun belum lagi Dosomuko mampu menggambarkan rasa sakitnya, hanoman sudah kembali. Pada ketinggian stratosfer, kera itu membanting gunung Kendalisada sekuat tenaga ke atas tubuh si muka sepuluh, Dosomuko tenggelam ke kedalaman perut bumi. Seketika, raungan raksasa itu memenuhi tanah Jawa. Gunung Kendalisada muntap, meletupkan hawa angkara, kemarahan raja raksasa itu mengamuk pada genangan lavanya yang berpijar mendidih. Tanah bergetar, gempa. Rumah-rumah rubuh, mayat bergelimpangan, manusia enyeng, bayi2 lahir cacat. Burung-burung beterbangan menjauhi pulau yang sedang bergolak. Menebarkan isyarat kepada seluruh jagad tentang pertempuran hawa nafsu dengan hati nurani yang bersih.

Setelah beberapa windu menggeram dalam amarah, Rahwana terpaksa mengakui kekalahannya. Meski begitu Rahwana tak bisa mati, karena saking saktinya aji PancaSona. Hasil mencuri dengar wejangan kera sakti, Subali. Sesungguhnya selama masih ada kelima unsur, ia tak akan mati. Tubuh hancur lebur, namun selama menyentuh bumi, ia akan bangkit lagi. Sesungguhnya itulah hawa nafsu. Karena itulah Hanoman menjadi resi dan bersemayam di puncak Kendalisada. Suatu keanehan cara berfikir Hyang Widhi, membiarkan seekor binatang untuk menjaga ketenangan dunia manusia.

***

Itulah aku, berdiri di puncak gunung Tambora yang dahsyat seakan2 telah menaklukkan dunia. Apakah sebenarnya yang kutaklukkan? Gunung, atau justru kemanusiaanku yang makin ringkih berhadapan muka dengan ego? Aku memandang hamparan kawah raksasa yang terbentang. Aku diam. Kupeluk lututku perlahan. Dalam bayang2 awan aku terkenang kepadanya. Ialah gadis yang selalu menarikku antara arus kecantikan badaniah dan kehalusan rasa kalbu. Dalam khayalan yang terbang dalam benakku, ciumannya menyentuh pipiku perlahan. Katanya:

"Apa yang kamu pikirin? I am perfectly allright, dear..", ia memelukku dari belakang.

Aku cuma tersenyum. Angin dingin yang mengembara dari samudera hindia membuatku semakin merapatkan lututku. Aku jelas menginginkan gadis itu. Sudah waktunya untuk mengatakan apa yang kuinginkan padanya. Ada masa-masa kejayaan dalam hidup seseorang, dan ada orang yang membuat kebahagian yang sederhana seakan sebuah kegemilangan Alexander Agung. Ade membuat hal itu mungkin.

Budi menepuk pundakku. Matahari terik Sumbawa membuyarkan awan mendung yang melindungi kami. Kami harus segera pergi. Aku menyalakan kamera hp ku untuk merekam keindahan puncak Gunung Tambora terakhir kalinya. Sebuah pecahan memori yang akan kukenang kapan-kapan. Sekarang aku harus bergegas turun melewati rumpun2 jelatang yang menyengat dan ribuan pacet di lantai hutan.

***

"Hey, I miss makan soto", sebuah pesan rindu dalam pesan pendeknya di YM.

Bogor tidak lagi sebasah beberapa tahun lalu. Namun minggu ini adalah minggu-minggu awal musim penghujan yang terlambat datang. Aku mulai hafal watak cuaca kota kecil ini. Pilihannya tak ada, setelah matahari membakar kita seperti dendam kesumat yang tak terlampiaskan, menjelang sore hari hujan akan datang menyiksa, keras seperti badai kutub utara. Melemparkan butiran-butiran es batu sebesar jempol ke atas atap. Mengoyak akar beringin tua peninggalan belanda menimpa makhluk apes di kakinya. Ketika semuanya mereda, ia menyisakan hawa dingin yang sangat sempurna untuk menyantap Soto Lamongan yang sedap.

"Lagi badai loh, tapi aku sih ayo aja", aku menjawabnya dengan sebuah smiley yang tersenyum lebar.

"Masa sih?" katanya ragu. "Mmm let me think ya! Aku kerjain tugas ini dulu. Kalo bisa aku telp deh".

"Tenang aja, aku juga masih banyak kerjaan kok", mungkin baru jam 7an aku akan selesai mengerjakan tugas kantor yang menumpuk ini. Menjawab email Elke di Afrika, Tony di New Zealand, Sajad di Madagascar, Imam di perjalanan ke Malinau. Mejaku sudah seperti control panel teater perang dunia. Tapi aku survive ;-)

***

Kenyataannya, ia tiba dengan selamat di Bogor malam itu. Ketekunannya berhasil menyelesaikan beban pekerjaannya yang begitu banyak. Aku juga berhasil mengendalikan armada perangku yang bertempur di masing-masing belahan benua. Secara ajaib, mereka merespon emailku yang berisi jurnal-jurnal ilmiah yang mereka butuhkan untuk penelitian mereka. Thanks a lot katanya. Mereka rimbawan(Forester), orang-orang yang bekerja untuk kecintaan kepada sang bumi. Makhluk murah hati yang memberikan kita tempat hidup yang penuh tantangan, namun juga indah untuk dinikmati.

Ade menyetir mobilnya hampir seratus kilometer untuk makan semangkok soto denganku. Sesuatu yang luar biasa buat pria sederhana sepertiku. Kami kelihatan kontras bahkan bagi orang asing yang baru pertama kali melihat. Aku berpakaian begitu bebas, sepatu kets, cargo pants yang lusuh, sebuah topi baseball tua dan backpack. Sementara gadis itu sangat sexy dalam busana kerjanya yang formal.

"Kenapa akhir2 ini aku tertarik kepada pria2 seperti kamu ya, dear?" katanya setengah berbisik. Tersenyum melirik menggodaku.

Aku tergelak, "Emang ada yang salah denganku?" Ia terlebih lagi :D

"I don't know.." ia tersenyum lagi sambil menggerinyitkan hidungnya dan mengangkat pundaknya. Di hirupnya segelas juice dengan sedotan.

Kami berdua tertawa. Aku merengkuh pinggangnya dan menariknya mendekat bersisian. Kami sudah tidak berbicara lagi. Tapi saling memahami. Sayang itu cuma sebuah momen yang pendek, karena kami harus membayar makanan dan pulang.

Sepanjang jalan tol ia bercerita banyak hal. Soal keluarga, pekerjaan barunya di Jakarta. Tentang meditasinya yang hening. Semuanya. Kecuali tentang patah hatinya yang lalu. Itu membuatku bahagia.

***

Rakyat kera yang jumlahnya jutaan waktu itu bersorak sorai menyambut kemenangan. Hanoman yang masih terbang melayang2 di atas permukaan tanah menyeringai galak khas kera. Kera, tak mengenal peperangan. Ia hanya lakon yang melengkapi sempurnanya perputaran bumi pada porosnya. Seperti Brahma, Syiwa, Wisnu, yang menghancurkan, menciptakan, memelihara, menyelaraskan semesta.

Hanoman biarpun raja kera, tak sebanding bila kita menyandingkannya kepada seorang manusia cakep bagus seperti Rama. Tapi ialah kebijaksanaan, yang menyusu pada puting perawan murni sang Dewi Sinta. Kemurnian yang menjelma sebagai ajian maha dahsyat, Aji Mundri. Maka lahirlah kebijaksanaan bahkan dalam mahluk hina seekor kera. Mata polos binatang yang penuh prasangka baik.

Hampir tengah malam saat kami tiba kembali di perkampungan. Semua kelelahan meliputi kami semua. Namun rasa lelah yang berlebih membuat kami tak begitu mudah tertidur. Dan pengalaman yang kami lalui memenuhi perasaan. Ia menjadi kisah yang tak habis diceritakan hingga anak cucu. Setelah selesai membersihkan diri dan makan, aku merebahkan diri di atas tikar di rumah penduduk desa.

Aku ingin mata kera yang jernih itu. Yang mampu melihat ke dalam hati cinta suci sang Dewi. Butuh waktu lama sebelum khayalan itu memudar oleh tidur yang lelap. Aku meringkuk dalam kantong tidur yang hangat. Sangat lelap, sehingga ciuman Ade di pagi itu menjadi mimpi dan kenyataan yang tinggal dalam sugesti bawah sadarku.









============================

Maaf kalo kurang berkenan. idenya lagi mandeknih. Nanti deh aku baca2 lagi, trus diedit lagi. Mau kemana cerita ini berlanjut, nggak tau juga. Hasil orang ngelamun ya begini ini :))



Oh iya, ternyata gunung Kendalisada itu ada di sini

Kendalisada ca. 64 m
Indonesia » Central Java » Kabupaten Karanganyar
populated place
S 7° 30' 0'' E 109° 17' 21''
-7.5 / 109.28917

http://www.geonames.org/6375162/kendalisada.html
GeoNameId : 6375162

No comments: