Sunday, December 30, 2007

Menua bersamamu

Ini bulan Desember. Hujan mulai turun semakin lebat. Hawa pancaroba yang menggigit masih tajam. Setelah musim panas yang panjang, sebenarnya udara dingin cukup menghibur. Kami bisa tidur dengan lebih nyaman. Tapi menjelang subuh, dingin berhembus bersama angin fajar merasuk hingga ke sumsum. Itu sangat menyiksa buat ibu dan bapak yang sudah sepuh. Rutinitas sholat subuh, ritual pagi hari seperti memasak air, menanak nasi dan lain-lain jadi lebih berat. Ibu dan bapak orang kuno, kewajiban seperti itu dijalankan dengan sangat tawadhu. Seperti ayam jago yang memang harus kukuruyuk pagi-pagi. Atau burung-burung prenjak yang meningkahi pagi dengan nyanyiannya yang ramai.

***
Idhul Adha memang tak dirayakan semeriah Idul Fitri. Ibu tentu paling sibuk. Sejak beberapa hari sebelumnya ibu berulang kali menanyakan kepadaku, masak ketupat atau nggak. Aku nggak keberatan tanpa ketupat. Semakin sederhana dan tidak membuatnya repot itu semakin bagus. Ibu tak bisa makan makanan semacam itu sejak lama sekali. Menu standar beliau hanya rebusan tahu, tempe, dan sayur bening. Buah2an seperti apel, pir atau jeruk sudah merupakan kemewahan buat beliau.

Tapi itu sama sekali tidak menghalangi beliau untuk membuat hari raya ini lebih baik. Ibu ingin memasak ketupat. Tampaknya ia sedang kangen dengan keponakanku yang paling kecil, Ririn. Sudah beberapa bulan setelah lebaran, mbakku sekeluarga tidak datang menginap ke rumah. Jakarta-Bogor tidak jauh, hanya kesibukan mencari nafkah yang membuat manusia seakan terpisah samudra. Sesekali mbak menelpon ke rumah. Lalu memberikan ujung telepon kepada Ririn yang baru belajar bicara.

"Mbah uti, ini Ririn mau ngomong..."
"Mana, Nit? Ririn... kapan ke rumah mbah?" Ririn lebih banyak diam, hanya sepotong2 kata yang belum begitu jelas. Itu sudah cukup menjadi bahan pembicaraan ibu selama beberapa jam ke depan. Untuk orang yg sudah melalui masa2 keemasannya, kebahagiaan kecil saja menjadi sangat berharga.

***
Laki-laki kalau sudah tua memang makin rewel. Makin keras kepala. Sering bercerita flashback masa lalu panjang lebar. Makin sulit dimengerti gagasan2nya. Bila punya keinginan, sulit menerima masukan. Kalaupun dia mau mendengar pendapat istri dan anak-anaknya, pada prakteknya idenya lah yang paling cespleng. Kamu tidak bisa berargumen dengannya. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah belajar menjadi lebih sabar. Penuh maklum.

Selain itu, dia jadi sensitif. Apa2 tersinggung, diambil hati dalam-dalam. Kebanggaannya sebagai pahlawan yang menanggung nafkah keluarga sudah berlalu. Hanya tersisa ego yang sering mengganggu perasaan. Jadi keras-lawan keras bukan pilihan yang baik. Apapun masukan yang kami berikan, bisa berputar kembali ke masalah itu lagi. Itulah Bapak. Pria yang kembali jadi kanak-kanak.

"Yah, sekarang saya memang nggak bisa nyari duit. Nggak berdaya apa2..." prajurit tua itu membuat kebekuan makin kaku.

Sekali waktu bapak pulang ke rumah dengan wajah pucat. Ia baru kembali dari kantor pos di Kemang Pratama. Ia merebahkan tubuhnya, bersandar di kursi panjang ruang keluarga. Ibu bertanya padanya. Ia hanya terdiam panjang. Hari itu, hari gajian pensiunan. Uang pensiunnya habis dicopet orang. Perlu waktu lama untuk menghiburnya lagi. Hidup kadang menggelora seperti samudera, dalam dan gelap. Menimbulkan kekuatiran yang mendalam. Sukar menerka apa kedukaan yg terkandung dalam hati seseorang. Seperti juga betapa rahasianya letak sumber kebahagiaan orang-orang terdekat kita.

***
Ada kalanya topik pembicaraan itu muncul.
"Pak, kamu milih mana, aku yang mati duluan atau kamu duluan? tanya ibuku.
"Pasti aku duluan ya? Kalo Ibu mati duluan, paling bapakmu kawin lagi... Liatin aja".

Kami tertawa.
"Laki-laki dimana-mana sama aja", lanjutnya lagi. "Paling cuma bapakku aja, Mbah Mun". Ia bercerita tentang mendiang kakekku.
"Itu baru laki-laki setia. Biarpun ditinggal mati mbah Losiah, dia nggak kawin lagi! Padahal anaknya sembilan, dia urus sendiri".

Bapak hanya terdiam, senyum dikulum :)

"Kalo kamu mau dikubur dimana, Pak?" ibu bertanya lagi.
"Saya sih terserah yang hidup aja", kata bapak pasrah.
"Tapi bapakmu sih bisa dikubur di Taman Makam Pahlawan, dia kan punya tanda jasa", kata ibu. "Kamu gak kepengen dikubur di kampung?"
"Saya sih dimana aja sama aja" bapak cuma tersenyum. Ia merangkul adik perempuanku yang duduk di sampingnya. Menariknya dalam pelukannya, lalu mencium ubun2nya sambil tetap tersenyum.
Kadang-kadang adikku meronta-ronta.
"Ih, bapak! Nggak mau, tadi kan abis megang-megang ulat!"
Bapak tertawa. Memang tadi ia baru saja selesai berkebun.

***

Idhul Adha tahun ini agak sedikit meriah dengan kehadiran Ririn. Gadis mungil itu sudah bisa berjalan dan mengucapkan beberapa kata. Semua orang ingin berada di dekatnya. Bapak senang sekali, karena Ririn tidak takut lagi dicium. Setiap ada kesempatan ia menciumnya dengan sayang. Sampai gadis itu bergidik oleh kumis dan janggut bapak yang terlambat dicukur.

Ibu juga demikian. Ia seperti lupa dengan ketuaannya. Ia menggendong Ririn dan mengajaknya bercanda. Aku membayangkan ketika beliau menimang Mbakku waktu kecil dulu. Bagaimana ia memeluknya, merapikan rambut gadis kecil itu, mengusap wajahnya dari bekas makanan, semuanya begitu alamiah.

Mungkin ini yang paling berharga dari sebuah hari raya. Ketika semoua orang berkumpul dengan keluarga masing-masing dan membiarkan kenangan-kenangan yang baik memenuhi perasaan kita semua. Perbedaan, kesalahpahaman, dan persoalan-persoalan yang tak terselesaikan mengabur seperti kabut. Tinggal butiran-butiran embun yang membiaskan cahaya yang indah menjelang fajar.

***

Angin bertiup keras tanpa henti. Berubah arah tak menentu. Menderu seakan meneriakkan keluh-kesah kesulitan duniawi. Orang-orang susah, tak punya rumah, bayi-bayi yang menyedot puting yang hampa, dagangan yang tak laku-laku, para pekerja yang kehilangan waktunya di kemacetan, buruh-buruh yang berbulan-bulan tak dibayar, dan rumah-rumah di bantaran kali yang tergusur. Semuanya menguap dalam tiupan angin yang dingin membeku. Awan hitam adalah wajah Tuhan yang muram melihat kejahatan yang datang dari kekhilafan yang dibuat-buat. Musim yang tertunda, perubahan iklim adalah kewarasan yang memudar.

"Ini angin musim bediding* kayaknya. Dingin banget! Ibu udah kemulan kok masih terasa dinginnya", ibu mengeluh sejak tadi sore.

"Iya nih, aku juga kedinginan kok, bu", adikku yang perempuan mengiyakan."Sini aku gantiin air panasnya". Adikku mengambil tabung plastik air minum yang digunakan ibu untuk menghangatkan tubuh. Tanpa itu, ia hampir tak dapat tidur.

***

Aku tipe orang yang tetap waspada ketika tidur. Jadi ketika bapak mengetuk pintu kamatku, aku sudah terjaga. Kupingku mendengar ada orang yang bangun, sehingga aku langsung terbangun. Bapak mengajakku mengantar ibu ke rumah sakit. Jam setengah 3 tadi ibu "nglilir" ternyata beliau kena diare. Tubuhnya lemas dan dia takut nggak kuat.

Aku segera berpakaian dan pergi ke garasi memanaskan mesin mobil. Sial, mesin mobilku enggan menyala. Memang sudah beberapa bulan ini mobilku lebih banyak diam di kandang. Paling seminggu sekali aku panaskan mesinnya. Namun dua minggu terakhir ini ia sama sekali tidak pernah kusentuh. Apalagi malam itu hujan terus turun.

Nggak ada jalan lain, terpaksa harus naik motor. Kakak iparku membonceng ibu, aku membonceng bapak. Hujan rintik-rintik terus bejatuhan. Aku sampai menggigil menembus dinginnya malam. Meskipun kesadaranku belum pulih dari tidur, kami tiba di rumah sakit dengan selamat. Di UGD, dokter memeriksa kondisi ibu. Setelah menebus obat di apotik, ibu boleh pulang.

Setibanya di rumah, ibu terbaring lemas. Kami membantunya dengan membasuh tangan dan kakinya dengan minyak kayu putih, memberi termos panasnya, dan menyelimutinya dengan selimut yg tebal. Ketika aku meninggalkannya agar bisa tidur, bapak duduk disisi tempat tidur memandangi ibu. Tangannya memegang kakinya yang dingin.

Aku sendiri berjuang melawan dingin dengan menonton televisi di kamar. Setelah beberapa waktu, aku bangkit menengok ibu di kamar. Ibu sudah tertidur. Disampingnya, bapak memeluknya dengan sebelah tangannya. Sudah agak lama mereka jarang tidur berdampingan. Karena mereka punya irama hidup yang berbeda. Bapak banyak terjaga, karena itu beliau mengisinya dengan mengaji atau sholat malam.

Rambut ibu yang putih agak awut-awutan di atas dahinya. Sementara Bapak, pria keras itu sudah mendekati botak. Tapi semakin tua, bapak lebih banyak diam menghadapi ibu.

"Ibu kamu itu nggak pernah kemana2, hidupnya cuma ngurusin kamu semua aja" katanya lirih. "Makanya bapak mendingan diam aja"

Aku mengerti. Kututup pintu kamar itu pelan2. Bapak kelihatan sangat takut kehilangan Ibu. Karenanya pelukan itu jadi indah.



Bogor, 31 Desember 2007.

6 comments:

Anonymous said...

Halo, met taon baru yah ^o^

keepin' alive said...

jadi inget abah yang sekarang tergolek sakit, setelah 5 hari di icu keluhan pusing dan perutnya belum membaik juga. orang yang paling tangguh adalah mami, harusnya dia juga cape luar biasa. mondar mandir rumah-rumah sakit dengan irama circadian yang jelas2 kacau.
hai, salam kenal ya, gak sengaja membaca ini. glad to find it

L. Pralangga said...

Selamet tahun baru 2008, semoga tahun ini bis amenjadi tahun perubahan baik buat kita semua.

Kita semua akan menua dan akhirnya kembali kepadaNya. Semoga ini (penuaan) menjadikankita sebagai hamba yang senantiasa mempersungguh ibadahnya masin-masing.

Seneng udh bisa mampir kesini, salam hangat dari Afrika Barat
--------------
PS: Ohya, Warung yang lama ini akhirnya kembali di buka, setelah lama di tinggal mudik.

Anonymous said...

beruntung memiliki orangtua seperti itu, dan orangtua itu juga beruntung memiliki anak seperti ini

Anonymous said...

mbacanya, aku berkaca-kaca...
ditunggu novelnya ya mas..

Anonymous said...

Nice story...akhir ceritanya indah..betapa kuat dan awetnya perkawinan ortu mas..mudah2an seawet itu ;)(FH)