Thursday, May 08, 2008

Kisah si Gila

"Kemaren gue kesel banget. Abis dari STM kahuripan kan gue mo berangkat ngajar ke klender. Gue naik metromini dari pasar minggu. Gue duduk dong deket kenek di deket pintu blakang. Nggak lama ada tentara kopasus naek", mas Bayu bercerita.
"Eh, nggak ada angin nggak ada ujan, tau2 dia mbentak gue..." Wajahnya sangat kesal."Heh, pindah kamu!"
"Gue disuruh pindah. Yah gue nggak mau dong..." lanjutnya lagi."Gue mau ditabok... Kalo nggak inget2, udah gue lawanin tuh orang. Ya udah terpaksa gue pindah daripada ribut".

Tentara itu nggak tau kalo yang dia hadapin orang paling nekat sedunia.
"Nggak lama metro mini jalan. Pas lewat empang tiga, nggak taunya metronya disetop lagi sama anak STM. Anak STMnya berdiri di tengah jalan bawa balok, sebelah kakinya menginjak bemper depan metromini. Begitu berenti, mereka kan pada masuk ke dalem. Gue diemin aja", ia menggaruk-garuk hidungnya yang gatal. "Eh si kopassusnya sok jagoan, ceritanya. Dia langsung berdiri. Mau apa kamu? Dia mbentak anak2. Disangkainnya pada takut kalii..."
"Taunya nggak..."
"Bapak jangan ikut2, deh! Kita nggak ada urusan sama situ!"
"Sok jagoan kamu!!!" si tentara ngamuk. Tangannya melayang. Plak!!! Ia menampar anak itu.
yang ditampar menangkis sambil otomatis berteriak...
"Woiii, serbuuuu!"
Kontan konco-konconya menyerbu masuk ke dalam metromini. Balok, rantai, ikat pinggang,
potongan besi, rantai motor, menyerbu. Muka pak tentara bonyok sama bogem mentah dan
tendangan. Ia kewalahan. Para penumpang tak berani bertindak sementara penumpang perempuan berteriak-teriak ketakutan. Anak-anak mengamuk sejadi-jadinya karena tak menemukan musuh dari sekolah menengah lain, juga karena sikap arogan pak tentara. Ia tersungkur di lantai metro. Seorang anak kerempeng naik dari pintu depan dengan samurai berkarat di tangan.
"Eh, udah... udah.... bubar...!" mas Bayu merasa kasihan juga."Anak-anak masih mukulin aja tuh. Tapi begitu ada yang ngeliat gue. Langsung brenti tuh anak..." mas Bayu nyengir sendiri.
"Eh, ssshhh, sssyuh, brenti woi, ada bapak tuh. Ehmm, Selamat siang, pak!" pemuda kerempeng itu menunduk takut-takut. "Eh, maaf pak..." Teman-temannya serentak berhenti dan ikut menyapa. Si kerempeng segera meloncat keluar.
"Woi, bubar oooi!!!" dalam beberapa menit saja anak-anak berseragam putih abu2 itu blingsatan entah kemana. Tinggal pak tentara yang bangkit dibantu beberapa penumpang. Ia melihat mas bayu sekilas lalu kembali ke tempat duduknya di pojok pintu belakang dekat kenek.
"Gue kesian juga sih, tapi gimane ye, terpaksa senyum2 sendiri deh. Penumpang laen juga pada nyengir sih. Soalnye tadi dia galak banget ke gue..." katanya lega."Blom tau die, itu murid2 gue, lulusan polres semua, hehehe..."

Nasib guru honorer seperti mas Bayu memang prihatin. Di sekolah, gajinya dipotong sana-sini. Ditindas oknum kepala sekolah dan peraturan pemerintah yang tak berpihak. Sementara yang dihadapi setiap hari adalah anak-anak miskin yang bengal. Mereka bersekolah untuk belajar kekerasan dengan temen2nya yang datang dari sudut2 kumuh yang berbeda di kota ini. karena dari kekerasan itu mereka akan hidup. Sekolah yang statusnya tidak jelas diakui, setara, disamakan atau mengaku disamakan, adalah tempat mereka membangun jejaring sosial yang kusut. Serba carut-marut.

Guru-guru STM swasta seperti mas Bayu harus simpatik, namun tegar sekeras baja. Tidak sekali dua kali rekan sejawatnya gegar otak diketok martil oleh muridnya. Martil yang baru saja dibuat bersama di bengkel bubut. Di kali yang lain, motor sejawatnya dibawa kabur murid, setelah belajar membypass saklar starter di pelajaran otomotif. Di kelas mereka harus waspada. Di luar kelas, apalagi. Murid2 yang kecewa dengan nilai jeblok bisa mengancam dimana saja. Siapa yang bisa disalahkan? Guru, kemiskinan struktural atau sistem pendidikan yang memperbodoh?

Itu sebabnya, kami, adik-adiknya mengagumi lelaki sederhana itu. Nasibnya tentu saja begitu labil, terombang-ambing dalam ketidakpastian yang panjang. Tapi ia selalu saja dapat menyisihkan sedikit uang untuk membantu ongkos transport kami sekolah.

"Tapi anak2 sebenernya baek loh!" katanya suatu hari."Pernah, waktu itu gue mo brangkat ngajar. Eh ada anak2 stm lagi pada nyetopin bis rame2 di Pasar Rebo. Pada bawa bendera segala. Orang-orang udah pada nyingkir semua ketakutan, tuh, disangkain pada mau tawuran.

Eh, gue kan nyebrang jalan trus nunggu angkot ke Depok di situ...."
"Pas gue lagi nunggu, taunya anak2 pada nyamperin gue..." ia tertawa lebar."Taunya pada nyium tangan gue satu2! Orang-orang sampe pada heran semua, takjub sama gue, hehehehe" ia terus tertawa. "Gue aja sampe geli banget waktu itu..."

Kami ikut tertawa. Itulah segurat kenangan sebelum tragedi itu merebut hidupnya.

***
"Gus, gue tidur aja deh. Udah ngantuk nih", Hanif menguap panjang. Hari ini ia numpang ngetik skripsi di rumahku. Sebenarnya malam belum terlalu larut. Baru sekitar jam setengah sebelas. Tapi di ruangan sebelah, sudah terdengar suara-suara yang meracau tidak jelas.
"Ya udeh, duluan deh. Gue bentar lagi", jawabku.

Ughh, semoga Hanif cepat tidur. Hatiku was-was. Ini sudah tahun kesekian sejak mas Bayu sakit. Tahun-tahun berlalu, namun situasinya bukan makin ringan, tapi semakin berat. Dulu ada fasenya dimana ia banyak sekali tidur. Tapi semakin kronis, kebiasaan itu berubah. Ia jarang tidur. Dan hampir setiap malam mengamuk.

Hampir setiap malam kami harus siaga. Begitu hari menjelang senja, Ibu, kakakku, adik-adik, bersiap-siap. Kami bicara seperlunya saja. Kadang kami masih berusaha menjalin percakapan sejenak. tapi setelah itu lampu2 harus dimatikan, lalu masuk ke kamar masing2. Setelah itu diam. Menunggu kejadian apa lagi yang akan tercipta malam ini. Sesekali kami berusaha bertahan di ruang keluarga untuk melayani percakapan mas Bayu. Namun itu tak bisa dilakukan lama-lama. Karena makin lama pembicaraannya makin tidak jelas dan nadanya terus meninggi. Ketika itu terjadi, kamu tak akan ingin berada disana.

Malam itu mas Bayu ngamuk lagi. Ia mulai marah-marah di dalam kamar, lalu menggedor-gedor kamar ibu di sebelahnya. Sejak sore tadi ia sudah membakar2 sesuatu di dalam kamar. Namun tidak begitu menarik perhatian orang.
"Anjing semua, setan! Keluar!" ibu keluar kamar berusaha menenangkannya meskipun itu usaha yang sia2. Aku menyuruhnya kembali ke kamar. Begitu juga mas Bayu.
"Udeh bu, ambil Yasin, baca2an aja gih!" aku menenangkan ibu. Tanpa kami sadari mas Bayu pergi ke belakang rumah. Dalam kegelapan malam ia berteriak-teriak kesetanan.
"Maanaaa Allaaaah? Kalo berani kesini loe!!! Mana rosulullohhh??!!! Gueeee injekkk batang lehernyaaaa!!!!!! Anjing loe!!! Kesini loe!!!" matanya melotot hingga kedua bola matanya seakan ingin meledak di relung wajahnya yang merah padam. Otot2 lehernya menegang seperti jalinan kawat baja menahan beban yang luar biasa dahsyatnya.

Aku segera berlari ke belakang rumah. Teriakannya begitu kuat sehingga di ujung-ujungnya seperti membentuk lolongan panjang yang sedih.
"Yu, udeh yu, tenang, Yu! Ayo kita masuk aja, Yu... Udeh, nggak papa, Udeh kita masuk aja
yuk..." aku berusaha sebisanya membujuknya menghentikan teriakan2 itu. Sama sekali nggak sempet lagi memikirkan kemungkinan kalau kemarahan itu berbalik kearahku.
"Pergi loe, kagak usah ikut2! Gue bunuh loe semua!"
"Udeh, kita masuk aja lah. Iye, gue salah. Yang penting kita masuk dulu deh..." kutarik lengannya pelan2 mengajaknya masuk. Ia terus berteriak marah.
"Udah Yu, udaah... Mendingan kita pergi aje dari sini, deh", kubiarkan ia memasuki kamar,
mengenakan celana panjangnya yang kotor. Dinding-dinding berjelaga, bekas api unggun yang dibuatnya di dalam kamar. Sampah-sampah berserakan penuh kertas2 bertuliskan puisi atau mungkin keluh kesah yang dihadapinya sendirian. Bau air kencing menyengat. Aku menyelinap sejenak ke kamar ibu. Ia masih terduduk membaca ayat kursi. Tangannya gemetar tak keruan menyeka air yang mengembang di matanya.
"Pokoknya jangan pada keluar ya! Gue pergi dulu!" aku berbisik tegas. Adik perempuanku memegangi punggung ibu. Ia hanya mengangguk pelan.

Malam itu aku aku menemani mas Bayu berjalan tak tentu arah. Menyusuri jalan kota jakarta
yang sedang tidur. Hanya dengan sendal jepit butut dan pakaian seadanya. Sepanjang jalan ia marah2 tanpa henti. Di mulut-mulut gang dan warung-warung pinggir jalan, para peronda, tukang-tukang becak dan ojek memandang kami dengan pandangan aneh. Aku tak perduli. Ini soal hidup dan mati. Kami berjalan terus hingga pagi menjelang hingga kemarahan Mas Bayu agak surut, mungkin akhirnya ia juga kelelahan berjalan begitu jauh.

"Yu, kita pulang ye? Gue mesti berangkat kerja nih..." tanyaku padanya.
Ia diam saja, matanya masih merah penuh amarah. Kurogoh kantongku. Tak ada uang sekepingpun.
"Naek taksi aja deh Yu, tar bayar di rumah...", tak ada cara lain.

Ketika tiba di rumah, ibu sudah memasak di dapur. Kubiarkan mas Bayu masuk ke kamarnya. Lalu kujenguk Hanif di kamar. Ia masih tertidur lelap. Aku lega. Hingga bertahun-tahun berselang aku nggak pernah tahu apakah sobatku itu benar2 tertidur atau sengaja pura2 mengantuk untuk memberiku sedikit ruang. Dan bertahun-tahun berselang, barulah adikku bercerita, ia juga pernah menemani mas Bayu berjalan hingga ke Bekasi dan Cibarusa. Masuk kampung keluar kampung, nyemplung rawa, dan terpaksa menemaninya melakukan hal-hal yang tak terbayangkan. Ia menyimpannya sendiri. Karena ia yakin kami semua punya rahasia sendiri2.

***
Kami selalu pulang ke rumah. Kemanapun kami pergi, seberapa banyakpun waktu yang harus diambil untuk pekerjaan atau sekolah. Aku harus pulang meskipun harus lembur sampai jam 4 pagi dan jam 8 nya sudah memulai hari kerja yang baru. Kami harus pulang ke rumah. Bukan sekedar karena itu kelaziman sebuah keluarga. Tapi karena kami harus menjaga satu sama lain. Kami harus memastikan segala sesuatunya terkendali. Meskipun sebenarnya itu omong kosong belaka karena jelas-jelas semuanya berantakan.

Waktu itu bapak bekerja di cikarang, beliau pulang seminggu sekali. Meskipun beliau pulang, ia tak mampu mengatasi keadaan. Karena ia salah satu target kemarahan. jadi apapun yang dikatakannya, semuanya selalu salah. Karena ketika sakit mas Bayu mencapai tahapan kronis, ia makin terputus dari realita. Ia mengalami gejala broadcasting, serasa semua rahasia terdalam di pikirannya dipancarkan, diketahui semua orang. Ia merasa diikuti oleh orang2 yang tak terlihat. Akibatnya ia merasa seluruh dunia berkonspirasi terhadapnya. Rasa kesepian yang dalam sehingga ia memusuhi semua orang. Semakin ia menjauh dari realita, dinding2 tak kasat mata membentengi dirinya. Bahkan orang-orang terdekatnya tak dapat menjangkau pikirannya kembali.

Karena itu setiap hari kami menyusun strategi menghadapi situasi genting. Setiap hari pula kita gagal. Setiap hari adalah kejutan2 baru yang tak terduga. Bila sehari saja ada ketenangan, berarti celah pintu surga terbuka dan berkas2 kesejukannya jatuh di hatiku.

***

"Gue tau loe masih melek. Dasar bajingan loe! Tiap malem gue dikomputerin! Kepala gue dibikin pusing!" suaranya mulai meninggi. Aku diam tak bergerak. Kumatikan komputer agar ia tak punya alasan untuk menjadikanku sasaran. Kamar menjadi semakin gelap ketika perlahan-lahan cahaya monitor meredup. Aku beringsut tanpa suara ke dipan. Ini bakal menjadi malam yang panjang. Kuletakkan bantal di dinding untuk tempatku bersandar. Sebuah bantal lagi kupeluk di dada.

Aku bahkan tak lagi berdoa. Katakan, Kau tak mendengar doa yang kami gumamkan dalam hati. Tapi bukankah Kau Maha Melihat? Lalu mengapa kau biarkan ini terjadi? Katanya Kau Maha Penyayang, tapi mengapa malam-malam kami penuh kejahatan. Ah, barangkali dunia ini memang tercipta begitu saja secara spontan. Apakah Dia ada atau tiada, aku tak perlu perduli. Akan kubiarkan kehidupan mengalir begitu saja apa adanya. Apa yang terjadi, terjadilah. Dalam kelelahan yang bertumpuk bertahun-tahun dan kegelapan yang menyekat, aku tertidur.

"Brakkkkk!!!"
Aku terbangun mendadak karena suara keras itu. Aku berlari menuju sumber suara itu. Lantai rumah penuh air. Begitu juga dinding, sofa, lemari, semuanya. Aku tak sempat berpikir panjang. Suami kakakku berdiri menghadang di depan pintu kamar. Pintunya jebol oleh tendangan Mas Bayu. Sementara mbakku melindungi bayinya yang umurnya belum genap seminggu. Adikku berusaha melerai. Mas Bayu pergi ke belakang.

"Udah mas. Masuk kamar, tutup lagi pintunya!" kakak iparku kembali ke kamar. Aku ikut ke belakang mencari mas Bayu. Belum sempat berfikir, tiba-tiba mas Bayu muncul dari kamar mandi menyiramkan sepanci besar air ke tubuhku. Lalu ia memukulkan panci aluminium itu kepadaku. Secara refleks kutangkis dengan tangan kiriku. Adikku yang mengikutiku di belakang melayangkan tinjunya ke mas Bayu. Terjadi perkelahian singkat. Dengan tubuh basah kuyup aku melerai keduanya. Kekerasan sama bukan jawaban, dan selama ini kami sepakat untuk terus menjaganya.

Malam itu mas Bayu membuat api di kamarnya, lalu ia ratakan api itu ke seluruh rumah. Ketika api membesar, ia jadi panik sendiri. Lalu berusaha memadamkannya dengan menyiramkan air ke seluruh rumah. Kakak iparku yang memergokinya menegur, lalu terjadilah ketegangan.

"Udah! Brenti!!!" kakak iparku memegang adikku. "Masuk loe ke kamar!"
Adikku masih terburu nafsu.
"Gue bilang masuk, masuk loe!" aku berteriak marah. Adikku mengunci pintu kamarnya. Lalu ku dorong mas Bayu ke dalam kamarnya sendiri. Ia berteriak2 kalap.
"Udeh, terserah loe mau ngomel apaan kek. Asal di kamar!" kataku. Kutinggalkan ia di kamar lalu ke kamar kakakku.
"Pokoknya diem di kamar, waspada. Kalo terpaksa, cari taksi, pulang ke Bogor! Biarpun dia ngapain, diemin aja, gue yang nungguin!"

Aku kembali mematikan lampu2. Masa bodoh dengan rumah yang banjir. Tak ada yang dapat dilakukan malam itu selain kembali ke kamar masing2. Aku bahkan sampai lupa mengambil baju ganti yang kering. Selama ini aku tidur di ruang mas Yono yang bertahun-tahun merantau. Karena itu tak ada baju di kamar ini. Kubuka sarung bantal untuk sekedar mengeringkan badan. Semalam itu aku duduk berjaga sampai pagi. Dengan badan berayun2 memeluk lengan yang menggigil oleh dinginnya malam ini. Sampai tak sadar kalau tangan kiriku bengkak kena pukul.

***
Didera cobaan bertahun-tahun sungguh menguras emosi. Belum lagi dana, tenaga, pikiran dan waktu. Kami ingin semua ini segera berlalu. Meski pada kenyataannya, tak ada jawaban instan dalam hidup. Semuanya serba merangkak. Seringkali mas Bayu pergi tak tentu arahnya dua hari, lima hari, seminggu, dua minggu.
"Biar, mau pergi, pergi sekalian!" kata bapak gusar. Atau, "Biar tak dadekno air lagi sekalian! Hancur sekalian". Kami semua diam. Tapi saat kegalauannya mereda, gantian beliau yang terdiam.

Menghadapi kejadian sedemikian kadang membuat kami hampir lupa bahwa tidak ada seorangpun yang ingin sakit seperti itu. Bahkan hingga kini kami tak bisa membayangkan, kenapa semua ini bisa terjadi. Ini benar-benar sebuah kotak pandora yang penuh dengan kemalangan, kedukaan, kesedihan yang tak habis-habisnya.

Lalu kami mencari obat. Di segala sudut kita datangi. Orang pintar dan Kyai. Dari bekasi, cimanggis, Serang dan Sumedang dan entah mana lagi. Setiap pulang, mas bayu seperti tersadar. Dia bertanya-tanya,"Gue kemaren kenapa ya...? Ini hari apa ya? Gue gak kerja dong hari ini?" Tapi beberapa hari kemudian ia kembali lagi seperti sebelumnya. Kata orang, berobat itu cocok-cocokan. Biarpun kebahagiaan itu cuma sehari, sedetik, rasa tenang yang diberikannya serasa seabad. Karena itu ia demikian berharga untuk sebuah pencarian.

Belum lama ini, untuk kesekian kalinya seorang teman bilang padaku. Tuhan tidak pernah memberikan ujian yang tak sanggup ditanggung oleh manusia.
"Omong kosong", teriakku."Ngomong loe sama ember sana!"
"Kalo loe nggak tau rasanya mending nggak usah ngomong", kataku."Nggak ada itu yang namanya Tuhan. Gue berdoa2 sampe air mata nggak bisa keluar, nggak ada tuh pertolongan dari Dia!" Aku benci mengatakan hal itu. Tapi aku merasa yakin bahwa itu benar.

Sampai suatu saat seorang teman, mantan penderita skizofrenia mengirimkan email motivasi. Katanya "Tuhan punya rencana indah buat kalian!" Pesannya singkat, tapi terasa begitu simpatik. Orang yang telah lebih dari sebelas tahun menderita dan masih berjuang untuk bisa kembali produktif bisa mengatakan itu. Ia tidak mengatakan kapan jawaban itu datang. Hanya memberikan sebuah isyarat harapan bahwa suatu saat tragedi ini akan berubah. Dan saat itu rencana indah Tuhan akan terbuka pada kami. Aku begitu terkesan, sampai-sampai hampir dapat membayangkan bahwa rencana itu sebuah kado yang terbungkus sutra indah. Dan ketika ikatannya terbuka secara ajaib, berkas-berkas sinar terpencar ke segala arah. Seperti radiasi cahaya mentari namun begitu sejuk di wajah kami. Merasuk sukma. Membuat kami lupa segala penderitaan yang lalu.

Emailnya membuat kami sadar bahwa kami tidak sendirian. Toh, hidup juga akan terus berjalan meski keberadaan seluruh semesta ini kita ingkari. Pengalaman yang dahsyat ini nyatanya membuat kami lebih welas asih. Ada empati yang luar biasa besarnya yang tumbuh dalam hati kita, ketika kita pernah melalui penderitaan. Kami juga lebih menghargai betapa berharganya cinta yang diberikan oleh orang-orang di sekitar kami. Itu yang membuat kami tak pernah menyerah pada kebaikan mas Bayu.

Sekali lagi, tak ada jawaban instant, kita memang harus merangkak dan menggapai masa depan dari hari ke hari. Hanya sesekali kita mendapat wild card dan bisa berlari meninggalkan orang lain. Tapi itu karena legacy, jasa2 orang2 disekitar kita dan kasih Tuhan. Dia yang memegang buku kehidupan. Dia yang mengulur benang waktu. Hingga pada saatnya benang itu harus digunting dan kita kembali kepadaNya.

Aku seperti bangun dari mati suri yang panjang. Hidup ini memang seharusnya adalah kepasrahan. Hidup juga sebuah ikhtiar. Tuhan adalah Kekejaman, tapi tak disangkal lagi bahwa Dia adalah Kasih sayang dan Cinta. Ia tak pernah terpisah antara satu dimensi dengan yang lainnya. Aku tak berhak menafsirkannya dalam fikiran yang kalut. Karena dalam kejernihan pikiranpun Ia terlalu Agung untuk kita cerna.

Lebih dari sepuluh tahun kami sekeluarga berjuang melewati fase-fase paling kritis dalam kehidupan kami. Akhirnya mas Bayu berangsur-angsur sembuh.

Di suatu sore yang tenang ia bertanya:
"Do, gue bisa ngajar lagi nggak ya? Gimana gue bisa nyari makan?"
"Udah tar aja kita pikirin itu Yu, yang penting kita santai dulu sekarang...", kami berdua tersenyum kosong. Aku masih tak punya jawabannya. Mungkin kita semua harus menunggu lebih lama hingga kado itu akhirnya benar-benar dapat dibuka. Tapi aku mulai bisa mensyukuri ketenangan dari sekarang.



-----------------
Bogor, 8 Mei 2008


Cerita ini didedikasikan untuk kakakku Mas Bayu dan para penderita skizofrenia dan keluarganya. Untuk tetap semangat menghadapi penyakit dahsyat ini. Semoga dengan cinta dan kasih sayang, suatu saat kita bisa menata kembali kehidupan. Tetap Semangat!

Semoga jangan terjadi pada keluarga lain di dunia ini.

2 comments:

cyn said...

segala sesuatu indah pada saatNya.......

inspiring story, mengingatkan gw untuk tidak mengeluh lagi

Anonymous said...

gw merinding denger cerita loe gus..ya itu gw. pertanyaan2 yang menggugat tuhan sering kudengar tapi gak pernah bisa menjawabnya. yang telah mengalami yang lebih dapat menjawabnya.

wim