Ah, waktu itu aku masih belom ngerti apa-apa. Sudah masuk kelas tiga. Tapi kalau kuingat2, waktu itu aku bener2 nggak tau kalo bakal punya adik lagi. Kalau kuingat2 lagi, bahkan aku nggak tau kalo ibu lagi hamil. Yang jelas, ketika hampir waktunya bel sekolah yang terbuat dari roda kereta akan berbunyi, Mas Yono sudah berdiri mengintip di depan pintu kelas.
Bodohnya! Ibu guru memberi soal mencongak yang sangat sulit hari itu. Dia membaca soal cerita tentang pecahan dari buku Cerdas Tangkas! Buku tulis dan alat tulis sudah harus masuk tas sekolah. Dalam mencongak, kita harus memikirkan jawabannya di luar kepala. Bayangkan saja, soal pecahan, dihitung luar kepala! Tampaknya tidak akan ada yang keluar kelas lebih cepat dari lonceng roda kereta. Biarin, anak kelas 6 sudah berseliweran di luar kelas. Mereka masuk siang. tandanya, sebentar lagi lonceng akan dibunyikan....
Teng... teng... teng... Pak kepala sekolah membunyikan lonceng. Semua bersorak gembira. Ketua kelas segera menyiapkan salam. Aku berlari keluar kelas. Di depan pintu, mas Yono menarik tanganku.
"Yuk, kita jemput Iyo", katanya.
Kelas Iyo ada di depan lapangan. Ketika kami sampai, kelas itu belum bubar. Mungkin tadi ada yang lambat menulis PR. Tak lama, bocah gendut itu keluar kelas. Mas Yono bergegas menuntun kami pulang. Anak-anak lain terlihat ramai menghabiskan uang jajannya dengan membeli makanan dan mainan. Kami hanya bisa berjalan cepat menuju rumah. Kaki Iyo sudah melangkah ke depan, tetapi kepalanya menjulur kebelakang melihat adonan kue pancong dituangkan membentuk kura-kura, laba2 dan binatang2 lucu lain.
"Ayo cepetan..." , Mas Yono menarik tangannya. Aku berlari2 kecil mengikuti dari belakang. Aku sudah kelas tiga. Tidak ada bekal lagi dari ibu setelah kelas dua, apalagi uang jajan. Jadi kita memang harus buru2 sampai rumah biar bisa cepat makan.
Tak berapa lama, kami tiba di pom bensin Asia Makmur. Pom bensin itu punya bapaknya temen sekelas mas Bayu. Keluarga kaya yang ramah. Dengan berhati-hati, kami menyeberang jalan. Lalu lintas masa itu tidak riuh seperti sekarang. Paling banyak cuma oplet dan bus kota. Begitu sampai diseberang, ternyata kami tidak langsung pulang ke rumah. Mas Yono mengajak kami masuk ke kantor kelurahan. Ia mengajak kami ke samping kelurahan. Lalu dengan berjingkat ia mengintip ke jendela gedung sebelah...
"Tuh, liat tuh... yang itu tuh adik kita...!" ia menunjuk seorang bayi mungil yang sedang menangis di box bening paling ujung.
"Apaan sih?" aku benar2 bodoh. Sama sekali tak mengerti apa yang dibicarakan kakak.
"Itu, yang itu... yang ujung..." , lagi-lagi mas Yono menunjuk ke arah bayi itu.
Bagiku semua bayi yang terlihat di balik jendela kaca itu sama saja. Iyo berusaha memanjat pagar besi yang tajam itu saing ingin tahunya. Aku ikut2an.
"Yang mana sih?" tanyaku lagi.
"Yang itu..." jawab mas Yono.
"Ooh yang itu..." jawabku dan iyo serempak. Padahal nggak tau yang mana. Aku milih yang mana, iyo juga yang mana.
Selebihnya tidak banyak yang kuingat. Sorenya kami baru boleh menengok ibu. Bersama Bapak dan Lik Yem. Sekitar 3 bulan kemudian, tiba2 kami diajak masuk ke mobil untuk pergi ke suatu tempat. Aku tidak tau kenapa. Yang kuingat, sudah sejak beberapa hari sebelumnya cuaca Jakarta agak suram. Debu gunung galunggung membuat siang hari seperti petang saja. Kami dilarang keluar rumah, karena debunya mengganggu pernafasan dan membuat orang-orang sakit mata merah. Kadang kami mencoret2 debu di kaca mobil orang dengan tulisan2 mengejek.
Hari itu kami pindah rumah. Semenjak tinggal di kampung yang sepi ini, aku mendapat teman2 baru. Sejak saat itu pula, baru aku berkesempatan mengenal adik bayi.
***
Itu kisah 26 tahun berselang. Ia kini sudah jadi gadis yang cantik. Di suatu hari yang cerah, aku janjian menjemput Ade untuk berangkat ke Bogor. Hampir jam 7, jalan masih relatif lancar. Dari kejauhan terlihat ia duduk di halte dengan manis. Aku rem pelan2. Adikku membuka pintu dan pindah ke kursi belakang.
"Pi, ini kenalin, Ade", kataku. "Ini adikku De, Palupi".
Mereka berdua berkenalan. Menjelang lampu merah dekat pintu tol adikku turun. Ia melanjutkan perjalanan ke arah salemba.
"Cantik ya adikmu..."
"ya gitu deh..." aku tersenyum. "Eh iya, ada nasi uduk sama bakwan tuh.. Makan aja..." kataku. "Tadi nyokap beli di deket rumah, di warungnya Pok Roti."
Ketika kita tumbuh dalam atap yang sama. Orang tua dan saudara menjadi buku kehidupan. Sebuah cerita bersambung yang panjang. Kadang menyenangkan. Kadang pahit. Yang hanya akan berakhir ketika kita semua pergi satu-satu. Ketika itu, ceritanya akan menjadi kenangan yang lembarnya kita buka sedikit2 saat kita ngobrol2 di beranda, di balik setir saat menunggu kemacetan terurai, di waktu2 luang atau sebaliknya, di saat2 kritis dimana biasanya kita membutuhkan keberadaan mereka.
"Enak nasi uduknya, Gus.."
"Ya gitu deh, nasi uduk kampung..." jawabku.
Aku ingat menggendong adikku di punggung. Dengan seragam Taman kanak-kanak kotak2 berwarna merah dan topinya, ia terlihat lucu. Pipinya yang montok kemerahan terpapar cahaya matahari. Aku mengajaknya berbicara tentang apa saja. Tentang rumpun padi yang subur, burung2 pipit, tentang ular yang bersarang di pokok pohon secang, memainkan buah secang kering yang berbunyi klotok-klotok. Dan ketika menjemputnya pulang dari sekolah, sesekali kami berhenti di pematang sawah untuk melihat anak-anak ikan sepat, betik dan cere bermain diantara akar padi. Kami berjanji untuk membawa serokan dari bekas bakul plastik bekas, atau membuatnya dari kaos kaki bekas.
Ia begitu kecil waktu itu. Sampai kami tak sadar ketika ia beranjak dewasa. Kami tak sadar bahwa ia membutuhkan ruang untuk didengar. Bertahun-tahun, bahkan ketika keluarga kami berantakan waktu mas Bayu terkena skizofrenia, ia hanya seorang pendengar setia. Bila situasinya genting, ia hanya diam. Menenangkan ibu dan bapak, atau diam di dalam kamar.
Begitu mas Bayu pergi. Kami terlibat dalam pembahasan yang tak ada jawabannya. Tidak lagi soal kenapa atau bagaimana semua itu terjadi. Tapi soal bagaimana kita harus bertahan satu malam lagi. Diskusi yang membuat kita berteriak saling menyalahkan, meskipun kami juga tau tidak ada yang salah. Mungkin, kita bisa saling bunuh karena pertengkaran semacam itu. Kala itu, adikku hanya diam.
Seperti sebuah buku, aku belajar darinya. Di antara kegilaan yang mendera, ada juga kewarasan2 kecil. Meskipun cuma sejenak, itu membuatku berfikir dan merenung ulang semua kekacauan yang telah kita perbuat.
"Eh, Pi, Yo, semuanya aja. Ini sejarah bakal panjang. Jadi kita mesti jaga stamina. Kalo kita lagi stress, yah jangan semuanya stress. Harus ada yang tetep waras!" sebuah momen yang sedih. "Loe udah bener Pi. Kalo lagi kisruh biar gue aja yang urus dia. Saling memaafkan aja deh kalo kita lagi stress semua. Itu kan karena situasi..."
Si merah sudah tiba di depan kantor Ade. Aku meninggalkannya di belakang untuk menuju kantorku sendiri. Masih 10 km lagi dari sini. Di perjalanan yang panjang jakarta bogor, semua kenangan berputar kembali. Manis, bahagia, senang dan susah. Berputar kembali. Sungguh aneh, ketika matahari bersinar cerah dan udara pegunungan membuat dada terasa lega, aku harus menghapus rahasia hidup yang tergenang di mataku.
***
Adikku Palupi akhirnya jadi sarjana tahun ini. Dulu kami menekannya terlalu keras. Karena kami bukan orang berpunya, bila ingin kuliah, ia harus masuk negeri. Ketika kenyataannya ia tidak lulus ujian masuk, aku sedikit tidak adil. Bukan, bukan sedikit, tetapi banyak. Aku dan mulutku yang nyinyir.
Setelah kini ia menjadi sarjana, aku jadi malu sendiri. Karena ia berhasil juga. Belajar sambil bekerja. Ternyata aku tak setangguh dia. Aku bukan apa2 dibanding gadis cilikku yang tangannya kubuat keseleo. Maafkan aku untuk itu ya...
Sekarang, bapak dan ibu sudah tua dan sakit2an. Gadis kecilku telah bekerja lagi. Pagi2 ia sudah bersiap untuk kehidupannya yang masih panjang. Apakah kamu masih mau mengajarkanku lebih banyak lagi?
******
Bogor, Senin 3 November 2008
No comments:
Post a Comment