Thursday, June 10, 2004
Wednesday, June 09, 2004
Sayangku Jane
Alasan Jane menikahi suaminya memang karena kekayaan. Ya, gaya Franky memang sangat meyakinkan meski sejak awal Jane sama sekali tak pernah tau apa pekerjaan atau bisnisnya. Yang diketahuinya hanya makan di tempat2 mewah, hangout di pub bergengsi dan kencan di hotel terbaik ibukota.
Jane selalu terkesan dengan cara kekasihnya memanjakan dirinya. Setelah dinner yang romantis, Franky selalu memberikan sebentuk perhiasan indah kepadanya. Kalung, giwang, atau seuntai rantai kemilau yang melingkari pergelangan kakinya. Di kamar hotel yang redup, Jane akan dikejutkan dengan sepasang lingerie sexy, mawar merah, parfum, atau sekedar sebotol champagne on the rocks. Semuanya tertata di tempat2 eksotis yang tak mungkin terlewat dari mata Jane.
Wanita ini, Jane, adalah seorang dewi. Dalam jubah tidur terawang dan lingerie yang indah ia seperti dongeng yang mewujud. Lekuk tubuhnya yang padat dan melengkung indah sudah sepantasnya mendapatkan perhiasan terbaik. Dan kekasihnya merupakan satu dari sangat sedikit lelaki yang bisa menyentuhnya. Hati Jane cinta caranya merayu. Malam ini sekali lagi sang dewi memaparkan rahasia dunia pada kekasihnya.
***
Pada dasarnya Jane bukan gadis penggoda. Bila kau mengenalnya, kau akan tau bahwa ia hanyalah seorang gadis lugu yang haus kasih sayang. Bila kau menjadi temannya, ia akan menyanjungmu, menelponmu berjam-jam, menemanimu shopping dengan semangat, dan tak lupa menjadi kritikus fashion yang terbaik buatmu. Tapi esoknya ia akan mendukungmu habis2an untuk mengencani gadis2 terbaik di kota ini.
Jane juga gadis yang intim. Ia hangat dan begitu dekat dengan sobat-sobatnya. Ia sangat menikmati untuk menyentuhmu. Mengusap rambut, merangkul dan mendekapmu erat2 melindungimu dari angin malam yang dingin. Begitupun sebaliknya, aku sering mendekapnya berlama-lama. Meski tau hasrat kami sama-sama membara, Jane sama sekali tak pernah keberatan. Kami seperti saudara dan belum terlintas untuk mengubahnya.
Begitu lama kami bersahabat, tumbuh besar bersama. Aku dari sudut yang padat kota ini, sedang Jane setahuku selalu tinggal di bagian terbaik. Sesekali waktu Jane menghentikan laju mobilnya hanya untuk mengajakku berangkat bersama ke sekolah. Setelah itu ia selalu menyuruh Pak Samin supirnya untuk menjemputku di pertigaan yang sama setiap paginya.
Saat waktunya keluar main, Jane akan membagi bekal dari mamanya. Jane memang pernah bercerita pada mamanya bahwa Mak ku selalu berpesan agar aku harus kuat menahan lapar agar nanti bisa jadi orang. Sejak itulah sobatku Jane mendapat bekal lebih banyak. Meski kulitku legam, Mama Jane sayang padaku. Aku anak lelaki yang tak pernah dilahirkannya.
***
Bertahun-tahun sejak telpon Jane terakhir, akhirnya aku berjumpa lagi dengannya. Aku bahkan masih ingat tangisnya yang tertahan waktu itu. Ternyata keluarga yang indah itu tak sepenuhnya kupahami. Selama ini Jen hidup dalam kekerasan dan kata-kata yang tak pantas dikatakan di depan anak selembut itu. Papanya mencandu perempuan dan judi. Sejak telepon itu Jen bertemu kawan-kawan baru gadis2 gaul yang menghabiskan hidupnya menguber2 para yuppies atau expat. Mereka jadi merasa terlalu sophisticated untuk mengobrol dengan kerah biru sepertiku.
Ah Jane ku tersayang... Kedua mata indahnya mengalirkan airmata begitu derasnya. Dengan pandangan kebisuan yang dalam ia menggigit bibirnya kuat2. Tubuhnya terguncang2 liar. Tapi tak seinchipun tubuhnya yang kosong. Para lelaki hitam buncit dengan buas mengerubunginya bagai lalat kepada bangkai.
"Ampun pak, jangan pukul saya pak... Pake aja istri saya pak asal saya jangan dipukulin..." pria bertelanjang dada itu itu merengek2 di lantai polres. Seorang polisi baru saja mengayunkan sepatu botnya ke tubuh pesakitan. Wajahnya tak keruan. Tapi pria itu akan kembali perlente esok hari.
Sedangkan aku mungkin harus menangkapnya kembali di lain waktu. Seperti saat Franky menggesekkan perhiasan seharga 85 juta rupiah dari kartu haramnya malam ini.
Tapi aku tak akan pernah mendapatkan Jane ku lagi. Dengan airmata membasahi pipiku aku melangkah pulang. Sejurus kemudian roda-roda taksi berputar menjauh meninggalkan beribu ancaman dari polisi-polisi jalang.
"i'm sorry, Jane, Goodbye..."
Jakarta, 9 Juni 2004
Buat adik gw yg sedang bekerja di Risk Management Unit sebuah bank di Jakarta.
Cerita ini fiksi belaka, semoga nggak akan terjadi dimanapun di bumi ini.
Jane selalu terkesan dengan cara kekasihnya memanjakan dirinya. Setelah dinner yang romantis, Franky selalu memberikan sebentuk perhiasan indah kepadanya. Kalung, giwang, atau seuntai rantai kemilau yang melingkari pergelangan kakinya. Di kamar hotel yang redup, Jane akan dikejutkan dengan sepasang lingerie sexy, mawar merah, parfum, atau sekedar sebotol champagne on the rocks. Semuanya tertata di tempat2 eksotis yang tak mungkin terlewat dari mata Jane.
Wanita ini, Jane, adalah seorang dewi. Dalam jubah tidur terawang dan lingerie yang indah ia seperti dongeng yang mewujud. Lekuk tubuhnya yang padat dan melengkung indah sudah sepantasnya mendapatkan perhiasan terbaik. Dan kekasihnya merupakan satu dari sangat sedikit lelaki yang bisa menyentuhnya. Hati Jane cinta caranya merayu. Malam ini sekali lagi sang dewi memaparkan rahasia dunia pada kekasihnya.
***
Pada dasarnya Jane bukan gadis penggoda. Bila kau mengenalnya, kau akan tau bahwa ia hanyalah seorang gadis lugu yang haus kasih sayang. Bila kau menjadi temannya, ia akan menyanjungmu, menelponmu berjam-jam, menemanimu shopping dengan semangat, dan tak lupa menjadi kritikus fashion yang terbaik buatmu. Tapi esoknya ia akan mendukungmu habis2an untuk mengencani gadis2 terbaik di kota ini.
Jane juga gadis yang intim. Ia hangat dan begitu dekat dengan sobat-sobatnya. Ia sangat menikmati untuk menyentuhmu. Mengusap rambut, merangkul dan mendekapmu erat2 melindungimu dari angin malam yang dingin. Begitupun sebaliknya, aku sering mendekapnya berlama-lama. Meski tau hasrat kami sama-sama membara, Jane sama sekali tak pernah keberatan. Kami seperti saudara dan belum terlintas untuk mengubahnya.
Begitu lama kami bersahabat, tumbuh besar bersama. Aku dari sudut yang padat kota ini, sedang Jane setahuku selalu tinggal di bagian terbaik. Sesekali waktu Jane menghentikan laju mobilnya hanya untuk mengajakku berangkat bersama ke sekolah. Setelah itu ia selalu menyuruh Pak Samin supirnya untuk menjemputku di pertigaan yang sama setiap paginya.
Saat waktunya keluar main, Jane akan membagi bekal dari mamanya. Jane memang pernah bercerita pada mamanya bahwa Mak ku selalu berpesan agar aku harus kuat menahan lapar agar nanti bisa jadi orang. Sejak itulah sobatku Jane mendapat bekal lebih banyak. Meski kulitku legam, Mama Jane sayang padaku. Aku anak lelaki yang tak pernah dilahirkannya.
***
Bertahun-tahun sejak telpon Jane terakhir, akhirnya aku berjumpa lagi dengannya. Aku bahkan masih ingat tangisnya yang tertahan waktu itu. Ternyata keluarga yang indah itu tak sepenuhnya kupahami. Selama ini Jen hidup dalam kekerasan dan kata-kata yang tak pantas dikatakan di depan anak selembut itu. Papanya mencandu perempuan dan judi. Sejak telepon itu Jen bertemu kawan-kawan baru gadis2 gaul yang menghabiskan hidupnya menguber2 para yuppies atau expat. Mereka jadi merasa terlalu sophisticated untuk mengobrol dengan kerah biru sepertiku.
Ah Jane ku tersayang... Kedua mata indahnya mengalirkan airmata begitu derasnya. Dengan pandangan kebisuan yang dalam ia menggigit bibirnya kuat2. Tubuhnya terguncang2 liar. Tapi tak seinchipun tubuhnya yang kosong. Para lelaki hitam buncit dengan buas mengerubunginya bagai lalat kepada bangkai.
"Ampun pak, jangan pukul saya pak... Pake aja istri saya pak asal saya jangan dipukulin..." pria bertelanjang dada itu itu merengek2 di lantai polres. Seorang polisi baru saja mengayunkan sepatu botnya ke tubuh pesakitan. Wajahnya tak keruan. Tapi pria itu akan kembali perlente esok hari.
Sedangkan aku mungkin harus menangkapnya kembali di lain waktu. Seperti saat Franky menggesekkan perhiasan seharga 85 juta rupiah dari kartu haramnya malam ini.
Tapi aku tak akan pernah mendapatkan Jane ku lagi. Dengan airmata membasahi pipiku aku melangkah pulang. Sejurus kemudian roda-roda taksi berputar menjauh meninggalkan beribu ancaman dari polisi-polisi jalang.
"i'm sorry, Jane, Goodbye..."
Jakarta, 9 Juni 2004
Buat adik gw yg sedang bekerja di Risk Management Unit sebuah bank di Jakarta.
Cerita ini fiksi belaka, semoga nggak akan terjadi dimanapun di bumi ini.
Sunday, June 06, 2004
Cinta ladang jagung
Sulit dipercaya ada tempat seperti ini hanya sejauh 1,5 jam dari jakarta. Sepi, tenang, tak ada suara apa2 selain gemerisik dedaunan tertiup angin. Tak ada hiruk pikuk kota, dering telepon, dan suara televisi yang penuh persoalan politik memusingkan. Sejauh mata memandang terlihat bukit2 hijau dipenuhi padi gogo dan palawija. Gubuk2 petani disini saling berjauhan, paling dekat satu atau dua hektar dari tempat kami, dipisahkan sungai-sungai kecil yang jernih.
Sayang, ini bukan tempat bersantai. Di "leuweung", begitu orang dusun menyebutnya, hanya ada kerja keras. Tidak ada sedikitpun waktu untuk rehat. Lihatlah, di siang terik ini ibu2 menumbuk padi, menjemur kacang atau memberi makan ayam. Selalu ada yang mesti dikerjakan. Yah, mereka memang jauh dari berkecukupan. Pakaian compang-camping yang mereka kenakan saja didapat dari sumbangan orang-orang kota yang sesekali mengunjungi kebun.
Nama-nama mereka pun sederhana. Ujang, Cecep, Rohim, Wali, Ropii, nama yang semakin sulit ditemukan di kota metropolitan seperti Jakarta. Di siang hari begini lebih sulit lagi untuk menemukan orangnya. Karena selama masih ada sinar, mereka hampir tak pernah kembali ke gubuk. Mencetak lahan, mengurus tanaman, berburu kancil di hutan dan menebang kayu. Bahkan di malam terang bulan ada yang
masih pergi mencangkul. Sebab, disini lepas jam 10-11 siang sinar matahari terasa membakar kulit.
***
Masing-masing petani disini umumnya minimal memiliki satu hektar lahan. Mereka membuka lahan yang berupa hutan dan semak dengan modal seadanya. Mencetak lahan bukan hal mudah dan bisa dikerjakan sendirian. Untuk membabat semak kita harus memburu waktu. Tanah yang sudah dibabati harus segera dicangkul kasar untuk mengangkat akar, sebab kalau tidak, gerimis atau embun saja akan dengan cepat
menumbuhkan tunas-tunas baru. Apalagi tanah hutan ini sangat subur. Dalam hitungan hari, semak yang kita babat akan tumbuh setinggi pinggang.
Lebih berat lagi bila di lahan kita ada rumpun bambu hutan. Tak cukup waktu sebulan membabatnya. Buluh bambu sebesar2 paha ini ruas-ruasnya penuh duri sepanjang telunjuk. Sol sepatu boot yang tebalpun mampu ditembusnya. Serat batang bambu sangat alot. Bilah kampak sebesar dua telapak tangan ompong melawan bonggol-bonggol yang mengambang di atas permukaan tanah. Cara terbaik, mau tidak mau harus menggunakan api. Semak-semak yang mengering kita tumpuk di atasnya lalu kita bakar. Bila rumpunnya besar, bonggol bambu itu akan menyala selama berminggu-minggu. Bahkan setelah dihajar hujan deras baranya tetap hidup dan kembali terbakar di siang hari.
Setelah semua semak dan pokok kayu rebah, segalanya tidak langsung menjadi mudah. Beberapa buah cangkul patah, sisanya rompal disana sini karena menghantam akar2 di bawah permukaan tanah. Otot punggung dan pinggang ngilu. Sendi-sendi sekujur badan serasa terurai. Inilah saat para perempuan membalurkan minyak kelapa yang dicampur sari tumbuhan di tubuh suaminya. Sejurus kemudian malam pun hanyut diiringi alunan langgam jawa dari radio butut yang tersangkut di bilik bambu.
***
Bagi petani di tanah-tanah pedalaman, istri, sebatang rokok, teh atau kopi manis serta radio transistor adalah kemewahan yang berharga. Tapi bagi para duda dan kaum bujangan, kerja keras hanya akan membuat rasa haus akan perempuan semakin menggelegak. Kulit halus dan bau perempuan memang obat yang manjur otot-otot petani yang kerasnya bagai baja.
Di gubuk sepi tengah ladang atau di ladang jagung yang rimbun janda-janda miskin dapat menyebarkan kasihnya. Bagaikan titik hujan yang membasahi bukit2 kering ini. Tak ada seorangpun yang keberatan membagi sekantung gabah demi cinta selama tidak mengganggu suami orang.
Sembari memanggul sekarung hasil ladang aku melangkah cepat menuju pulang karena harus mengejar bus terakhir ke Jakarta. Meninggalkan sekelompok perempuan menor yang baru saja keluar dari gubuk tetangga. Masih sejam lagi berjalan kaki sebelum sampai di jalan aspal. Namun Tuhan masih sempat memberiku satu lagi pelajaran kehidupan.
Sayang, ini bukan tempat bersantai. Di "leuweung", begitu orang dusun menyebutnya, hanya ada kerja keras. Tidak ada sedikitpun waktu untuk rehat. Lihatlah, di siang terik ini ibu2 menumbuk padi, menjemur kacang atau memberi makan ayam. Selalu ada yang mesti dikerjakan. Yah, mereka memang jauh dari berkecukupan. Pakaian compang-camping yang mereka kenakan saja didapat dari sumbangan orang-orang kota yang sesekali mengunjungi kebun.
Nama-nama mereka pun sederhana. Ujang, Cecep, Rohim, Wali, Ropii, nama yang semakin sulit ditemukan di kota metropolitan seperti Jakarta. Di siang hari begini lebih sulit lagi untuk menemukan orangnya. Karena selama masih ada sinar, mereka hampir tak pernah kembali ke gubuk. Mencetak lahan, mengurus tanaman, berburu kancil di hutan dan menebang kayu. Bahkan di malam terang bulan ada yang
masih pergi mencangkul. Sebab, disini lepas jam 10-11 siang sinar matahari terasa membakar kulit.
***
Masing-masing petani disini umumnya minimal memiliki satu hektar lahan. Mereka membuka lahan yang berupa hutan dan semak dengan modal seadanya. Mencetak lahan bukan hal mudah dan bisa dikerjakan sendirian. Untuk membabat semak kita harus memburu waktu. Tanah yang sudah dibabati harus segera dicangkul kasar untuk mengangkat akar, sebab kalau tidak, gerimis atau embun saja akan dengan cepat
menumbuhkan tunas-tunas baru. Apalagi tanah hutan ini sangat subur. Dalam hitungan hari, semak yang kita babat akan tumbuh setinggi pinggang.
Lebih berat lagi bila di lahan kita ada rumpun bambu hutan. Tak cukup waktu sebulan membabatnya. Buluh bambu sebesar2 paha ini ruas-ruasnya penuh duri sepanjang telunjuk. Sol sepatu boot yang tebalpun mampu ditembusnya. Serat batang bambu sangat alot. Bilah kampak sebesar dua telapak tangan ompong melawan bonggol-bonggol yang mengambang di atas permukaan tanah. Cara terbaik, mau tidak mau harus menggunakan api. Semak-semak yang mengering kita tumpuk di atasnya lalu kita bakar. Bila rumpunnya besar, bonggol bambu itu akan menyala selama berminggu-minggu. Bahkan setelah dihajar hujan deras baranya tetap hidup dan kembali terbakar di siang hari.
Setelah semua semak dan pokok kayu rebah, segalanya tidak langsung menjadi mudah. Beberapa buah cangkul patah, sisanya rompal disana sini karena menghantam akar2 di bawah permukaan tanah. Otot punggung dan pinggang ngilu. Sendi-sendi sekujur badan serasa terurai. Inilah saat para perempuan membalurkan minyak kelapa yang dicampur sari tumbuhan di tubuh suaminya. Sejurus kemudian malam pun hanyut diiringi alunan langgam jawa dari radio butut yang tersangkut di bilik bambu.
***
Bagi petani di tanah-tanah pedalaman, istri, sebatang rokok, teh atau kopi manis serta radio transistor adalah kemewahan yang berharga. Tapi bagi para duda dan kaum bujangan, kerja keras hanya akan membuat rasa haus akan perempuan semakin menggelegak. Kulit halus dan bau perempuan memang obat yang manjur otot-otot petani yang kerasnya bagai baja.
Di gubuk sepi tengah ladang atau di ladang jagung yang rimbun janda-janda miskin dapat menyebarkan kasihnya. Bagaikan titik hujan yang membasahi bukit2 kering ini. Tak ada seorangpun yang keberatan membagi sekantung gabah demi cinta selama tidak mengganggu suami orang.
Sembari memanggul sekarung hasil ladang aku melangkah cepat menuju pulang karena harus mengejar bus terakhir ke Jakarta. Meninggalkan sekelompok perempuan menor yang baru saja keluar dari gubuk tetangga. Masih sejam lagi berjalan kaki sebelum sampai di jalan aspal. Namun Tuhan masih sempat memberiku satu lagi pelajaran kehidupan.
Saturday, June 05, 2004
Hadiah kecil dari sang udang
Entah kapan krisis ekonomi akan berakhir. Sudah beberapa tahun situasi tidak juga membaik. Memang kelihatannya kehidupan sudah mulai bergulir. Di jam-jam sibuk terutama pagi hari sudah nampak orang berdesakan dalam bus kota menuju tempat bekerja. Pedagang kaki lima juga bermunculan dimana2. Tak seperti tahun 1998 lalu. Semuanya sepi, bukan saja karena ekonomi yang morat marit dan keamanan yang rawan. Namun bagi kelas pekerja seperti kami tak banyak yang berubah, waktu tetap bergulir sangat lambat. Kadang seperti berhenti mendadak atau bahkan malah bergerak mundur.
Sudah beberapa tahun sejak aku lulus kuliah dan bekerja di beberapa tempat. Magang di sebuah surat kabar, radio, di sebuah perusahaan ekspor impor yang tak begitu jelas statusnya, sebuah konsultan bisnis kecil, dan terakhir di "law firm" yang cukup punya nama di jakarta.
Peristiwa itu memberikan pelajaran yang mahal buat ku. Perusahaan memutus kontrak secara sepihak karena aku berusaha memperjuangkan uang transport yang dipotong separuhnya dari yang disepakati. Baru sepenuhnya kusadari bahwa pengalaman kerja yang panjang serta ijazah dari universitas terbaik di negeri ini tak akan mengubah kenyataan bahwa kami adalah buruh semata. Yang bila menghadapi majikan, sama tak tak berdayanya dengan budak hitam di kebun tebu kompeni.
***
Pagi ini seperti biasanya Jakarta bergerak cepat, seakan matahari berlari ke puncak langit. Aku juga tak suka menunggu. Aku segera menyiapkan kantung2 plastik, karet gelang, sepotong selang dan sejurus
kemudian berangkat menuju Depok.
"Bawa apaan mas?" tanya kondektur.
"Gas" Jawabku.
"Buat apaan?"
"Oh ini oksigen, buat bawa ikan"
"Ikan apa? Lohan ya?"
"Sebenarnya bukan ikan sih, tapi bawa udang idup".
Ia orang kesekian kali yang terheran2 melihat aku membawa kantung plastik besar yang melembung kosong. Biasanya percakapan akan menjadi panjang. Kadang agak malu juga bercerita, apalagi kalau sedang banyak mahasiswi cantik yang turut menyimak obrolan kami sepanjang perjalanan ke Depok dengan pandangan iba. Tapi kerja keras adalah obat mujarab bagi orang kecil. Daripada nganggur tak berkarya kami memilih menjalaninya dengan penuh kesabaran.
***
Mengirim udang air tawar dalam keadaan hidup ke pusat kota juga merupakan tantangan yang penuh aral. Di awal pengiriman, hampir semua mati karena kepanasan. Maklum kami tidak punya kendaraan. Setiap
pengiriman kami memanggul berkilo2 udang serta airnya dari tepi danau menuju jalan raya, menaikkan ke atas bus, disambung lagi dengan angkot. Kendaraan umum pun tak semuanya bermurah hati menerima
kami yang kotor berlumpur dan basah.
Setelah pulang otak kami berputar mencari cara yang lebih baik utk pengiriman berikutnya. Kami mencoba menggunakan es batu, karung/dacron basah dan lain-lain. Tapi tanpa sarana transportasi yang memadai tak banyak yang bisa dilakukan. Sedangkan waktu pengiriman sulit diatur karena sangat tergantung hasil tangkapan alam. Jumlahnya sendiri cenderung menurun karena mengandalkan perkembangbiakan alamiah.
Sebagai pengepul, sebenarnya hal itu tak jadi masalah. Permintaan yang tinggi mengakibatkan harganya juga ikut naik. Sekilo udang harganya 45ribu-an. Resiko pengiriman 10 persen ikut ditanggung pembeli. Apabila pasokan sedang turun, tentu saja kami minta kenaikan yang wajar dari pembeli. Di musim kemarau seperti saat itu semua orang akan maklum karena perairan mengering. Toh pengecer mendapat margin keuntungan yang lebih besar dari kami sehingga harga masih tetap masuk.
***
Yang menjadi masalah justru persaingan di lapangan. Pengepul kecil seperti kami sangat lemah bersaing dengan pemodal besar. Bayangkan saja, selain punya mobil pengangkut, mereka juga punya tim "nelayan" udang yang berpengalaman di banyak medan. Tim yang terdiri dari 5-10 orang per kelompok itu siap bergerilya dari danau atau situ yang satu ke tempat lain mulai dari jabotabek, subang hingga purwakarta. Dengan bermodal tenda plastik lusuh, peralatan masak seadanya serta botol2 aqua sebagai perangkap udang mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Seperti layaknya suku2 nomaden di pedalaman.
Kami terpaksa bersaing mendapatkan dagangan dengan boss mereka yang cukong2 besar di jakarta utara, barat dan tangerang. Untuk itu pagi-pagi buta kami harus berangkat menyusuri semak2 hutan tepi danau. Bahkan tengah malam kami pergi ke karamba apung mengambil sisa tangkapan udang dari warga kampung.
Usaha memang penuh lika-liku. Kadang untung kadang buntung tak pernah ada yang tau. Ada pelanggan yang baik memberikan bonus atau sekedar tambahan ongkos, tapi ada juga pencari udang yang suka ngemplang utang. Entah di gedung2 tinggi yang mewah, atau di dangau2 reot tepi danau, kami temui berjuta2 wajah dan perangai. Sembari menyambung hidup kami menuai pelajaran kehidupan yang nilainya tak terukur dengan uang.
Sudah beberapa tahun sejak aku lulus kuliah dan bekerja di beberapa tempat. Magang di sebuah surat kabar, radio, di sebuah perusahaan ekspor impor yang tak begitu jelas statusnya, sebuah konsultan bisnis kecil, dan terakhir di "law firm" yang cukup punya nama di jakarta.
Peristiwa itu memberikan pelajaran yang mahal buat ku. Perusahaan memutus kontrak secara sepihak karena aku berusaha memperjuangkan uang transport yang dipotong separuhnya dari yang disepakati. Baru sepenuhnya kusadari bahwa pengalaman kerja yang panjang serta ijazah dari universitas terbaik di negeri ini tak akan mengubah kenyataan bahwa kami adalah buruh semata. Yang bila menghadapi majikan, sama tak tak berdayanya dengan budak hitam di kebun tebu kompeni.
***
Pagi ini seperti biasanya Jakarta bergerak cepat, seakan matahari berlari ke puncak langit. Aku juga tak suka menunggu. Aku segera menyiapkan kantung2 plastik, karet gelang, sepotong selang dan sejurus
kemudian berangkat menuju Depok.
"Bawa apaan mas?" tanya kondektur.
"Gas" Jawabku.
"Buat apaan?"
"Oh ini oksigen, buat bawa ikan"
"Ikan apa? Lohan ya?"
"Sebenarnya bukan ikan sih, tapi bawa udang idup".
Ia orang kesekian kali yang terheran2 melihat aku membawa kantung plastik besar yang melembung kosong. Biasanya percakapan akan menjadi panjang. Kadang agak malu juga bercerita, apalagi kalau sedang banyak mahasiswi cantik yang turut menyimak obrolan kami sepanjang perjalanan ke Depok dengan pandangan iba. Tapi kerja keras adalah obat mujarab bagi orang kecil. Daripada nganggur tak berkarya kami memilih menjalaninya dengan penuh kesabaran.
***
Mengirim udang air tawar dalam keadaan hidup ke pusat kota juga merupakan tantangan yang penuh aral. Di awal pengiriman, hampir semua mati karena kepanasan. Maklum kami tidak punya kendaraan. Setiap
pengiriman kami memanggul berkilo2 udang serta airnya dari tepi danau menuju jalan raya, menaikkan ke atas bus, disambung lagi dengan angkot. Kendaraan umum pun tak semuanya bermurah hati menerima
kami yang kotor berlumpur dan basah.
Setelah pulang otak kami berputar mencari cara yang lebih baik utk pengiriman berikutnya. Kami mencoba menggunakan es batu, karung/dacron basah dan lain-lain. Tapi tanpa sarana transportasi yang memadai tak banyak yang bisa dilakukan. Sedangkan waktu pengiriman sulit diatur karena sangat tergantung hasil tangkapan alam. Jumlahnya sendiri cenderung menurun karena mengandalkan perkembangbiakan alamiah.
Sebagai pengepul, sebenarnya hal itu tak jadi masalah. Permintaan yang tinggi mengakibatkan harganya juga ikut naik. Sekilo udang harganya 45ribu-an. Resiko pengiriman 10 persen ikut ditanggung pembeli. Apabila pasokan sedang turun, tentu saja kami minta kenaikan yang wajar dari pembeli. Di musim kemarau seperti saat itu semua orang akan maklum karena perairan mengering. Toh pengecer mendapat margin keuntungan yang lebih besar dari kami sehingga harga masih tetap masuk.
***
Yang menjadi masalah justru persaingan di lapangan. Pengepul kecil seperti kami sangat lemah bersaing dengan pemodal besar. Bayangkan saja, selain punya mobil pengangkut, mereka juga punya tim "nelayan" udang yang berpengalaman di banyak medan. Tim yang terdiri dari 5-10 orang per kelompok itu siap bergerilya dari danau atau situ yang satu ke tempat lain mulai dari jabotabek, subang hingga purwakarta. Dengan bermodal tenda plastik lusuh, peralatan masak seadanya serta botol2 aqua sebagai perangkap udang mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Seperti layaknya suku2 nomaden di pedalaman.
Kami terpaksa bersaing mendapatkan dagangan dengan boss mereka yang cukong2 besar di jakarta utara, barat dan tangerang. Untuk itu pagi-pagi buta kami harus berangkat menyusuri semak2 hutan tepi danau. Bahkan tengah malam kami pergi ke karamba apung mengambil sisa tangkapan udang dari warga kampung.
Usaha memang penuh lika-liku. Kadang untung kadang buntung tak pernah ada yang tau. Ada pelanggan yang baik memberikan bonus atau sekedar tambahan ongkos, tapi ada juga pencari udang yang suka ngemplang utang. Entah di gedung2 tinggi yang mewah, atau di dangau2 reot tepi danau, kami temui berjuta2 wajah dan perangai. Sembari menyambung hidup kami menuai pelajaran kehidupan yang nilainya tak terukur dengan uang.
Subscribe to:
Posts (Atom)