Sulit dipercaya ada tempat seperti ini hanya sejauh 1,5 jam dari jakarta. Sepi, tenang, tak ada suara apa2 selain gemerisik dedaunan tertiup angin. Tak ada hiruk pikuk kota, dering telepon, dan suara televisi yang penuh persoalan politik memusingkan. Sejauh mata memandang terlihat bukit2 hijau dipenuhi padi gogo dan palawija. Gubuk2 petani disini saling berjauhan, paling dekat satu atau dua hektar dari tempat kami, dipisahkan sungai-sungai kecil yang jernih.
Sayang, ini bukan tempat bersantai. Di "leuweung", begitu orang dusun menyebutnya, hanya ada kerja keras. Tidak ada sedikitpun waktu untuk rehat. Lihatlah, di siang terik ini ibu2 menumbuk padi, menjemur kacang atau memberi makan ayam. Selalu ada yang mesti dikerjakan. Yah, mereka memang jauh dari berkecukupan. Pakaian compang-camping yang mereka kenakan saja didapat dari sumbangan orang-orang kota yang sesekali mengunjungi kebun.
Nama-nama mereka pun sederhana. Ujang, Cecep, Rohim, Wali, Ropii, nama yang semakin sulit ditemukan di kota metropolitan seperti Jakarta. Di siang hari begini lebih sulit lagi untuk menemukan orangnya. Karena selama masih ada sinar, mereka hampir tak pernah kembali ke gubuk. Mencetak lahan, mengurus tanaman, berburu kancil di hutan dan menebang kayu. Bahkan di malam terang bulan ada yang
masih pergi mencangkul. Sebab, disini lepas jam 10-11 siang sinar matahari terasa membakar kulit.
***
Masing-masing petani disini umumnya minimal memiliki satu hektar lahan. Mereka membuka lahan yang berupa hutan dan semak dengan modal seadanya. Mencetak lahan bukan hal mudah dan bisa dikerjakan sendirian. Untuk membabat semak kita harus memburu waktu. Tanah yang sudah dibabati harus segera dicangkul kasar untuk mengangkat akar, sebab kalau tidak, gerimis atau embun saja akan dengan cepat
menumbuhkan tunas-tunas baru. Apalagi tanah hutan ini sangat subur. Dalam hitungan hari, semak yang kita babat akan tumbuh setinggi pinggang.
Lebih berat lagi bila di lahan kita ada rumpun bambu hutan. Tak cukup waktu sebulan membabatnya. Buluh bambu sebesar2 paha ini ruas-ruasnya penuh duri sepanjang telunjuk. Sol sepatu boot yang tebalpun mampu ditembusnya. Serat batang bambu sangat alot. Bilah kampak sebesar dua telapak tangan ompong melawan bonggol-bonggol yang mengambang di atas permukaan tanah. Cara terbaik, mau tidak mau harus menggunakan api. Semak-semak yang mengering kita tumpuk di atasnya lalu kita bakar. Bila rumpunnya besar, bonggol bambu itu akan menyala selama berminggu-minggu. Bahkan setelah dihajar hujan deras baranya tetap hidup dan kembali terbakar di siang hari.
Setelah semua semak dan pokok kayu rebah, segalanya tidak langsung menjadi mudah. Beberapa buah cangkul patah, sisanya rompal disana sini karena menghantam akar2 di bawah permukaan tanah. Otot punggung dan pinggang ngilu. Sendi-sendi sekujur badan serasa terurai. Inilah saat para perempuan membalurkan minyak kelapa yang dicampur sari tumbuhan di tubuh suaminya. Sejurus kemudian malam pun hanyut diiringi alunan langgam jawa dari radio butut yang tersangkut di bilik bambu.
***
Bagi petani di tanah-tanah pedalaman, istri, sebatang rokok, teh atau kopi manis serta radio transistor adalah kemewahan yang berharga. Tapi bagi para duda dan kaum bujangan, kerja keras hanya akan membuat rasa haus akan perempuan semakin menggelegak. Kulit halus dan bau perempuan memang obat yang manjur otot-otot petani yang kerasnya bagai baja.
Di gubuk sepi tengah ladang atau di ladang jagung yang rimbun janda-janda miskin dapat menyebarkan kasihnya. Bagaikan titik hujan yang membasahi bukit2 kering ini. Tak ada seorangpun yang keberatan membagi sekantung gabah demi cinta selama tidak mengganggu suami orang.
Sembari memanggul sekarung hasil ladang aku melangkah cepat menuju pulang karena harus mengejar bus terakhir ke Jakarta. Meninggalkan sekelompok perempuan menor yang baru saja keluar dari gubuk tetangga. Masih sejam lagi berjalan kaki sebelum sampai di jalan aspal. Namun Tuhan masih sempat memberiku satu lagi pelajaran kehidupan.
Sunday, June 06, 2004
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment