Wednesday, June 09, 2004

Sayangku Jane

Alasan Jane menikahi suaminya memang karena kekayaan. Ya, gaya Franky memang sangat meyakinkan meski sejak awal Jane sama sekali tak pernah tau apa pekerjaan atau bisnisnya. Yang diketahuinya hanya makan di tempat2 mewah, hangout di pub bergengsi dan kencan di hotel terbaik ibukota.

Jane selalu terkesan dengan cara kekasihnya memanjakan dirinya. Setelah dinner yang romantis, Franky selalu memberikan sebentuk perhiasan indah kepadanya. Kalung, giwang, atau seuntai rantai kemilau yang melingkari pergelangan kakinya. Di kamar hotel yang redup, Jane akan dikejutkan dengan sepasang lingerie sexy, mawar merah, parfum, atau sekedar sebotol champagne on the rocks. Semuanya tertata di tempat2 eksotis yang tak mungkin terlewat dari mata Jane.

Wanita ini, Jane, adalah seorang dewi. Dalam jubah tidur terawang dan lingerie yang indah ia seperti dongeng yang mewujud. Lekuk tubuhnya yang padat dan melengkung indah sudah sepantasnya mendapatkan perhiasan terbaik. Dan kekasihnya merupakan satu dari sangat sedikit lelaki yang bisa menyentuhnya. Hati Jane cinta caranya merayu. Malam ini sekali lagi sang dewi memaparkan rahasia dunia pada kekasihnya.

***

Pada dasarnya Jane bukan gadis penggoda. Bila kau mengenalnya, kau akan tau bahwa ia hanyalah seorang gadis lugu yang haus kasih sayang. Bila kau menjadi temannya, ia akan menyanjungmu, menelponmu berjam-jam, menemanimu shopping dengan semangat, dan tak lupa menjadi kritikus fashion yang terbaik buatmu. Tapi esoknya ia akan mendukungmu habis2an untuk mengencani gadis2 terbaik di kota ini.

Jane juga gadis yang intim. Ia hangat dan begitu dekat dengan sobat-sobatnya. Ia sangat menikmati untuk menyentuhmu. Mengusap rambut, merangkul dan mendekapmu erat2 melindungimu dari angin malam yang dingin. Begitupun sebaliknya, aku sering mendekapnya berlama-lama. Meski tau hasrat kami sama-sama membara, Jane sama sekali tak pernah keberatan. Kami seperti saudara dan belum terlintas untuk mengubahnya.

Begitu lama kami bersahabat, tumbuh besar bersama. Aku dari sudut yang padat kota ini, sedang Jane setahuku selalu tinggal di bagian terbaik. Sesekali waktu Jane menghentikan laju mobilnya hanya untuk mengajakku berangkat bersama ke sekolah. Setelah itu ia selalu menyuruh Pak Samin supirnya untuk menjemputku di pertigaan yang sama setiap paginya.

Saat waktunya keluar main, Jane akan membagi bekal dari mamanya. Jane memang pernah bercerita pada mamanya bahwa Mak ku selalu berpesan agar aku harus kuat menahan lapar agar nanti bisa jadi orang. Sejak itulah sobatku Jane mendapat bekal lebih banyak. Meski kulitku legam, Mama Jane sayang padaku. Aku anak lelaki yang tak pernah dilahirkannya.

***

Bertahun-tahun sejak telpon Jane terakhir, akhirnya aku berjumpa lagi dengannya. Aku bahkan masih ingat tangisnya yang tertahan waktu itu. Ternyata keluarga yang indah itu tak sepenuhnya kupahami. Selama ini Jen hidup dalam kekerasan dan kata-kata yang tak pantas dikatakan di depan anak selembut itu. Papanya mencandu perempuan dan judi. Sejak telepon itu Jen bertemu kawan-kawan baru gadis2 gaul yang menghabiskan hidupnya menguber2 para yuppies atau expat. Mereka jadi merasa terlalu sophisticated untuk mengobrol dengan kerah biru sepertiku.

Ah Jane ku tersayang... Kedua mata indahnya mengalirkan airmata begitu derasnya. Dengan pandangan kebisuan yang dalam ia menggigit bibirnya kuat2. Tubuhnya terguncang2 liar. Tapi tak seinchipun tubuhnya yang kosong. Para lelaki hitam buncit dengan buas mengerubunginya bagai lalat kepada bangkai.

"Ampun pak, jangan pukul saya pak... Pake aja istri saya pak asal saya jangan dipukulin..." pria bertelanjang dada itu itu merengek2 di lantai polres. Seorang polisi baru saja mengayunkan sepatu botnya ke tubuh pesakitan. Wajahnya tak keruan. Tapi pria itu akan kembali perlente esok hari.

Sedangkan aku mungkin harus menangkapnya kembali di lain waktu. Seperti saat Franky menggesekkan perhiasan seharga 85 juta rupiah dari kartu haramnya malam ini.

Tapi aku tak akan pernah mendapatkan Jane ku lagi. Dengan airmata membasahi pipiku aku melangkah pulang. Sejurus kemudian roda-roda taksi berputar menjauh meninggalkan beribu ancaman dari polisi-polisi jalang.

"i'm sorry, Jane, Goodbye..."


Jakarta, 9 Juni 2004
Buat adik gw yg sedang bekerja di Risk Management Unit sebuah bank di Jakarta.
Cerita ini fiksi belaka, semoga nggak akan terjadi dimanapun di bumi ini.

No comments: