Kami sudah menduga kabut akan menghambat perjalanan kami. Tapi tak seorangpun bisa menyangka kabut datang demikian tebal menutupi jalan didepan kami. Langit malam yang indah masih bisa terlihat disela2 pucuk pepohonan, tapi cahaya bulan tak mampu menembus asap putih yang mengambang memenuhi permukaaan tanah. Dengan berbekal nyala senter kami berjalan tersaruk-saruk melewati jalan setapak yg tertutup semak belukar. Petugas di pos pendakian mengatakan kami salah satu tim pertama yang mendaki Semeru musim ini, setelah beberapa bulan ditutup untuk pemulihan ekosistem.
Kaki Rio menendang-nendang kedepan, sekan meraba2 jalan yang ada dibawah rerumputan. Senternya sudah sejak tadi meredup karena basah. Namun ia tetap berjalan cepat menyusul rekan-rekan yang berada satu bukit di depan.
"Ooooi", Rio meneriakan sesuatu.
"Ooooi", Suara senada menyahut didepan dan menyusul satu lagi di belakang. Hatinya sedikit tenang. Ia tidak terpisah terlalu jauh dari yang lain. Ia bukan orang bernyali kecil, tapi petugas jagawana tadi mengingatkan adanya jejak tahi macan tutul di daerah ini beberapa hari yang lalu. Meski naluri dan indra binatang akan menjauhi manusia, tapi ia tak mau mengambil banyak resiko. Apalagi di sebelah kiri mengangga jurang yang dalam dan dipenuhi belukar.
Celana nya basah hingga ke pinggang oleh embun, kaus yg dikenakannya juga basah kuyup oleh keringat. Dibetulkannya topi baseballnya sebentar lalu beranjak maju. Ia akan menaklukan satu tanjakan di depan baru mulai beristirahat. Terlihat lamat-lamat beberapa cahaya di atas. Rio bergegas. Rupanya Rudi dan kawan-kawan sedang beristirahat juga. Dijatuhkannya ranselnya, lalu duduk berkeliling.
"Sedikit lagi nyampe Jack. Tuh tinggal naek dikit lagi trus belok kanan sampe di Ranu Kumbolo", Razak menyodorkan sebotol aqua. "Kita ngecamp di Ranu Kumbolo, baru besok lanjut ke Arcopodo. Kalo nggak sempet paling kita ngecamp di kalimati".
Rio mengangguk sembari mengatur nafasnya pelan-pelan. Kondensasi mengubah kabut menetes menjadi gerimis besar-besar. Kami berlima masih enggan bangkit, dan berbincang2 sambil mengunyah "kuncian" ala kadarnya. Dingin mulai merasuk kulit karena kami tak bergerak. Sesekali kami tergelak saling mengejek.
"Oooi", suara Joe terdengar begitu dekat. Pantangan memanggil nama kawan kita di hutan rimba. Takut danyang, peri perayangan mengenalinya dan meniru teriakan kita untuk menyesatkan.
Rudi bangkit mengangkat ransel, "Yuk lanjut, jam dua belas nyampe di Ranu Kumbolo, Joe udah deket tuh". Kami melanjutkan perjalanan. Tak berapa lama, terlihat hamparan kabut di lembah yang luas. Warna putihnya begitu misterius dikaki kegelapan malam. "Itu Ranu Kumbolo, pesanggrahan sang Puntodewo".
Rio terpana. Sementara angin bertiup menyusuri lereng turun menuju lembah. Tubuh kami yang panas kelelahan tak dapat lagi menahan dinginnya hawa gunung. Danau Ranu Kumbolo terbentang diatas ketinggian lebih dari 2600m dpl. Konon di saat hari-hari terdingin kemarau, kita akan melihat salju turun.
Di kejauhan terlihat api unggun, lampu-lampu dan kompor para pendaki yang sedang ngecamp. Inilah saat terbaik menikmati kopi panas dan makanan hangat sembari mendirikan tenda dan mengatur tempat menggelar kantung tidur yang nyaman. Rio tak tahan lagi, dengan sisa-sisa nafasnya ia berlari menuruni lembah yang licin karena embun. Beberapa kali ia terpeleset, namun ia bangkit dan menyusul sobatnya.
"Kita jangan ngecam disini man! Lanjut ke depan lagi, ada pos pendakian. Kita ngecamp di dalem pos aja kalo masih ada tempat", seru Hanif.
"Ayo deh, buruan. Gila dingin banget nih!", jawab Rio menggigil. Dalam kondisi seperti itu, memang lebih baik terus bergerak agar tubuh tetap panas.
Akhirnya tepat tengah malam mereka tiba di pantai Ranu Kumbolo. Jarak pandang hanya beberapa meter. Rio dkk segera membongkar ransel dan mendirikan tenda. Yang lain menyalakan kompor dan mulai menjerang air untuk membuat kopi dan mie instant. Telapak tangan kami kebas kedinginan. Begitu tenda tegak berdiri, kami berganti pakaian. Hanya sepatu yang terpaksa tetap kami kenakan. Setelah makan, baru bisa dilepas untuk beristirahat masuk kantung tidur hingga pagi.
***
Ini bukan perjalanan pertama Rio. Sebelumnya ia pernah menjejakkan kaki ke beberapa puncak gunung. Tapi Semeru, atau disebut Mahameru adalah tanah tertinggi di tanah Jawa. Ia belum pernah menjadi siapa-siapa sebelumnya. Barangkali kali ini ia bisa menjadi yang tertinggi. Ia ingin merasakan kemewahan itu meski hanya sesaat.
Namun didalam lubuk hatinya tertanam perasaan yang mendalam. Harga diri Rio sedang berada di titik terendah. Cintanya kepada gadis yang menarik hatinya tak bertepuk. Sesungguhnya Rahma belum lagi memberikan jawaban. Gadis itu ada hati dengannya, tapi ia merasa masih terlalu muda. Ia perlu waktu beberapa saat untuk menikmati masa remajanya sebelum mengikatkan cintanya. Rio bimbang, rasa takut akan kehilangan Rahma mendominasi pikirannya. Ia telah kecewa sebelum tau jawaban sesungguhnya.
Pendaki adalah segelintir makhluk romantis. Mereka memang bukan pesolek yang mempesona lewat rupa, atau penyair yang merayu lewat kata. Mereka anak alam yang meluapkan cinta dengan melihat keindahan Tuhan dari dekat. Semilir angin gunung adalah jatidirinya yang sejati.
"Rio, ketenangan itu adanya disini nih, di dada loe sendiri, di hati loe", ucap Lina, sobat karibnya tersenyum. "Bukan jauh-jauh naek gunung, bikin capek. Cari bahaya, cari masalah."
"Aku setuju Lin, tapi aku nggak betah disko, main bilyar atau nongkrong di kafe berlama2 untuk menghilangkan penat disini," jawabnya. Ia meletakkan telapak tangannya ke dada. "Saat ini aku ingin pergi jauh, melihat dunia dari puncak gunung. Mungkin itu terdengar seperti melarikan diri dari kenyataan buatmu. Tapi itu satu2nya hal yang bisa menghiburku saat ini."
Lina terbahak, ia memanggil pelayan dan memesan minuman buat Rio. "On my treat, friends". Begitu katanya.
***
Semua sudah berkemas. Rio dan kawan-kawan menyempatkan diri berfoto di latar Ranu Kumbolo. Sinar matahari membias diseberang, pantulannya membentuk huruf X di atas air. Cuaca sangat bagus, langit biru bersih menyinari tebing-tebing hijau yang melingkari danau ini. Beberapa pemancing menarik kailnya yang digigit ikan mujair. Seorang bapak berteriak gembira, mendapatkan ikan karper yang cukup besar.
Jam 10 siang, kabut sesekali menutup permukaan air. Kami segera berangkat. Perjalanan ini dimulai dengan mendaki Tanjakan Cinta. Sebuah tanjakan panjang yang melindungi padang savana luas, Oro-oro Ombo disebaliknya.
"Nanjaknya pelan-pelan aja. Jangan sampai berhenti", Mas Boed berteriak. Konon siapa yang dapat melewati tanjakan ini tanpa berhenti, ia akan dikaruniai cinta. Dan sejak bertahun-tahun para pendaki menapaki jalurnya, hanya sedikit yang bisa mencapai puncaknya tanpa istirahat.
Tidak juga buat Rio. Ia melepaskan ranselnya untuk minum dan beristirahat sejenak setibanya di puncak. Namun siapapun yang pertama kali menciptakan kisah itu, pasti ia orang yang beruntung karena dapat menikmati pemandangan dibalik tantangan itu. Oro-oro Ombo dipenuhi bunga2 hutan dan rumput setinggi badan dilatari pokok-pokok pinus kaki Semeru. Dari kejauhan terlihat terlihat sobatnya meyusuri jalan setapak membelah padang. Disinilah salah satu padang perburuan harimau jawa di jaman dahulu.
***
"Hayoo jack dikit lagiiii!", Ardi berteriak memberi semangat. Mereka memulai "summit attack" sejak jam satu malam tadi dari kali mati dimana mereka membuka camp disela pohon pinus gunung. Memang bukan tempat yang benar-benar ideal. Namun jauh lebih baik dari padang terbuka di kali mati. Apa boleh buat, rencana mereka membuka camp di Arco Podo terpaksa diurungkan. Beberapa pendaki yang baru saja turun mengabarkan camp di Arcopodo penuh. Hampir tak mungkin membuka tenda untuk 15 orang lagi. Setelah makan malam, semua beristirahat, sebagian terpaksa bergadang karena harus bangun lebih awal untuk menyimpan waktu lebih banyak untuk muncak. Karena waktu sangat terbatas, lepas jam 9an arah angin berubah dan membawa asap letusan kawah yang beracun ke puncak mahameru. Tak ada yang benar2 bisa beristirahat tenang malam itu.
Berbekal makanan minum seadanya seluruh rombongan muncak jam 1 malam. Kali ini mesti ekstra hati2, jalur ke Arcopodo banyak yang longsor. Salah pijak akan langsung terguling ke sungai lahar. Kepala terantuk batu, nyawa taruhannya. Lepas arcopodo, kami melewati Kelik. Salah satu titik paling berbahaya menuju puncak Semeru. Tengkuk bergidik dan hati menciut melihat nisan "in memoriam" begitu banyaknya. Kelik adalah salah satu korban, ia tak pernah diketemukan.
***
Rio melihat sebuah celah besar ditebing. Ia harus mencapai celah itu. Ia menghitung kuat kuat dalam hati.
"Satu, Dua, Tiga!", tiga langkah naik, dua langkah merosot turun. 1,5 kilometer dari Cemoro tunggal, batas vegetasi, 7 jam naik tapi ia belum lagi mencapai puncak. Batu-batu lahar sebesar kerbau dan abu vulkanis yang halus dan licin sangat tak bersahabat. Tangannya membeku memegang abu dan batu yang dingin lembab.
Ia menengok ke bawah, Doni tak kelihatan. Ia tertinggal jauh. Mereka tak beruntung dapat melihat matahari terbit di puncak. Tak apa, masih tersisa barang dua jam untuk bisa ke sana. Rio berlari merangkak, membenamkan bootsnya di abu vulkanis yang halus. Sambil sesekali merunduk menghindari asap dan kerikil yang terlontar dari letusan kawah.
"Selamat Rio! Kamu berhasil mencapai puncak tertinggi di Jawa!", Mas Boed menjabat erat tangannya. "Mulai saat ini puncak gunung yang lain di tanah ini tak terlalu berarti!"
Rio tak mampu berkata-kata. Mungkin ia ingin menangis, tapi ia hanya bisa tertawa gembira. Ia jabat tangan semua sobatnya dan pendaki-pendaki lain. Dengan tersengal, ia berjalan cepat mengelilingi puncak Mahameru. Ia pandangi seluruh Jawa dari langit. Seluruh sobat menariknya berfoto didepan nisan Soe Hok Gie dan letusan Jonggring Saloko.
Tepat jam sembilan semuanya sudah mencapai puncak. Perjalanan panjang menuju rumah menunggu mereka. Satu-satu semuanya menuruni gunung. Rio menghirup angin dalam-dalam dan tersenyum.
"Rahma, aku mencintaimu".
Angin bertiup perlahan membawa pesan indah itu. Begitu ikhlas tanpa mengharap balasan.
Jakarta, June 13, 2005
Monday, June 13, 2005
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
13 comments:
Sisi romantis dari pecinta gunung ya Gus? *winking*
errr... perasaan gue nggak gitu deh;).
nice story man, bikin rio yang ini jadi pengen ngerasain ndaki gunung. it must be breathtaking.
I lost my breath just reading this. Guess I'm not made to climb mountains :) but I'm surely made to read stories as good as this one!
nice story....
I used to hear that story from my boy friend.
he really loves to do that kind of activity and it sounds great.
I wish I could do it with my boy friend someday... insya allah.
What a great story... Make me feel I'm in the middle of my journey... Cuma bedanya, gw netesin airmata karna gw jd cewek atu-atunya dari 23 cowo yang jadi my guarding angel... Mahameru emang bikin org jd romantis... Gw inget banget waktu ninggalin Ranukumbolo, sepanjang jalan gw nangis inget nyokap padahal cuma karna gw nyanyi lagunya Iwan Fals... Dasar cewe...
Wah, tulisannya indah sekali. Membangkitkan kerinduan pada gunung-gunung. Sayangnya, saya belum pernah ke Semeru. Tapi jadi bener-bener ingin naik gunung lagi.
wah cerita yang menarik......man....salam kenal.....
gw baru yau kalo d gunung ga boleh sebut nama. di gunung mana aja ada peri iseng kaya begitu???
good. gw jg udah pernah naek tp sayang gw cuma sampe cemoro tunggal tanggung kan sampe puncak coz kondisi gw yg lelah coz gw hrs kejar target waktu
GOOD FOR YUR STORY MAN same with US Kapan gabung ma kelompok ge kita ke rinjani disana juga lebih keren boss...
Seandainya Aku masih bisa berdiri lg di puncak nya,meski hanya sebentar...yach cuma sebentar...tak pernah ku alami keindahan seindah Ranu kumbolo.sambil melihat mereka yg lg pada mancing...
Oh Aku sangat kangen MAHAMERU ...
akan kah terulang...scaeasi
kereeeeeen. saya juga ingin segera kesanaa :((
sangat ingin k mahameru. Tp ga da tmn nya.kalo da yg k mahameru ajak" ya. Krim sms aj k 085780908005.
waaah cerita yg bagus. thanks
http://kafebuku.com/mahameru-sebuah-novel/
Post a Comment