Angin bertiup halus melalui lereng gunung, naik turun merambat melalui sela-sela pepohonan cemara yang jarang. Suaranya yang khas menggesek dedaunan seperti senandung ibu yang membuai bayi di pelukan. Aku terduduk memeluk lutut yang kedinginan. Pandanganku mengembara hinggap di kabut-kabut putih yang memenuhi lembah aliran sungai kokok putih. Beledu putih itu bergerak perlahan menyingkap punggung bukit-bukit kecil menghijau dibaliknya. Angin dingin menerpa wajahku. Ah, aku ingin terus larut dalam lamunan abadi ini. Kosong tanpa konsep. Membiarkan seluruh inderaku menafsirkan alam seenaknya.
***
Ade berceloteh tentang banyak hal. Begitu asyiknya. Ia menekuk kakinya ke atas kursi. Sesekali menghirup rokoknya yang hangat, mengepulkan asapnya ke udara lalu melanjutkan lagi kisahnya yang panjang. Aku cuma bisa memandanginya dalam-dalam. Wajahku menyeringai seakan hanyut dalam cerita itu. "It was my glorious time, Gus," katanya. "Gue masih muda banget deh".
Ia memandang mataku sekilas saja, lalu mengalihkannya jauh. Ke dalam kenangan yang membentuk gadis itu seperti sekarang ini. "But it was fun," katanya lagi dengan senyum meski ada beban yang ia simpan sendirian. Aku cuma tersenyum dan mengangkat cangkir kopiku yang sudah dingin.
Kami mengobrol dan terus mengobrol hingga larut malam. Udara Bogor yang dingin sehabis hujan membuat buluku meremang. Tapi tak membuatku bosan mendengar ceritanya yang panjang. Aku suka kejujuran yang diungkapkan dengan lugas. Bagiku Ade adalah pelukis yang hanyut dalam keindahan seni. Tanpa ragu menyapukan kuasnya diatas sehelai kertas putih yang sempit. Kau tak bisa mengkoreksi cat air. Begitu kuas menentuh permukan kertas, pigmen2 warna akan meresap ke dalam pori-pori. Mungkin harus menunggunya agak kering untuk memadukannya dengan pigmen warna yang berbeda. Hanya ada sedikit pilihan, percaya dengan perasaan atau membiarkan logika merencanakan sketsa hidupmu.
Waktu sudah lewat tengah malam. Aku mengantarnya ke mobil. Dalam rintik2 hujan yang lembut mobilnya berlari meninggalkanku di lapangan parkir yang sepi.
***
Gunung-gunung berdiri angkuh seperti sebuah suar di tengah lautan. Puncaknya bersembunyi dibalik awan yang beterbangan tanpa bosan. Biasanya di atas aku bertemu dengan orang-orang rendah hati. Tapi tak sedikit juga yang angkuhnya melebihi puncak-puncak gunung. Aku memilih tak ambil pusing. Mencapai puncak bukan hal yang istimewa. Kata pakde ku, gunung2 itu telah berdiri disana sebelum kita ada, dan berabad2 setelah kita ada ia mungkin masih saja di tempatnya menyangga langit.
Kadang aku ingin mengumpat melihat orang semacam itu. Tapi apa urusanku? Apakah mendaki seratus dua ratus gunung membuat kita istimewa? Bukankah sudah ada begitu banyak orang yang mendahuluimu kesana? Aku hanya terduduk di tepi segara anak yang jernih. Memandangi permukaannya yang kehijauan ditumbuhi gunung baru yang mungil. Kubaca fatihah sekali buat gunung dan seisinya. Segenap kedamaian merasuk hatiku. Aku cuma meminta sang gunung untuk mengizinkanku mengunjungi saudaranya di lain tempat.
Kami segera berkemas. Perjalanan panjang berikutnya membentang di depan. Kami berlima berkumpul melingkar menundukkan kepala seraya berdoa. Semoga Tuhan melindungi kami semua. Lewat dari Senaru kami akan langsung menuju gunung Tambora.
***
"Dasar wanita malas. Katanya sudah selesai tahap pencarian?" tawaku.
"Hahaha, iya seh," katanya terbahak."Tapi tak mudah menghindari pusaran yang sama Gus," katanya lagi beralasan.
"Hmm," aku manggut2. Kayaknya ada yang harus kusetujui. Tak ada yang bisa memberi kita jawaban tentang maknanya. Tapi terus saja kita berkeras mengejarnya. Aku sendiri sedang kelelahan, jadi cuma bisa tersenyum2 saja mendengar ceritanya.
"I don't know, Gus. Apakah aku bener2 mencintainya atau rasa nyamanku yang sedang rapuh atau just my damned lust playing?" katanya terbahak seakan bertanya pada dirinya sendiri. Aku lebih lagi, sampai2 air mata mengalir dari sudut mataku. Ia benar2 gadis yang jujur. Aku suka sekali hal itu.
Episode itu terbayang di ingatanku sepanjang perjalanan melintasi lombok. Saat kami menyeberang laut, angin bertiup cukup keras menciptakan gelombang yang cukup tinggi. Ujung2 lidahnya menjilat lantai kapal pecah menjadi gerimis yang membasahi wajahku. Tapi aku tetap berdiri menentang angin sambil berpegangan pada pagar. Aku membutuhkan angin untuk mengusir bayang2 itu. Kurasa dalam satu dan lain hal aku mulai mencintainya. Seperti aku pergi ke gunung, ke lembah untuk menemukan jati diri. Ia menemukan keasyikan lain selain menanti kekasihnya yang jauh dengan bermeditasi menemukan cinta Tuhan.
Ketika Heinrich Harrer bertanya kepada seorang wanita Nepal kenapa mereka tak mendaki Himalaya, wanita itu menjawab, "untuk apa?". Bulan itu sang gunung mengizinkan ku berkunjung ke puncaknya. Sementara di tempat lain Ade tersenyum untuk kebahagiaannya sendiri.
---------------------------------------
Lanjutan yg maren. Dilanjutin sesempetnya, maaf kalo kurang sempurna. hehehe
Tuesday, December 19, 2006
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
2 comments:
jadi pengen kenal saya "wanita itu" hihihihi
been there done that too
mungkin in different ways ;-)
nice post..interesting!
Post a Comment