Friday, December 22, 2006

Sang Ibu

Laki-laki itu memandangi seorang perempuan setengah baya di depannya. Mungkin tak setua itu umurnya, tapi ujian ini membuat semua orang berfikir lebih berat dari sebelumnya. Gempa meluluh lantakkan semua jerih payah seumur hidup dalam sehari. Para orang tua patah hati, merasakan tulang-tulangnya yang berumur berderit lelah. lelah menanggung beban masa lalu dan waktu didepan. Anak-anak yang baru mengerti main harus belajar memahami kesedihan orang tua. Kaum mapan kehilangan rasa amannya. Kehilangan suami yang menjadi mesin uang keluarga. Semua runtuh.

Entah apa yang membuatnya tertarik kepada pekerjaan seperti ini. Ia bisa saja tinggal di kota tempatnya daripada mengejar idealisme yang nantinya cuma menjadi kisah yang hinggap dalam memorinya yang rapuh. Ia berdiri menghampiri ibu itu dan membantunya mengangkat bakul yang akan digendong di punggungnya. Ibu itu tersenyum lalu membenahi kain jarik tua yang ia gunakan untuk menggendong. Ditariknya kedua ujung jarik itu kuat2 dengan kedua tanganya. Tubuhnya membungkuk mengimbangi beban berat dalam bakul itu. Sebentar kemudian dia membuat simpul yang aneh dengan menyelipkan ujung kain itu satu sama lain tepat di atas jantungnya. "Matur nuwun, mas" katanya sopan. Lalu ia berlalu membawa bakul penuh berisi nasi pecel ke pasar di ujung desa.

Ia tersenyum lalu melanjutkan kegiatannya menghisap rokok pagi ini. Sudah beberapa bulan ia bekerja di area ini. Hanya beberapa saat sejak bencana itu terjadi, ia langsung berangkat. Setiap orang memiliki panggilan hidupnya sendiri-sendiri. Tetap saja, kekasihnya tak dapat memahami keputusan itu. Ia menghisap rokoknya sekali lagi. Ia tak bisa mendengar sesuatu tapi tak melakukan apa-apa. Menyalurkan bantuan, mengevakuasi, mendirikan tenda-tenda darurat dan banyak kegiatan lain disini yang membuatnya hidup sehidup-hidupnya.

Ia berkhayal gadis itu menemaninya suatu hari nanti di tempat seperti ini. Di desa-desa yang tenang. Duduk berdua dalam kesejukan pagi. Sarapan pagi dengan kopi panas dan gorengan yang gurih di beranda. Sedang hamparan padi yang sedang bunting menghijau memanjakan hati. Sementara matahari berangsur-angsur menghangatkan suasana mengantar orang desa bekerja. Betapa sempurnanya hidup bila segala sesuatu berjalan seperti kehendaknya.

Bukan berarti ia tak mencintai gadis itu. Namun hati kecilnya ragu, apakah hal itu mungkin? Ade adalah sebuah dunia yang berbeda.

"Sayang, aku ada disisimu, seperti halnya kamu selama ini" kata-kata Ade merasuk pikirannya.

Sayang, pria manusia dangkal. Maka jangan harap ia dapat menyelami kedalaman kata-kata itu. Jadi, meski ia pria nyentrik dengan idealisme segudang. Tapi pria tetap pria. Lengkap dengan segala ketakutannya sendiri terhadap kemauan wanita. Karena itu mereka tak dapat mengerti bahwa cinta dapat melakukan semua hal, ia tetap berangkat meninggalkan kekasihnya. Menyibukkan dirinya dengan mengejar kenyamanannya sendiri.

***

Mami menelpon Ade menanyakan kabarnya hari ini. Matanya berkilat mendengar suara putrinya yang manja. Rasa rindunya yang mendalam seperti tak pernah habis kepada anak itu. Ingin rasanya memasakkan makanan kesukaannya setiap hari. Atau saat anak itu tertidur lelap di pangkuannya Mami membelai kepala gadis itu dan sesekali mengusap wajahnya yang damai. Mereka terpisah lautan. Hanya sekali-kali saja mami menengoknya ke Jakarta.

"Mommy, doakan aku ya. I'm a bit sick today" Ade mengeluh manja. "Aku kecapean kayaknya Mom."

Mami mengiyakan. Kecupan sayangnya terasa di hati gadis itu. Mami menutup telpon, mengambil sebuah majalah dan membacanya lambat2. Ia membuka lembar-lembar majalah sambil membayangkan gadisnya diseberang sana. Tapi tak bertahan lama. Ia segera mengangkat telpon dan memanggil anak bungsunya.

"Nang, Mbak Ade katanya sakit. Nanti kalo sudah sampe rumah diliat ya?" ia memastikan putri satu2nya baik-baik saja.

"Iya Mom," Ade merasa sangat dekat dengan adiknya ini. Ia selalu merasa pria itu sebagai adik kecilnya yang manis. Padahal pria itu sendiri begitu dewasa menjaganya. Pesan mami ia simpan baik2. Sementara kepada kakaknya, ia tetap bocah yang sama.

Ibu adalah keajaiban cinta. Ketika seorang wanita menjadi ibu, ia melebur sukmanya kepada orang yang ia kasihi. Dengan kekuasaan tak terbatas atas cinta ia menjadi kekuatan kreasi yang tak terbatas. Membentuk seorang bayi mungil menjadi gadis yang mengagumkan. Harapan baik ibu adalah doa yang tak dapat ditolak. Ia terbang membubung menyentuh langit-langit surga tanpa halangan. Malaikat terkesima, dan wajah Tuhan akan bersemu tersentuh oleh ketulusannya.

Mami kembali kepada majalahnya. Sejenak ia terdiam. Menggumamkan sebuah doa untuk Ade.

***

Emailku hari ini dipenuhi oleh ucapan selamat yang berpuluh2 jumlahnya. Semuanya memberi penghargaan pada ibu. Ada satu email dari seorang teman yg terkenal dari pandangannya yang serba sinis tentang dunia. Isinya tentang tingkat aborsi di India yang tinggi karena mereka lebih suka anak laki-laki. Tak makan waktu lama sebelum email itu berubah menjadi sebuah perdebatan yang ramai. Apakah wanita seperti itu pantas disebut ibu? Apakah seseorang harus melahirkan untuk menjadi ibu? Aku tak terlalu menghiraukan diskusi itu karena banyaknya pekerjaan. Dunia begitu beraneka ragam. Setiap individu memiliki dunianya sendiri.

"Aku nggak tau apa aku bisa punya anak Gus" Ade berkata dengan penuh kepastian. Ia telah beberapa tahun berumah tangga sebelum suaminya pergi.

"Bolehkah seseorang menyibukkan diri dengan cinta kepada kekasihnya tanpa terganggu oleh hal2 semacam itu selama hidupnya?" aku menjawabnya dengan pertanyaan.

Ade tak menjawab. Pertanyaan itu memang bukan untuknya, tapi lebih untuk diriku sendiri. Aku memandang wajahnya dalam2. Kuraih tangannya dengan lembut. Kurasa kami saling mencintai satu sama lain berkali-kali dalam kehidupan sebelumnya. Namun takdir selalu saja memberi kami skenario yang sulit. Sehingga aku dan dia harus menerima siksaan ini dari satu kehidupan ke kehidupan yang lainnya.

Gadis itu tersenyum padaku. Wajahnya yang manis sekali lagi memikatku. Kutepis rambut yang menutupi wajahnya. Ah jiwa yang merindu ribuan tahun lamanya. Meronta dalam tubuh yang fana ini. Meminta diakhirinya siklus karma yang kejam ini.

Air mata menetes satu-satu perlahan jatuh membasahi pipinya. Kutarik tubuhnya mendekat lalu memeluknya erat-erat. Aku tak perduli berapa pasang mata menyaksikan kami berpelukan.

Malam itu, aku masih manusia dangkal. Masih berpikir berkali-kali untuk menerima anugrah cinta yang tak terbatas. Ade sayang, sang ibu dari segala cinta ibu. Kugandeng tangannya pulang...



____

Selamat Hari Ibu!

No comments: