Friday, December 22, 2006

Sang Ibu

Laki-laki itu memandangi seorang perempuan setengah baya di depannya. Mungkin tak setua itu umurnya, tapi ujian ini membuat semua orang berfikir lebih berat dari sebelumnya. Gempa meluluh lantakkan semua jerih payah seumur hidup dalam sehari. Para orang tua patah hati, merasakan tulang-tulangnya yang berumur berderit lelah. lelah menanggung beban masa lalu dan waktu didepan. Anak-anak yang baru mengerti main harus belajar memahami kesedihan orang tua. Kaum mapan kehilangan rasa amannya. Kehilangan suami yang menjadi mesin uang keluarga. Semua runtuh.

Entah apa yang membuatnya tertarik kepada pekerjaan seperti ini. Ia bisa saja tinggal di kota tempatnya daripada mengejar idealisme yang nantinya cuma menjadi kisah yang hinggap dalam memorinya yang rapuh. Ia berdiri menghampiri ibu itu dan membantunya mengangkat bakul yang akan digendong di punggungnya. Ibu itu tersenyum lalu membenahi kain jarik tua yang ia gunakan untuk menggendong. Ditariknya kedua ujung jarik itu kuat2 dengan kedua tanganya. Tubuhnya membungkuk mengimbangi beban berat dalam bakul itu. Sebentar kemudian dia membuat simpul yang aneh dengan menyelipkan ujung kain itu satu sama lain tepat di atas jantungnya. "Matur nuwun, mas" katanya sopan. Lalu ia berlalu membawa bakul penuh berisi nasi pecel ke pasar di ujung desa.

Ia tersenyum lalu melanjutkan kegiatannya menghisap rokok pagi ini. Sudah beberapa bulan ia bekerja di area ini. Hanya beberapa saat sejak bencana itu terjadi, ia langsung berangkat. Setiap orang memiliki panggilan hidupnya sendiri-sendiri. Tetap saja, kekasihnya tak dapat memahami keputusan itu. Ia menghisap rokoknya sekali lagi. Ia tak bisa mendengar sesuatu tapi tak melakukan apa-apa. Menyalurkan bantuan, mengevakuasi, mendirikan tenda-tenda darurat dan banyak kegiatan lain disini yang membuatnya hidup sehidup-hidupnya.

Ia berkhayal gadis itu menemaninya suatu hari nanti di tempat seperti ini. Di desa-desa yang tenang. Duduk berdua dalam kesejukan pagi. Sarapan pagi dengan kopi panas dan gorengan yang gurih di beranda. Sedang hamparan padi yang sedang bunting menghijau memanjakan hati. Sementara matahari berangsur-angsur menghangatkan suasana mengantar orang desa bekerja. Betapa sempurnanya hidup bila segala sesuatu berjalan seperti kehendaknya.

Bukan berarti ia tak mencintai gadis itu. Namun hati kecilnya ragu, apakah hal itu mungkin? Ade adalah sebuah dunia yang berbeda.

"Sayang, aku ada disisimu, seperti halnya kamu selama ini" kata-kata Ade merasuk pikirannya.

Sayang, pria manusia dangkal. Maka jangan harap ia dapat menyelami kedalaman kata-kata itu. Jadi, meski ia pria nyentrik dengan idealisme segudang. Tapi pria tetap pria. Lengkap dengan segala ketakutannya sendiri terhadap kemauan wanita. Karena itu mereka tak dapat mengerti bahwa cinta dapat melakukan semua hal, ia tetap berangkat meninggalkan kekasihnya. Menyibukkan dirinya dengan mengejar kenyamanannya sendiri.

***

Mami menelpon Ade menanyakan kabarnya hari ini. Matanya berkilat mendengar suara putrinya yang manja. Rasa rindunya yang mendalam seperti tak pernah habis kepada anak itu. Ingin rasanya memasakkan makanan kesukaannya setiap hari. Atau saat anak itu tertidur lelap di pangkuannya Mami membelai kepala gadis itu dan sesekali mengusap wajahnya yang damai. Mereka terpisah lautan. Hanya sekali-kali saja mami menengoknya ke Jakarta.

"Mommy, doakan aku ya. I'm a bit sick today" Ade mengeluh manja. "Aku kecapean kayaknya Mom."

Mami mengiyakan. Kecupan sayangnya terasa di hati gadis itu. Mami menutup telpon, mengambil sebuah majalah dan membacanya lambat2. Ia membuka lembar-lembar majalah sambil membayangkan gadisnya diseberang sana. Tapi tak bertahan lama. Ia segera mengangkat telpon dan memanggil anak bungsunya.

"Nang, Mbak Ade katanya sakit. Nanti kalo sudah sampe rumah diliat ya?" ia memastikan putri satu2nya baik-baik saja.

"Iya Mom," Ade merasa sangat dekat dengan adiknya ini. Ia selalu merasa pria itu sebagai adik kecilnya yang manis. Padahal pria itu sendiri begitu dewasa menjaganya. Pesan mami ia simpan baik2. Sementara kepada kakaknya, ia tetap bocah yang sama.

Ibu adalah keajaiban cinta. Ketika seorang wanita menjadi ibu, ia melebur sukmanya kepada orang yang ia kasihi. Dengan kekuasaan tak terbatas atas cinta ia menjadi kekuatan kreasi yang tak terbatas. Membentuk seorang bayi mungil menjadi gadis yang mengagumkan. Harapan baik ibu adalah doa yang tak dapat ditolak. Ia terbang membubung menyentuh langit-langit surga tanpa halangan. Malaikat terkesima, dan wajah Tuhan akan bersemu tersentuh oleh ketulusannya.

Mami kembali kepada majalahnya. Sejenak ia terdiam. Menggumamkan sebuah doa untuk Ade.

***

Emailku hari ini dipenuhi oleh ucapan selamat yang berpuluh2 jumlahnya. Semuanya memberi penghargaan pada ibu. Ada satu email dari seorang teman yg terkenal dari pandangannya yang serba sinis tentang dunia. Isinya tentang tingkat aborsi di India yang tinggi karena mereka lebih suka anak laki-laki. Tak makan waktu lama sebelum email itu berubah menjadi sebuah perdebatan yang ramai. Apakah wanita seperti itu pantas disebut ibu? Apakah seseorang harus melahirkan untuk menjadi ibu? Aku tak terlalu menghiraukan diskusi itu karena banyaknya pekerjaan. Dunia begitu beraneka ragam. Setiap individu memiliki dunianya sendiri.

"Aku nggak tau apa aku bisa punya anak Gus" Ade berkata dengan penuh kepastian. Ia telah beberapa tahun berumah tangga sebelum suaminya pergi.

"Bolehkah seseorang menyibukkan diri dengan cinta kepada kekasihnya tanpa terganggu oleh hal2 semacam itu selama hidupnya?" aku menjawabnya dengan pertanyaan.

Ade tak menjawab. Pertanyaan itu memang bukan untuknya, tapi lebih untuk diriku sendiri. Aku memandang wajahnya dalam2. Kuraih tangannya dengan lembut. Kurasa kami saling mencintai satu sama lain berkali-kali dalam kehidupan sebelumnya. Namun takdir selalu saja memberi kami skenario yang sulit. Sehingga aku dan dia harus menerima siksaan ini dari satu kehidupan ke kehidupan yang lainnya.

Gadis itu tersenyum padaku. Wajahnya yang manis sekali lagi memikatku. Kutepis rambut yang menutupi wajahnya. Ah jiwa yang merindu ribuan tahun lamanya. Meronta dalam tubuh yang fana ini. Meminta diakhirinya siklus karma yang kejam ini.

Air mata menetes satu-satu perlahan jatuh membasahi pipinya. Kutarik tubuhnya mendekat lalu memeluknya erat-erat. Aku tak perduli berapa pasang mata menyaksikan kami berpelukan.

Malam itu, aku masih manusia dangkal. Masih berpikir berkali-kali untuk menerima anugrah cinta yang tak terbatas. Ade sayang, sang ibu dari segala cinta ibu. Kugandeng tangannya pulang...



____

Selamat Hari Ibu!

Wednesday, December 20, 2006

Sang pagi

Ade sebenarnya sudah terbangun oleh hangatnya sinar mentari yang menyusup melalui renda2 gording kamar. Namun rasa malas menahannya untuk bangkit. Ia menyukai pekerjaan dan lingkungan kerja kantornya yang sekarang, tapi tetap saja berat untuk memulai hari. Karena itu ia sedikit kesal ketika dua kelinci kesayangannya mengganggunya dari tempat tidurnya yang nyaman.

"Tante2, kakak nakal. Bekalku diambil..." gadis kecil itu nyelonong masuk ke kamarnya dan merajuk dari sisi tempat tidur. Ade beringsut ke arah keponakannya yang cantik. Ia membelai rambutnya lalu menjulurkan kedua belah tangannya ke ketiak gadis kecil itu lalu mengangkatnya ke pangkuannya. Ia menciumnya dengan lembut menenangkan. Pikirannya melayang kepada seorang laki-laki kuat yang selalu membangunkannya dengan sebuah ciuman hangat pagi-pagi sekali. Ia begitu pandai memilih tempat untuk menghangatkan cintanya dengan sebuah ciuman di matanya yang bulat, di dahi, di bibirnya yang penuh atau rambutnya yang harum. Ia tersenyum mengenangnya.

"Ya sudah, nggak papa sayang, nanti tante ganti dengan yang lebiiih enak. Atau tante kasih hadiah aja ya?" katanya lembut.

"Hadiahnya apa tante?" si kelinci putih merajuk.

"Rahasia dong.." jawabnya tersenyum. Mungkin ia akan mengajak gadis kecil itu jalan2.

"Tante curang, kakak dikasih hadiah juga dong," kelinci lainnya ikut merajuk.

Ade menepuk selimut di pangkuannya mengajak laki-laki kecil itu naik juga. Ia memeluk keduanya dengan sayang. "Makanya kakak mesti sayang dengan adek. Kakak kan sudah dapet kue juga dari mama?"

Adik iparnya memang memilih untuk berepot2 ria membuatkan bekal setiap pagi daripada memberi uang jajan kepada keponakannya. Si kakak mengangguk menyesal lalu menggandeng adiknya keluar dengan mesra setelah Ade menjanjikan keduanya jalan2. Ia memandanginya dari atas tempat tidur sambil memeluk lutut yang terbungkus selimut. Ia begitu beruntung memiliki semua ini. Lebih penting lagi, ia harus segera bangkit dan memulai kehidupan hari ini.

***

Sebuah sms masuk di hp Ade. Sebuah ucapan selamat pagi dari seseorang yang dia sayangi.

"Morning Sunshine" katanya menyapa. Sebuah salam yang membahagiakan. Ia menjawabnya dgn senang sambil memacu mobilnya menuju kota Bogor.

Ada beberapa orang pria yang ia suka sejak kepergian mendiang suaminya. Ada seorang laki-laki yang mulai ia cintai tapi pergi jauh mengejar idealismenya sendiri. Dan seorang teman yang datang tiba-tiba mengacaukan perasaannya dengan keunikannya sendiri.

"Ah, laki-laki dan egonya" benaknya berujar. Ia tersenyum getir sendirian. Diputarnya kemudi menghindari egosan truk gandeng yang memotong jalur depan.

Ade seperti perempuan kebanyakan hanya membutuhkan ketulusan, kesungguhan seorang laki-laki untuk memintanya menempuh hidup berdampingan. Jika kamu mencintainya dengan penuh. Ia akan menjadi wanita yang merawatmu ketika kamu sakit atau menemanimu dalam kegelapan yang tak menentu. Dalam susah dan senang.


Ade menginjak rem perlahan. Setelah membayar tol, ia membelokkan mobilnya ke arah kantornya di pinggiran kota. Kedua pria itu mengisi hatinya dengan caranya masing-masing.

***

Aku sendiri memulai hari dengan setumpuk pekerjaan. Akhir tahun semua bekerja terburu waktu. Semua orang mengejar tenggat waktunya dengan menekan orang lain di bawahnya. Beruntung bos ku tidak sekejam itu. Namun laporan2 harus dikerjakan dengan segera. Statistik harus dihitung. Sementara semua email permintaan informasi dari berbagai belahan dunia harus tetap dijawab hari itu juga. Sangat melelahkan dan membosankan. Aku hanya bisa bersabar, minggu depan semua kesibukan pasti segera menurun menjelang libur natal dan tahun baru. Apalagi kebanyakan scientist berasal dari negara2 barat. Aku akan kebagian istirahat sejenak seminggu dua minggu mendatang.

Bocar, si pria senegal sudah pulang ke kampusnya di belanda. Masa internshipnya sudah berakhir minggu lalu. Tapi selalu ada saja yang mendahului datang ke library setiap pagi. Moniko, intern cantik dari belanda sedang bekerja dengan laptop dan setumpuk jurnal ilmiah di sekeliling nya. Ia tersenyum padaku menyapa.

"Good morning" ia mengerling dengan sebuah senyuman manis menghiasi wajahnya.

"Good morning Moniko" jawabku."Have you received articles from Mas Nobo?" Mas Nobo menelponku kemarin, berjanji akan mengirimkan papernya yang baru diterbitkan oleh Biodiversity and Conservation* beberapa waktu lalu. Kenyataannya aku punya copy paper itu. Tapi Mas Nobo, si suami nakal itu berpesan untuk memforward Moniko langsung kepadanya. Aku terbahak2 menerima pesannya, lalu kuteruskan pada Moniko.

"Oh ya, sudah. Terima kasih" kata Moniko. Ibunya belanda, tapi ayahnya perpaduan Jawa dan Kalimantan. Ia sudah bertemu Mas Nobo kemarin.


Kami bertukar senyum. Lalu menekuni pekerjaan masing-masing. Sambil mengecek email aku tertawa dalam hati membayangkan keceriaan Mas Nobo :-)

***

Hari ini pengunjung bukan main banyaknya. Padahal aku bertugas sendirian. Mitraku sedang cuti. Mahasiswa dari berbagai universitas dan satu permintaan buku via telepon dari Singapore. Yang paling menghabiskan energi ketika melayani mahasiswa2 S2 PNS yang sedang tugas belajar dari daerah. Kadang2 mereka sombong dan suka sembarangan. Biasanya aku cuma bisa sedikit cemberut saja. Jam setengah dua tadi Moniko pindah ke sebuah cubicle di pojok library terhalang jajaran rak yang panjang karena ketenangannya terganggu. Aku jadi sebal seharian, tapi namanya sudah kewajiban, mau apa lagi? :-D

Tepat jam lima sore Nety menelpon mengajakku pulang. Ibu hamil ini memintaku mengantarnya sampai rumah. Suaminya tak bisa menjemput karena sedang bertugas ke tangerang. Hujan lebat mengiringi perjalanan kami pulang.


"Gimana Gus ceritanya kemarin?" senyum jahilnya terlihat jelas di wajah gembil itu.
"Cerita apaan? Biasa2 aja" kataku. Nety kecewa. Aku tetap berkonsentrasi dengan setir.
"Loe tau gw lah. I go with the flow," lanjutku singkat. "Tapi terus terang, She is amazing, Net. Figurnya, fikirannya... Tapi udah lah nggak usah rumongso. Kita berteman. Itu aja."


Nety terdiam, mungkin mengantuk. Ia hanya bergumam mengiyakan. Akhirnya separuh perjalanan ke bintaro kutempuh sendirian. Memandangi marka jalan yang mulai kabur tertutup guyuran hujan yang makin deras. Sesekali terpaksa kunyalakan lampu jauh untuk meraba garis-garis samar yang akan memanduku pulang.


***

Ade membenahi posisi duduknya. Dipejamkannya kedua matanya. Meditasi membuat hatinya bahagia. Ia belum lagi mencapai pemahaman yang lebih tinggi. Tapi perasaaan relaks dan suasana kekeluargaan di kelompoknya sudah cukup membuat dirinya nyaman. Tangannya berada di atas lututnya yang bersila. Ade mengatur nafas teratur santai. Dalam kegelapan citra kehidupannya seakan berputar di kelopak matanya. Begitu banyak hal, sebelum ia benar-benar menerima energi alam yang membawanya kepada kejernihan hakiki.


Setelah selesai ia begitu gembira. Seperti seorang anak kecil yang menemukan kesenangan baru melalui sebutir gula2 sederhana. Ade memeluk sobatnya berlatih untuk membagi kebahagiaan itu. Kemudian berdiam sejenak memejamkan matanya membayangkan orang-orang yang membuatnya bahagia setiap hari.


"Aku menyayangimu" doanya dalam hati.


Sang Guru Sejati terharu, lalu karunia jatuh berderai dengan indahnya dari langit malam seperti lembutnya hujan di pagi hari. Kepada gadis itu. Dan orang-orang terkasih.






-----
*) salah satu judul jurnal ilmiah terkemuka bidang konservasi



kok gw bosyen yak nulis gini mulu yak? prei aja ah.

eniwei ditunggu kritiknya :D

Tuesday, December 19, 2006

Sang Hujan

Angin bertiup halus melalui lereng gunung, naik turun merambat melalui sela-sela pepohonan cemara yang jarang. Suaranya yang khas menggesek dedaunan seperti senandung ibu yang membuai bayi di pelukan. Aku terduduk memeluk lutut yang kedinginan. Pandanganku mengembara hinggap di kabut-kabut putih yang memenuhi lembah aliran sungai kokok putih. Beledu putih itu bergerak perlahan menyingkap punggung bukit-bukit kecil menghijau dibaliknya. Angin dingin menerpa wajahku. Ah, aku ingin terus larut dalam lamunan abadi ini. Kosong tanpa konsep. Membiarkan seluruh inderaku menafsirkan alam seenaknya.
***

Ade berceloteh tentang banyak hal. Begitu asyiknya. Ia menekuk kakinya ke atas kursi. Sesekali menghirup rokoknya yang hangat, mengepulkan asapnya ke udara lalu melanjutkan lagi kisahnya yang panjang. Aku cuma bisa memandanginya dalam-dalam. Wajahku menyeringai seakan hanyut dalam cerita itu. "It was my glorious time, Gus," katanya. "Gue masih muda banget deh".
Ia memandang mataku sekilas saja, lalu mengalihkannya jauh. Ke dalam kenangan yang membentuk gadis itu seperti sekarang ini. "But it was fun," katanya lagi dengan senyum meski ada beban yang ia simpan sendirian. Aku cuma tersenyum dan mengangkat cangkir kopiku yang sudah dingin.

Kami mengobrol dan terus mengobrol hingga larut malam. Udara Bogor yang dingin sehabis hujan membuat buluku meremang. Tapi tak membuatku bosan mendengar ceritanya yang panjang. Aku suka kejujuran yang diungkapkan dengan lugas. Bagiku Ade adalah pelukis yang hanyut dalam keindahan seni. Tanpa ragu menyapukan kuasnya diatas sehelai kertas putih yang sempit. Kau tak bisa mengkoreksi cat air. Begitu kuas menentuh permukan kertas, pigmen2 warna akan meresap ke dalam pori-pori. Mungkin harus menunggunya agak kering untuk memadukannya dengan pigmen warna yang berbeda. Hanya ada sedikit pilihan, percaya dengan perasaan atau membiarkan logika merencanakan sketsa hidupmu.

Waktu sudah lewat tengah malam. Aku mengantarnya ke mobil. Dalam rintik2 hujan yang lembut mobilnya berlari meninggalkanku di lapangan parkir yang sepi.



***

Gunung-gunung berdiri angkuh seperti sebuah suar di tengah lautan. Puncaknya bersembunyi dibalik awan yang beterbangan tanpa bosan. Biasanya di atas aku bertemu dengan orang-orang rendah hati. Tapi tak sedikit juga yang angkuhnya melebihi puncak-puncak gunung. Aku memilih tak ambil pusing. Mencapai puncak bukan hal yang istimewa. Kata pakde ku, gunung2 itu telah berdiri disana sebelum kita ada, dan berabad2 setelah kita ada ia mungkin masih saja di tempatnya menyangga langit.

Kadang aku ingin mengumpat melihat orang semacam itu. Tapi apa urusanku? Apakah mendaki seratus dua ratus gunung membuat kita istimewa? Bukankah sudah ada begitu banyak orang yang mendahuluimu kesana? Aku hanya terduduk di tepi segara anak yang jernih. Memandangi permukaannya yang kehijauan ditumbuhi gunung baru yang mungil. Kubaca fatihah sekali buat gunung dan seisinya. Segenap kedamaian merasuk hatiku. Aku cuma meminta sang gunung untuk mengizinkanku mengunjungi saudaranya di lain tempat.


Kami segera berkemas. Perjalanan panjang berikutnya membentang di depan. Kami berlima berkumpul melingkar menundukkan kepala seraya berdoa. Semoga Tuhan melindungi kami semua. Lewat dari Senaru kami akan langsung menuju gunung Tambora.

***

"Dasar wanita malas. Katanya sudah selesai tahap pencarian?" tawaku.

"Hahaha, iya seh," katanya terbahak."Tapi tak mudah menghindari pusaran yang sama Gus," katanya lagi beralasan.

"Hmm," aku manggut2. Kayaknya ada yang harus kusetujui. Tak ada yang bisa memberi kita jawaban tentang maknanya. Tapi terus saja kita berkeras mengejarnya. Aku sendiri sedang kelelahan, jadi cuma bisa tersenyum2 saja mendengar ceritanya.

"I don't know, Gus. Apakah aku bener2 mencintainya atau rasa nyamanku yang sedang rapuh atau just my damned lust playing?" katanya terbahak seakan bertanya pada dirinya sendiri. Aku lebih lagi, sampai2 air mata mengalir dari sudut mataku. Ia benar2 gadis yang jujur. Aku suka sekali hal itu.

Episode itu terbayang di ingatanku sepanjang perjalanan melintasi lombok. Saat kami menyeberang laut, angin bertiup cukup keras menciptakan gelombang yang cukup tinggi. Ujung2 lidahnya menjilat lantai kapal pecah menjadi gerimis yang membasahi wajahku. Tapi aku tetap berdiri menentang angin sambil berpegangan pada pagar. Aku membutuhkan angin untuk mengusir bayang2 itu. Kurasa dalam satu dan lain hal aku mulai mencintainya. Seperti aku pergi ke gunung, ke lembah untuk menemukan jati diri. Ia menemukan keasyikan lain selain menanti kekasihnya yang jauh dengan bermeditasi menemukan cinta Tuhan.

Ketika Heinrich Harrer bertanya kepada seorang wanita Nepal kenapa mereka tak mendaki Himalaya, wanita itu menjawab, "untuk apa?". Bulan itu sang gunung mengizinkan ku berkunjung ke puncaknya. Sementara di tempat lain Ade tersenyum untuk kebahagiaannya sendiri.



---------------------------------------

Lanjutan yg maren. Dilanjutin sesempetnya, maaf kalo kurang sempurna. hehehe

Friday, December 08, 2006

Sang Gagak

" I seem to have loved you in numberless forms, numberless times,
in life after life, in age after age forever."
~Rabindranath Tagore~

Nothing new under the sun tapi Tuti Herati*) mampu membuat hidup menjadi menarik. Kata pengantar profesor Budi Dharma itu mengganggu pikiranku seminggu ini. Sehari demi sehari kubaca lembaran buku kumpulan puisi yang sudah usang itu. Buku yang kubeli seharga 4500 rupiah beberapa tahun berselang itu baru kini sempat kubaca. Dengan sejuta alasan kesibukan, nggak tau bisa khatam atau tidak. Tapi nothing new under the sun? Hmm...

***

Pagi ini aku terlambat ke kantor seperti biasanya. Bukan karena aku telat bangun, tapi setiap pagi aku harus bercakap2 dengan ibu dan bapak. Apa yang kami bicarakan tak selalu hal yang penting. Kadang cuma remeh temeh soal cucian piring yang berjibun, panasnya udara malam tadi atau ramainya suara burung prenjak pagi ini. Bapak dan ibu sudah lanjut usia, mungkin aku takut kehilangan waktu sehingga tanpa sadar menjalani ritual ini demi mengisi rasa nyamanku yang bodoh. Untung saja aku bergegas berangkat sehingga tak terjebak kemacetan di jalan.

Sampai di kantor, library masih gelap. Seorang pria kulit hitam sedang bekerja dengan notebooknya di meja baca perpustakaanku. Kunyalakan lampu, cahayanya yang putih berkedip mengagetkan orang itu. Sobatku Bocar Kante, seorang kandidat master dari Senegal yang sedang menyelesaikan penelitiannya.

"Hi, good morning," sapaku dengan senyum ramah.

"Hi Bagus, gud morning," katanya segar. Anak muda itu masih sangat muda. Ia selalu takut2 menyapa setiap orang. Senegal berbahasa Perancis, tapi bahasa Inggrisnya sangat buruk.

"How is the crow? She visit you last night?" bahasa inggrisku tak kalah buruknya.

"Hahaha," Bocar tertawa lebar. "No. But I saw her crying yesterday near the little mosque."

Ada seekor gagak hitam kesepian di kantor. Burung itu menyapanya kemarin saat ia menunaikan sholat di mushola kecil kami. Ia merasa terganggu. Di negaranya, burung gagak juga bermakna buruk*). Ia takut ada firasat tertentu dengan keluarganya.

Aku cuma tertawa dan bercerita tentang burung yang tersesat itu agar ia tak terlalu khawatir. "Don't worry, she cried to me sometimes... It's a good sign."

"All right, see you arround," kataku menutup pembicaraan.

***

Kami segera menekuni pekerjaan masing-masing. Ada beberapa email dari para scientist yang masuk ke mailbox, pagi ini akan sibuk. Mencari artikel jurnal dari beberapa tempat. Mengontak satu atau dua profesor di belahan dunia lain untuk meminta tulisan mereka. Mendata buku2 yang dikembalikan dan mengirimkan buku2 yang akan dipinjam. Rutinitas yang itu-itu saja.

Di antara begitu banyak window yang terbuka di layar komputer, kuketukan mouse satu kali di multiply. Ada beberapa orang di postingan terakhir. Sebuah headshot berwarna hitam dan ada wajah manis samar-samar di tengahnya. Kurasa gadis ini sudah beberapa kali mampir ke MP ku. Kuketuk mouse sekali lagi ke kotak hitam itu. Kubaca berandanya kemudian profilenya.

Sebuah message masuk di meebo ku. Kujawab dengan singkat. Kukirimkan sebuah private message ke gadis dengan headshot hitam tadi. Hanya sebuah halo yang tak penting.

"Halo juga," begitu kira2 jawabnya. Berikut pertanyaan ttg siapa aku.Padahal kami saling mengenal, setidaknya secara elektrik. MP memberikan kami kesempatan saling berkunjung, sehingga yahoo messenger hanya sedikit membuat kami lebih dekat.

Ade dan aku sama2 bekerja dikota Bogor dan tinggal di Jakarta. Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Siapa tahu kami bisa pulang bareng sekali-kali. Berarti nanti akan ada tiga orang di mobil tuaku. Aku, teman sekantorku Nety, dan gadis manis itu. Perjalanan jadi tidak membosankan.

Percakapan itu berlangsung panjang. Setelah disela makan siang kami lanjut mengobrol. Tanpa terasa hari sudah sore. Baru menjelang jam 5 sore tapi langit sudah gelap. Nampaknya hujan lebat akan turun. Di awal musim begini hujan selalu turun sore hari di Bogor. Aku meng-attached beberapa file pdf artikel jurnal ilmiah untuk sejumlah staf, mengirimnya, lalu bersiap pulang.

"Kesini aja. Kita ngupi2 sebentar, sebelum aku dijemput papi," Ade mengajakku mampir ke kantornya.

"Waktunya terlalu mepet De, next time aja ya. Aku mesti nganter Nety, si ibu hamil," aku terpaksa menolak tawaran itu. Kehamilan Nety mengalami flek, jadi aku harus menemani pulang tepat waktu, agar ia tak terlalu lelah. Kuangkat telpon untuk mengajak Nety pulang, tapi tak ada jawaban. Rupanya hari ini ia istirahat di rumah. Saking sibuknya aku tak menyadarinya. Meskipun harus pulang sendirian, aku masih tetap tak berfikir untuk mampir. Hari ini cukup melelahkan, aku ingin istirahat lebih cepat saja.

***

"Li, kantor N dimana sih?" mobilku melaju menyeberangi rel kereta lambat2.

"Itu loh gus lewat jalan x trus ikutin aja jalan utamanya, nanti juga banyak plang2 penunjuk jalan gede2. Ikutin aja, pasti nyampe. Bagus loh tempatnya," Lia teman sekantor nebeng pulang sampai bank Mandiri."Gampang kok, mampir aja," lanjutnya.

Buzz, handphoneku bergetar. Ade menelpon ku. Papinya terjebak macet di jalan. Ia bertanya apakah bisa nebeng. Aku belum masuk tol, jadi aku akan menjemputnya sekarang. Setelah menurunkan Lia di tujuan, kuarahkan mobil ke Pakuan.

Akhirnya kami bertemu. Mata gadis itu begitu bulat dan bertengger dengan manis di wajahnya yang seperti daun sirih memanjang dan berakhir di dagunya yang indah. Kedua matanya seakan bersinar dengan antusias menceritakan betapa menyenangkan hidupnya belakangan ini.

Aku tersenyum sesekali, dan memandanginya sekejap sambil membayangkan apa yang dialaminya selama ini. Ia seperti gagak ku yang kesepian. Terpisah dari kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan di usia yang sangat muda. Dan betapa anehnya, aku adalah saksi mata kejadian itu. Suatu kebetulan yang ironis.

"Give me your hand," ia memberikan tangannya padaku. Kupegang tangannya dengan lembut. Aku tak bermaksud menenangkannya. Karena justru hatiku yang penuh dengan pertanyaan.

Roda berputar pelan mengajak kami pulang. Sepanjang jalan kami bercakap-cakap soal sanggarku, soal kantor, soal keluarga, teman dan dunia kami yang itu-itu saja. Kami tertawa atas banyak hal dan juga berdebat sedikit soal hidup. Aku bilang life is suffering, dia bilang life is not. Tapi semua baik-baik saja sampai kami tiba di Jakarta. Papinya menjemput dan kami berpisah malam itu.

Saat menyetir pulang, wajahnya terbayang dimataku. "Hati-hati di jalan," gumamku sendirian.

The Crow is not crying, she is singing.

-----------------

*)Sang penyair cewe Indonesia jadul dalam "Nostalgi=Transendensi".

*)Di beberapa negara gagak pertanda buruk, tapi di yang lain baik.