Tuesday, March 18, 2008

Tentang Bapak.

Tentang Bapak.

Dulu aku anak kota. Tapi sejak pindah ke kampung sini, aku jadi anak udik. Mana yang lebih menyenangkan? Di jatinegara, hidup lebih mudah. Karena warung ibu sangat laris. Tetangga2 yang hidup bersama kami sejak tahun 1950an sangat akrab. Tentu saja di tempat kumuh seperti ini, kata akrab berarti secukupnya saja. Tekanan hidup yang berat membuat suasana benci tapi rindu menyatu dalam keseharian.

Sangat sering, di malam hari sehabis adzan isya, tetangga-tetangga berantem. Berteriak2 dan saling melemparkan pot kembang.

Suara penonton riuh rendah meramaikan pertandingan. Mereka lupa betapa lamanya mereka menyirami kembang itu hingga demikian subur. Pot cor-coran semen yang dihiasi pecahan beling piring berwarna putih itu sampai pecah berantakan mengotori jalan yang sempit.

"Rasain loe! Dasar anak hostess! Biar benjut pala ente!" erwin, anak pak herman berteriak puas timpukannya kena sasaran.

"Anjing loe ye, dasar babi loe! Padang singke!" tante Lina berteriak panas. Maklum saja jidatnya bukan sekedar benjut, tapi robek hingga darah bercucuran. Orang sudah kalap seperti ini tenaganya bukan main. Tetangga yang lain memegangi tangannya berusaha melerai hampir kalah tenaga.

"Lepasin gue, lepasin gue!" Tante Lina berontak. "Jangan ikut campur loe! Gue bilang lepasin!" Dia memaki orang2 yang berusaha memisahkan.

Dalam suasana kisruh seperti ini bahkan pak rt pun nggak bisa mengatasi. Terpaksa bapak turun tangan. Tentara itu biarpun badannya kecil, tapi nyalinya macan. kalau dia sudah keluar, semua bisa diatasi. Biarpun demikian, beliau jarang main tangan
kecuali benar2 dibutuhkan.

***

Suatu kali, om Edi ngamuk. Kampung jadi kacau berantakan. Maklum, dia anak crossboy. Rambut yang panjang sepunggung diikat bandana, lengkap dengan brengos yang seram. Celana jeans bolong2, kaca mata hitam pilot. Jaket jeans buntung yang sudah dekil. Serta gelang bahar beberapa untir yang kepalanya membentuk seperti ular hitam siap mematuk. Kemana2 dia naik harley dengan sandaran berbentuk pipa melengkung setinggi kepala.

Om Edi mabuk. Keliatannya habis minum-minum. Anak bagian sini memang sudah tidak heran dengan yang namanya minuman atau suntikan. Kalau aku main sore2, pemuda2 ngumpul berbentuk lingkaran di belakang kelurahan. Ngobrol tentang dunianya sendiri sambil menghisap lintingan ganja dan berbagi suntikan. Pernah suatu kali suntikannya kubawa pulang. Karena keliatan unik, bisa untuk menghisap air dan menyemburkannya seperti pancuran kecil. Walhasil aku digebukin bapak. Aku nangis, tapi tidak mengerti apa yang salah.

Pendeknya om Edi membuat warga kampung kalang kabut. Sebab dia mabok sambil jalan kesana kemari. Masuk rumah orang dan merusak barang2.

"Ada orang mabok, ada orang maboook...!" anak-anak berlari ketakutan. Mereka menjadi kurir yang menyebarkan berita ke seantero kampung.

Semua orang keluar rumah, bertanya2 apa yang terjadi. Siapa pula yang mabuk dan berbuat onar. Tapi nggak ada yang tau apa yang sebenarnya terjadi. Hingga om Edi muncul di tikungan sambil berteriak-teriak. Mungkin sebelumnya dia ada masalah dengan anak bagian lain. Dengar2 selentingan, anak kebun sayur lagi bermusuhan entah dengan anak agam, kebon nanas, atau polonia.

Sambil sempoyongan dia tiba di depan rumahku. Orang2 berkerumun menjaga jarak mengiringinya. Lalu dia masuk ke rumahku sambil berteriak-teriak. Bapak keluar ke ruang tamu. Anak2nya melongok heran tak mengerti di belakangnya. Bapak sedikit gusar dan memerintahkan ibu membawa kami masuk ke dalam.

"Oooom, iki aku om! Edi ooom...!" teriaknya pada bapak. Matanya merah, ludahnya muncrat2.

Bapak tenang saja. "Yo, ono opo kowe Di?" bapak balik bertanya.

"Iki aku Ediii, ooom. Jagoan aku, om... Edi iki jagoan omm... Hebaaaaaat!" tangannya merengkuh pundak bapak.

"Yo, kowe tenan jagoan!" bentak bapak. "Arep ngopo nek wis dadi jagoan?"

Om Edi bingung. Pasti kepalanya sangat pusing, sehingga dia tidak bisa menjawabnya. Orang tuanya adalah salah satu penghuni kampung yang paling awal. Sama seperti bapak dan ibu. kami tau susah senangnya. Bapak sudah jadi tentara, om Edi masih bau kencur.

Kemarahan om Edi surut, dia tak bisa menjawab. Karena suara bawah sadar sungguh kuat. Ia memang selalu menyusahkan orang tua.

"Reneo, nek arep jadi jagoan tenanan!" dengan satu tangan, rambut gondrong itu dijenggut. Bapak menyeretnya ke tiang listrik di seberang jalan. Dilemparkannya jagoan kampung itu ke kaki tiang listrik. Ia berteriak memanggil kakakku untuk mengambil rante dan gembok. Malam itu om Edi tidur sambil memeluk tiang listrik. Kepalanya bersandar ke trotoar yang membatasi selokan yang bau.

"Sudah bubar semua. Ayo kamu pulang, tidur sana!" kata bapak kepada kami.

Itulah kehidupan kaum kelas embek. Penuh kekerasan tak habis-habisnya. Banyak tragedi yang kami saksikan. Dari mulai Kacong mengejar2 dengan sebilah clurit terhunus seorang anak muda yang menyenggol gerobak satenya dengan sengaja. Atau bagaimana pak Sardi membacok Pak ferry tetangga sebelah dengan pedang hingga tewas. Hanya gara2 anaknya tak kebagian giliran main pingpong.

Bertengkar dan berbaikan silih berganti. Hingga kemajuan zaman mengajak para penghuni lama satu-persatu pindah dan kami jadi kesepian.

***

Bapak pria yang sangat keras. Itu tidak perlu diragukan lagi. Ia tidak segan2 memukul kami kalau kami tidak patuh pada perintah. Ia pak komandan dan kami pasukannya. Dulu ini menimbulkan konflik di antara kami, prajurit2nya yang bodoh. Saling menyalahkan kalau kena hukum karena pekerjaan tidak beres. Kadang sampai berkelahi satu sama lain. 1 anak perempuan sulung dan 6 anak laki2. Adikku yang perempuan bungsu masih bayi. Bisa dibayangkan betapa hari2 itu penuh dengan perkelahian.

Kalau ketahuan, tentu semua kena hukum. Kami berbaris di depan bapak dan interogasi dimulai. Semua kena pecut. Semua menangis tapi ditahan menjadi sesenggukan. Karena prajurit tidak boleh nangis. Hanya kalau sakitnya tak tertahankan, barulah kami nangis kejer. Ibu memberikan waktu bapak untuk mendudukkan perkara. Tapi secara umum dialah pahlawan kami.

Hakim pasti pernah salah. Kami yang masih kanak2 kadang memendamnya begitu lama. Apalagi bila kita tidak merasa bersalah dalam kasus itu. Kini aku tau, kalau bapak sebenarnya tau itu. Ia tau bahwa ia bersalah dalam sejumlah kasus. Lalu ia menebusnya dengan cara lain. Tidak dengan memberi kami hadiah. Karena kami miskin. Ia hanya mengajak kami bekerja di kebun atau mengajak bercanda di malam hari.

Dalam kisah-kisah itu, kami jadi tau betapa hidupnya jauh lebih keras dari kami. Sejak kecil ditinggal mati ibu. Umur belasan tahun pergi membuka hutan di sumatra. Kisah-kisahnya waktu bertempur. Teman2nya seperjuangan. Dan bagaimana beratnya menanggung beban mengentaskan saudara2 yang begitu banyak.

***

Setelah kami pindah rumah ke kampung pinggiran. Bapak jadi sering berkebun. Ada Kavling tentara yang tak terawat dan cukup luas untuk kita olah. Selepas jam 2, dari jauh terdengar suara knalpot vespanya yang khas. Aku yang sedang ngangon kambing
segera berlari pulang. Kadang ada saja oleh-oleh dan cerita yang dibawanya. Begitu matahari tergelincir dan hari agak redup.

Ia bangkit menyandang cangkul dan arit menuju kebun dekat rumah. Saat berangkat berjuang ia selalu memilih cantriknya sendiri. Dari 6 anak laki2nya, semua pernah kebagian. Bahkan mas Bayu atau mas Yono yang sudah cukup besar kadang kebagian
juga jatah mencangkul.

Ada saja yang ditanamnya. Tanaman favoritnya adalah singkong. Ia membuat stek dengan goloknya yang tajam dengan begitu trampil. Kira2 sejengkal lebih sedikit panjangnya. Setelah itu diikatnya kuat2 segerombol-segerombol. Aku membantunya mengangkatnya ke selokan di belakang rumah.

"Ditaroh disini ya, biar tumbuh akarnya. Nanti kalo sudah tumbuh baru kita tanam," katanya ramah.

Begitulah siklus yang ditekuninya bertahun-tahun tanpa banyak omong. Begitu panen, beratus2 kilo singkong dibagikannya begitu saja kepada tetangga2. Kami jadi bersungut-sungut mentaati perintah. Karena harus membawa singkong yang besar2 ke tetangga2 jauh. Bahkan yang belum begitu mengenal bapak.

Singkong, pisang, pepaya, labu air, waluh, dan masih banyak lagi panen yang berhasil dia dapatkan. Ritual yang sama juga yang harus kami jalankan. Berbulan2 mencangkul, memupuk dan menyirami tanaman di tengah kemarau yang terik. Habis hanya untuk dibagikan begitu saja. Benar-benar perintah yang aneh bukan?

***

Jadi orang mesti perwiro. Begitu selalu kata bapak. Jangan celamitan. Jangan bikin malu.

Setiap ada tamu datang ke rumah. Kadang kami yang masih kecil ikut mendengarkan, duduk di lantai. Biasanya bapak akan menegur.

"Hayo masuk, jangan kayak wayang" katanya tegas. Ia paling malu kalau tamu menawarkan kami makanan suguhan tamu. Mungkin malu juga karena anak2nya yang banyak berjajar seperti wayang menancap di kayon.

Setelah tamu usai, ibu membagikan kue kepada kami. Kami jarang sekali jajan. Biasanya ibu lebih memilih merepotkan diri membuat kue agar uang yang sedikit itu dapat dibagi rata kepada anak-anaknya. Ibu sangat mengerti keterbatasan bapak.
Sementara itu ia yang paling paham keluguan anak-anak.

Bila lebaran menjelang, seisi kampung menyambutnya dengan suka cita. Di malam takbiran semua menghabiskan uang untuk membeli petasan. Kami juga ingin ikut merayakannya. Sayang, bapak sangat melarang main petasan. Membakar petasan sama dengan membakar uang. Selain itu juga berbahaya. Lik To, pamanku yang jadi menpor(resimen pelopor alias brimob) sering merasa kasihan.

Setelah ikut razia petasan, ia membawa petasan satu ransel untuk kami. Bapak marah dan membuang petasan itu ke selokan.

"Jadi kamu mau petasan?" katanya gusar. "Ayos sini semuanya keluar..!"

Kami semua keluar rumah. Tiba2 bapak merogoh pinggangnya, mengokang pistol dan menembakkannya ke selokan.

"Dorr! Dorr! Dorr! Dorr! Dorr! Dorr!" ia menembak hingga magazinnya kosong.

Seluruh kampung terkesima. Suara petasan seketika lenyap.

"Nah itu kalo mau petasan!" kata bapak singkat.

Semua orang tertawa. Sejak itu kami tidak lagi minta petasan. Karena bapak punya yang lebih hebat :)

***

Zaman sudah berubah, tak ada lagi tanah kosong yang bisa diolah. Kepala bapak sudah botak. Hanya sedikit sisa rambutnya di sana-sini yang tumbuh memutih.

"Do coba balurin punggung bapak..." ia membuka kaos oblongnya dan duduk di depanku. Menghalangi antara aku dan televisi.

Tangannya menyodorkan minyak kayu putih yang sudah dicampur dengan minyak tawon dalam sebuah wadah tatakan gelas aluminium.

Aku mencolek menuangkan minyak itu dibawah tengkuknya. Lalu meratakannya dengan mengusap ke sekujur punggungnya. Kulitnya jadi terlihat hitam mengkilat terpapar sinar lampu. usia membuat bercak-bercak di punggungnya semakin terlihat tegas.

"Tengkuknya sekalian pak?" tanyaku.
"Iya. sekalian."

Ibu memandang kami dari kursi di sebelah.

"Kayak begitu kok kalo diajak ke pasar galaknya minta ampun," ibu mengeluh. "Tangan ibu ditarik2. Diomelin. Nggak tau apa?

Jantungku udah ser2an..."

Bapak nyengir. "Lha wong saya jalan nanjak di depan rumah sini aja udah nggak kuat. Makanya nggak bisa lama2..." ia berusaha membela diri.

"Lha buktinya kok udah gitu masih sok2an macul tadi siang. Nanem pisang segala!" gantian ibu yang mengadu padaku."Nggak inget kata dokter... Dibilangin susah banget... Kalo udah sakit paling kita2 juga yang ketempuhan..."

Melihat mereka berdua menjadi tua merupakan seni kehidupan tersendiri. Bagaimana cinta diungkapkan dalam pertengkaran2 kecil.

Dalam bahasa tubuh yang sederhana. Dalam ketekunan menjalani aktivitas rutin yang telah kita lalui ribuan hari sebelumnya.

Bagaimana kesalahan dibuat dan maaf diberikan tanpa diminta.

Apakah kita dapat memberi arti kepada semua itu? Apakah cinta pada akhirnya benar-benar akan kita temukan?



=========

Bogor, 18 Maret 2008

No comments: