Sunday, August 08, 2004

Hikmah Rejeki Cibaduyut

Deru knalpot ojek meletup di belakang pantatku. Kali ini aku pulang melalui Ampera dari kantor teman di Kemang. Hari ini hari minggu, tapi kantor temanku itu benar2 hommie sehingga libur pun tetap enak nongkrong di kantor. Apalagi bisnisnya production house iklan yang para pekerjanya berpakaian bebas seperti di rumah saja. Ia pun bisa ngantor dengan bercelana pendek saja.

Jam sudah lewat tengah malam ketika ojek berhenti di lampu merah jalan baru, TB Simatupang. Aku turun disini dan lanjut dengan angkot atau koantas bima kalau masih ada. Sekitar 40 menit sampai sejam lagi baru sampai ke rumahku di bilangan pondok gede.

"Berapa be?" tanyaku pendek.
"Yah terserah aje deh, dikasi nye berape...," abang tukang ojek berlagak pilon.
"Ya udeh goceng ye?" aku menyodorkan lima lembar ribuan lusuh padanya sesuai pesan Dhias pacar temanku.
"Makasih ye." abang ojek segera berlalu.

Aku berlari kecil menyeberang ke tepi jalan ke arah Kampung Rambutan. Sebuah angkot koasi coklat jurusan Kampung Rambutan-Kranggan ngetem menungguku. Di jalan baru, mendekati tengah malam tidak ada angkutan resmi yang beroperasi lagi. Jadi meski jalur ini bukan trayeknya, hanya angkot2 seperti ini yang dapat menolong penumpang yang pulang malam sepertiku.

Aku langsung melompat kedalam. Tak banyak penumpang di dalamnya. Dua orang yang kelihatannya satpam, pengemudi taksi, seorang pemuda keturunan seorang bapak setengah baya, aku dan satu atau dua orang lagi di samping sopir. Aku duduk diam dipojok mendengarkan percakapan pemuda keturunan tadi dengan si abang setengah baya tadi.

"Oh abang dari Medan? Saya juga dari Medan Bang, maksud saya Papi saya aslinya dari Medan" kata si pemuda keturunan tadi. Sebut saja namanya Acoy.
"Oh ya? Medannya mana?".
"Wah saya kurang tau namanya. Papi saya sudah meninggal sejak saya kecil sih. Saya juga belum pernah ke Medan" jawab acoy.
"Yah pulanglah ke Medan sekali2. Ziarah ke makam orang tua. Murah kok ke Medan sekarang ini. Abang bulan lalu habis ke Medan sekeluarga, naik bis dari UKI cuma 100 ribu seorang. Tengok lah orang tua" si abang menyarankan. Wajahnya tampak seperti orang melayu, putih dan tidak keras seperti wajah orang batak.
"Pengen sih, abang saya sih udah pernah semua kesana. Katanya naik pesawat sekarang juga murah ya..?" Acoy setengah bertanya meski kelihatannya sudah tau jawabannya.
"Ya lumayan murah. Paling 300 ribu sekali jalan. Setahun sekali boleh lah tengok makam orang tua. Saya pun makam orang tua semuanya di sana. Sekeluarga hanya abang ini yang merantau ke Jakarta."
"Suatu saat pasti saya kesana bang. Ngomong-ngomong abang sudah lama jualan di ciputat? Jualannya di kios pasar"
"Ah nggak, abang jualan di kaki lima, di semacam emper begitulah. Tapi yah sudah lama sekali. Ada barangkali 20 tahun. Sejak masih bujangan."
"Laris bang? Trus kalo kulakan dimana? Di Mauk?" Acoy ingin tau.
"Lumayan juga namanya juga dagang. Kadang sepi, kadang kalo lagi laris pernah juga dapat 6 juta sehari. Kalo gitu malam saya langsung pergi ke Bandung. Nggak sempat ganti pakaian lagi saya. Kalo tangerang itu sepatu olah raga, ambilnya ke daerah cikupa. Kalo Mauk dulu, sekarang kejauhan lah ke Mauk itu."

Sembari membenahi letak topi softballnya, si Abang melanjutkan. "Yah abang sih sudah terbiasa pulang balik Jakarta Bandung. Kalau masih keburu, habis ambil barang langsung saja balik ke Jakarta. Nggak ke rumah, Kranggan kejauhan, tapi langsung ke tempat dagang. Kan dari Rambutan banyak yang langsung ke Ciputat".

"Tapi abang di Cibaduyut sudah kenal baik. Kalau capek dan nggak bisa langsung pulang kita diserpis baik-baik oleh yang punya pabrik sepatu. Dikasih pula kita makan malam, bahkan disediakan pula kamar buat kita tidur semalam. Nggak bayar kita... Disana banyak orang dari seluruh indonesia. Ada dari Makassar-Ujungpandang, Medan, Palembang, dari mana2 saja ada. Nah, kau sendiri sudah lama kerja disitu? Setiap hari pulang malam terus, jam segini?"

"Belum lama sih bang, paling sebulan setengah. Masih baru sih restorannya, temen2 juga paling tiga bulanan. Biasanya tiga shift."
"Tapi enak kan disitu? Kelihatannya restoran mahal. Kau kerja jadi tukang masak kan? Gajinya pasti lumayan. Sudah berkeluarga?"
"Yah, belum tau sih, tapi kayaknya saya nggak kuat. Kerjaan gak ada habisnya. Saya baru minta tambahan tenaga lagi, tau dikasih apa nggak. Restoran dari Malaysia, minimal yah satu meja 150 ribu lah kalau berdua. Tapi seragam aja kita disuruh kasih jaminan 200ribu. Gaji standar, tapi kerjaannya berat banget. Besok aja saya minta cuti takut nggak dikasih. Mau istirahat di rumah sama anak. Tapi untungnya dikasih, padahal kalo nggak dikasih saya mau pindah kerja aja bulan depan." Acoy mulai berkeluh kesah.

"Kalo gitu keliatannya aja yang mahal ya? Pegawainya berat juga. Kau buka usaha saja sendiri. Coba kau tebak berapa umur abang?"
"35-37 an ya?" Acoy berhati2 menebak.
"Haha, abang ni 45 tahun lebih. Anak abang 3 orang sudah lulus 2 orang, sekarang kerja jadi pramuniaga lipstik di Sogo, Thamrin. Abang nggak kaya lah, tapi berdagang ini gak terlalu banyak pikiran. Ini sepatu pesanan tetangga. Tak ambil untung banyak, malu makan uang dari tetangga dekat. Tapi ini rejeki pula." si abang mengguncang beberapa kotak sepatu di dekat kakinya. "Meskipun tidak besar, punyalah abang rumah di Kranggan ini. Jauh sedikit tak apa. Tapi udaranya segar, airnya jernih karena masih banyak pohon rambutan." Lanjutnya sambil tersenyum.

Sopir terus menekan gas dengan keras membuat suzuki carry tua ini melesat seperti angin. Mataku yang setengah terpejam karena kantuk, menyala kembali karena kepalaku terantuk kaca belakang angkot. Sambil merunduk aku mengintip kedepan. Lampu merah Pasar Rebo sudah kelihatan. Aku menyiapkan uang recehan, turun dan berganti kendaraan ke arah Pondok Gede. Perjalanan masih setengah jam lagi. Setengah tertidur aku lanjutkan lagi mendengarkan dongeng kehidupan Acoy dan si Abang.


Jakarta, 9 Agustus 2004.



No comments: