Wednesday, August 18, 2004

Pemburu tua dari Cilele

Wasim berdiri di puncak bukit itu. Tangannya yang hitam menaungi matanya yang menyipit memandang jauh ke depan. Hari belum begitu tinggi, tapi panasnya menyengat di kulit. Wasim mengusap peluh di wajahnya. Dihadapannya hamparan semak belukar menutupi hamparan perbukitan kosong. Perjalanannya masih jauh, ia tak bisa berhenti lama-lama disini.

"Lewat mana Can?" teriaknya kepada temannya yang tertinggal beberapa langkah di belakang.

Cacan tak segera menjawab. Nafasnya tersengal-sengal menaiki bukit. Pundaknya memanggul sebuah senapan angin tua sedang dipunggulnya sebuah ransel dekil berisi makanan, air, dan sarung. Ia berhenti sejenak dan melemparkan pandangan ke punggung bukit sebelah tenggara.

"Itu asap arengan si Ujang, Kang. Kita turun ka Cikamadu lewat pisang utan, puter bawah gebang aja, sampe" jawab Cacan.

Wasim mengayunkan goloknya menebas semak2 yang menutupi jalan setapak itu. Golok atau parang tak terpisahkan dari kaum lelaki dusun. Maklum, sebagian besar tanah disini adalah kebun palawija, hutan perdu dan hutan jati. Di tepi2 air, hutan bambu hitam rimbun menutupi tanah dari pancaran matahari. Di semak2 dan rimbunan pohon semacam itu, celeng, ular sanca atau hewan buas lain beristirahat. Tak ada manusia yang bisa berteduh dibawahnya karena dipenuhi ranting2 bambu kering yang durinya sepanjang telunjuk.
 
Tanah hutan yang basah dan penuh humus membiarkan rerumputan dan perdu tumbuh dengan cepat. Mereka merambat dari berbagai arah membentuk jalinan kusut yang sulit ditembus. Bagi orang yang tidak mengenal hutan sebaik Wasim, semak seperti ini bisa menjadi sangat berbahaya. Karena semak2 itu menutupi ceruk2 anak sungai yang gelap dan dalam. Bila terjatuh, bukan tak mungkin kaki patah. Belum lagi terkena duri perdu yang seperti rentetan panjang gigi gergaji. Tanpa parang seisi "leuweng" ini berisi bahaya semata.
 
Tapi musuh bukan cuma alam, tanah, cuaca, pepohonan dan binatang. Di kawasan keras ini hati orang cepatlah panas. Sadigo, "salah dikit golok" bukan cuma olok2. Apalagi di musim kemarau panjang seperti sekarang ini. Harga sayuran dan palawija naik, tapi tak ada yang bisa dijual. Semua kering. Di masa begini, setandan pisang di tepi kebun akan menjadi masalah batas tanah yang pelik. Padahal, sebagai penggarap liar tak ada selambar suratpun yang menjadi pedoman.
  
"Oiiiii" Wasim berteriak ke serombongan orang yang sedang beristirahat di gubuk reot seberang sungai. Gemanya memantul ke seluruh hutan. Di sisi gubuk sebuah gundukan tanah mengepulkan asap seputih awan. Rupanya ujang sedang menyelesaikan pekerjaannya membuat arang. Timbunan kayu2 tunggul sedang dijemur. Kelihatannya baru saja di gali dari bekas pokok nangka hutan yang sudah ditebang di belakang gubuk.

"Oiii" Terdengar jawaban dari seberang.
"Endang sudah sampe tuh Can" tukas Wasim. Keduanya bergegas menuju gubuk darurat itu.

***

Tangan Endang yang kotor membuka rantang plastik kusam yang baru saja ia keluarkan dari ranselnya. Lalu ia menyodorkannya ke Wasim. Sepotong ubi jalar merah yang direbus matang, lumayan untuk mengisi perut lapar. Meski hanya sedikit, Endang menawarkannya berkeliling.
“Gimana Li? Kita jadi ke leuweng di kulon keramat batu? Katanya Lubis dapet menjangan di situ?” tanya Wasim kepada Ali yg sedang bersandar di batu padas dekat semak.
“Yah poe salasa mah udah kena sama si Lubis kang. Sekarang paling2 dapet kancil atau bagong” kata Ali sambil menggaruk2 kepalanya. Saudara sepupu Wasim ini memang paling sering menemaninya berburu. Meski badannya tak seberapa Ali bertenaga besar. Dia yang selalu bertugas membawa bekal dan hasil buruan berupa babi hutan atau menjangan. “Yah kita kesitu aja kang. Deket mata air.”
Musim kering ini banyak tempat di kawasan ini mengering drastis. Bahkan di hutan jati jauh di balik ribuan hektar hamparan lahan garapan ini kehilangan sumber air. Di masa seperti ini, berbagai macam hewan mendekati sumber air untuk melepaskan dahaga. Dan petani2 penggarap yang miskin disekeliling hutan ini secara rutin berburu ke sini untuk mencari tambahan penghasilan dengan menjual babi hutan ke orang Cina atau Lapo Batak di kota. Sedangkan hewan seperti menjangan atau kancil semakin hari semakin sulit ditemui.

“Oh iya, ngomong-ngomong kapan kita demon ke perhutani Kang?” kini giliran Badar berbicara. Si Badar ini selalu gagal bertani, apapun yang ditanam tak pernah untung bahkan untuk sehari2 pun kurang. Padahal orang tuanya petani tulen. Karena itu ia bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Entah menjadi buruh babat rumput, penunjuk jalan, buruh angkut, pacul, tukang, dan banyak lagi.

Namun tanahnya yang satu hektar setengah ia pertahankan setengah mati. Tanah negara ini memang terlantar sejak bertahun2 lalu. Petani2 inilah yang menghidupkan lahan yang berupa belukar menjadi perkebunan yang cantik. Sayang sekali, tanahnya yang berbukit2 hanya mengandalkan air tadah hujan. Sehingga petani harus benar2 ulet, hemat dan penuh strategi untuk bertahan. Justru saat sudah menjadi lahan inilah, petugas bersikeras menanam jati di atasnya. Dengan kata lain negara akan mengambil kembali haknya.

Di kelompok tani 7, Wasim yang tertua dan disegani. Ia tak hanya tua dari segi umur, tapi juga termasuk sedikit orang yang pertama kali berani membuka hutan ini. Di tanah yang tak tersentuh peradaban ini, pengalaman orang seperti Wasim hampir seperti layaknya ayat2 kitab suci. Terutama ketika berhadapan dengan pihak luar yang mempersoalkan status tanah mereka.

“Nah ini yang saya pengen saya omongkeun. Sesuai hasil rapat kumpul2 di rumah Pak Pali, besok hari kamis kita semua kumpul di pertigaan lahan si Somad terus ke Masjid. Semua kelompok, 24 kelompok, jadi sekitar 1000 KK sepakat untuk mencabut itu pohon jati dan membongkar pos perhutani.”

5 kepala pemburu plus 1 tukang arang menganguk-angguk mendengarkan ucapan Wasim. Mereka tak banyak bertanya lagi. Karena mereka sudah mendengar hal ini dari banyak orang. Tak berlama2 istirahat, mereka berenam melanjutkan perjalanan. Hanya Ujang yang tinggal menunggui arangnya matang. Sambil berjongkok bertelanjang dada, ia menghisap rokoknya menikmati angin semilir.

***

Semak2 bergerak-gerak pelan. Sesekali terdengar suara percikan kecil air seperti ada kaki-kaki kecil yang meninjaknya. Mereka sama sekali tak sengaja berjumpa dengan seekor induk babi hutan yang sedang mengasuh 6 ekor anaknya. Keenamnya sudah cukup besar, bila dapat induk dan beberapa anaknya psti dibayar mahal oleh babah iyong atau lapo.

Rupanya induk babi ini tertarik dengan rembesan mata air dangkal di bawah semak bandotan. Di bawah rimbunnya semak tersedia ruang seperti kubah yang cukup buat mereka bercengkrama bermain lumpur yang sejuk sambil memakan akar-akaran dan serangga. Malang, kubangan ini letaknya persis di sisi jalan setapak para pemburu.

Sang pemburu menyebar berkeliling. Di tangan mereka tergenggam erat klewang dan lembing tajam terhunus. Si induk terdiam mendadak, telinganya menegak mencari sumber suara yang mencurigakan. Penciumannya yang tajam menangkap bau manusia. Ia mengeluarkan suara panggilan kepada anak2naya dan beranjak pergi dengan tergesa. Moncongnya yang berlumpur menabrak sana sini mencari lubang untuk meloloskan diri.

Dengan ukuran sebesar itu ia hampir tak bisa lolos dari kepungan. Wasim dengan sigap menghadang di pintu lubang. Induk yang marah itu berlari kencang lurus tepat menerjang Wasim. Kedua bola matanya merah menyala. Namun Wasim yang telah siaga dengan mudah berkelit ke samping. Klewangnya yang berat menebas ke tengkuk induk babi. Tenaga Wasim mengalir membelah leher hewan malang itu. Dengan leher terluka ia terus berlari dan mencoba menyeruduk acan yang baru saja menangkap anaknya.

Cacan melompat ke balik bongkahan cadas. Tangannya memegang erat kedua kaki belakang anak babi tadi. Sang induk berhenti sejenak mengambil nafas dan ancang2 untuk menyerang lagi. Naluri keibuannya seakan membuatnya lupa akan rasa sakit dari luka di lehernya. Darahnya menyembur kencang saat ia berlari menyeruduk kaki Ali. Sayang tumbukan itu sedikit meleset dari sasaran. Sebilah lembing terbang merobek tubuhnya. Induk babi itu segera terkapar. Matanya meredup dan perutnya kembang kempis meregang nyawa. Wasim dan kawan2 menatapnya dengan datar sambil mengikat kaki anak-anak babi hutan itu. 4 ekor berhasil ditangkap hidup-hidup 2 lainnya berhasil menghilang ke arah sungai.

Perburuan kali ini telah berakhir. Mereka memang tak berencana bermalam lebih dari semalam di hutan untuk menunggu buruan. Jadi hasil hari ini cukup memuaskan untuk dibagi-bagi. Paling tidak 1,5 kuintal daging bisa dibawa pulang. Dengan bilah-bilah bambu yang mereka tebang di tepi sungai Wasim dan kawan-kawan memanggul hewan buruannya ke kota.

***

"Ooooiiii!"
"Ooooiiii!"

Para petani saling menyapa dari jauh. Dari tengah2 kebun palawija yang subur orang-orang berkulit hitam legam bermunculan. Di tiap persimpangan jumlahnya semakin banyak. Suara mereka riuh rendah mengobrol penuh semangat. Berbagai bahasa ada, karena penggarap disini tak hanya orang lokal. Banyak orang-orang dari jakarta ikut pula mengadu nasib dan modal disini. Mereka telah menanamkan usaha kehidupannya di tanah ini, karena itu tak ada yang berhak mengambilnya kembali sebelum hak mereka dipenuhi.

Sepagi ini mereka bergegas ke lahan kelompok 9 di tepi hutan tenggara. Disana petugas perhutani sedang menanami bibit pohon jati di lahan garapan rakyat. Lahan ini memang milik negara, tapi konon dulu pernah dipindahtangan ke seorang konglomerat ternama. Lahan yang dulunya hutan jati ini kemudian gagal diubah menjadi kawasan industri karena si pengusaha kena imbas krisis ekonomi. Janjinya mengganti dengan lahan yang lebih luas di bagian lain pulau Jawa ini tak pernah kejadian. Akibatnya puluhan ribu hutan yang terlanjur ditebang terlantar begitu saja.

Di tangan rakyat kecil, semuanya menjadi lahan pertanian. Ada yang berhasil tapi banyak juga yang gagal. Tapi petani tak pernah menyerah. Dalam beberapa tahun selangkah demi selangkah kawasan ini jadi hijau teratur oleh tanaman. Padi di musim hujan dan palawija di musim kemarau. Keindahannya harmonis dengan otot-otot pekerja keras yang membalikkan tanah dengan cangkul tajam.

"Ayo cabut!" teriak Wasim memberi komando. Para petani serentak bergerak menyebar dan mencabuti bibit jati yang telah tertancap di tanah. Mereka mengumpulkannya di tanah yang lapang dan membakarnya.

Sebuah truk petugas perhutani disertai jagawana dan polisi berdatangan. Mereka ingin mencegak tindakan orang-orang yang marah itu. Tapi apa daya mereka menghadapi ribuan orang. Jarot seorang jagawana kekar mencoba bertindak agresif. Orang ini memang terkenal memiliki tabiat yang jelek. Dalam seragamnya ini ia menangkapi pencari kayu atau pemburu. Namun hasilnya tak pernah sampai ke kantor.

"Duggg!" popor senapan jarut menghantap pelipis Cacan. Darah muncrat memerahkan wajahnya.

"Hajaarrr si Jarot bangsatttt!" Wasim menghantamkan tinjunya dari belakang kepala. Jarot tersungkur. Dalam hitungan menit bertubi-tubi tinju, tendangan dan hujaman senjata tajam mendarat di tubuhnya. Petugas yang berlarian melerai tak dapat menyelamatkan nyawanya. Polisi langsung menembakkan senapan ke udara. Para pengeroyok bubar. Wasim yang dihantui ketakutan berlari kencang mencari persembunyian di tepi hutan.

***

Malam ini Wasim akhirnya pulang setelah 2 hari 2 malam bersembunyi di hutan. Dengan langkah gontai dan kepala menunduk ia berjalan memasuki halaman gubuknya. Beberapa petani dan polisi mengiringinya. Obor2 minyak tanah di tangan mereka menerangi halaman gubuk Wasim. Istrinya berlari menghambur ke pelukannya menangis penuh sedu sedan.

"Kang, kenapa jadi begini kang? Kenapa akang bunuh Jarot Kang?"

Putri tertuanya keluar dari dalam gubug dengan dipapah sudara laki-lakinya. Tubuhnya lemah, dan matanya lebam penuh kedukaan.

"Anak kita Kang, Halimah... Cucu kita, jadi nggak punya bapak..."


Jakarta, 18 Agustus 2004




No comments: