Thursday, August 19, 2004

Guruku Pak Abdul Rojak

Sambil membaca artikel Dai satu triliun di www.gatra.com, aku terkenang pada guruku yang sederhana, Pak Ustadz Abdul Rojak. Beliau guru ngaji kami sekeluarga. Orangnya baik, sederhana dan punya suara yang sangat merdu kalau mengaji. Beliau juga orang pertama yang membangunkan umat di sekitar dengan alunan azannya yang sejuk. Kini setelah beberapa tahun beliau kembali kepada sang khalik kami tetap merindukan suara nya. Terlebih menjelang bulan ramadhan ini, ah semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulia.

***

Setiap malam selasa dan jumat, Pak Rojak datang kerumah. Beliau mengajar kami sekeluarga mengaji. Acara mengaji tak akan dimulai sebelum kita membaca tahlil dan mengirimkan surat Al Fatihah kepada para ahlil kubur. Juga tak lupa mendoakan ahlul bayt, Datuk Banjir Kramat Pangeran Syarif Kampung Lubang Buaya, ulama lokal yang konon pahlawan Betawi yang masih keluarga Pangeran Wijayakrama pendiri kota Jakarta. Ada dongeng tentang beliau yang akan saya ceritakan di lain waktu.

Setalah tahlil selesai, mulailah kami bergiliran membaca Qur'an. Kakak-kakak yang sudah lebih dahulu bisa mengaji membuka Quran. sedangkan kami masih harus di Juz Amma. Karena kami keluarga besar 8 bersaudara, menunggu giliran sangat membosankan. Rasanya tak sabaran menunggu kakak selesai membaca satu atau dua "Ain". Kelopak mata rasanya ingin jatuh. Entah kenapa kalau mengaji rasa kantuk datangnya bertubi2 :-p

Setelah semuanya selesai mengaji bergiliran, beliau mengambil kapur tulis dan mengajar kami huruf hijaiyah. Maksudnya supaya kami bisa membaca dan menulis bahasa arab. Dan kalau keasyikan mengajar, waktunya bisa molor sampai jam 11 malam. Saya senang bisa membaca dan menulis arab, tapi... uuugh, its a torture buat anak2 SD seperti saya. Tapi ternyata kakak2 saya juga sering begitu. Dan kami mulai membuat lawakan2 lucu tentang beliau, tentu saja itu kami bicarakan setelah beliau pulang :D Meski demikian kami sangat menghormati beliau. Karena beliau memberikan tauladan yang baik dalam bekerja.

***

Di luar waktunya sebagai guru ngaji, pengurus musholla dan majlis2 taklim, beliau mau bekerja apa saja. Beliau bahkan mau bekerja di rumah kami sebagai tukang bangunan, menggali septic tank, mengebor sumur pompa dan banyak hal lagi yang bisa beliau kerjakan. Saat bekerja seperti itu baru kami tau bahwa di bawah peci hitamnya yang mulus beliau menyembunyikan kepalanya yang mulai botak. Mungkin beliau memang terlihat ganteng dengan peci.

Sembari bekerja ia berceloteh tentang masa mudanya. Tentang keluarganya di Cikokol, tentang ibunya yang baik, tentang bagaimana ia bertemu istrinya Rokhayah, tentang anak-anaknya atau guru2nya di majlis taklim. Dalam wajahnya yang masih terlihat cukup muda tersimpan usia yang panjang. Kami sangat menikmati kisahnya tentang perjuangan kemerdekaan, daan yahya dan leluhurnya. Ceritanya begitu indah, terutama bagi kami yang pengetahuannya hanya sejauh hamparan sawah di samping rumah.

Malam hari waktunya ronda siskamling, Pak Rojak tak ketinggalan. Kami menyediakan seceret besar kopi panas dan banyak makanan. Biasanya ibu akan merebus atau menggoreng singkong atau pisang, membuat getuk, ketmus atau combro misro. Semua serba tradisional. Lepas jam 9 malam kami menggelar tikar di teras depan rumah dan menyajikan makanan dan kopi di sana. Begitu beranjak malam, satu persatu warga yang mendapat giliran mulai berdatangan membawa senter panjang dan senjata seadanya.

Pak Rojak bersiaga dengan senjata andalannya berupa gada berpaku. Gada itu peninggalan neneknya Nyai Pentil. Entah kenapa ia selalu membawanya saat meronda, meskipun teman2 ronda suka tergelak melihat keunikan senjatanya. Mungkin saja itu barang bertuah namanya saja barang peninggalan. Tapi kalau saya jadi maling, pasti merinding juga melihatnya.

***

Sesekali waktu Pak Rojak tak dapat hadir mengajar. Kadang ia mendapat panggilan untuk memimpin tahlilan kenduri di lingkungan atau majlis taklim. Biasanya kami bersorak gembira. Kadangkala pula istri atau anaknya datang ke rumah mengirim berita berhalangan karena harus mengaji kubur atau makam. Kadang cuma tiga hari kadang seminggu penuh.

Sudah menjadi adat istiadat di betawi pinggiran sini utnuk mengirim doa, yassin dan khataman Al Quran. Ulama seperti Pak Rojak lah yang dipanggil untuk mengaji. Dengan tenda plastik biru, beralaskan tikar Pak Rojak bergiliran dengan tiga temannya bergiliran mengaji secara nonstop 24 jam sehari selama 7 hari disisi makam yg masih merah. Tak perduli musim kemarau atau hujan, beliau menunaikan tugasnya dengan ikhlas.

Saya mungkin tak akan pernah paham mengapa beliau mau mengaji di tempat seseram itu meskipun dibayar cukup lumayan. Bayangkan saja bergadang di pekuburan umum kampung yang serba gulita. Waktu itu kampung kami masih serba hijau oleh persawahan dan kebun. Pagi-pagi kabut masih banyak mengawang rendah di atas tanah. Di musim hujan petir bagai tembakan meriam menyambar pucuk-pucuk pohon kelapa yang menjulang ke langit. Airnya bagaikan dicurahkan dari langit dan menerpa keras bumi oleh angin ribut. Kalau kita mungkin sudah lari tunggang langgang.

Kini beliau sudah tiada, rekan2nya mengaji juga sudah beranjak uzur. Azan subuh di mushola yang beliau bina telah digantikan oleh teman SD saya, Hasan. Adat mengaji makam juga sudah mulai berkurang. Meskipun keluarganya hidup sangat sederhana, dalam kepergiannya ia menyisakan dana asuransi untuk menghidupi istrinya. Anak-anaknya yang dahulu sempat agak berandal, kini satu-satu membina kehidupan yang baik. Meski tak ada yang mengaji tujuh hari tujuh malam disisi kuburnya, kepergian guruku Pak Ustadz Abdul Rojak disholatkan serta diantar begitu banyak orang.

jakarta 19 Agustus 2004

Wednesday, August 18, 2004

Pemburu tua dari Cilele

Wasim berdiri di puncak bukit itu. Tangannya yang hitam menaungi matanya yang menyipit memandang jauh ke depan. Hari belum begitu tinggi, tapi panasnya menyengat di kulit. Wasim mengusap peluh di wajahnya. Dihadapannya hamparan semak belukar menutupi hamparan perbukitan kosong. Perjalanannya masih jauh, ia tak bisa berhenti lama-lama disini.

"Lewat mana Can?" teriaknya kepada temannya yang tertinggal beberapa langkah di belakang.

Cacan tak segera menjawab. Nafasnya tersengal-sengal menaiki bukit. Pundaknya memanggul sebuah senapan angin tua sedang dipunggulnya sebuah ransel dekil berisi makanan, air, dan sarung. Ia berhenti sejenak dan melemparkan pandangan ke punggung bukit sebelah tenggara.

"Itu asap arengan si Ujang, Kang. Kita turun ka Cikamadu lewat pisang utan, puter bawah gebang aja, sampe" jawab Cacan.

Wasim mengayunkan goloknya menebas semak2 yang menutupi jalan setapak itu. Golok atau parang tak terpisahkan dari kaum lelaki dusun. Maklum, sebagian besar tanah disini adalah kebun palawija, hutan perdu dan hutan jati. Di tepi2 air, hutan bambu hitam rimbun menutupi tanah dari pancaran matahari. Di semak2 dan rimbunan pohon semacam itu, celeng, ular sanca atau hewan buas lain beristirahat. Tak ada manusia yang bisa berteduh dibawahnya karena dipenuhi ranting2 bambu kering yang durinya sepanjang telunjuk.
 
Tanah hutan yang basah dan penuh humus membiarkan rerumputan dan perdu tumbuh dengan cepat. Mereka merambat dari berbagai arah membentuk jalinan kusut yang sulit ditembus. Bagi orang yang tidak mengenal hutan sebaik Wasim, semak seperti ini bisa menjadi sangat berbahaya. Karena semak2 itu menutupi ceruk2 anak sungai yang gelap dan dalam. Bila terjatuh, bukan tak mungkin kaki patah. Belum lagi terkena duri perdu yang seperti rentetan panjang gigi gergaji. Tanpa parang seisi "leuweng" ini berisi bahaya semata.
 
Tapi musuh bukan cuma alam, tanah, cuaca, pepohonan dan binatang. Di kawasan keras ini hati orang cepatlah panas. Sadigo, "salah dikit golok" bukan cuma olok2. Apalagi di musim kemarau panjang seperti sekarang ini. Harga sayuran dan palawija naik, tapi tak ada yang bisa dijual. Semua kering. Di masa begini, setandan pisang di tepi kebun akan menjadi masalah batas tanah yang pelik. Padahal, sebagai penggarap liar tak ada selambar suratpun yang menjadi pedoman.
  
"Oiiiii" Wasim berteriak ke serombongan orang yang sedang beristirahat di gubuk reot seberang sungai. Gemanya memantul ke seluruh hutan. Di sisi gubuk sebuah gundukan tanah mengepulkan asap seputih awan. Rupanya ujang sedang menyelesaikan pekerjaannya membuat arang. Timbunan kayu2 tunggul sedang dijemur. Kelihatannya baru saja di gali dari bekas pokok nangka hutan yang sudah ditebang di belakang gubuk.

"Oiii" Terdengar jawaban dari seberang.
"Endang sudah sampe tuh Can" tukas Wasim. Keduanya bergegas menuju gubuk darurat itu.

***

Tangan Endang yang kotor membuka rantang plastik kusam yang baru saja ia keluarkan dari ranselnya. Lalu ia menyodorkannya ke Wasim. Sepotong ubi jalar merah yang direbus matang, lumayan untuk mengisi perut lapar. Meski hanya sedikit, Endang menawarkannya berkeliling.
“Gimana Li? Kita jadi ke leuweng di kulon keramat batu? Katanya Lubis dapet menjangan di situ?” tanya Wasim kepada Ali yg sedang bersandar di batu padas dekat semak.
“Yah poe salasa mah udah kena sama si Lubis kang. Sekarang paling2 dapet kancil atau bagong” kata Ali sambil menggaruk2 kepalanya. Saudara sepupu Wasim ini memang paling sering menemaninya berburu. Meski badannya tak seberapa Ali bertenaga besar. Dia yang selalu bertugas membawa bekal dan hasil buruan berupa babi hutan atau menjangan. “Yah kita kesitu aja kang. Deket mata air.”
Musim kering ini banyak tempat di kawasan ini mengering drastis. Bahkan di hutan jati jauh di balik ribuan hektar hamparan lahan garapan ini kehilangan sumber air. Di masa seperti ini, berbagai macam hewan mendekati sumber air untuk melepaskan dahaga. Dan petani2 penggarap yang miskin disekeliling hutan ini secara rutin berburu ke sini untuk mencari tambahan penghasilan dengan menjual babi hutan ke orang Cina atau Lapo Batak di kota. Sedangkan hewan seperti menjangan atau kancil semakin hari semakin sulit ditemui.

“Oh iya, ngomong-ngomong kapan kita demon ke perhutani Kang?” kini giliran Badar berbicara. Si Badar ini selalu gagal bertani, apapun yang ditanam tak pernah untung bahkan untuk sehari2 pun kurang. Padahal orang tuanya petani tulen. Karena itu ia bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Entah menjadi buruh babat rumput, penunjuk jalan, buruh angkut, pacul, tukang, dan banyak lagi.

Namun tanahnya yang satu hektar setengah ia pertahankan setengah mati. Tanah negara ini memang terlantar sejak bertahun2 lalu. Petani2 inilah yang menghidupkan lahan yang berupa belukar menjadi perkebunan yang cantik. Sayang sekali, tanahnya yang berbukit2 hanya mengandalkan air tadah hujan. Sehingga petani harus benar2 ulet, hemat dan penuh strategi untuk bertahan. Justru saat sudah menjadi lahan inilah, petugas bersikeras menanam jati di atasnya. Dengan kata lain negara akan mengambil kembali haknya.

Di kelompok tani 7, Wasim yang tertua dan disegani. Ia tak hanya tua dari segi umur, tapi juga termasuk sedikit orang yang pertama kali berani membuka hutan ini. Di tanah yang tak tersentuh peradaban ini, pengalaman orang seperti Wasim hampir seperti layaknya ayat2 kitab suci. Terutama ketika berhadapan dengan pihak luar yang mempersoalkan status tanah mereka.

“Nah ini yang saya pengen saya omongkeun. Sesuai hasil rapat kumpul2 di rumah Pak Pali, besok hari kamis kita semua kumpul di pertigaan lahan si Somad terus ke Masjid. Semua kelompok, 24 kelompok, jadi sekitar 1000 KK sepakat untuk mencabut itu pohon jati dan membongkar pos perhutani.”

5 kepala pemburu plus 1 tukang arang menganguk-angguk mendengarkan ucapan Wasim. Mereka tak banyak bertanya lagi. Karena mereka sudah mendengar hal ini dari banyak orang. Tak berlama2 istirahat, mereka berenam melanjutkan perjalanan. Hanya Ujang yang tinggal menunggui arangnya matang. Sambil berjongkok bertelanjang dada, ia menghisap rokoknya menikmati angin semilir.

***

Semak2 bergerak-gerak pelan. Sesekali terdengar suara percikan kecil air seperti ada kaki-kaki kecil yang meninjaknya. Mereka sama sekali tak sengaja berjumpa dengan seekor induk babi hutan yang sedang mengasuh 6 ekor anaknya. Keenamnya sudah cukup besar, bila dapat induk dan beberapa anaknya psti dibayar mahal oleh babah iyong atau lapo.

Rupanya induk babi ini tertarik dengan rembesan mata air dangkal di bawah semak bandotan. Di bawah rimbunnya semak tersedia ruang seperti kubah yang cukup buat mereka bercengkrama bermain lumpur yang sejuk sambil memakan akar-akaran dan serangga. Malang, kubangan ini letaknya persis di sisi jalan setapak para pemburu.

Sang pemburu menyebar berkeliling. Di tangan mereka tergenggam erat klewang dan lembing tajam terhunus. Si induk terdiam mendadak, telinganya menegak mencari sumber suara yang mencurigakan. Penciumannya yang tajam menangkap bau manusia. Ia mengeluarkan suara panggilan kepada anak2naya dan beranjak pergi dengan tergesa. Moncongnya yang berlumpur menabrak sana sini mencari lubang untuk meloloskan diri.

Dengan ukuran sebesar itu ia hampir tak bisa lolos dari kepungan. Wasim dengan sigap menghadang di pintu lubang. Induk yang marah itu berlari kencang lurus tepat menerjang Wasim. Kedua bola matanya merah menyala. Namun Wasim yang telah siaga dengan mudah berkelit ke samping. Klewangnya yang berat menebas ke tengkuk induk babi. Tenaga Wasim mengalir membelah leher hewan malang itu. Dengan leher terluka ia terus berlari dan mencoba menyeruduk acan yang baru saja menangkap anaknya.

Cacan melompat ke balik bongkahan cadas. Tangannya memegang erat kedua kaki belakang anak babi tadi. Sang induk berhenti sejenak mengambil nafas dan ancang2 untuk menyerang lagi. Naluri keibuannya seakan membuatnya lupa akan rasa sakit dari luka di lehernya. Darahnya menyembur kencang saat ia berlari menyeruduk kaki Ali. Sayang tumbukan itu sedikit meleset dari sasaran. Sebilah lembing terbang merobek tubuhnya. Induk babi itu segera terkapar. Matanya meredup dan perutnya kembang kempis meregang nyawa. Wasim dan kawan2 menatapnya dengan datar sambil mengikat kaki anak-anak babi hutan itu. 4 ekor berhasil ditangkap hidup-hidup 2 lainnya berhasil menghilang ke arah sungai.

Perburuan kali ini telah berakhir. Mereka memang tak berencana bermalam lebih dari semalam di hutan untuk menunggu buruan. Jadi hasil hari ini cukup memuaskan untuk dibagi-bagi. Paling tidak 1,5 kuintal daging bisa dibawa pulang. Dengan bilah-bilah bambu yang mereka tebang di tepi sungai Wasim dan kawan-kawan memanggul hewan buruannya ke kota.

***

"Ooooiiii!"
"Ooooiiii!"

Para petani saling menyapa dari jauh. Dari tengah2 kebun palawija yang subur orang-orang berkulit hitam legam bermunculan. Di tiap persimpangan jumlahnya semakin banyak. Suara mereka riuh rendah mengobrol penuh semangat. Berbagai bahasa ada, karena penggarap disini tak hanya orang lokal. Banyak orang-orang dari jakarta ikut pula mengadu nasib dan modal disini. Mereka telah menanamkan usaha kehidupannya di tanah ini, karena itu tak ada yang berhak mengambilnya kembali sebelum hak mereka dipenuhi.

Sepagi ini mereka bergegas ke lahan kelompok 9 di tepi hutan tenggara. Disana petugas perhutani sedang menanami bibit pohon jati di lahan garapan rakyat. Lahan ini memang milik negara, tapi konon dulu pernah dipindahtangan ke seorang konglomerat ternama. Lahan yang dulunya hutan jati ini kemudian gagal diubah menjadi kawasan industri karena si pengusaha kena imbas krisis ekonomi. Janjinya mengganti dengan lahan yang lebih luas di bagian lain pulau Jawa ini tak pernah kejadian. Akibatnya puluhan ribu hutan yang terlanjur ditebang terlantar begitu saja.

Di tangan rakyat kecil, semuanya menjadi lahan pertanian. Ada yang berhasil tapi banyak juga yang gagal. Tapi petani tak pernah menyerah. Dalam beberapa tahun selangkah demi selangkah kawasan ini jadi hijau teratur oleh tanaman. Padi di musim hujan dan palawija di musim kemarau. Keindahannya harmonis dengan otot-otot pekerja keras yang membalikkan tanah dengan cangkul tajam.

"Ayo cabut!" teriak Wasim memberi komando. Para petani serentak bergerak menyebar dan mencabuti bibit jati yang telah tertancap di tanah. Mereka mengumpulkannya di tanah yang lapang dan membakarnya.

Sebuah truk petugas perhutani disertai jagawana dan polisi berdatangan. Mereka ingin mencegak tindakan orang-orang yang marah itu. Tapi apa daya mereka menghadapi ribuan orang. Jarot seorang jagawana kekar mencoba bertindak agresif. Orang ini memang terkenal memiliki tabiat yang jelek. Dalam seragamnya ini ia menangkapi pencari kayu atau pemburu. Namun hasilnya tak pernah sampai ke kantor.

"Duggg!" popor senapan jarut menghantap pelipis Cacan. Darah muncrat memerahkan wajahnya.

"Hajaarrr si Jarot bangsatttt!" Wasim menghantamkan tinjunya dari belakang kepala. Jarot tersungkur. Dalam hitungan menit bertubi-tubi tinju, tendangan dan hujaman senjata tajam mendarat di tubuhnya. Petugas yang berlarian melerai tak dapat menyelamatkan nyawanya. Polisi langsung menembakkan senapan ke udara. Para pengeroyok bubar. Wasim yang dihantui ketakutan berlari kencang mencari persembunyian di tepi hutan.

***

Malam ini Wasim akhirnya pulang setelah 2 hari 2 malam bersembunyi di hutan. Dengan langkah gontai dan kepala menunduk ia berjalan memasuki halaman gubuknya. Beberapa petani dan polisi mengiringinya. Obor2 minyak tanah di tangan mereka menerangi halaman gubuk Wasim. Istrinya berlari menghambur ke pelukannya menangis penuh sedu sedan.

"Kang, kenapa jadi begini kang? Kenapa akang bunuh Jarot Kang?"

Putri tertuanya keluar dari dalam gubug dengan dipapah sudara laki-lakinya. Tubuhnya lemah, dan matanya lebam penuh kedukaan.

"Anak kita Kang, Halimah... Cucu kita, jadi nggak punya bapak..."


Jakarta, 18 Agustus 2004




Sunday, August 15, 2004

Freedom

Man is free at the moment he wishes to be."

-Voltaire

Thursday, August 12, 2004

City of Angels

I rather like one touch of her hand, one smell of her hair, one kiss of
her lips, than living in eternity without it.
(City of Angels, 1998)

Sunday, August 08, 2004

Hikmah Rejeki Cibaduyut

Deru knalpot ojek meletup di belakang pantatku. Kali ini aku pulang melalui Ampera dari kantor teman di Kemang. Hari ini hari minggu, tapi kantor temanku itu benar2 hommie sehingga libur pun tetap enak nongkrong di kantor. Apalagi bisnisnya production house iklan yang para pekerjanya berpakaian bebas seperti di rumah saja. Ia pun bisa ngantor dengan bercelana pendek saja.

Jam sudah lewat tengah malam ketika ojek berhenti di lampu merah jalan baru, TB Simatupang. Aku turun disini dan lanjut dengan angkot atau koantas bima kalau masih ada. Sekitar 40 menit sampai sejam lagi baru sampai ke rumahku di bilangan pondok gede.

"Berapa be?" tanyaku pendek.
"Yah terserah aje deh, dikasi nye berape...," abang tukang ojek berlagak pilon.
"Ya udeh goceng ye?" aku menyodorkan lima lembar ribuan lusuh padanya sesuai pesan Dhias pacar temanku.
"Makasih ye." abang ojek segera berlalu.

Aku berlari kecil menyeberang ke tepi jalan ke arah Kampung Rambutan. Sebuah angkot koasi coklat jurusan Kampung Rambutan-Kranggan ngetem menungguku. Di jalan baru, mendekati tengah malam tidak ada angkutan resmi yang beroperasi lagi. Jadi meski jalur ini bukan trayeknya, hanya angkot2 seperti ini yang dapat menolong penumpang yang pulang malam sepertiku.

Aku langsung melompat kedalam. Tak banyak penumpang di dalamnya. Dua orang yang kelihatannya satpam, pengemudi taksi, seorang pemuda keturunan seorang bapak setengah baya, aku dan satu atau dua orang lagi di samping sopir. Aku duduk diam dipojok mendengarkan percakapan pemuda keturunan tadi dengan si abang setengah baya tadi.

"Oh abang dari Medan? Saya juga dari Medan Bang, maksud saya Papi saya aslinya dari Medan" kata si pemuda keturunan tadi. Sebut saja namanya Acoy.
"Oh ya? Medannya mana?".
"Wah saya kurang tau namanya. Papi saya sudah meninggal sejak saya kecil sih. Saya juga belum pernah ke Medan" jawab acoy.
"Yah pulanglah ke Medan sekali2. Ziarah ke makam orang tua. Murah kok ke Medan sekarang ini. Abang bulan lalu habis ke Medan sekeluarga, naik bis dari UKI cuma 100 ribu seorang. Tengok lah orang tua" si abang menyarankan. Wajahnya tampak seperti orang melayu, putih dan tidak keras seperti wajah orang batak.
"Pengen sih, abang saya sih udah pernah semua kesana. Katanya naik pesawat sekarang juga murah ya..?" Acoy setengah bertanya meski kelihatannya sudah tau jawabannya.
"Ya lumayan murah. Paling 300 ribu sekali jalan. Setahun sekali boleh lah tengok makam orang tua. Saya pun makam orang tua semuanya di sana. Sekeluarga hanya abang ini yang merantau ke Jakarta."
"Suatu saat pasti saya kesana bang. Ngomong-ngomong abang sudah lama jualan di ciputat? Jualannya di kios pasar"
"Ah nggak, abang jualan di kaki lima, di semacam emper begitulah. Tapi yah sudah lama sekali. Ada barangkali 20 tahun. Sejak masih bujangan."
"Laris bang? Trus kalo kulakan dimana? Di Mauk?" Acoy ingin tau.
"Lumayan juga namanya juga dagang. Kadang sepi, kadang kalo lagi laris pernah juga dapat 6 juta sehari. Kalo gitu malam saya langsung pergi ke Bandung. Nggak sempat ganti pakaian lagi saya. Kalo tangerang itu sepatu olah raga, ambilnya ke daerah cikupa. Kalo Mauk dulu, sekarang kejauhan lah ke Mauk itu."

Sembari membenahi letak topi softballnya, si Abang melanjutkan. "Yah abang sih sudah terbiasa pulang balik Jakarta Bandung. Kalau masih keburu, habis ambil barang langsung saja balik ke Jakarta. Nggak ke rumah, Kranggan kejauhan, tapi langsung ke tempat dagang. Kan dari Rambutan banyak yang langsung ke Ciputat".

"Tapi abang di Cibaduyut sudah kenal baik. Kalau capek dan nggak bisa langsung pulang kita diserpis baik-baik oleh yang punya pabrik sepatu. Dikasih pula kita makan malam, bahkan disediakan pula kamar buat kita tidur semalam. Nggak bayar kita... Disana banyak orang dari seluruh indonesia. Ada dari Makassar-Ujungpandang, Medan, Palembang, dari mana2 saja ada. Nah, kau sendiri sudah lama kerja disitu? Setiap hari pulang malam terus, jam segini?"

"Belum lama sih bang, paling sebulan setengah. Masih baru sih restorannya, temen2 juga paling tiga bulanan. Biasanya tiga shift."
"Tapi enak kan disitu? Kelihatannya restoran mahal. Kau kerja jadi tukang masak kan? Gajinya pasti lumayan. Sudah berkeluarga?"
"Yah, belum tau sih, tapi kayaknya saya nggak kuat. Kerjaan gak ada habisnya. Saya baru minta tambahan tenaga lagi, tau dikasih apa nggak. Restoran dari Malaysia, minimal yah satu meja 150 ribu lah kalau berdua. Tapi seragam aja kita disuruh kasih jaminan 200ribu. Gaji standar, tapi kerjaannya berat banget. Besok aja saya minta cuti takut nggak dikasih. Mau istirahat di rumah sama anak. Tapi untungnya dikasih, padahal kalo nggak dikasih saya mau pindah kerja aja bulan depan." Acoy mulai berkeluh kesah.

"Kalo gitu keliatannya aja yang mahal ya? Pegawainya berat juga. Kau buka usaha saja sendiri. Coba kau tebak berapa umur abang?"
"35-37 an ya?" Acoy berhati2 menebak.
"Haha, abang ni 45 tahun lebih. Anak abang 3 orang sudah lulus 2 orang, sekarang kerja jadi pramuniaga lipstik di Sogo, Thamrin. Abang nggak kaya lah, tapi berdagang ini gak terlalu banyak pikiran. Ini sepatu pesanan tetangga. Tak ambil untung banyak, malu makan uang dari tetangga dekat. Tapi ini rejeki pula." si abang mengguncang beberapa kotak sepatu di dekat kakinya. "Meskipun tidak besar, punyalah abang rumah di Kranggan ini. Jauh sedikit tak apa. Tapi udaranya segar, airnya jernih karena masih banyak pohon rambutan." Lanjutnya sambil tersenyum.

Sopir terus menekan gas dengan keras membuat suzuki carry tua ini melesat seperti angin. Mataku yang setengah terpejam karena kantuk, menyala kembali karena kepalaku terantuk kaca belakang angkot. Sambil merunduk aku mengintip kedepan. Lampu merah Pasar Rebo sudah kelihatan. Aku menyiapkan uang recehan, turun dan berganti kendaraan ke arah Pondok Gede. Perjalanan masih setengah jam lagi. Setengah tertidur aku lanjutkan lagi mendengarkan dongeng kehidupan Acoy dan si Abang.


Jakarta, 9 Agustus 2004.



Thursday, August 05, 2004

The Library Hotel

New York, kota nomor satu di dunia. Dulu orang menyebut istilah melting pot, tapi kini ada lagi istilah "Salad Bowl" yang lebih memberi warna kebebasan. New York kota bisnis kelas dunia. Dan terlebih lagi gaya hidup berkelas.

Terletak di 41st Street ke arah timur Madison Avenue, di pusat kawasan bergengsi Manhattan berdiri sebuah hotel butik yang indah, The Library Hotel. Letaknya yang sangat strategis di antara restauran, toko, perkantoran, theater dan sentra kegiatan budaya. Salah satu sebab ia menggunakan nama The Library adalah karena letaknya yang tak jauh dari New York Public Library, perpustakaan umum terbesar di dunia.

Namun yang membuat The Library Hotel terkenal adalah hotel ini tak sekedar menyandang nama saja, ia juga menerapkan konsep pengelolaan perpustakaan dalam manajemen hotelnya. The Library Hotel merupakan hotel pertama di dunia yang menawarkan layanan koleksi 6000 judul buku yang di klasifikasikan berdasarkan Dewey Decimal Classification (DDC). DDC yang disusun oleh Melville Dewey, filsuf dan pustakawan adalah suatu struktur klasifikasi pengetahuan yang digunakan di lebih dari 135 negara di seluruh dunia. Setiap lantainya mewakili satu kelompok topik, dan masing-masing 60 kamarnya menyajikan koleksi buku pilihan yang unik bagi para tamunya.

Salah satu kamar yang paling terkenal adalah ruang "Erotic Literature". Di ruang ini para tamu disajikan "paket Erotica" untuk membangkitkan suasana romantis yang menyajikan kemewahan yang tak terlupakan bagi pasangan yang menikmati bulan madu atau memperingati ultah perkawinan. Salah satu ruangan selain dalam Erotic Literature yang bisa dipilih para tamu adalah Love Room. Kamar-kamar favorit di masing-masing lantai juga memiliki ukuran tempat tidur yang istimewa, termasuk Love room di kategori Filsafat yang memiliki ukuran King Size.

Beberapa fitur yang dapat anda nikmati dalam paket erotic antara lain:
- Champagne selamat datang,
- bunga mawar merah yang menghiasi seluruh ruangan, beberapa tangkai mawar di atas tempat tidur,
- Strawberry dan semangkuk Cool Whip rendah lemak(karena Samantha dalam "Sex and the City" mengatakan bahwa "it is less sticky than whipped cream"),
- Paket lengkap Kamasutra Love Essentials termasuk Honey Dust, Original Oil of Love, dan lubricating Love Liquid
- Video teknik pijatan Tantra
- Dan di akhir anda dapat memilih hadiah berupa buku: The Art of Arousal by Dr. Ruth Westheimer, Mars & Venus in the Bedroom by Dr. John Gray atau The Kama Sutra
Paket Erotica ini berharga USD650 per kamar per malam diluar pajak dan tentu saja anda harus memesan kamar laris ini jauh-jauh hari.

Bagi even-even khusus yang ingin anda selenggarakan di The Library seperti perkawinan atau rapat, tersedia ruangan yang klasik seperti The Poetry Garden(Taman Puisi) yaitu sebuah rumah ruang duduk berupa kaca yang indah dengan pintu seni Perancis yang membuka ke sebuah teras. Untuk acara-acara pertemuan yang lebih formal tersedia ruangan The Writers Den, The Perfect Duo, dan The Executive Inspiration Room.

Hotel yang klasik dan bersejarah ini juga dilengkapi akses internet berkecepatan tinggi T1 yang mendukung kegiatan bisnis para tamu selama di New York. Juga dilengkapi oleh koleksi 100 judul film terbaik American Film Institutes. Reading Room di lantai dua, Sports Club dan pelayanan keagamaan.

The Library yang merupakan top 10 hotel pilihan di New York, menawarkan kelas dan rasa yang terbaik. Jadi bila anda datang ke New York, The Library Hotel adalah salah satu pilihan kelas dunia. (Ado)


Sumber:
http://www.libraryhotel.com/
http://www.nypl.org



Wednesday, August 04, 2004

Denali Yang Agung

Mt McKinley berdiri tegak di tanah alaska sejak jutaan tahun berselang. Punggungnya yang terbentuk dari cadas keras memutih ditutupi salju dingin. Sobat lamanya kaum Athabasca dengan setia memujanya dengan memberikan nama yang indah, Denali "The Great One". Dengan ketinggian puncak selatan 20,320 kaki (6,194m) dan puncak utara 19,470 kaki (5,934m) ia bagai tak tersentuh. Bagi orang-orang Athabasca, sebagaimana adat kaum Indian, Denali adalah dewa alam yang gagah.

Di Alaska cuaca begitu cepat berubah, terlebih lagi di Denali. Hawa dingin yang pernah terekam secara ilmiah dapat mencapai -60 derajat Fahrenheit! Langit yang cerah bisa seketika diliputi badai. Belum lagi tebing-tebingnya yang berdiri hampir tegak lurus. Perjalanan menuju puncak Denali sangat mustahil bahkan bagi penduduk lokal.

Tahun 1909, sebuah expedisi kembali ke peradaban. Frederick A. Cook seorang penjelajah menjadi masyhur diseluruh negeri. Ia bahkan menghadiri undangan makan malam National Geographic Society bersama presiden Amerika, Theodore Roosevelt. Saat itu Cook adalah pahlawan, namanya tercantum dalam almanak sebagai salah satu pencapaian terbesar abad 20 bagi bangsa Amerika dengan menaklukkan Mt. McKinley tahun 1906, orang amerika pertama yang menjelajah kedua kutub dan orang pertama di dunia yang mencapai kutub utara. Di kemudian hari kebenaran klaim Cook tentang kutub utara dan Mt. McKinley ini menjadi perdebatan panjang. Admiral Robert E. Peary yang juga melakukan klaim terhadap ekspedisi ke kutub utara lebih mendapat pengakuan dari para ahli.

Ekspedisi pertama yang berhasil mencapai puncak Selatan adalah ekspedisi Hudson Stuck, seorang misionaris dan penjelajah kelahiran London yang beremigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1885. Stuck yang pernah menjadi uskup di Dallas, Texas kemudian menjadi uskup di Yukon alaska pada tahun 1905. Bersama tiga rekannya, Harry Karstens, Walter Harper, dan Robert Tatum ia berdiri di puncak Mt. McKinley pada Juni tahun 1913. Dan orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Selatan adalah Walter Harper, seorang Indian Athabasca.

Sedangkan puncak utara ditaklukkan oleh Expedisi Sourdoughs(Tom Lloyd, Charles McGonagall, Peter Anderson, dan Bill Taylor). McGonagall, Anderson, dan Taylor berhasil mencapai puncak pada 3 April 1910. Tiga tahun sebelum ekspedisi Hudson Stuck. Basecamp terakhir mereka berada di ketinggian 11.000 kaki. Dengan hanya berbekal donat dan coklat panas mereka mencoba beberapa kali ke puncak. Mereka juga menarik sebuah tiang bendera sepanjang 14 kaki dan memancangkannya di ketinggian 19.000 kaki.

Mereka berharap bendera itu dapat dilihat dari Fairbank sebagai bukti mereka telah mencapai puncak. Namun ternyata dalam jarak yang begitu jauh bendera itu sama sekali tak terlihat. Hal ini kemudian menimbulkan keraguan banyak pihak akan kesuksesan mereka. Apalagi kemudian Lloyd sempat membual bahwa mereka telah menaklukkan kedua puncak. Tiga tahun kemudian keraguan tersebut sirna, ketika Hudson Stuck melihat sebuah tiang tanpa bendera terpancang kuat di puncak utara. Kisah pendakian ini menjadi terkenal, mengingat expedisi Sourdoughs dilakukan oleh para pekerja tambang sama sekali bukan pendaki.

Kisah pendakian ke puncak McKinley oleh ekspedisi Hudson Stuck dan Sourdoughs memang tak luput oleh keraguan publik atas kebohongan Cook. Cook sendiri sempat menghilang beberapa tahun menghindari publik. Setelah ia dibebaskan dari penjara karena spekulasi bisnis minyak bumi pada 1930, ia mengajukan lagi tuntutan ke pengadilan atas penjelajahannya ke kutub utara.

Cook meninggal pada tahun 1940 karena menderita radang paru-paru. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Cook mendapatkan pengampunan dari Presiden Franklin Delano Roosevelt. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh sebuah ekspedisi di tahun 1994 dipastikan bahwa penjelajahan Cook pernah mencapai setidaknya 12.000 kaki menuju puncak. Namun hingga kini prestasinya sebagai pioneer penjelajahan ke kutub, dokter, fotografer dan penulis yang hebat terus dihantui perdebatan atas kebenaran klaimnya di puncak Denali dan titik paling utara bumi, kutub utara.



Sumber:
http://pearyhenson.org/polarcontroversy/
http://www.northernlatitude.com/denali.html
http://home.earthlink.net/~cookpeary/biography.html
http://www.cookpolar.org/about.htm
http://www.infoplease.com/

Recommended reading:
http://www.northernlatitude.com/reading.html

My "little" fellow Iacocca

Di musim panas 1934, seorang bocah berumur sepuluh tahun bergegas menarik gerobak menuju sebuah toko grosir. Ia tidak sedang berbelanja namun dengan tenang ia menunggu di depan toko. Ketika ada pelanggan membawa belanjaan keluar dari toko, bocah itu segera menyambutnya dengan ramah dan menawarkan jasa mengantarkan belanjaan menuju rumah untuk mendapatkan sedikit bayaran.

6 tahun kemudian bocah kecil itu tak lagi menarik gerobak kecilnya ke depan toko. Ia telah bekerja di sebuah toko buah-buahan. Di umur semuda itu ia telah terbiasa bekerja 16 jam sehari. Dengan semangat sebesar itu tak heran dalam beberapa tahun kemudian ia berhasil menamatkan studinya di Lehigh University, Bethlehem, Pa. di tahun 1945, kemudian meraih Master di bidang Engineering dari Princeton University di tahun 1946.

Pemuda ini segera memulai karirnya di Ford Motor Company sebagai seorang insinyur yang berbakat. Tapi orang segera tahu bahwa ia dilahirkan sebagai seorang penjual yang hebat. Perubahan ini yang di kemudian hari memperlihatkan kemampuan Iacocca yang monumental buat Ford. Dalam rentang karirnya sepanjang 21 tahun, inovasinya dalam organisasi dan kecerdasan yang ditempa dari jalanan melahirkan terobosan besar pada perusahaan. Salah satu idenya adalah dengan memperkenalkan gagasan "pembiayaan" di tahun 1950an yang membawanya menaiki jenjang senior di Ford karena berhasil menjual 750.000 mobil di luar target.

Salah satu proyek legendaris lain dari Iacocca adalah Fairlane Committee yang melahirkan Ford Mustang, Mercury Cougar dan Lincoln Mark III. Gaya manajemennya di proyek inilah yang membuatnya terkenal di seluruh dunia. Bagaimana ia menggunakan data-data pemasaran dengan baik, kesabarannya untuk mendengarkan masukan dari berbagai macam orang, serta kesiapannya dalam mengambil resiko dalam mengenalkan suatu produk baru membuatnya dicintai banyak orang. Kombinasi karakternya lah yang membawa kesuksesan bagi Mustang dan memberikan julukan baginya sebagai Bapak Mustang.

Di akhir 1975, Lee mengalami masalah dengan Henry Ford II. Idenya untuk membuat mobil yang kompak dengan penggerak roda depan. Perbedaan pendapat antara keduanya berakhir dengan pemecatan Lee. Namun hal itu tak berarti apa-apa buat seorang sekelas Lee. 2 November 1978, ia segera bergabung dengan Chrysler. Saat itu Chrysler hampir bangkrut. Produk-produk Chrysler yang boros bahan bakar tidak laku di pasaran.

Iacocca meminta bantuan dana dari pemerintah dengan asumsi bahwa pemerintah tak akan membiarkan Chrysler bangkrut apalagi disaat depresi sedang melanda. proposalnya menghadapi debat panjang tentang peran pemerintak dalam ekonomi pasar, Namun pada tahun 1980 pemerintah akhirnya menyetujui bantuan senila1 USD 1.5 milyar dengan syarat Chrysler dapat mengumpulkan dana sejumlah USD 2 milyar.

Di pundaknya terbeban tanggung jawab mencari dana pinjaman, melakukan efisiensi operasi, menutup pabrik, membujuk serikat pekerja menerima pengurangan tenaga dan pemotongan gaji. Di sisi lain ia berkonsentrasi mengeluarkan model terbaru yang lebih hemat bahan bakar, melancarkan kampanye iklan yang agresif, termasuk tampil secara pribadi di televisi dan media. Setahun kemudian, Chrysler mulai menunjukan sedikit keuntungan, namun dalam 3 tahun ke depan perusahaan itu berhasil memecahkan rekor dengan membukukan keuntungan sebesar USD 2.4 milyar! Iacocca mendadak menjadi pesohor. Autobiografi nya, Iacocca (1984), dan buku keduanya, Talking Straight (1988), menjadi best-seller. Iacocca mengakhiri karirnya sebagai Chief Executive di Chrysler pada tahun 1992.


Jakarta, 4 Agustus 2004
Diterjemahkan secara bebas dari Emediaplan dan Wikipedia.

Tuesday, August 03, 2004

Motivation is Everything

"Motivation is everything. You can do the work of two people, but you can't be two people. Instead, you have to inspire the next guy down the line and get him to inspire his people. "

-Lee Iacocca

Monday, August 02, 2004

Life - Socrates

Not life, but good life, is to be chiefly valued.

Socrates