Thursday, August 19, 2004

Guruku Pak Abdul Rojak

Sambil membaca artikel Dai satu triliun di www.gatra.com, aku terkenang pada guruku yang sederhana, Pak Ustadz Abdul Rojak. Beliau guru ngaji kami sekeluarga. Orangnya baik, sederhana dan punya suara yang sangat merdu kalau mengaji. Beliau juga orang pertama yang membangunkan umat di sekitar dengan alunan azannya yang sejuk. Kini setelah beberapa tahun beliau kembali kepada sang khalik kami tetap merindukan suara nya. Terlebih menjelang bulan ramadhan ini, ah semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulia.

***

Setiap malam selasa dan jumat, Pak Rojak datang kerumah. Beliau mengajar kami sekeluarga mengaji. Acara mengaji tak akan dimulai sebelum kita membaca tahlil dan mengirimkan surat Al Fatihah kepada para ahlil kubur. Juga tak lupa mendoakan ahlul bayt, Datuk Banjir Kramat Pangeran Syarif Kampung Lubang Buaya, ulama lokal yang konon pahlawan Betawi yang masih keluarga Pangeran Wijayakrama pendiri kota Jakarta. Ada dongeng tentang beliau yang akan saya ceritakan di lain waktu.

Setalah tahlil selesai, mulailah kami bergiliran membaca Qur'an. Kakak-kakak yang sudah lebih dahulu bisa mengaji membuka Quran. sedangkan kami masih harus di Juz Amma. Karena kami keluarga besar 8 bersaudara, menunggu giliran sangat membosankan. Rasanya tak sabaran menunggu kakak selesai membaca satu atau dua "Ain". Kelopak mata rasanya ingin jatuh. Entah kenapa kalau mengaji rasa kantuk datangnya bertubi2 :-p

Setelah semuanya selesai mengaji bergiliran, beliau mengambil kapur tulis dan mengajar kami huruf hijaiyah. Maksudnya supaya kami bisa membaca dan menulis bahasa arab. Dan kalau keasyikan mengajar, waktunya bisa molor sampai jam 11 malam. Saya senang bisa membaca dan menulis arab, tapi... uuugh, its a torture buat anak2 SD seperti saya. Tapi ternyata kakak2 saya juga sering begitu. Dan kami mulai membuat lawakan2 lucu tentang beliau, tentu saja itu kami bicarakan setelah beliau pulang :D Meski demikian kami sangat menghormati beliau. Karena beliau memberikan tauladan yang baik dalam bekerja.

***

Di luar waktunya sebagai guru ngaji, pengurus musholla dan majlis2 taklim, beliau mau bekerja apa saja. Beliau bahkan mau bekerja di rumah kami sebagai tukang bangunan, menggali septic tank, mengebor sumur pompa dan banyak hal lagi yang bisa beliau kerjakan. Saat bekerja seperti itu baru kami tau bahwa di bawah peci hitamnya yang mulus beliau menyembunyikan kepalanya yang mulai botak. Mungkin beliau memang terlihat ganteng dengan peci.

Sembari bekerja ia berceloteh tentang masa mudanya. Tentang keluarganya di Cikokol, tentang ibunya yang baik, tentang bagaimana ia bertemu istrinya Rokhayah, tentang anak-anaknya atau guru2nya di majlis taklim. Dalam wajahnya yang masih terlihat cukup muda tersimpan usia yang panjang. Kami sangat menikmati kisahnya tentang perjuangan kemerdekaan, daan yahya dan leluhurnya. Ceritanya begitu indah, terutama bagi kami yang pengetahuannya hanya sejauh hamparan sawah di samping rumah.

Malam hari waktunya ronda siskamling, Pak Rojak tak ketinggalan. Kami menyediakan seceret besar kopi panas dan banyak makanan. Biasanya ibu akan merebus atau menggoreng singkong atau pisang, membuat getuk, ketmus atau combro misro. Semua serba tradisional. Lepas jam 9 malam kami menggelar tikar di teras depan rumah dan menyajikan makanan dan kopi di sana. Begitu beranjak malam, satu persatu warga yang mendapat giliran mulai berdatangan membawa senter panjang dan senjata seadanya.

Pak Rojak bersiaga dengan senjata andalannya berupa gada berpaku. Gada itu peninggalan neneknya Nyai Pentil. Entah kenapa ia selalu membawanya saat meronda, meskipun teman2 ronda suka tergelak melihat keunikan senjatanya. Mungkin saja itu barang bertuah namanya saja barang peninggalan. Tapi kalau saya jadi maling, pasti merinding juga melihatnya.

***

Sesekali waktu Pak Rojak tak dapat hadir mengajar. Kadang ia mendapat panggilan untuk memimpin tahlilan kenduri di lingkungan atau majlis taklim. Biasanya kami bersorak gembira. Kadangkala pula istri atau anaknya datang ke rumah mengirim berita berhalangan karena harus mengaji kubur atau makam. Kadang cuma tiga hari kadang seminggu penuh.

Sudah menjadi adat istiadat di betawi pinggiran sini utnuk mengirim doa, yassin dan khataman Al Quran. Ulama seperti Pak Rojak lah yang dipanggil untuk mengaji. Dengan tenda plastik biru, beralaskan tikar Pak Rojak bergiliran dengan tiga temannya bergiliran mengaji secara nonstop 24 jam sehari selama 7 hari disisi makam yg masih merah. Tak perduli musim kemarau atau hujan, beliau menunaikan tugasnya dengan ikhlas.

Saya mungkin tak akan pernah paham mengapa beliau mau mengaji di tempat seseram itu meskipun dibayar cukup lumayan. Bayangkan saja bergadang di pekuburan umum kampung yang serba gulita. Waktu itu kampung kami masih serba hijau oleh persawahan dan kebun. Pagi-pagi kabut masih banyak mengawang rendah di atas tanah. Di musim hujan petir bagai tembakan meriam menyambar pucuk-pucuk pohon kelapa yang menjulang ke langit. Airnya bagaikan dicurahkan dari langit dan menerpa keras bumi oleh angin ribut. Kalau kita mungkin sudah lari tunggang langgang.

Kini beliau sudah tiada, rekan2nya mengaji juga sudah beranjak uzur. Azan subuh di mushola yang beliau bina telah digantikan oleh teman SD saya, Hasan. Adat mengaji makam juga sudah mulai berkurang. Meskipun keluarganya hidup sangat sederhana, dalam kepergiannya ia menyisakan dana asuransi untuk menghidupi istrinya. Anak-anaknya yang dahulu sempat agak berandal, kini satu-satu membina kehidupan yang baik. Meski tak ada yang mengaji tujuh hari tujuh malam disisi kuburnya, kepergian guruku Pak Ustadz Abdul Rojak disholatkan serta diantar begitu banyak orang.

jakarta 19 Agustus 2004

1 comment:

Anonymous said...

Dek Bagus...ternyata kamu mnusia yg cukup religius..