Friday, December 08, 2006

Sang Gagak

" I seem to have loved you in numberless forms, numberless times,
in life after life, in age after age forever."
~Rabindranath Tagore~

Nothing new under the sun tapi Tuti Herati*) mampu membuat hidup menjadi menarik. Kata pengantar profesor Budi Dharma itu mengganggu pikiranku seminggu ini. Sehari demi sehari kubaca lembaran buku kumpulan puisi yang sudah usang itu. Buku yang kubeli seharga 4500 rupiah beberapa tahun berselang itu baru kini sempat kubaca. Dengan sejuta alasan kesibukan, nggak tau bisa khatam atau tidak. Tapi nothing new under the sun? Hmm...

***

Pagi ini aku terlambat ke kantor seperti biasanya. Bukan karena aku telat bangun, tapi setiap pagi aku harus bercakap2 dengan ibu dan bapak. Apa yang kami bicarakan tak selalu hal yang penting. Kadang cuma remeh temeh soal cucian piring yang berjibun, panasnya udara malam tadi atau ramainya suara burung prenjak pagi ini. Bapak dan ibu sudah lanjut usia, mungkin aku takut kehilangan waktu sehingga tanpa sadar menjalani ritual ini demi mengisi rasa nyamanku yang bodoh. Untung saja aku bergegas berangkat sehingga tak terjebak kemacetan di jalan.

Sampai di kantor, library masih gelap. Seorang pria kulit hitam sedang bekerja dengan notebooknya di meja baca perpustakaanku. Kunyalakan lampu, cahayanya yang putih berkedip mengagetkan orang itu. Sobatku Bocar Kante, seorang kandidat master dari Senegal yang sedang menyelesaikan penelitiannya.

"Hi, good morning," sapaku dengan senyum ramah.

"Hi Bagus, gud morning," katanya segar. Anak muda itu masih sangat muda. Ia selalu takut2 menyapa setiap orang. Senegal berbahasa Perancis, tapi bahasa Inggrisnya sangat buruk.

"How is the crow? She visit you last night?" bahasa inggrisku tak kalah buruknya.

"Hahaha," Bocar tertawa lebar. "No. But I saw her crying yesterday near the little mosque."

Ada seekor gagak hitam kesepian di kantor. Burung itu menyapanya kemarin saat ia menunaikan sholat di mushola kecil kami. Ia merasa terganggu. Di negaranya, burung gagak juga bermakna buruk*). Ia takut ada firasat tertentu dengan keluarganya.

Aku cuma tertawa dan bercerita tentang burung yang tersesat itu agar ia tak terlalu khawatir. "Don't worry, she cried to me sometimes... It's a good sign."

"All right, see you arround," kataku menutup pembicaraan.

***

Kami segera menekuni pekerjaan masing-masing. Ada beberapa email dari para scientist yang masuk ke mailbox, pagi ini akan sibuk. Mencari artikel jurnal dari beberapa tempat. Mengontak satu atau dua profesor di belahan dunia lain untuk meminta tulisan mereka. Mendata buku2 yang dikembalikan dan mengirimkan buku2 yang akan dipinjam. Rutinitas yang itu-itu saja.

Di antara begitu banyak window yang terbuka di layar komputer, kuketukan mouse satu kali di multiply. Ada beberapa orang di postingan terakhir. Sebuah headshot berwarna hitam dan ada wajah manis samar-samar di tengahnya. Kurasa gadis ini sudah beberapa kali mampir ke MP ku. Kuketuk mouse sekali lagi ke kotak hitam itu. Kubaca berandanya kemudian profilenya.

Sebuah message masuk di meebo ku. Kujawab dengan singkat. Kukirimkan sebuah private message ke gadis dengan headshot hitam tadi. Hanya sebuah halo yang tak penting.

"Halo juga," begitu kira2 jawabnya. Berikut pertanyaan ttg siapa aku.Padahal kami saling mengenal, setidaknya secara elektrik. MP memberikan kami kesempatan saling berkunjung, sehingga yahoo messenger hanya sedikit membuat kami lebih dekat.

Ade dan aku sama2 bekerja dikota Bogor dan tinggal di Jakarta. Sebuah kebetulan yang menyenangkan. Siapa tahu kami bisa pulang bareng sekali-kali. Berarti nanti akan ada tiga orang di mobil tuaku. Aku, teman sekantorku Nety, dan gadis manis itu. Perjalanan jadi tidak membosankan.

Percakapan itu berlangsung panjang. Setelah disela makan siang kami lanjut mengobrol. Tanpa terasa hari sudah sore. Baru menjelang jam 5 sore tapi langit sudah gelap. Nampaknya hujan lebat akan turun. Di awal musim begini hujan selalu turun sore hari di Bogor. Aku meng-attached beberapa file pdf artikel jurnal ilmiah untuk sejumlah staf, mengirimnya, lalu bersiap pulang.

"Kesini aja. Kita ngupi2 sebentar, sebelum aku dijemput papi," Ade mengajakku mampir ke kantornya.

"Waktunya terlalu mepet De, next time aja ya. Aku mesti nganter Nety, si ibu hamil," aku terpaksa menolak tawaran itu. Kehamilan Nety mengalami flek, jadi aku harus menemani pulang tepat waktu, agar ia tak terlalu lelah. Kuangkat telpon untuk mengajak Nety pulang, tapi tak ada jawaban. Rupanya hari ini ia istirahat di rumah. Saking sibuknya aku tak menyadarinya. Meskipun harus pulang sendirian, aku masih tetap tak berfikir untuk mampir. Hari ini cukup melelahkan, aku ingin istirahat lebih cepat saja.

***

"Li, kantor N dimana sih?" mobilku melaju menyeberangi rel kereta lambat2.

"Itu loh gus lewat jalan x trus ikutin aja jalan utamanya, nanti juga banyak plang2 penunjuk jalan gede2. Ikutin aja, pasti nyampe. Bagus loh tempatnya," Lia teman sekantor nebeng pulang sampai bank Mandiri."Gampang kok, mampir aja," lanjutnya.

Buzz, handphoneku bergetar. Ade menelpon ku. Papinya terjebak macet di jalan. Ia bertanya apakah bisa nebeng. Aku belum masuk tol, jadi aku akan menjemputnya sekarang. Setelah menurunkan Lia di tujuan, kuarahkan mobil ke Pakuan.

Akhirnya kami bertemu. Mata gadis itu begitu bulat dan bertengger dengan manis di wajahnya yang seperti daun sirih memanjang dan berakhir di dagunya yang indah. Kedua matanya seakan bersinar dengan antusias menceritakan betapa menyenangkan hidupnya belakangan ini.

Aku tersenyum sesekali, dan memandanginya sekejap sambil membayangkan apa yang dialaminya selama ini. Ia seperti gagak ku yang kesepian. Terpisah dari kekasihnya yang meninggal karena kecelakaan di usia yang sangat muda. Dan betapa anehnya, aku adalah saksi mata kejadian itu. Suatu kebetulan yang ironis.

"Give me your hand," ia memberikan tangannya padaku. Kupegang tangannya dengan lembut. Aku tak bermaksud menenangkannya. Karena justru hatiku yang penuh dengan pertanyaan.

Roda berputar pelan mengajak kami pulang. Sepanjang jalan kami bercakap-cakap soal sanggarku, soal kantor, soal keluarga, teman dan dunia kami yang itu-itu saja. Kami tertawa atas banyak hal dan juga berdebat sedikit soal hidup. Aku bilang life is suffering, dia bilang life is not. Tapi semua baik-baik saja sampai kami tiba di Jakarta. Papinya menjemput dan kami berpisah malam itu.

Saat menyetir pulang, wajahnya terbayang dimataku. "Hati-hati di jalan," gumamku sendirian.

The Crow is not crying, she is singing.

-----------------

*)Sang penyair cewe Indonesia jadul dalam "Nostalgi=Transendensi".

*)Di beberapa negara gagak pertanda buruk, tapi di yang lain baik.

1 comment:

cyn said...

wowo.. so many things happened around me n i didnt notice... sory :-(
anyway, buku sheila gw masih di elu kah? ayo balikin hihihihi

duh, jadi pengen kenal pengejewantahan "gagak" manis bermata bundar ;-) *pengen tau aja mode is on*