Semua orang punya ibu. Aku, kamu, kita semua. Tapi tak semua orang mendapat karunia mengenal ibu. Bahkan untuk melihat wajah ibu saja suatu yang bak mimpi. Seperti sobatku Titi. Saat-saat menjelang hari raya Idul Fitri, malam takbiran adalah waktu kerinduan yang terdalam. Betapa indah bayangannya tentang ibunda, senyum dan belaian kasih sayang yang tak terjangkau kata.
"Kalau aku bisa nuker apa aja untuk ketemu Ibu gue mas, gue akan berikan semuanya" kudengar lirih suara Titi si gadis yang kecil mungil. Kamu tak bisa menukar waktu sayang. Tapi aku yakin, kenanganmu tentang ibu lebih indah. Dan setiap detik bayangan itu melintas dalam benakmu akan menjadi yang terbaik.
***
Pagi ini aku berjumpa dengan sobatku yang lain. Mereka anak-anak tanggung yang mencuci mobil, menyemir sepatu, memungut bola tenis untuk pejabat-pejabat berkocek tebal. Mereka, Fikri, Gogon dan kawan-kawan anak-anak miskin yang harus meninggalkan sekolah untuk bekerja menyambung hidup keluarganya. Anak-anak pintar ini harus sengsara karena begitu lahir procot sudah dijemput kemiskinan.
Fikri, contohnya 5 bersaudara. Ia anak kedua. Kakaknya yang sudah jauh lebih besar darinya kini berjualan koran di Baranangsiang. Namun itu jauh dari cukup untuk membayar kontrakan, makan dan membiayai sekolah adik-adiknya yang kecil. Tahun demi tahun berlalu dan tiba giliran Fikri untuk berkorban. Umurnya mungkin baru 7 atau 8 tahun ketika pertama kali aku berjumpa dengannya. Ia menawarkan untuk menyemir sepatu hitamku saat aku makan siang.
Bocah kecil itu merantau dari bogor ke kantorku di Sudirman menumpang kereta atau kadang menebeng bus pegawai departemen. Ia tak punya siapa-siapa disini. Untunglah untuk tidur ia bisa menumpang di gudang lapangan tenis bersama beberapa anak terlantar lainnya. Saat sore menjelang ia bekerja sebagai pemungut bola. Di malam hari ia pergi ke mesjid kantor membantu sebisa-bisanya.
Fikri bocah 8 tahun itu kehilangan bapaknya sejak kecil. Namun pundak mungilnya dengan ikhlas menanggung beban cita-cita menyekolahkan adik-adiknya hingga SMA. Aku kerap memandangi anak-anak itu dari kejauhan. Menggosok kulit sepatu dengan sikat yang kotor. Mengelap debu2 dan memolesnya hingga licin. Betapa jernihnya wajah-wajah lugu itu memantulkan cahaya lembut kasih ibu.
***
Betapa harunya aku mendengar kisah sahabatku Lala. Gadis manis ini begitu tegar menelan kengerian sebuah keluarga. Keceriaannya membuatku terpesona. Kupikir ia baik-baik saja, bahagia penuh energi. Hari itu ku sentuh pipinya, menenangkannya dari kegalauan. Saat gadis-gadis sebayanya bersenda gurau di mall, Lala terbayang Mama di Yogya.
Air mata mengalir pelan dari sudut mata mama. Tubuhnya terasa nyeri terkena pukulan papa. Air mata yang jatuh itu mengalir dari sebuah hati perempuan yang terluka. Terhimpit selama puluhan tahun, menahan perselingkuhan suami, siksaan dan membelahnya antara pilihan yg sulit. Kasihnya pada suami dan masa depan anak-anak yang lima kepala jumlahnya. Dalam penderitaan yang sangat bahkan tak terlintas pikiran tentang diri mama sendiri.
Well, Lala my dear. Aku gak akan bisa menggantikan mengisi kekosongan kasih dalam kehidupan mu. Namun aku akan selalu mendengarkan kisahmu dengan penuh kesabaran. Aku lupakan empati, sebab aku takkan mampu membayangkan kehidupan seperti itu. Aku hanya berharap bisa jadi pendengar terbaik yang pernah kamu miliki. Dan sambil mengantarnya pulang aku panjatkan harapan untuk Lala. Meski sayup-sayup, ku yakin Tuhan mendengarku dari tempatnya sekarang.
***
Netty kini telah menjadi ibu. Melalui bedah cesar, lahir bayi laki-laki yang tampan dari rahimnya. Aku tak pandai menilai, tapi kupikir putramu mirip Sinalsal, suamimu. Aku tak menggodamu, tapi artinya kata orang semasa hamil pasti kadar cintamu pada suami lebih tinggi dari sebaliknya. Apapun itu, aku bisa tersenyum melihatmu tersenyum. tak terbayang manusia cerewet semacam kamu bisa menjadi seorang ibu. Untung saja meski bawel, setahuku kau bukan tipe pemarah. Jadi putramu tak akan blingsatan mendengarkan omelan mamanya :-) Malahan bisa saja dia yang akan balik mengomel kepadamu seperti kamu yang setiap saat mengomel pada mama papamu sendiri meski kau tahu mereka sangat sayang padamu.
Aku baru percaya setelah melihatmu menggendong putramu yang mungil dengan cinta. Kulihat baik-baik bagaimana kamu belajar memegang kepalanya dengan hati2 dan meletakkannya dalam pelukanmu. Didekatmu mamamu memandangi anaknya dengan tersenyum diam. Ia membiarkan kamu yang masih takut-takut, yakin rasa keibuanmu menghapus semuanya. Saat itu rasanya tak ada kekuatan apapun yang mampu menghalangimu menjadi ibu yang sejati.
***
Pagi ini aku kembali ke rumah. Setelah semalaman bergadang mengerjakan pekerjaan kantor yang tenggatnya jatuh minggu ini. Ibu tak menegurku karena tak bilang-bilang padanya. Aku tersenyum dalam hati. Tanganku menyodorkan sebuah map berwarna kuning mengkilat. "Bu, gw dah dapet ijasahnya! Akhirnya semuanya beres!" Betapa kurang ajarnya anak ini, seorang betawi pun akan bilang aye atau namanya sendiri bila bicara dengan yang lebih tua.... Tapi ibu tak marah, ia tersenyum.
Melihat senyum itu, aku bersyukur. Mengenang tahun berselang dimana senyuman dan sapa suatu yang mahal buat aku sekeluarga. Saat itu abang menderita skizofrenia. 7 tahun lebih rumah kami dipenuhi kengerian yang mencekam. Tidak siang tidak malam depresi membangkitkan paranoia di kepala abang. Rumah menjadi neraka, pulang bagaikan bertaruh hidup dan mati. Selama itu malam bagaikan siang, mata yang mengantuk seperti kelaparan. Jantung kami berdetak bagaikan roda kereta.
Keluarga sebesar ini, tapi tak berbunyi sedikitpun. Kami tak bisa bercakap-cakap, menonton televisi, atau bercanda satu sama lain. Hati bagaikan meratap, menagih pertolongan Tuhan, tapi... Ia sama sekali tak turun menolong. Mungkin inilah salah satu kesepian terdalam di dunia ini. Entah siapa yang mau mendengarnya, tapi kami tak tau cara lain selain berdoa.
Lirih kudengar ibu melantunkan istighfar dan ayat2 suci Al Quran. Dengan tubuh gemetar ketakutan ia menangis mengiba kasih Allah. Air mata meleleh di pipinya yang kurus. Andai kan kau berada disana, kan kau rasakan batinnya bertempur memenangkan cinta. Akankah hati akan membenci putranya yang kini justru mengancam kehidupan? Ah, kasih Ibu Maha Luar Biasa. 7 tahun bukan apa2, seumur hidup kau tak akan mampu menghapus cinta seorang ibu.
Malam itu aku merenungkan kembali arti kehidupan. Yah, rupanya Tuhan menjawab doa kami.
Jakarta, 24 Desember 2004
Untuk Ibu di rumah, sobat2 yg mewarnai hidupku, dan semua ibu di dunia. Selamat Hari Ibu! Aku sayang kalian!
Friday, December 24, 2004
Monday, November 29, 2004
Tuesday, November 09, 2004
Selamat Lebaran Anshori!
Sebadung-badungnya anak, itulah Anshori! Tapi malangnya bocah, itulah juga Anshori. Mungkin kita tak pernah memahami takdir atau sekedar kekejaman dunia. Atau mungkin lebih baik kita biarkan saja bumi menggelinding seperti hari-hari biasanya.
***
Kami masih ingat kedatangannya dari Batam. Anak ini memang lain dari yang lain. Ia tak mudah didekati, meskipun keluguannya tak menghalanginya untuk berbicara kepada orang yang ia inginkan. Kami hanya tertarik mendengar cerita tentang bocah malang itu, Anshori. Dalam usia yang masih sangat kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang buruh lepas di perantauan Batam, meninggal dunia di usia muda. Entah apa sebabnya, barangkali kecelakaan kerja. Apa pula yang bisa dilakukan perempuan miskin berpendidikan rendah di bedeng reot ini? Membanting tulang tanpa henti hingga tubuh merapuh, sakit. Tak lama berselang ibundanya menyusul mati merana sementara mengurus putranya yang masih balita.
Si kecil Anshori, mungkin tak paham apa-apa tentang dunia. Namun darahnya telah cukup lama menyatu dengan induknya. Mulutnya yang mungil telah merasai kasih dari kedua puting ibu. Ketika kedua orang tercintanya pergi, batinnya seakan terkoyak. Bocah itu berkelana mencari makan tanpa arah. Mengais2 kasihan dari rasa iba manusia. Kami tak tau kepahitan apa yang dialaminya dalam usia sekecil itu. Yang kami dengar, Anshori menyimpan kemarahan yang begitu besar dalam dadanya. Tubuh kecil itu seakan bola energi yang tak terduga. Satu saat ia begitu lugu sperti anak-anak yang lain, di saat lain ia sukar dikendalikan.
Kedatangannya disini sebenarnya juga bukan tempat yang tepat. Disini kami merawat anak-anak down syndrome, bukan seperti dia. Sayang Anshori tak punya pilihan lain. Keluarga tetangga yang baik hati merasa tak mampu lagi merawatnya. Segala cara sudah digunakan namun tak mampu menyelami pikiran bocah itu. Dengan sedih, mereka menitipkannya di panti sosial di Batam. Kali ini, panti sosial di batam juga angkat tangan. Karena keterbatasan sumberdaya dan fasilitas terpaksa si kecil harus berangkat ke Bogor.
***
Anshori, seperti anak-anak lain seusianya, sedang senang-senangnya bermain dan mencoba banyak hal. Ia menikmati kesehariannya dengan teman-teman barunya di panti. Suasana ramai anak-anak cukup menghiburnya.
Di hari-hari tertentu kami petugas panti membagikan sedikit uang jajan untuk anak-anak. Tak banyak, cuma seribu dua ribu rupiah, cukup untuk semangkuk bakso atau siomay yang lewat hari itu di depan panti. Kami ingin mereka merasa bahagia, bisa membeli sendiri jajanan yang mereka inginkan. Cara ini terbukti menyenangkan, bila kamu ada disini kamu bisa melihat wajah-wajah mereka yang ceria. Sambil makan, mereka akan berceloteh dan tertawa dengan lugunya. Begitu pula Anshori kita.
Di saat lain, Anshori bermain dengan anak-anak petugas panti. Anak-anak memang hidup menyatu, tak terpisah antara anak asuh panti dengan anak-anak petugas. Tapi ada saat2 dimana anak2 harus mengerjakan tugas sementara anak2 petugas bebas bermain di luar. Saat itu Anshori senang bisa bermain dengan mainan yang mungkin tak dimilikinya. Anak-anak biasanya tak keberatan berbagi. Namun Anshori kadang begitu berat mengembalikan mainan itu. Tak seperti anak lainnya, ia akan mengamuk bila mainan itu direbut.
Hari berganti dan pengurus panti harus berotasi. Kini uang jajan tak lagi diberikan. Di hari-hari khusus itu, petugas memasak bubur kacang hijau atau makanan lain yang lezat untuk anak-anak. Anak-anak ada yang kecewa, tapi tetap senang dengan kelezatan makanan yang disajikan. Anshori juga makan dengan lahap, tapi setelah kenyang ia tetap meminta jatah jajannya. Kami selalu iba melihat wajah mungilnya, secara bergantian kami memberikan jajan dari kantong kami sendiri.
Namun kantong PNS kecilan seperti kami tak selalu berisi. Gaji yang tak seberapa itu tak mampu mengejar kebutuhan hidup yang makin hari makin melesat jauh. Waktu kami tersita untuk mengurus anak-anak. Hampir tak mungkin mencuri-curi kesempatan mencari sampingan di luar. Di saat seperti itu Anshori kehilangan uang jajannya. Dan entah apa yang pernah terjadi di kehidupan sebelumnya, bocah kecil itu mengamuk, memecahkan kaca2 panti. Merusak sepeda motor atau perlengkapan lainnya. Seakan ia tak rela ada yang merenggut secuil remah kebahagiaan yang ia punya.
Bocah itu benar-benar mengombang-ambingkan perasaan kami. Antara iba dan kasih dengan kekesalan menghadapi kenakalan Anshori. Bagaimanapun tak mudah merawat begitu banyak anak-anak down syndrome dengan sifatnya masing-masing. Tapi kami sudah terbiasa dan punya bekal yang cukup untuk merawat mereka. Tidak dengan Anshori, ia berbeda. Manusiawi kalau kami kesal, tapi kami juga ibu dan ayah. Sambil mengelus dada kami hanya berdoa agar luka hatinya akan sembuh bersama waktu.
Pernah suatu hari ibu Tuti lepas kesabarannya, ia harus memukul Anshori untuk menenangkannya. Setelah rekan-rekan yang lain membawa anak itu ke kamar, air mata meleleh di kedua belah pipinya. Perasaannya yang halus sebagai seorang ibu seakan terkoyak. Anak itu hanyalah bcah kecil yang tak mengenal benar salah, baik buruk. Entah pula apa ia telah mengenal hitam putihnya dunia. Ia cuma anak yatim piatu, yang bahkan tak mengenal wajah orang tuanya. Persis ketika ia kecil dulu. Seminggu ia tak dapat tidur dengan nyenyak.
***
Hari ini, hari kerja terakhir sebelum Hari Raya Idul Fitri. Para petugas satu persatu mudik. Anak-anak asuh panti satu-satu dijemput keluarganya pulang ke rumah untuk berlebaran. Tawa-tawa lebar menghiasi wajah mereka. Dengan baju baru yang rapi bersih, mereka menyambut papa mamanya yang datang dengan penuh haru. Ruang-ruang panti yang ramai, kini semakin sepi.
Hanya tertinggal sedikit suara kecil di satu sudut panti. Ada empat orang anak yang tinggal, 1 perempuan dan 4 anak lelaki. Mereka tak dijemput karena tak diketahui asal keluarganya. Ada yang karena terlantar di jalan, dibuang oleh orang tuanya, atau sengaja dititipkan selamanya di panti ini. Termasuk Anshori yang malang. Di saat seperti ini para petugas selalu berusaha membahagiakan mereka dengan berpatungan membelikan pakaian atau makanan yang enak. Bukankah kami satu-satunya keluarga yang mereka miliki?
Hari ini kami juga berangkat pulang ke Jakarta. Fahmi, putra kami yang semata wayang, mengucapkan selamat tinggal pada sobat-sobatnya yang tertinggal. Sementara suamiku mengangkat travel bag ke taksi, kudengar suara Anshori berceloteh pada Fahmi...
"nanti siang dong, Anshori mau dijemput ibu Anshori..." katanya. Jari-jari mungilnya menunjuk foto di potongan majalah bekas yang sudah lusuh.
Jakarta, 12 November 2004.
Didedikasikan untuk Mbak Nitah dan rekan2 yang sedang bekerja di salah satu panti Departemen Sosial di Bogor.
Mohon maaf utk bahasanya, blom diedit neh :-p
***
Kami masih ingat kedatangannya dari Batam. Anak ini memang lain dari yang lain. Ia tak mudah didekati, meskipun keluguannya tak menghalanginya untuk berbicara kepada orang yang ia inginkan. Kami hanya tertarik mendengar cerita tentang bocah malang itu, Anshori. Dalam usia yang masih sangat kecil ia menjadi yatim piatu. Ayahnya seorang buruh lepas di perantauan Batam, meninggal dunia di usia muda. Entah apa sebabnya, barangkali kecelakaan kerja. Apa pula yang bisa dilakukan perempuan miskin berpendidikan rendah di bedeng reot ini? Membanting tulang tanpa henti hingga tubuh merapuh, sakit. Tak lama berselang ibundanya menyusul mati merana sementara mengurus putranya yang masih balita.
Si kecil Anshori, mungkin tak paham apa-apa tentang dunia. Namun darahnya telah cukup lama menyatu dengan induknya. Mulutnya yang mungil telah merasai kasih dari kedua puting ibu. Ketika kedua orang tercintanya pergi, batinnya seakan terkoyak. Bocah itu berkelana mencari makan tanpa arah. Mengais2 kasihan dari rasa iba manusia. Kami tak tau kepahitan apa yang dialaminya dalam usia sekecil itu. Yang kami dengar, Anshori menyimpan kemarahan yang begitu besar dalam dadanya. Tubuh kecil itu seakan bola energi yang tak terduga. Satu saat ia begitu lugu sperti anak-anak yang lain, di saat lain ia sukar dikendalikan.
Kedatangannya disini sebenarnya juga bukan tempat yang tepat. Disini kami merawat anak-anak down syndrome, bukan seperti dia. Sayang Anshori tak punya pilihan lain. Keluarga tetangga yang baik hati merasa tak mampu lagi merawatnya. Segala cara sudah digunakan namun tak mampu menyelami pikiran bocah itu. Dengan sedih, mereka menitipkannya di panti sosial di Batam. Kali ini, panti sosial di batam juga angkat tangan. Karena keterbatasan sumberdaya dan fasilitas terpaksa si kecil harus berangkat ke Bogor.
***
Anshori, seperti anak-anak lain seusianya, sedang senang-senangnya bermain dan mencoba banyak hal. Ia menikmati kesehariannya dengan teman-teman barunya di panti. Suasana ramai anak-anak cukup menghiburnya.
Di hari-hari tertentu kami petugas panti membagikan sedikit uang jajan untuk anak-anak. Tak banyak, cuma seribu dua ribu rupiah, cukup untuk semangkuk bakso atau siomay yang lewat hari itu di depan panti. Kami ingin mereka merasa bahagia, bisa membeli sendiri jajanan yang mereka inginkan. Cara ini terbukti menyenangkan, bila kamu ada disini kamu bisa melihat wajah-wajah mereka yang ceria. Sambil makan, mereka akan berceloteh dan tertawa dengan lugunya. Begitu pula Anshori kita.
Di saat lain, Anshori bermain dengan anak-anak petugas panti. Anak-anak memang hidup menyatu, tak terpisah antara anak asuh panti dengan anak-anak petugas. Tapi ada saat2 dimana anak2 harus mengerjakan tugas sementara anak2 petugas bebas bermain di luar. Saat itu Anshori senang bisa bermain dengan mainan yang mungkin tak dimilikinya. Anak-anak biasanya tak keberatan berbagi. Namun Anshori kadang begitu berat mengembalikan mainan itu. Tak seperti anak lainnya, ia akan mengamuk bila mainan itu direbut.
Hari berganti dan pengurus panti harus berotasi. Kini uang jajan tak lagi diberikan. Di hari-hari khusus itu, petugas memasak bubur kacang hijau atau makanan lain yang lezat untuk anak-anak. Anak-anak ada yang kecewa, tapi tetap senang dengan kelezatan makanan yang disajikan. Anshori juga makan dengan lahap, tapi setelah kenyang ia tetap meminta jatah jajannya. Kami selalu iba melihat wajah mungilnya, secara bergantian kami memberikan jajan dari kantong kami sendiri.
Namun kantong PNS kecilan seperti kami tak selalu berisi. Gaji yang tak seberapa itu tak mampu mengejar kebutuhan hidup yang makin hari makin melesat jauh. Waktu kami tersita untuk mengurus anak-anak. Hampir tak mungkin mencuri-curi kesempatan mencari sampingan di luar. Di saat seperti itu Anshori kehilangan uang jajannya. Dan entah apa yang pernah terjadi di kehidupan sebelumnya, bocah kecil itu mengamuk, memecahkan kaca2 panti. Merusak sepeda motor atau perlengkapan lainnya. Seakan ia tak rela ada yang merenggut secuil remah kebahagiaan yang ia punya.
Bocah itu benar-benar mengombang-ambingkan perasaan kami. Antara iba dan kasih dengan kekesalan menghadapi kenakalan Anshori. Bagaimanapun tak mudah merawat begitu banyak anak-anak down syndrome dengan sifatnya masing-masing. Tapi kami sudah terbiasa dan punya bekal yang cukup untuk merawat mereka. Tidak dengan Anshori, ia berbeda. Manusiawi kalau kami kesal, tapi kami juga ibu dan ayah. Sambil mengelus dada kami hanya berdoa agar luka hatinya akan sembuh bersama waktu.
Pernah suatu hari ibu Tuti lepas kesabarannya, ia harus memukul Anshori untuk menenangkannya. Setelah rekan-rekan yang lain membawa anak itu ke kamar, air mata meleleh di kedua belah pipinya. Perasaannya yang halus sebagai seorang ibu seakan terkoyak. Anak itu hanyalah bcah kecil yang tak mengenal benar salah, baik buruk. Entah pula apa ia telah mengenal hitam putihnya dunia. Ia cuma anak yatim piatu, yang bahkan tak mengenal wajah orang tuanya. Persis ketika ia kecil dulu. Seminggu ia tak dapat tidur dengan nyenyak.
***
Hari ini, hari kerja terakhir sebelum Hari Raya Idul Fitri. Para petugas satu persatu mudik. Anak-anak asuh panti satu-satu dijemput keluarganya pulang ke rumah untuk berlebaran. Tawa-tawa lebar menghiasi wajah mereka. Dengan baju baru yang rapi bersih, mereka menyambut papa mamanya yang datang dengan penuh haru. Ruang-ruang panti yang ramai, kini semakin sepi.
Hanya tertinggal sedikit suara kecil di satu sudut panti. Ada empat orang anak yang tinggal, 1 perempuan dan 4 anak lelaki. Mereka tak dijemput karena tak diketahui asal keluarganya. Ada yang karena terlantar di jalan, dibuang oleh orang tuanya, atau sengaja dititipkan selamanya di panti ini. Termasuk Anshori yang malang. Di saat seperti ini para petugas selalu berusaha membahagiakan mereka dengan berpatungan membelikan pakaian atau makanan yang enak. Bukankah kami satu-satunya keluarga yang mereka miliki?
Hari ini kami juga berangkat pulang ke Jakarta. Fahmi, putra kami yang semata wayang, mengucapkan selamat tinggal pada sobat-sobatnya yang tertinggal. Sementara suamiku mengangkat travel bag ke taksi, kudengar suara Anshori berceloteh pada Fahmi...
"nanti siang dong, Anshori mau dijemput ibu Anshori..." katanya. Jari-jari mungilnya menunjuk foto di potongan majalah bekas yang sudah lusuh.
Jakarta, 12 November 2004.
Didedikasikan untuk Mbak Nitah dan rekan2 yang sedang bekerja di salah satu panti Departemen Sosial di Bogor.
Mohon maaf utk bahasanya, blom diedit neh :-p
Wednesday, November 03, 2004
MANDALAWANGI - PANGRANGO
MANDALAWANGI - PANGRANGO
Soe Hok Gie
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau
datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa
kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
'terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
Soe Hok Gie
Senja ini, ketika matahari turun kedalam jurang2mu
aku datang kembali
kedalam ribaanmu, dalam sepimu dan dalam dinginmu
walaupun setiap orang berbicara tentang manfaat dan guna
aku bicara padamu tentang cinta dan keindahan
dan aku terima kau dalam keberadaanmu
seperti kau terima daku
aku cinta padamu, Pangrango yang dingin dan sepi
sungaimu adalah nyanyian keabadian tentang tiada
hutanmu adalah misteri segala
cintamu dan cintaku adalah kebisuan semesta
malam itu ketika dingin dan kebisuan menyelimuti Mandalawangi Kau
datang kembali
Dan bicara padaku tentang kehampaan semua
"hidup adalah soal keberanian, menghadapi yang tanda tanya "tanpa
kita mengerti, tanpa kita bisa menawar
'terimalah dan hadapilah
dan antara ransel2 kosong dan api unggun yang membara
aku terima ini semua
melampaui batas2 hutanmu, melampaui batas2 jurangmu
aku cinta padamu Pangrango
karena aku cinta pada keberanian hidup
Jakarta 19-7-1966
Tuesday, November 02, 2004
Procrastination - Sang Pencuri Waktu
Anda pasti sering mendengar istilah Sistem Kebut Semalam? Yaitu kebiasaan untuk belajar atau mengerjakan suatu tugas setelah mendekati batas waktu. Umumnya kita tidak terlalu mempersoalkan hal ini karena nilai atau target kerja yg dicapai orang tersebut cukup memadai dan kita hanya menganggapnya sebagai persoalan manajemen waktu semata. Namun sebenarnya dibalik perilaku suka menunda2 atau procrastination ini tersembunyi persoalan yang sebaiknya kita ketahui agar tidak menjadi penghambat kesuksesan anda.
catatan sejarah paling tua di timur jauh tentang fenomena ini adalah teks Hindu yang tercantum dalam Bhagavad Gita yang ditulis sekitar tahun 500SM. Dalam teks itu Khrisna menyebutkan tentang kata tamaasika yaitu orang yang tidak disiplin, vulgar, keras kepala, kejam, malas, dan suka menunda. Orang seperti ini akan masuk neraka. Di barat catatan tertua berasal dari seorang penyair Yunani Hesiod yang menulis di sekitar tahun 800 SM yang mengatakan agar tidak menunda pekerjaan hingga esok atau lusa karena nantinya akan merusak apa yang kita kerjakan.
Tetapi pada sekitar revolusi industri lah, masalah procrastination ini mulai mengemuka dikarenakan terjadi perubahan pola kehidupan yang besar pada masyarakat. Noach Milgram (1992) orang pertama yang melakukan analisa historis mengenai fenomena ini mengatakan bahwa, procrastination muncul karena secara teknis kelompok masyarakat yang relatif maju membutuhkan banyak komitmen, tenggat waktu, dan jadwal. Sehingga masyarakat agraris cenderung tidak siap menghadapi hal tersebut.
Berdasarkan penelitian awal Dr. Piers Steel dari Universitas Calgary Canada, tahun 1978, sekitar 15% populasi mengakui bahwa mereka mengalami procrastinasi dalam banyak hal dan sekitar 1% melakukan procrastinasi kadang-kadang saja. Di tahun 2002, mereka yang mengaku mengalami gejala procrastinasi jumlahnya meningkat hingga 60% dari populasi dan sisanya sekitar 6% yang melakukannya kadang-kadang saja. Di luar peningkatan ini, catatan historis menunjukkan bahwa gejala procrastination relatif konstan dari tahun ke tahun.
Di luar itu semua, procrastination merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Ia menempati sisi dalam kita yang merefleksikan kondisi kehidupan di luar diri kita. Meskipun kita seharusnya lebih fokus kepada aspek2 kemanusiaan lain yang lebih fundamental, pemahaman terhadap fenomena procrastination sangat relevan bagi kehidupan kita di masa kini.
Karakteristik
Satu sifat yang menonjol dari sang penunda adalah sikap optimis yang berlebihan. Semuanya terkendali dan tugas akan terselesaikan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Biasanya sikap itu akan disertai penekanan bahwa tugas itu dapat diselesaikan dengan mudah sedangkan waktu tenggat masih sangat jauh. Padahal ujung-ujungnya segalanya berjalan di luar kendali.
Satu-satunya bukti ia melakukan kemajuan dalam pekerjaannya adalah karena ia tak punya pilhan lain selain menyelesaikannya sesegera mungkin. Saat itu ia merasa sangat bersemangat dan penuh energi dalam mengerjakan tugas, namun sebenarnya ia telah kehilangan kebebasan. Dan bila hasil kerjanya mendapat respon yang baik, ia akan semakin dalam terjerat dalam kebiasaan menunda yang kronis.
Karakteristik lainnya adalah, percaya diri yang rendah, sok sibuk, keras kepala, manipulatif, stres terhadap kehidupan sehari2 dan frustasi. Sang penunda seringkali memiliki ketidakyakinan kita dalam mencapai kualitas kerja atau prestasi yang tinggi. Banyak alasan, entah itu sibuk, atau karena hal-hal lain yang ia kemukakan. Akhirnya ia akan merasa frustasi karena tidak bisa bekerja seperti orang lain tanpa mengetahui sebabnya.
Dalam psikologi, penjelasan tentang fenomena procrastination sangatlah kompleks. Ada setidaknya empat alasan mengapa kita menunda. Pertama, pekerjaan tersebut sulit. Kedua, memakan banyak waktu, sedangkan waktu luang hanya tersisa di akhir minggu. Ketiga, rendahnya pengetahuan dan keahlian, atau kemampuan kita untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sedangkan yang keempat adalah, rasa takut, orang lain akan mengetahui hasil kerja kita buruk.
Lakukan kebalikannya
Semua orang tahu, tak mudah mengubah kebiasaan yang sudah bersemayam begitu lama dalam diri kita. Tapi tentu saja kita bisa berubah asal pertama-tama kita sudah sadar ada hal yang salah dalam diri kita. lalu cara termudah mengatasinya adalah dengan melakukan kebalikan dari empat alasan tadi.
Cobalah secara sadar untuk mengakui bahwa anda menunda pekerjaan tanpa alasan yang benar2 kuat. Kenali alasan-alasan itu, buatlah daftar panjang secara tertulis. Pikirkan baik-baik alasan tersebut dan buatlah kontradiksi terhadapnya. Bersikaplah logis dan kuatkan hati anda untuk melawan alasan-alasan itu. Dan yang terpenting segeralah mulai bekerja.
Berfikirlah bahwa pekerjaan itu mudah sehingga anda sanggup mengerjakannya. kerjakan langkah demi langkah, sedikit demi sedikit. Bila anda merasa jenuh, kerjakan hal lain selama beberapa menit, namun berkomitmen untuk kembali ke pekerjaan sebelumnya lima menit kemudian. Bila perlu, ceritakan pekerjaan itu kepada orang lain sehingga anda akan terdorong untuk mengerjakannya segera karena tuntutan publik. Akan sangat membantu bila ada sahabat atau rekan kerja di sekitar anda yang bisa dijadikan tauladan. Contohlah etos kerja mereka.
Bila anda merasa kurang nyaman bekerja di lingkungan tertentu, cobalah cari lokasi lain yang anda sukai. Dengan demikian mood bekerja anda akan bangkit dengan sendirinya. Tentu saja kita tak bisa pindah ruang seenaknya di kantor, tapi anda kan masih bisa mencoba mengubah layout sedikit atau menghias meja kerja sesuai selera.
Hal penting lain yang sangat membantu adalah dengan membiasakan membuat rencana kerja. Buatlah rencana kerja esok hari di rumah. Mulailah dengan membuat corat-coret outline kegiatan. Lalu menyusun prioritas dan alur kerja. Jangan berfikir hal ini akan tambah merepotkan anda. Susunlah sefleksibel mungkin, terbuka bila ada hal-hal yang meleset dari jadwal. Hidup tak harus sempurna, sehingga tak ada yang perlu ditakutkan.
Sekarang juga!
Sekarang anda telah mengetahui serba sedikit tentang procrastination, sang pencuri waktu. Anda boleh mencari pengetahuan lebih banyak tentangnya dari buku-buku, psikolog, atau dari internet. Mudah-mudahan itu menjadi bagian dari kesadaran kita mengakui adanya masalah. Semoga semangat itu cukup banyak untuk memulai kita berubah. Jangan buang banyak waktu, catatlah tugas2 anda dan pilih prioritasnya lantas kerjakan sekarang juga.
Disarikan dari berbagai sumber.
catatan sejarah paling tua di timur jauh tentang fenomena ini adalah teks Hindu yang tercantum dalam Bhagavad Gita yang ditulis sekitar tahun 500SM. Dalam teks itu Khrisna menyebutkan tentang kata tamaasika yaitu orang yang tidak disiplin, vulgar, keras kepala, kejam, malas, dan suka menunda. Orang seperti ini akan masuk neraka. Di barat catatan tertua berasal dari seorang penyair Yunani Hesiod yang menulis di sekitar tahun 800 SM yang mengatakan agar tidak menunda pekerjaan hingga esok atau lusa karena nantinya akan merusak apa yang kita kerjakan.
Tetapi pada sekitar revolusi industri lah, masalah procrastination ini mulai mengemuka dikarenakan terjadi perubahan pola kehidupan yang besar pada masyarakat. Noach Milgram (1992) orang pertama yang melakukan analisa historis mengenai fenomena ini mengatakan bahwa, procrastination muncul karena secara teknis kelompok masyarakat yang relatif maju membutuhkan banyak komitmen, tenggat waktu, dan jadwal. Sehingga masyarakat agraris cenderung tidak siap menghadapi hal tersebut.
Berdasarkan penelitian awal Dr. Piers Steel dari Universitas Calgary Canada, tahun 1978, sekitar 15% populasi mengakui bahwa mereka mengalami procrastinasi dalam banyak hal dan sekitar 1% melakukan procrastinasi kadang-kadang saja. Di tahun 2002, mereka yang mengaku mengalami gejala procrastinasi jumlahnya meningkat hingga 60% dari populasi dan sisanya sekitar 6% yang melakukannya kadang-kadang saja. Di luar peningkatan ini, catatan historis menunjukkan bahwa gejala procrastination relatif konstan dari tahun ke tahun.
Di luar itu semua, procrastination merupakan bagian tak terpisahkan dari hidup manusia. Ia menempati sisi dalam kita yang merefleksikan kondisi kehidupan di luar diri kita. Meskipun kita seharusnya lebih fokus kepada aspek2 kemanusiaan lain yang lebih fundamental, pemahaman terhadap fenomena procrastination sangat relevan bagi kehidupan kita di masa kini.
Karakteristik
Satu sifat yang menonjol dari sang penunda adalah sikap optimis yang berlebihan. Semuanya terkendali dan tugas akan terselesaikan sesuai jadwal yang telah ditetapkan. Biasanya sikap itu akan disertai penekanan bahwa tugas itu dapat diselesaikan dengan mudah sedangkan waktu tenggat masih sangat jauh. Padahal ujung-ujungnya segalanya berjalan di luar kendali.
Satu-satunya bukti ia melakukan kemajuan dalam pekerjaannya adalah karena ia tak punya pilhan lain selain menyelesaikannya sesegera mungkin. Saat itu ia merasa sangat bersemangat dan penuh energi dalam mengerjakan tugas, namun sebenarnya ia telah kehilangan kebebasan. Dan bila hasil kerjanya mendapat respon yang baik, ia akan semakin dalam terjerat dalam kebiasaan menunda yang kronis.
Karakteristik lainnya adalah, percaya diri yang rendah, sok sibuk, keras kepala, manipulatif, stres terhadap kehidupan sehari2 dan frustasi. Sang penunda seringkali memiliki ketidakyakinan kita dalam mencapai kualitas kerja atau prestasi yang tinggi. Banyak alasan, entah itu sibuk, atau karena hal-hal lain yang ia kemukakan. Akhirnya ia akan merasa frustasi karena tidak bisa bekerja seperti orang lain tanpa mengetahui sebabnya.
Dalam psikologi, penjelasan tentang fenomena procrastination sangatlah kompleks. Ada setidaknya empat alasan mengapa kita menunda. Pertama, pekerjaan tersebut sulit. Kedua, memakan banyak waktu, sedangkan waktu luang hanya tersisa di akhir minggu. Ketiga, rendahnya pengetahuan dan keahlian, atau kemampuan kita untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut. Sedangkan yang keempat adalah, rasa takut, orang lain akan mengetahui hasil kerja kita buruk.
Lakukan kebalikannya
Semua orang tahu, tak mudah mengubah kebiasaan yang sudah bersemayam begitu lama dalam diri kita. Tapi tentu saja kita bisa berubah asal pertama-tama kita sudah sadar ada hal yang salah dalam diri kita. lalu cara termudah mengatasinya adalah dengan melakukan kebalikan dari empat alasan tadi.
Cobalah secara sadar untuk mengakui bahwa anda menunda pekerjaan tanpa alasan yang benar2 kuat. Kenali alasan-alasan itu, buatlah daftar panjang secara tertulis. Pikirkan baik-baik alasan tersebut dan buatlah kontradiksi terhadapnya. Bersikaplah logis dan kuatkan hati anda untuk melawan alasan-alasan itu. Dan yang terpenting segeralah mulai bekerja.
Berfikirlah bahwa pekerjaan itu mudah sehingga anda sanggup mengerjakannya. kerjakan langkah demi langkah, sedikit demi sedikit. Bila anda merasa jenuh, kerjakan hal lain selama beberapa menit, namun berkomitmen untuk kembali ke pekerjaan sebelumnya lima menit kemudian. Bila perlu, ceritakan pekerjaan itu kepada orang lain sehingga anda akan terdorong untuk mengerjakannya segera karena tuntutan publik. Akan sangat membantu bila ada sahabat atau rekan kerja di sekitar anda yang bisa dijadikan tauladan. Contohlah etos kerja mereka.
Bila anda merasa kurang nyaman bekerja di lingkungan tertentu, cobalah cari lokasi lain yang anda sukai. Dengan demikian mood bekerja anda akan bangkit dengan sendirinya. Tentu saja kita tak bisa pindah ruang seenaknya di kantor, tapi anda kan masih bisa mencoba mengubah layout sedikit atau menghias meja kerja sesuai selera.
Hal penting lain yang sangat membantu adalah dengan membiasakan membuat rencana kerja. Buatlah rencana kerja esok hari di rumah. Mulailah dengan membuat corat-coret outline kegiatan. Lalu menyusun prioritas dan alur kerja. Jangan berfikir hal ini akan tambah merepotkan anda. Susunlah sefleksibel mungkin, terbuka bila ada hal-hal yang meleset dari jadwal. Hidup tak harus sempurna, sehingga tak ada yang perlu ditakutkan.
Sekarang juga!
Sekarang anda telah mengetahui serba sedikit tentang procrastination, sang pencuri waktu. Anda boleh mencari pengetahuan lebih banyak tentangnya dari buku-buku, psikolog, atau dari internet. Mudah-mudahan itu menjadi bagian dari kesadaran kita mengakui adanya masalah. Semoga semangat itu cukup banyak untuk memulai kita berubah. Jangan buang banyak waktu, catatlah tugas2 anda dan pilih prioritasnya lantas kerjakan sekarang juga.
Disarikan dari berbagai sumber.
Saturday, October 02, 2004
Pak Rizki sang kaki Halilintar
Berbeda dengan kebanyakan porter di Taman Nasional Rinjani badannya kurus kerempeng, mata sipit kulit cenderung putih. Agak mengherankan karena matahari lombok sangat tajam dan biasanya akan segera membuat kulit hitam legam seperti arang atau kemerahan seperti para bule. Tapi pria satu ini agak lain, sudah tak terhitung berapa banyaknya ia naik turun gunung Rinjani tapi tetap saja kulitnya tak menjadi gelap.
Di Lombok khususnya warga Sembalun, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil pria yang sudah berkeluarga dengan nama putranya yang pertama. Entah anak itu laki-laki atau perempuan, sejak saat itu sang pria akan kehilangan namanya sendiri. Pak Rizki, begitu pria ini dipanggil, meski umurnya belum lagi mencapai 20 tahun, lebih 10 tahun lebih muda dari kami ia telah menjadi ayah sorang putra. Rizki, katanya merupakan ucapan terima kasih dan harapan kepada Allah yg memberikan rezeki yg banyak untuknya.
Hari ini Pak Rizki dan rekannya Pak Is, menjadi teman kami mendaki. Sebagai porter resmi Taman Nasional yang terlatih, kewajiban mereka tak hanya sebatas kekuatan memanggul berpuluh kilo beban di carrier para pendaki, tapi juga menjaga keselamatan, memasak dan mencari air. Jangan menganggap enteng tugas ini. Rinjani merupakan salah satu gunung di Indonesia yang memiliki trek panjang. Puncak yang kelihatan di depan mata, sebenarnya berada nun jauh dibalik bukit yang seperti tak ada habisnya. Di musim kering seperti ini, pendaki yang tak siap fisik akan kerepotan menghadapi tanjakan demi tanjakan yang terjal. Iklimnya yang panas juga menghabiskan tenaga dan membuat kita dahaga tak ada habisnya. Pada kondisi itu, sebaiknya kita menghemat persediaan air. Minumlah sedikit-sedikit kalau tidak ingin kehabisan tenaga sampai di pos yang ditargetkan.
Satu-satunya semangat adalah suguhan pemandangan bukit-bukit yang menjulang hijau bercampur jingga paduan tanah yang kering dan sinar matahari. Di belakang lembah subur sembalun dengan sapi-sapi bali coklat yang sibuk memagut rumput tua musim panas. Sobatku Ijo melangkah pelan-pelan menapaki pematang sawah tadah hujan. Sesekali kakinya melompat-lompat menghindari tai sapi yang masih basah. Di rinjani ini ia berniat membakar lemak dan melatih otot2 yang kaku setelah berbulan-bulan bekerja di belakang meja tanpa istirahat. Aku tersenyum, rasanya Ijo akan mendapatkan apa yang ia cari.
***
Kami tiba kira-kira jam satu siang, matahari sedang panas-panasnya. Di pos pendakian Taman Nasional pak Rizki menyambut kami. Ia bukan petugas, namun setiap saat membantu kegiatan sehari-hari di pos. Melayani para pendaki, menjawab pertanyaan-pertanyan dan melayani penjualan kaos atau peta dan buku panduan. Di musim pendakian ini penduduk setempat sibuk menjadi porter para pendaki di luar itu mereka beristirahat dan bertani. Pak Rizki hanya memiliki sedikit lahan apalagi sapi, karena itulah ia mengisi waktunya dengan membantu di Pos.
"Di sini kami menanam bawang putih" ia melanjutkan cerita.
"Dulu orang sembalun berjaya karena bawang. Apapun terbeli. Tapi sekarang nasib sedang menurun. Harga bawang putih tak sebagus dulu. Kamipun tak bisa seperti orang di Lombok Timur menanam tembakau, tanahnya kurang cocok."
Memang sepanjang perjalanan di sembalun aku memang melihat ikatan bawang putih sedang digantung di para-para bambu hampir di setiap halaman rumah. Umbi bawangnya tak begitu besar, mungkin panen kali ini tak begitu bagus.
Obrolan kami terhenti oleh asap. Di depan kami hamparan rumput terbakar habis. Di tepi tanah yang menghitam, lidah api menari-nari ditiup angin gunung. Hati kami miris melihatnya. Kami maju terus menelusuri jalan setapak yang menanjak. Jelaga yang beterbangan mengotori wajah kami. Setengah berlari kami menghindari asap tebal yang berganti-ganti arah. Beruntung awan melindungi sepanjang jalan, sehingga panasnya akar-akar rumput yang terbakar tak menambah berat perjalanan.
"Jangan-jangan itu ulah peternak sapi juga ya?" kataku setengah bertanya.
"Ah, iya... betul itu," seloroh pak Rizki. Pak is juga mengiyakan.
"Di banyak tempat, peternak sering membakar rumput untuk pakan ternak. Pupus rumput yang baru tumbuh merupakan makanan yang segar bagi sapi.
"Disini sapi-sapi dibiarkan liar" kisah pak Is. "Tapi mudah mengumpulkannya. Yang punya punya cara untuk memanggil. Ada yang dengan peluit, kerincing dan lain-lain. Saat itu mereka kan hitung ternaknya. Anehnya kalau kita yang panggil mereka tak mau datang, meskipun pakai cara yang sama" lanjut pak Is dengan tertawa.
"Jeleknya yah itu tadi, mereka sering membakar rumput. Sapi-sapinya juga merusak mata air seperti ini," pak Is menunjuk mata air di pos 3 yang kotor dan rusak diinjak-injak ternak. Airnya bercampur tai sapi, tak bisa diminum.
"Pak Is dan Pak Rizki punya sapi dong?" tanyaku menyelidik.
"Wah, mana dapat kami beli sapi..?" jawabnya tersenyum merendah. "Sapi yang kita liat di sembalun itu paling tidak dua juta setengah seekor."
Katanya, ada paling tidak 500 ekor sapi di sembalun. Pemiliknya umumnya pak haji yang cukup kaya. Seorang bisa memiliki puluhan ekor. Aku manggut-manggut mendengarkan sambil tersenyum kecut. Rupanya kemeja dan dasiku yang perlente di jakarta tak ada apa-apanya dibanding sarung lusuh pak haji di sembalun. Indomie telah masak, kami makan untuk bisa melanjutkan perjalanan ke plawangan.
***
Puncak sudah tertinggal sehari di belakang. Istana Dewi Anjani itu memang indah dan megah. Dinaungi langit Lombok yang biru jernih, kawahnya menghampar seperti permadani merah. Dari bawah kabut merayapi dinding2 tebing, bagaikan membasuhnya dengan beledu lembut. Hari ini kami memandangi puncak rinjani nun di kejauhan dan danau segara anak yang hijau kebiruan. Keindahan surgawi itu sejenak menyapu kegundahan hati manusia rapuh seperti kami.
Dengan haru mata kami memandang kebawah, ke camping ground tempat kami bermalam kemarin. Menyadari betapa kecilnya manusia di semesta ini. Ijo dan aku menjepretkan kamera berkali-kali. Begitu turun dari Plawangan Senaru, Rinjani akan menjadi kenangan. Karena jalan menuju senaru dipenuhi hutan lebat, inilah kesempatan terakhir kami menghabiskan sebagian besar film.
Sejenak kemudian kami mulai berlari menuruni bukit. Tanah merah berhamburan dan terbang menjadi debu yang mengekor di belakang kami. Tinggal tersisa beberapa jam lagi sebelum malam menjelang. Tak ada cara lain kecuali berlari non stop menuruni bukit dan menembus hutan. Aku berada paling depan diikuti pak Rizki. Ijo, Pak Is, Ming dan Yudhi beberapa meter di belakang.
Fisikku tak begitu bagus, tapi aku lebih baik berlari siang hari daripada harus berjalan kemalaman di hutan. Bukan karena takutnya tapi berjalan menyandung akar sungguh tidak menyenangkan. Kalau sedang sial, kita bisa tersungkur ke pokok-pokok kayu kecil yang tajam. Walaupun kami cukup membawa cadangan baterai senter, tapi aku tetap memilih berlari.
Pak Rizki berlari sangat cepat rapat di belakang ku. Peluh mengucur di seluruh tubuhnya. Pinggangnya lecet tergesek pantat carrierku. Sejak kemarin ia mengenakan kemeja nilon yang tak seberapa menyerap keringat sehingga gesekannya ke kulit menjadi panas. Tapi bagi seorang porter berpengalaman, luka itu belum apa-apa. Ia setuju untuk secepatnya turun, agar kaki tidak keburu kaku karena kebanyakan istirahat.
***
Jam 7 malam perjalanan kami berakhir. Ujung perjalanan ini adalah pos pendakian di Senaru. Kami bermalam di semacam balai desa adat tradisional Sasak. Desa tradisonal ini terpelihara dengan baik. Perangkat desa menyajikan brem, minuman air tape ketan yang sudah disimpan agak lama. Kami minum sebagai penghormatan bagi adat tuan rumah. Setelah itu menyendok sejumput kacang mirip kedelai hitam yang dimasak dengan santan. Cuma Pak Rizki yang diam di sudut bale menyeruput kopi. Ia tak minum brem.
Sebelumnya di pos tiga Bunut Ngengkang yang berarti Beringin mengangkang. Yaitu tiga batang pohon beringin besar yang diatasnya menyatu menjadi satu batang. Ia bercerita tentang istrinya yang berasal dari desa Bayan, tempat kami bermalam. Brem, minuman keras tradisional sudah menjadi suguhan umum disini, juga tentang kepercayaan Wetu Telu, Islam dengan hanya 3 waktu sholat. Dan tentu saja kampungnya di Sembalun.
Apalagi tentang betapa misterius pertemuan dengan istrinya yang terpisah disisi gunung yang berbeda. Melalui HT petugas kehutanan di Sembalun. Bagaimana setamat SMA ia menikahi gadis itu tanpa bekal apa2. Dan memberi makan anak istrinya dengan menjadi porter di gunung. Sambil mengurut kakinya yang kaku serta jari-jari yang melepuh ia turut menertawakan sobat ku Ijo yang mulai mabuk.
Diam-diam pak Rizki membisikkan pesan padaku. Akupun membalikkan gelas setelah brem kutenggak habis agar minuman baru tak dituang lagi oleh tuan rumah. Sembalun tak lebih beradab dari Bayan. Namun Pak Rizki memiliki kesetiaan dan cinta seorang istri. Yang selalu berpesan untuk menghindari air api demi kesehatannya. Menjadi porter ada batasnya, maka itu fisik harus dijaga baik-baik.
Setelah meneguk segelas lagi brem tua sebagai penutupan dari tetua adat kami beranjak tidur. Ijo terus saja meracau dan tertawa2. Rupanya ia mabuk berat. Aku menarik rapat retsleiting sleeping bag merah ku. Dalam setengah sadar aku mengingat-ingat perjalanan kami seharian ini. Dan aku mengingat pak Rizki si kaki halilintar!
Di Lombok khususnya warga Sembalun, sudah menjadi kebiasaan untuk memanggil pria yang sudah berkeluarga dengan nama putranya yang pertama. Entah anak itu laki-laki atau perempuan, sejak saat itu sang pria akan kehilangan namanya sendiri. Pak Rizki, begitu pria ini dipanggil, meski umurnya belum lagi mencapai 20 tahun, lebih 10 tahun lebih muda dari kami ia telah menjadi ayah sorang putra. Rizki, katanya merupakan ucapan terima kasih dan harapan kepada Allah yg memberikan rezeki yg banyak untuknya.
Hari ini Pak Rizki dan rekannya Pak Is, menjadi teman kami mendaki. Sebagai porter resmi Taman Nasional yang terlatih, kewajiban mereka tak hanya sebatas kekuatan memanggul berpuluh kilo beban di carrier para pendaki, tapi juga menjaga keselamatan, memasak dan mencari air. Jangan menganggap enteng tugas ini. Rinjani merupakan salah satu gunung di Indonesia yang memiliki trek panjang. Puncak yang kelihatan di depan mata, sebenarnya berada nun jauh dibalik bukit yang seperti tak ada habisnya. Di musim kering seperti ini, pendaki yang tak siap fisik akan kerepotan menghadapi tanjakan demi tanjakan yang terjal. Iklimnya yang panas juga menghabiskan tenaga dan membuat kita dahaga tak ada habisnya. Pada kondisi itu, sebaiknya kita menghemat persediaan air. Minumlah sedikit-sedikit kalau tidak ingin kehabisan tenaga sampai di pos yang ditargetkan.
Satu-satunya semangat adalah suguhan pemandangan bukit-bukit yang menjulang hijau bercampur jingga paduan tanah yang kering dan sinar matahari. Di belakang lembah subur sembalun dengan sapi-sapi bali coklat yang sibuk memagut rumput tua musim panas. Sobatku Ijo melangkah pelan-pelan menapaki pematang sawah tadah hujan. Sesekali kakinya melompat-lompat menghindari tai sapi yang masih basah. Di rinjani ini ia berniat membakar lemak dan melatih otot2 yang kaku setelah berbulan-bulan bekerja di belakang meja tanpa istirahat. Aku tersenyum, rasanya Ijo akan mendapatkan apa yang ia cari.
***
Kami tiba kira-kira jam satu siang, matahari sedang panas-panasnya. Di pos pendakian Taman Nasional pak Rizki menyambut kami. Ia bukan petugas, namun setiap saat membantu kegiatan sehari-hari di pos. Melayani para pendaki, menjawab pertanyaan-pertanyan dan melayani penjualan kaos atau peta dan buku panduan. Di musim pendakian ini penduduk setempat sibuk menjadi porter para pendaki di luar itu mereka beristirahat dan bertani. Pak Rizki hanya memiliki sedikit lahan apalagi sapi, karena itulah ia mengisi waktunya dengan membantu di Pos.
"Di sini kami menanam bawang putih" ia melanjutkan cerita.
"Dulu orang sembalun berjaya karena bawang. Apapun terbeli. Tapi sekarang nasib sedang menurun. Harga bawang putih tak sebagus dulu. Kamipun tak bisa seperti orang di Lombok Timur menanam tembakau, tanahnya kurang cocok."
Memang sepanjang perjalanan di sembalun aku memang melihat ikatan bawang putih sedang digantung di para-para bambu hampir di setiap halaman rumah. Umbi bawangnya tak begitu besar, mungkin panen kali ini tak begitu bagus.
Obrolan kami terhenti oleh asap. Di depan kami hamparan rumput terbakar habis. Di tepi tanah yang menghitam, lidah api menari-nari ditiup angin gunung. Hati kami miris melihatnya. Kami maju terus menelusuri jalan setapak yang menanjak. Jelaga yang beterbangan mengotori wajah kami. Setengah berlari kami menghindari asap tebal yang berganti-ganti arah. Beruntung awan melindungi sepanjang jalan, sehingga panasnya akar-akar rumput yang terbakar tak menambah berat perjalanan.
"Jangan-jangan itu ulah peternak sapi juga ya?" kataku setengah bertanya.
"Ah, iya... betul itu," seloroh pak Rizki. Pak is juga mengiyakan.
"Di banyak tempat, peternak sering membakar rumput untuk pakan ternak. Pupus rumput yang baru tumbuh merupakan makanan yang segar bagi sapi.
"Disini sapi-sapi dibiarkan liar" kisah pak Is. "Tapi mudah mengumpulkannya. Yang punya punya cara untuk memanggil. Ada yang dengan peluit, kerincing dan lain-lain. Saat itu mereka kan hitung ternaknya. Anehnya kalau kita yang panggil mereka tak mau datang, meskipun pakai cara yang sama" lanjut pak Is dengan tertawa.
"Jeleknya yah itu tadi, mereka sering membakar rumput. Sapi-sapinya juga merusak mata air seperti ini," pak Is menunjuk mata air di pos 3 yang kotor dan rusak diinjak-injak ternak. Airnya bercampur tai sapi, tak bisa diminum.
"Pak Is dan Pak Rizki punya sapi dong?" tanyaku menyelidik.
"Wah, mana dapat kami beli sapi..?" jawabnya tersenyum merendah. "Sapi yang kita liat di sembalun itu paling tidak dua juta setengah seekor."
Katanya, ada paling tidak 500 ekor sapi di sembalun. Pemiliknya umumnya pak haji yang cukup kaya. Seorang bisa memiliki puluhan ekor. Aku manggut-manggut mendengarkan sambil tersenyum kecut. Rupanya kemeja dan dasiku yang perlente di jakarta tak ada apa-apanya dibanding sarung lusuh pak haji di sembalun. Indomie telah masak, kami makan untuk bisa melanjutkan perjalanan ke plawangan.
***
Puncak sudah tertinggal sehari di belakang. Istana Dewi Anjani itu memang indah dan megah. Dinaungi langit Lombok yang biru jernih, kawahnya menghampar seperti permadani merah. Dari bawah kabut merayapi dinding2 tebing, bagaikan membasuhnya dengan beledu lembut. Hari ini kami memandangi puncak rinjani nun di kejauhan dan danau segara anak yang hijau kebiruan. Keindahan surgawi itu sejenak menyapu kegundahan hati manusia rapuh seperti kami.
Dengan haru mata kami memandang kebawah, ke camping ground tempat kami bermalam kemarin. Menyadari betapa kecilnya manusia di semesta ini. Ijo dan aku menjepretkan kamera berkali-kali. Begitu turun dari Plawangan Senaru, Rinjani akan menjadi kenangan. Karena jalan menuju senaru dipenuhi hutan lebat, inilah kesempatan terakhir kami menghabiskan sebagian besar film.
Sejenak kemudian kami mulai berlari menuruni bukit. Tanah merah berhamburan dan terbang menjadi debu yang mengekor di belakang kami. Tinggal tersisa beberapa jam lagi sebelum malam menjelang. Tak ada cara lain kecuali berlari non stop menuruni bukit dan menembus hutan. Aku berada paling depan diikuti pak Rizki. Ijo, Pak Is, Ming dan Yudhi beberapa meter di belakang.
Fisikku tak begitu bagus, tapi aku lebih baik berlari siang hari daripada harus berjalan kemalaman di hutan. Bukan karena takutnya tapi berjalan menyandung akar sungguh tidak menyenangkan. Kalau sedang sial, kita bisa tersungkur ke pokok-pokok kayu kecil yang tajam. Walaupun kami cukup membawa cadangan baterai senter, tapi aku tetap memilih berlari.
Pak Rizki berlari sangat cepat rapat di belakang ku. Peluh mengucur di seluruh tubuhnya. Pinggangnya lecet tergesek pantat carrierku. Sejak kemarin ia mengenakan kemeja nilon yang tak seberapa menyerap keringat sehingga gesekannya ke kulit menjadi panas. Tapi bagi seorang porter berpengalaman, luka itu belum apa-apa. Ia setuju untuk secepatnya turun, agar kaki tidak keburu kaku karena kebanyakan istirahat.
***
Jam 7 malam perjalanan kami berakhir. Ujung perjalanan ini adalah pos pendakian di Senaru. Kami bermalam di semacam balai desa adat tradisional Sasak. Desa tradisonal ini terpelihara dengan baik. Perangkat desa menyajikan brem, minuman air tape ketan yang sudah disimpan agak lama. Kami minum sebagai penghormatan bagi adat tuan rumah. Setelah itu menyendok sejumput kacang mirip kedelai hitam yang dimasak dengan santan. Cuma Pak Rizki yang diam di sudut bale menyeruput kopi. Ia tak minum brem.
Sebelumnya di pos tiga Bunut Ngengkang yang berarti Beringin mengangkang. Yaitu tiga batang pohon beringin besar yang diatasnya menyatu menjadi satu batang. Ia bercerita tentang istrinya yang berasal dari desa Bayan, tempat kami bermalam. Brem, minuman keras tradisional sudah menjadi suguhan umum disini, juga tentang kepercayaan Wetu Telu, Islam dengan hanya 3 waktu sholat. Dan tentu saja kampungnya di Sembalun.
Apalagi tentang betapa misterius pertemuan dengan istrinya yang terpisah disisi gunung yang berbeda. Melalui HT petugas kehutanan di Sembalun. Bagaimana setamat SMA ia menikahi gadis itu tanpa bekal apa2. Dan memberi makan anak istrinya dengan menjadi porter di gunung. Sambil mengurut kakinya yang kaku serta jari-jari yang melepuh ia turut menertawakan sobat ku Ijo yang mulai mabuk.
Diam-diam pak Rizki membisikkan pesan padaku. Akupun membalikkan gelas setelah brem kutenggak habis agar minuman baru tak dituang lagi oleh tuan rumah. Sembalun tak lebih beradab dari Bayan. Namun Pak Rizki memiliki kesetiaan dan cinta seorang istri. Yang selalu berpesan untuk menghindari air api demi kesehatannya. Menjadi porter ada batasnya, maka itu fisik harus dijaga baik-baik.
Setelah meneguk segelas lagi brem tua sebagai penutupan dari tetua adat kami beranjak tidur. Ijo terus saja meracau dan tertawa2. Rupanya ia mabuk berat. Aku menarik rapat retsleiting sleeping bag merah ku. Dalam setengah sadar aku mengingat-ingat perjalanan kami seharian ini. Dan aku mengingat pak Rizki si kaki halilintar!
Thursday, August 19, 2004
Guruku Pak Abdul Rojak
Sambil membaca artikel Dai satu triliun di www.gatra.com, aku terkenang pada guruku yang sederhana, Pak Ustadz Abdul Rojak. Beliau guru ngaji kami sekeluarga. Orangnya baik, sederhana dan punya suara yang sangat merdu kalau mengaji. Beliau juga orang pertama yang membangunkan umat di sekitar dengan alunan azannya yang sejuk. Kini setelah beberapa tahun beliau kembali kepada sang khalik kami tetap merindukan suara nya. Terlebih menjelang bulan ramadhan ini, ah semoga Allah menempatkanmu di tempat yang mulia.
***
Setiap malam selasa dan jumat, Pak Rojak datang kerumah. Beliau mengajar kami sekeluarga mengaji. Acara mengaji tak akan dimulai sebelum kita membaca tahlil dan mengirimkan surat Al Fatihah kepada para ahlil kubur. Juga tak lupa mendoakan ahlul bayt, Datuk Banjir Kramat Pangeran Syarif Kampung Lubang Buaya, ulama lokal yang konon pahlawan Betawi yang masih keluarga Pangeran Wijayakrama pendiri kota Jakarta. Ada dongeng tentang beliau yang akan saya ceritakan di lain waktu.
Setalah tahlil selesai, mulailah kami bergiliran membaca Qur'an. Kakak-kakak yang sudah lebih dahulu bisa mengaji membuka Quran. sedangkan kami masih harus di Juz Amma. Karena kami keluarga besar 8 bersaudara, menunggu giliran sangat membosankan. Rasanya tak sabaran menunggu kakak selesai membaca satu atau dua "Ain". Kelopak mata rasanya ingin jatuh. Entah kenapa kalau mengaji rasa kantuk datangnya bertubi2 :-p
Setelah semuanya selesai mengaji bergiliran, beliau mengambil kapur tulis dan mengajar kami huruf hijaiyah. Maksudnya supaya kami bisa membaca dan menulis bahasa arab. Dan kalau keasyikan mengajar, waktunya bisa molor sampai jam 11 malam. Saya senang bisa membaca dan menulis arab, tapi... uuugh, its a torture buat anak2 SD seperti saya. Tapi ternyata kakak2 saya juga sering begitu. Dan kami mulai membuat lawakan2 lucu tentang beliau, tentu saja itu kami bicarakan setelah beliau pulang :D Meski demikian kami sangat menghormati beliau. Karena beliau memberikan tauladan yang baik dalam bekerja.
***
Di luar waktunya sebagai guru ngaji, pengurus musholla dan majlis2 taklim, beliau mau bekerja apa saja. Beliau bahkan mau bekerja di rumah kami sebagai tukang bangunan, menggali septic tank, mengebor sumur pompa dan banyak hal lagi yang bisa beliau kerjakan. Saat bekerja seperti itu baru kami tau bahwa di bawah peci hitamnya yang mulus beliau menyembunyikan kepalanya yang mulai botak. Mungkin beliau memang terlihat ganteng dengan peci.
Sembari bekerja ia berceloteh tentang masa mudanya. Tentang keluarganya di Cikokol, tentang ibunya yang baik, tentang bagaimana ia bertemu istrinya Rokhayah, tentang anak-anaknya atau guru2nya di majlis taklim. Dalam wajahnya yang masih terlihat cukup muda tersimpan usia yang panjang. Kami sangat menikmati kisahnya tentang perjuangan kemerdekaan, daan yahya dan leluhurnya. Ceritanya begitu indah, terutama bagi kami yang pengetahuannya hanya sejauh hamparan sawah di samping rumah.
Malam hari waktunya ronda siskamling, Pak Rojak tak ketinggalan. Kami menyediakan seceret besar kopi panas dan banyak makanan. Biasanya ibu akan merebus atau menggoreng singkong atau pisang, membuat getuk, ketmus atau combro misro. Semua serba tradisional. Lepas jam 9 malam kami menggelar tikar di teras depan rumah dan menyajikan makanan dan kopi di sana. Begitu beranjak malam, satu persatu warga yang mendapat giliran mulai berdatangan membawa senter panjang dan senjata seadanya.
Pak Rojak bersiaga dengan senjata andalannya berupa gada berpaku. Gada itu peninggalan neneknya Nyai Pentil. Entah kenapa ia selalu membawanya saat meronda, meskipun teman2 ronda suka tergelak melihat keunikan senjatanya. Mungkin saja itu barang bertuah namanya saja barang peninggalan. Tapi kalau saya jadi maling, pasti merinding juga melihatnya.
***
Sesekali waktu Pak Rojak tak dapat hadir mengajar. Kadang ia mendapat panggilan untuk memimpin tahlilan kenduri di lingkungan atau majlis taklim. Biasanya kami bersorak gembira. Kadangkala pula istri atau anaknya datang ke rumah mengirim berita berhalangan karena harus mengaji kubur atau makam. Kadang cuma tiga hari kadang seminggu penuh.
Sudah menjadi adat istiadat di betawi pinggiran sini utnuk mengirim doa, yassin dan khataman Al Quran. Ulama seperti Pak Rojak lah yang dipanggil untuk mengaji. Dengan tenda plastik biru, beralaskan tikar Pak Rojak bergiliran dengan tiga temannya bergiliran mengaji secara nonstop 24 jam sehari selama 7 hari disisi makam yg masih merah. Tak perduli musim kemarau atau hujan, beliau menunaikan tugasnya dengan ikhlas.
Saya mungkin tak akan pernah paham mengapa beliau mau mengaji di tempat seseram itu meskipun dibayar cukup lumayan. Bayangkan saja bergadang di pekuburan umum kampung yang serba gulita. Waktu itu kampung kami masih serba hijau oleh persawahan dan kebun. Pagi-pagi kabut masih banyak mengawang rendah di atas tanah. Di musim hujan petir bagai tembakan meriam menyambar pucuk-pucuk pohon kelapa yang menjulang ke langit. Airnya bagaikan dicurahkan dari langit dan menerpa keras bumi oleh angin ribut. Kalau kita mungkin sudah lari tunggang langgang.
Kini beliau sudah tiada, rekan2nya mengaji juga sudah beranjak uzur. Azan subuh di mushola yang beliau bina telah digantikan oleh teman SD saya, Hasan. Adat mengaji makam juga sudah mulai berkurang. Meskipun keluarganya hidup sangat sederhana, dalam kepergiannya ia menyisakan dana asuransi untuk menghidupi istrinya. Anak-anaknya yang dahulu sempat agak berandal, kini satu-satu membina kehidupan yang baik. Meski tak ada yang mengaji tujuh hari tujuh malam disisi kuburnya, kepergian guruku Pak Ustadz Abdul Rojak disholatkan serta diantar begitu banyak orang.
jakarta 19 Agustus 2004
***
Setiap malam selasa dan jumat, Pak Rojak datang kerumah. Beliau mengajar kami sekeluarga mengaji. Acara mengaji tak akan dimulai sebelum kita membaca tahlil dan mengirimkan surat Al Fatihah kepada para ahlil kubur. Juga tak lupa mendoakan ahlul bayt, Datuk Banjir Kramat Pangeran Syarif Kampung Lubang Buaya, ulama lokal yang konon pahlawan Betawi yang masih keluarga Pangeran Wijayakrama pendiri kota Jakarta. Ada dongeng tentang beliau yang akan saya ceritakan di lain waktu.
Setalah tahlil selesai, mulailah kami bergiliran membaca Qur'an. Kakak-kakak yang sudah lebih dahulu bisa mengaji membuka Quran. sedangkan kami masih harus di Juz Amma. Karena kami keluarga besar 8 bersaudara, menunggu giliran sangat membosankan. Rasanya tak sabaran menunggu kakak selesai membaca satu atau dua "Ain". Kelopak mata rasanya ingin jatuh. Entah kenapa kalau mengaji rasa kantuk datangnya bertubi2 :-p
Setelah semuanya selesai mengaji bergiliran, beliau mengambil kapur tulis dan mengajar kami huruf hijaiyah. Maksudnya supaya kami bisa membaca dan menulis bahasa arab. Dan kalau keasyikan mengajar, waktunya bisa molor sampai jam 11 malam. Saya senang bisa membaca dan menulis arab, tapi... uuugh, its a torture buat anak2 SD seperti saya. Tapi ternyata kakak2 saya juga sering begitu. Dan kami mulai membuat lawakan2 lucu tentang beliau, tentu saja itu kami bicarakan setelah beliau pulang :D Meski demikian kami sangat menghormati beliau. Karena beliau memberikan tauladan yang baik dalam bekerja.
***
Di luar waktunya sebagai guru ngaji, pengurus musholla dan majlis2 taklim, beliau mau bekerja apa saja. Beliau bahkan mau bekerja di rumah kami sebagai tukang bangunan, menggali septic tank, mengebor sumur pompa dan banyak hal lagi yang bisa beliau kerjakan. Saat bekerja seperti itu baru kami tau bahwa di bawah peci hitamnya yang mulus beliau menyembunyikan kepalanya yang mulai botak. Mungkin beliau memang terlihat ganteng dengan peci.
Sembari bekerja ia berceloteh tentang masa mudanya. Tentang keluarganya di Cikokol, tentang ibunya yang baik, tentang bagaimana ia bertemu istrinya Rokhayah, tentang anak-anaknya atau guru2nya di majlis taklim. Dalam wajahnya yang masih terlihat cukup muda tersimpan usia yang panjang. Kami sangat menikmati kisahnya tentang perjuangan kemerdekaan, daan yahya dan leluhurnya. Ceritanya begitu indah, terutama bagi kami yang pengetahuannya hanya sejauh hamparan sawah di samping rumah.
Malam hari waktunya ronda siskamling, Pak Rojak tak ketinggalan. Kami menyediakan seceret besar kopi panas dan banyak makanan. Biasanya ibu akan merebus atau menggoreng singkong atau pisang, membuat getuk, ketmus atau combro misro. Semua serba tradisional. Lepas jam 9 malam kami menggelar tikar di teras depan rumah dan menyajikan makanan dan kopi di sana. Begitu beranjak malam, satu persatu warga yang mendapat giliran mulai berdatangan membawa senter panjang dan senjata seadanya.
Pak Rojak bersiaga dengan senjata andalannya berupa gada berpaku. Gada itu peninggalan neneknya Nyai Pentil. Entah kenapa ia selalu membawanya saat meronda, meskipun teman2 ronda suka tergelak melihat keunikan senjatanya. Mungkin saja itu barang bertuah namanya saja barang peninggalan. Tapi kalau saya jadi maling, pasti merinding juga melihatnya.
***
Sesekali waktu Pak Rojak tak dapat hadir mengajar. Kadang ia mendapat panggilan untuk memimpin tahlilan kenduri di lingkungan atau majlis taklim. Biasanya kami bersorak gembira. Kadangkala pula istri atau anaknya datang ke rumah mengirim berita berhalangan karena harus mengaji kubur atau makam. Kadang cuma tiga hari kadang seminggu penuh.
Sudah menjadi adat istiadat di betawi pinggiran sini utnuk mengirim doa, yassin dan khataman Al Quran. Ulama seperti Pak Rojak lah yang dipanggil untuk mengaji. Dengan tenda plastik biru, beralaskan tikar Pak Rojak bergiliran dengan tiga temannya bergiliran mengaji secara nonstop 24 jam sehari selama 7 hari disisi makam yg masih merah. Tak perduli musim kemarau atau hujan, beliau menunaikan tugasnya dengan ikhlas.
Saya mungkin tak akan pernah paham mengapa beliau mau mengaji di tempat seseram itu meskipun dibayar cukup lumayan. Bayangkan saja bergadang di pekuburan umum kampung yang serba gulita. Waktu itu kampung kami masih serba hijau oleh persawahan dan kebun. Pagi-pagi kabut masih banyak mengawang rendah di atas tanah. Di musim hujan petir bagai tembakan meriam menyambar pucuk-pucuk pohon kelapa yang menjulang ke langit. Airnya bagaikan dicurahkan dari langit dan menerpa keras bumi oleh angin ribut. Kalau kita mungkin sudah lari tunggang langgang.
Kini beliau sudah tiada, rekan2nya mengaji juga sudah beranjak uzur. Azan subuh di mushola yang beliau bina telah digantikan oleh teman SD saya, Hasan. Adat mengaji makam juga sudah mulai berkurang. Meskipun keluarganya hidup sangat sederhana, dalam kepergiannya ia menyisakan dana asuransi untuk menghidupi istrinya. Anak-anaknya yang dahulu sempat agak berandal, kini satu-satu membina kehidupan yang baik. Meski tak ada yang mengaji tujuh hari tujuh malam disisi kuburnya, kepergian guruku Pak Ustadz Abdul Rojak disholatkan serta diantar begitu banyak orang.
jakarta 19 Agustus 2004
Wednesday, August 18, 2004
Pemburu tua dari Cilele
Wasim berdiri di puncak bukit itu. Tangannya yang hitam menaungi matanya yang menyipit memandang jauh ke depan. Hari belum begitu tinggi, tapi panasnya menyengat di kulit. Wasim mengusap peluh di wajahnya. Dihadapannya hamparan semak belukar menutupi hamparan perbukitan kosong. Perjalanannya masih jauh, ia tak bisa berhenti lama-lama disini.
"Lewat mana Can?" teriaknya kepada temannya yang tertinggal beberapa langkah di belakang.
Cacan tak segera menjawab. Nafasnya tersengal-sengal menaiki bukit. Pundaknya memanggul sebuah senapan angin tua sedang dipunggulnya sebuah ransel dekil berisi makanan, air, dan sarung. Ia berhenti sejenak dan melemparkan pandangan ke punggung bukit sebelah tenggara.
"Itu asap arengan si Ujang, Kang. Kita turun ka Cikamadu lewat pisang utan, puter bawah gebang aja, sampe" jawab Cacan.
Wasim mengayunkan goloknya menebas semak2 yang menutupi jalan setapak itu. Golok atau parang tak terpisahkan dari kaum lelaki dusun. Maklum, sebagian besar tanah disini adalah kebun palawija, hutan perdu dan hutan jati. Di tepi2 air, hutan bambu hitam rimbun menutupi tanah dari pancaran matahari. Di semak2 dan rimbunan pohon semacam itu, celeng, ular sanca atau hewan buas lain beristirahat. Tak ada manusia yang bisa berteduh dibawahnya karena dipenuhi ranting2 bambu kering yang durinya sepanjang telunjuk.
Tanah hutan yang basah dan penuh humus membiarkan rerumputan dan perdu tumbuh dengan cepat. Mereka merambat dari berbagai arah membentuk jalinan kusut yang sulit ditembus. Bagi orang yang tidak mengenal hutan sebaik Wasim, semak seperti ini bisa menjadi sangat berbahaya. Karena semak2 itu menutupi ceruk2 anak sungai yang gelap dan dalam. Bila terjatuh, bukan tak mungkin kaki patah. Belum lagi terkena duri perdu yang seperti rentetan panjang gigi gergaji. Tanpa parang seisi "leuweng" ini berisi bahaya semata.
Tapi musuh bukan cuma alam, tanah, cuaca, pepohonan dan binatang. Di kawasan keras ini hati orang cepatlah panas. Sadigo, "salah dikit golok" bukan cuma olok2. Apalagi di musim kemarau panjang seperti sekarang ini. Harga sayuran dan palawija naik, tapi tak ada yang bisa dijual. Semua kering. Di masa begini, setandan pisang di tepi kebun akan menjadi masalah batas tanah yang pelik. Padahal, sebagai penggarap liar tak ada selambar suratpun yang menjadi pedoman.
"Oiiiii" Wasim berteriak ke serombongan orang yang sedang beristirahat di gubuk reot seberang sungai. Gemanya memantul ke seluruh hutan. Di sisi gubuk sebuah gundukan tanah mengepulkan asap seputih awan. Rupanya ujang sedang menyelesaikan pekerjaannya membuat arang. Timbunan kayu2 tunggul sedang dijemur. Kelihatannya baru saja di gali dari bekas pokok nangka hutan yang sudah ditebang di belakang gubuk.
"Oiii" Terdengar jawaban dari seberang.
"Endang sudah sampe tuh Can" tukas Wasim. Keduanya bergegas menuju gubuk darurat itu.
***
Tangan Endang yang kotor membuka rantang plastik kusam yang baru saja ia keluarkan dari ranselnya. Lalu ia menyodorkannya ke Wasim. Sepotong ubi jalar merah yang direbus matang, lumayan untuk mengisi perut lapar. Meski hanya sedikit, Endang menawarkannya berkeliling.
“Gimana Li? Kita jadi ke leuweng di kulon keramat batu? Katanya Lubis dapet menjangan di situ?” tanya Wasim kepada Ali yg sedang bersandar di batu padas dekat semak.
“Yah poe salasa mah udah kena sama si Lubis kang. Sekarang paling2 dapet kancil atau bagong” kata Ali sambil menggaruk2 kepalanya. Saudara sepupu Wasim ini memang paling sering menemaninya berburu. Meski badannya tak seberapa Ali bertenaga besar. Dia yang selalu bertugas membawa bekal dan hasil buruan berupa babi hutan atau menjangan. “Yah kita kesitu aja kang. Deket mata air.”
Musim kering ini banyak tempat di kawasan ini mengering drastis. Bahkan di hutan jati jauh di balik ribuan hektar hamparan lahan garapan ini kehilangan sumber air. Di masa seperti ini, berbagai macam hewan mendekati sumber air untuk melepaskan dahaga. Dan petani2 penggarap yang miskin disekeliling hutan ini secara rutin berburu ke sini untuk mencari tambahan penghasilan dengan menjual babi hutan ke orang Cina atau Lapo Batak di kota. Sedangkan hewan seperti menjangan atau kancil semakin hari semakin sulit ditemui.
“Oh iya, ngomong-ngomong kapan kita demon ke perhutani Kang?” kini giliran Badar berbicara. Si Badar ini selalu gagal bertani, apapun yang ditanam tak pernah untung bahkan untuk sehari2 pun kurang. Padahal orang tuanya petani tulen. Karena itu ia bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Entah menjadi buruh babat rumput, penunjuk jalan, buruh angkut, pacul, tukang, dan banyak lagi.
Namun tanahnya yang satu hektar setengah ia pertahankan setengah mati. Tanah negara ini memang terlantar sejak bertahun2 lalu. Petani2 inilah yang menghidupkan lahan yang berupa belukar menjadi perkebunan yang cantik. Sayang sekali, tanahnya yang berbukit2 hanya mengandalkan air tadah hujan. Sehingga petani harus benar2 ulet, hemat dan penuh strategi untuk bertahan. Justru saat sudah menjadi lahan inilah, petugas bersikeras menanam jati di atasnya. Dengan kata lain negara akan mengambil kembali haknya.
Di kelompok tani 7, Wasim yang tertua dan disegani. Ia tak hanya tua dari segi umur, tapi juga termasuk sedikit orang yang pertama kali berani membuka hutan ini. Di tanah yang tak tersentuh peradaban ini, pengalaman orang seperti Wasim hampir seperti layaknya ayat2 kitab suci. Terutama ketika berhadapan dengan pihak luar yang mempersoalkan status tanah mereka.
“Nah ini yang saya pengen saya omongkeun. Sesuai hasil rapat kumpul2 di rumah Pak Pali, besok hari kamis kita semua kumpul di pertigaan lahan si Somad terus ke Masjid. Semua kelompok, 24 kelompok, jadi sekitar 1000 KK sepakat untuk mencabut itu pohon jati dan membongkar pos perhutani.”
5 kepala pemburu plus 1 tukang arang menganguk-angguk mendengarkan ucapan Wasim. Mereka tak banyak bertanya lagi. Karena mereka sudah mendengar hal ini dari banyak orang. Tak berlama2 istirahat, mereka berenam melanjutkan perjalanan. Hanya Ujang yang tinggal menunggui arangnya matang. Sambil berjongkok bertelanjang dada, ia menghisap rokoknya menikmati angin semilir.
***
Semak2 bergerak-gerak pelan. Sesekali terdengar suara percikan kecil air seperti ada kaki-kaki kecil yang meninjaknya. Mereka sama sekali tak sengaja berjumpa dengan seekor induk babi hutan yang sedang mengasuh 6 ekor anaknya. Keenamnya sudah cukup besar, bila dapat induk dan beberapa anaknya psti dibayar mahal oleh babah iyong atau lapo.
Rupanya induk babi ini tertarik dengan rembesan mata air dangkal di bawah semak bandotan. Di bawah rimbunnya semak tersedia ruang seperti kubah yang cukup buat mereka bercengkrama bermain lumpur yang sejuk sambil memakan akar-akaran dan serangga. Malang, kubangan ini letaknya persis di sisi jalan setapak para pemburu.
Sang pemburu menyebar berkeliling. Di tangan mereka tergenggam erat klewang dan lembing tajam terhunus. Si induk terdiam mendadak, telinganya menegak mencari sumber suara yang mencurigakan. Penciumannya yang tajam menangkap bau manusia. Ia mengeluarkan suara panggilan kepada anak2naya dan beranjak pergi dengan tergesa. Moncongnya yang berlumpur menabrak sana sini mencari lubang untuk meloloskan diri.
Dengan ukuran sebesar itu ia hampir tak bisa lolos dari kepungan. Wasim dengan sigap menghadang di pintu lubang. Induk yang marah itu berlari kencang lurus tepat menerjang Wasim. Kedua bola matanya merah menyala. Namun Wasim yang telah siaga dengan mudah berkelit ke samping. Klewangnya yang berat menebas ke tengkuk induk babi. Tenaga Wasim mengalir membelah leher hewan malang itu. Dengan leher terluka ia terus berlari dan mencoba menyeruduk acan yang baru saja menangkap anaknya.
Cacan melompat ke balik bongkahan cadas. Tangannya memegang erat kedua kaki belakang anak babi tadi. Sang induk berhenti sejenak mengambil nafas dan ancang2 untuk menyerang lagi. Naluri keibuannya seakan membuatnya lupa akan rasa sakit dari luka di lehernya. Darahnya menyembur kencang saat ia berlari menyeruduk kaki Ali. Sayang tumbukan itu sedikit meleset dari sasaran. Sebilah lembing terbang merobek tubuhnya. Induk babi itu segera terkapar. Matanya meredup dan perutnya kembang kempis meregang nyawa. Wasim dan kawan2 menatapnya dengan datar sambil mengikat kaki anak-anak babi hutan itu. 4 ekor berhasil ditangkap hidup-hidup 2 lainnya berhasil menghilang ke arah sungai.
Perburuan kali ini telah berakhir. Mereka memang tak berencana bermalam lebih dari semalam di hutan untuk menunggu buruan. Jadi hasil hari ini cukup memuaskan untuk dibagi-bagi. Paling tidak 1,5 kuintal daging bisa dibawa pulang. Dengan bilah-bilah bambu yang mereka tebang di tepi sungai Wasim dan kawan-kawan memanggul hewan buruannya ke kota.
***
"Ooooiiii!"
"Ooooiiii!"
Para petani saling menyapa dari jauh. Dari tengah2 kebun palawija yang subur orang-orang berkulit hitam legam bermunculan. Di tiap persimpangan jumlahnya semakin banyak. Suara mereka riuh rendah mengobrol penuh semangat. Berbagai bahasa ada, karena penggarap disini tak hanya orang lokal. Banyak orang-orang dari jakarta ikut pula mengadu nasib dan modal disini. Mereka telah menanamkan usaha kehidupannya di tanah ini, karena itu tak ada yang berhak mengambilnya kembali sebelum hak mereka dipenuhi.
Sepagi ini mereka bergegas ke lahan kelompok 9 di tepi hutan tenggara. Disana petugas perhutani sedang menanami bibit pohon jati di lahan garapan rakyat. Lahan ini memang milik negara, tapi konon dulu pernah dipindahtangan ke seorang konglomerat ternama. Lahan yang dulunya hutan jati ini kemudian gagal diubah menjadi kawasan industri karena si pengusaha kena imbas krisis ekonomi. Janjinya mengganti dengan lahan yang lebih luas di bagian lain pulau Jawa ini tak pernah kejadian. Akibatnya puluhan ribu hutan yang terlanjur ditebang terlantar begitu saja.
Di tangan rakyat kecil, semuanya menjadi lahan pertanian. Ada yang berhasil tapi banyak juga yang gagal. Tapi petani tak pernah menyerah. Dalam beberapa tahun selangkah demi selangkah kawasan ini jadi hijau teratur oleh tanaman. Padi di musim hujan dan palawija di musim kemarau. Keindahannya harmonis dengan otot-otot pekerja keras yang membalikkan tanah dengan cangkul tajam.
"Ayo cabut!" teriak Wasim memberi komando. Para petani serentak bergerak menyebar dan mencabuti bibit jati yang telah tertancap di tanah. Mereka mengumpulkannya di tanah yang lapang dan membakarnya.
Sebuah truk petugas perhutani disertai jagawana dan polisi berdatangan. Mereka ingin mencegak tindakan orang-orang yang marah itu. Tapi apa daya mereka menghadapi ribuan orang. Jarot seorang jagawana kekar mencoba bertindak agresif. Orang ini memang terkenal memiliki tabiat yang jelek. Dalam seragamnya ini ia menangkapi pencari kayu atau pemburu. Namun hasilnya tak pernah sampai ke kantor.
"Duggg!" popor senapan jarut menghantap pelipis Cacan. Darah muncrat memerahkan wajahnya.
"Hajaarrr si Jarot bangsatttt!" Wasim menghantamkan tinjunya dari belakang kepala. Jarot tersungkur. Dalam hitungan menit bertubi-tubi tinju, tendangan dan hujaman senjata tajam mendarat di tubuhnya. Petugas yang berlarian melerai tak dapat menyelamatkan nyawanya. Polisi langsung menembakkan senapan ke udara. Para pengeroyok bubar. Wasim yang dihantui ketakutan berlari kencang mencari persembunyian di tepi hutan.
***
Malam ini Wasim akhirnya pulang setelah 2 hari 2 malam bersembunyi di hutan. Dengan langkah gontai dan kepala menunduk ia berjalan memasuki halaman gubuknya. Beberapa petani dan polisi mengiringinya. Obor2 minyak tanah di tangan mereka menerangi halaman gubuk Wasim. Istrinya berlari menghambur ke pelukannya menangis penuh sedu sedan.
"Kang, kenapa jadi begini kang? Kenapa akang bunuh Jarot Kang?"
Putri tertuanya keluar dari dalam gubug dengan dipapah sudara laki-lakinya. Tubuhnya lemah, dan matanya lebam penuh kedukaan.
"Anak kita Kang, Halimah... Cucu kita, jadi nggak punya bapak..."
Jakarta, 18 Agustus 2004
"Lewat mana Can?" teriaknya kepada temannya yang tertinggal beberapa langkah di belakang.
Cacan tak segera menjawab. Nafasnya tersengal-sengal menaiki bukit. Pundaknya memanggul sebuah senapan angin tua sedang dipunggulnya sebuah ransel dekil berisi makanan, air, dan sarung. Ia berhenti sejenak dan melemparkan pandangan ke punggung bukit sebelah tenggara.
"Itu asap arengan si Ujang, Kang. Kita turun ka Cikamadu lewat pisang utan, puter bawah gebang aja, sampe" jawab Cacan.
Wasim mengayunkan goloknya menebas semak2 yang menutupi jalan setapak itu. Golok atau parang tak terpisahkan dari kaum lelaki dusun. Maklum, sebagian besar tanah disini adalah kebun palawija, hutan perdu dan hutan jati. Di tepi2 air, hutan bambu hitam rimbun menutupi tanah dari pancaran matahari. Di semak2 dan rimbunan pohon semacam itu, celeng, ular sanca atau hewan buas lain beristirahat. Tak ada manusia yang bisa berteduh dibawahnya karena dipenuhi ranting2 bambu kering yang durinya sepanjang telunjuk.
Tanah hutan yang basah dan penuh humus membiarkan rerumputan dan perdu tumbuh dengan cepat. Mereka merambat dari berbagai arah membentuk jalinan kusut yang sulit ditembus. Bagi orang yang tidak mengenal hutan sebaik Wasim, semak seperti ini bisa menjadi sangat berbahaya. Karena semak2 itu menutupi ceruk2 anak sungai yang gelap dan dalam. Bila terjatuh, bukan tak mungkin kaki patah. Belum lagi terkena duri perdu yang seperti rentetan panjang gigi gergaji. Tanpa parang seisi "leuweng" ini berisi bahaya semata.
Tapi musuh bukan cuma alam, tanah, cuaca, pepohonan dan binatang. Di kawasan keras ini hati orang cepatlah panas. Sadigo, "salah dikit golok" bukan cuma olok2. Apalagi di musim kemarau panjang seperti sekarang ini. Harga sayuran dan palawija naik, tapi tak ada yang bisa dijual. Semua kering. Di masa begini, setandan pisang di tepi kebun akan menjadi masalah batas tanah yang pelik. Padahal, sebagai penggarap liar tak ada selambar suratpun yang menjadi pedoman.
"Oiiiii" Wasim berteriak ke serombongan orang yang sedang beristirahat di gubuk reot seberang sungai. Gemanya memantul ke seluruh hutan. Di sisi gubuk sebuah gundukan tanah mengepulkan asap seputih awan. Rupanya ujang sedang menyelesaikan pekerjaannya membuat arang. Timbunan kayu2 tunggul sedang dijemur. Kelihatannya baru saja di gali dari bekas pokok nangka hutan yang sudah ditebang di belakang gubuk.
"Oiii" Terdengar jawaban dari seberang.
"Endang sudah sampe tuh Can" tukas Wasim. Keduanya bergegas menuju gubuk darurat itu.
***
Tangan Endang yang kotor membuka rantang plastik kusam yang baru saja ia keluarkan dari ranselnya. Lalu ia menyodorkannya ke Wasim. Sepotong ubi jalar merah yang direbus matang, lumayan untuk mengisi perut lapar. Meski hanya sedikit, Endang menawarkannya berkeliling.
“Gimana Li? Kita jadi ke leuweng di kulon keramat batu? Katanya Lubis dapet menjangan di situ?” tanya Wasim kepada Ali yg sedang bersandar di batu padas dekat semak.
“Yah poe salasa mah udah kena sama si Lubis kang. Sekarang paling2 dapet kancil atau bagong” kata Ali sambil menggaruk2 kepalanya. Saudara sepupu Wasim ini memang paling sering menemaninya berburu. Meski badannya tak seberapa Ali bertenaga besar. Dia yang selalu bertugas membawa bekal dan hasil buruan berupa babi hutan atau menjangan. “Yah kita kesitu aja kang. Deket mata air.”
Musim kering ini banyak tempat di kawasan ini mengering drastis. Bahkan di hutan jati jauh di balik ribuan hektar hamparan lahan garapan ini kehilangan sumber air. Di masa seperti ini, berbagai macam hewan mendekati sumber air untuk melepaskan dahaga. Dan petani2 penggarap yang miskin disekeliling hutan ini secara rutin berburu ke sini untuk mencari tambahan penghasilan dengan menjual babi hutan ke orang Cina atau Lapo Batak di kota. Sedangkan hewan seperti menjangan atau kancil semakin hari semakin sulit ditemui.
“Oh iya, ngomong-ngomong kapan kita demon ke perhutani Kang?” kini giliran Badar berbicara. Si Badar ini selalu gagal bertani, apapun yang ditanam tak pernah untung bahkan untuk sehari2 pun kurang. Padahal orang tuanya petani tulen. Karena itu ia bekerja serabutan untuk menyambung hidup. Entah menjadi buruh babat rumput, penunjuk jalan, buruh angkut, pacul, tukang, dan banyak lagi.
Namun tanahnya yang satu hektar setengah ia pertahankan setengah mati. Tanah negara ini memang terlantar sejak bertahun2 lalu. Petani2 inilah yang menghidupkan lahan yang berupa belukar menjadi perkebunan yang cantik. Sayang sekali, tanahnya yang berbukit2 hanya mengandalkan air tadah hujan. Sehingga petani harus benar2 ulet, hemat dan penuh strategi untuk bertahan. Justru saat sudah menjadi lahan inilah, petugas bersikeras menanam jati di atasnya. Dengan kata lain negara akan mengambil kembali haknya.
Di kelompok tani 7, Wasim yang tertua dan disegani. Ia tak hanya tua dari segi umur, tapi juga termasuk sedikit orang yang pertama kali berani membuka hutan ini. Di tanah yang tak tersentuh peradaban ini, pengalaman orang seperti Wasim hampir seperti layaknya ayat2 kitab suci. Terutama ketika berhadapan dengan pihak luar yang mempersoalkan status tanah mereka.
“Nah ini yang saya pengen saya omongkeun. Sesuai hasil rapat kumpul2 di rumah Pak Pali, besok hari kamis kita semua kumpul di pertigaan lahan si Somad terus ke Masjid. Semua kelompok, 24 kelompok, jadi sekitar 1000 KK sepakat untuk mencabut itu pohon jati dan membongkar pos perhutani.”
5 kepala pemburu plus 1 tukang arang menganguk-angguk mendengarkan ucapan Wasim. Mereka tak banyak bertanya lagi. Karena mereka sudah mendengar hal ini dari banyak orang. Tak berlama2 istirahat, mereka berenam melanjutkan perjalanan. Hanya Ujang yang tinggal menunggui arangnya matang. Sambil berjongkok bertelanjang dada, ia menghisap rokoknya menikmati angin semilir.
***
Semak2 bergerak-gerak pelan. Sesekali terdengar suara percikan kecil air seperti ada kaki-kaki kecil yang meninjaknya. Mereka sama sekali tak sengaja berjumpa dengan seekor induk babi hutan yang sedang mengasuh 6 ekor anaknya. Keenamnya sudah cukup besar, bila dapat induk dan beberapa anaknya psti dibayar mahal oleh babah iyong atau lapo.
Rupanya induk babi ini tertarik dengan rembesan mata air dangkal di bawah semak bandotan. Di bawah rimbunnya semak tersedia ruang seperti kubah yang cukup buat mereka bercengkrama bermain lumpur yang sejuk sambil memakan akar-akaran dan serangga. Malang, kubangan ini letaknya persis di sisi jalan setapak para pemburu.
Sang pemburu menyebar berkeliling. Di tangan mereka tergenggam erat klewang dan lembing tajam terhunus. Si induk terdiam mendadak, telinganya menegak mencari sumber suara yang mencurigakan. Penciumannya yang tajam menangkap bau manusia. Ia mengeluarkan suara panggilan kepada anak2naya dan beranjak pergi dengan tergesa. Moncongnya yang berlumpur menabrak sana sini mencari lubang untuk meloloskan diri.
Dengan ukuran sebesar itu ia hampir tak bisa lolos dari kepungan. Wasim dengan sigap menghadang di pintu lubang. Induk yang marah itu berlari kencang lurus tepat menerjang Wasim. Kedua bola matanya merah menyala. Namun Wasim yang telah siaga dengan mudah berkelit ke samping. Klewangnya yang berat menebas ke tengkuk induk babi. Tenaga Wasim mengalir membelah leher hewan malang itu. Dengan leher terluka ia terus berlari dan mencoba menyeruduk acan yang baru saja menangkap anaknya.
Cacan melompat ke balik bongkahan cadas. Tangannya memegang erat kedua kaki belakang anak babi tadi. Sang induk berhenti sejenak mengambil nafas dan ancang2 untuk menyerang lagi. Naluri keibuannya seakan membuatnya lupa akan rasa sakit dari luka di lehernya. Darahnya menyembur kencang saat ia berlari menyeruduk kaki Ali. Sayang tumbukan itu sedikit meleset dari sasaran. Sebilah lembing terbang merobek tubuhnya. Induk babi itu segera terkapar. Matanya meredup dan perutnya kembang kempis meregang nyawa. Wasim dan kawan2 menatapnya dengan datar sambil mengikat kaki anak-anak babi hutan itu. 4 ekor berhasil ditangkap hidup-hidup 2 lainnya berhasil menghilang ke arah sungai.
Perburuan kali ini telah berakhir. Mereka memang tak berencana bermalam lebih dari semalam di hutan untuk menunggu buruan. Jadi hasil hari ini cukup memuaskan untuk dibagi-bagi. Paling tidak 1,5 kuintal daging bisa dibawa pulang. Dengan bilah-bilah bambu yang mereka tebang di tepi sungai Wasim dan kawan-kawan memanggul hewan buruannya ke kota.
***
"Ooooiiii!"
"Ooooiiii!"
Para petani saling menyapa dari jauh. Dari tengah2 kebun palawija yang subur orang-orang berkulit hitam legam bermunculan. Di tiap persimpangan jumlahnya semakin banyak. Suara mereka riuh rendah mengobrol penuh semangat. Berbagai bahasa ada, karena penggarap disini tak hanya orang lokal. Banyak orang-orang dari jakarta ikut pula mengadu nasib dan modal disini. Mereka telah menanamkan usaha kehidupannya di tanah ini, karena itu tak ada yang berhak mengambilnya kembali sebelum hak mereka dipenuhi.
Sepagi ini mereka bergegas ke lahan kelompok 9 di tepi hutan tenggara. Disana petugas perhutani sedang menanami bibit pohon jati di lahan garapan rakyat. Lahan ini memang milik negara, tapi konon dulu pernah dipindahtangan ke seorang konglomerat ternama. Lahan yang dulunya hutan jati ini kemudian gagal diubah menjadi kawasan industri karena si pengusaha kena imbas krisis ekonomi. Janjinya mengganti dengan lahan yang lebih luas di bagian lain pulau Jawa ini tak pernah kejadian. Akibatnya puluhan ribu hutan yang terlanjur ditebang terlantar begitu saja.
Di tangan rakyat kecil, semuanya menjadi lahan pertanian. Ada yang berhasil tapi banyak juga yang gagal. Tapi petani tak pernah menyerah. Dalam beberapa tahun selangkah demi selangkah kawasan ini jadi hijau teratur oleh tanaman. Padi di musim hujan dan palawija di musim kemarau. Keindahannya harmonis dengan otot-otot pekerja keras yang membalikkan tanah dengan cangkul tajam.
"Ayo cabut!" teriak Wasim memberi komando. Para petani serentak bergerak menyebar dan mencabuti bibit jati yang telah tertancap di tanah. Mereka mengumpulkannya di tanah yang lapang dan membakarnya.
Sebuah truk petugas perhutani disertai jagawana dan polisi berdatangan. Mereka ingin mencegak tindakan orang-orang yang marah itu. Tapi apa daya mereka menghadapi ribuan orang. Jarot seorang jagawana kekar mencoba bertindak agresif. Orang ini memang terkenal memiliki tabiat yang jelek. Dalam seragamnya ini ia menangkapi pencari kayu atau pemburu. Namun hasilnya tak pernah sampai ke kantor.
"Duggg!" popor senapan jarut menghantap pelipis Cacan. Darah muncrat memerahkan wajahnya.
"Hajaarrr si Jarot bangsatttt!" Wasim menghantamkan tinjunya dari belakang kepala. Jarot tersungkur. Dalam hitungan menit bertubi-tubi tinju, tendangan dan hujaman senjata tajam mendarat di tubuhnya. Petugas yang berlarian melerai tak dapat menyelamatkan nyawanya. Polisi langsung menembakkan senapan ke udara. Para pengeroyok bubar. Wasim yang dihantui ketakutan berlari kencang mencari persembunyian di tepi hutan.
***
Malam ini Wasim akhirnya pulang setelah 2 hari 2 malam bersembunyi di hutan. Dengan langkah gontai dan kepala menunduk ia berjalan memasuki halaman gubuknya. Beberapa petani dan polisi mengiringinya. Obor2 minyak tanah di tangan mereka menerangi halaman gubuk Wasim. Istrinya berlari menghambur ke pelukannya menangis penuh sedu sedan.
"Kang, kenapa jadi begini kang? Kenapa akang bunuh Jarot Kang?"
Putri tertuanya keluar dari dalam gubug dengan dipapah sudara laki-lakinya. Tubuhnya lemah, dan matanya lebam penuh kedukaan.
"Anak kita Kang, Halimah... Cucu kita, jadi nggak punya bapak..."
Jakarta, 18 Agustus 2004
Sunday, August 15, 2004
Thursday, August 12, 2004
City of Angels
I rather like one touch of her hand, one smell of her hair, one kiss of
her lips, than living in eternity without it.
(City of Angels, 1998)
her lips, than living in eternity without it.
(City of Angels, 1998)
Sunday, August 08, 2004
Hikmah Rejeki Cibaduyut
Deru knalpot ojek meletup di belakang pantatku. Kali ini aku pulang melalui Ampera dari kantor teman di Kemang. Hari ini hari minggu, tapi kantor temanku itu benar2 hommie sehingga libur pun tetap enak nongkrong di kantor. Apalagi bisnisnya production house iklan yang para pekerjanya berpakaian bebas seperti di rumah saja. Ia pun bisa ngantor dengan bercelana pendek saja.
Jam sudah lewat tengah malam ketika ojek berhenti di lampu merah jalan baru, TB Simatupang. Aku turun disini dan lanjut dengan angkot atau koantas bima kalau masih ada. Sekitar 40 menit sampai sejam lagi baru sampai ke rumahku di bilangan pondok gede.
"Berapa be?" tanyaku pendek.
"Yah terserah aje deh, dikasi nye berape...," abang tukang ojek berlagak pilon.
"Ya udeh goceng ye?" aku menyodorkan lima lembar ribuan lusuh padanya sesuai pesan Dhias pacar temanku.
"Makasih ye." abang ojek segera berlalu.
Aku berlari kecil menyeberang ke tepi jalan ke arah Kampung Rambutan. Sebuah angkot koasi coklat jurusan Kampung Rambutan-Kranggan ngetem menungguku. Di jalan baru, mendekati tengah malam tidak ada angkutan resmi yang beroperasi lagi. Jadi meski jalur ini bukan trayeknya, hanya angkot2 seperti ini yang dapat menolong penumpang yang pulang malam sepertiku.
Aku langsung melompat kedalam. Tak banyak penumpang di dalamnya. Dua orang yang kelihatannya satpam, pengemudi taksi, seorang pemuda keturunan seorang bapak setengah baya, aku dan satu atau dua orang lagi di samping sopir. Aku duduk diam dipojok mendengarkan percakapan pemuda keturunan tadi dengan si abang setengah baya tadi.
"Oh abang dari Medan? Saya juga dari Medan Bang, maksud saya Papi saya aslinya dari Medan" kata si pemuda keturunan tadi. Sebut saja namanya Acoy.
"Oh ya? Medannya mana?".
"Wah saya kurang tau namanya. Papi saya sudah meninggal sejak saya kecil sih. Saya juga belum pernah ke Medan" jawab acoy.
"Yah pulanglah ke Medan sekali2. Ziarah ke makam orang tua. Murah kok ke Medan sekarang ini. Abang bulan lalu habis ke Medan sekeluarga, naik bis dari UKI cuma 100 ribu seorang. Tengok lah orang tua" si abang menyarankan. Wajahnya tampak seperti orang melayu, putih dan tidak keras seperti wajah orang batak.
"Pengen sih, abang saya sih udah pernah semua kesana. Katanya naik pesawat sekarang juga murah ya..?" Acoy setengah bertanya meski kelihatannya sudah tau jawabannya.
"Ya lumayan murah. Paling 300 ribu sekali jalan. Setahun sekali boleh lah tengok makam orang tua. Saya pun makam orang tua semuanya di sana. Sekeluarga hanya abang ini yang merantau ke Jakarta."
"Suatu saat pasti saya kesana bang. Ngomong-ngomong abang sudah lama jualan di ciputat? Jualannya di kios pasar"
"Ah nggak, abang jualan di kaki lima, di semacam emper begitulah. Tapi yah sudah lama sekali. Ada barangkali 20 tahun. Sejak masih bujangan."
"Laris bang? Trus kalo kulakan dimana? Di Mauk?" Acoy ingin tau.
"Lumayan juga namanya juga dagang. Kadang sepi, kadang kalo lagi laris pernah juga dapat 6 juta sehari. Kalo gitu malam saya langsung pergi ke Bandung. Nggak sempat ganti pakaian lagi saya. Kalo tangerang itu sepatu olah raga, ambilnya ke daerah cikupa. Kalo Mauk dulu, sekarang kejauhan lah ke Mauk itu."
Sembari membenahi letak topi softballnya, si Abang melanjutkan. "Yah abang sih sudah terbiasa pulang balik Jakarta Bandung. Kalau masih keburu, habis ambil barang langsung saja balik ke Jakarta. Nggak ke rumah, Kranggan kejauhan, tapi langsung ke tempat dagang. Kan dari Rambutan banyak yang langsung ke Ciputat".
"Tapi abang di Cibaduyut sudah kenal baik. Kalau capek dan nggak bisa langsung pulang kita diserpis baik-baik oleh yang punya pabrik sepatu. Dikasih pula kita makan malam, bahkan disediakan pula kamar buat kita tidur semalam. Nggak bayar kita... Disana banyak orang dari seluruh indonesia. Ada dari Makassar-Ujungpandang, Medan, Palembang, dari mana2 saja ada. Nah, kau sendiri sudah lama kerja disitu? Setiap hari pulang malam terus, jam segini?"
"Belum lama sih bang, paling sebulan setengah. Masih baru sih restorannya, temen2 juga paling tiga bulanan. Biasanya tiga shift."
"Tapi enak kan disitu? Kelihatannya restoran mahal. Kau kerja jadi tukang masak kan? Gajinya pasti lumayan. Sudah berkeluarga?"
"Yah, belum tau sih, tapi kayaknya saya nggak kuat. Kerjaan gak ada habisnya. Saya baru minta tambahan tenaga lagi, tau dikasih apa nggak. Restoran dari Malaysia, minimal yah satu meja 150 ribu lah kalau berdua. Tapi seragam aja kita disuruh kasih jaminan 200ribu. Gaji standar, tapi kerjaannya berat banget. Besok aja saya minta cuti takut nggak dikasih. Mau istirahat di rumah sama anak. Tapi untungnya dikasih, padahal kalo nggak dikasih saya mau pindah kerja aja bulan depan." Acoy mulai berkeluh kesah.
"Kalo gitu keliatannya aja yang mahal ya? Pegawainya berat juga. Kau buka usaha saja sendiri. Coba kau tebak berapa umur abang?"
"35-37 an ya?" Acoy berhati2 menebak.
"Haha, abang ni 45 tahun lebih. Anak abang 3 orang sudah lulus 2 orang, sekarang kerja jadi pramuniaga lipstik di Sogo, Thamrin. Abang nggak kaya lah, tapi berdagang ini gak terlalu banyak pikiran. Ini sepatu pesanan tetangga. Tak ambil untung banyak, malu makan uang dari tetangga dekat. Tapi ini rejeki pula." si abang mengguncang beberapa kotak sepatu di dekat kakinya. "Meskipun tidak besar, punyalah abang rumah di Kranggan ini. Jauh sedikit tak apa. Tapi udaranya segar, airnya jernih karena masih banyak pohon rambutan." Lanjutnya sambil tersenyum.
Sopir terus menekan gas dengan keras membuat suzuki carry tua ini melesat seperti angin. Mataku yang setengah terpejam karena kantuk, menyala kembali karena kepalaku terantuk kaca belakang angkot. Sambil merunduk aku mengintip kedepan. Lampu merah Pasar Rebo sudah kelihatan. Aku menyiapkan uang recehan, turun dan berganti kendaraan ke arah Pondok Gede. Perjalanan masih setengah jam lagi. Setengah tertidur aku lanjutkan lagi mendengarkan dongeng kehidupan Acoy dan si Abang.
Jakarta, 9 Agustus 2004.
Jam sudah lewat tengah malam ketika ojek berhenti di lampu merah jalan baru, TB Simatupang. Aku turun disini dan lanjut dengan angkot atau koantas bima kalau masih ada. Sekitar 40 menit sampai sejam lagi baru sampai ke rumahku di bilangan pondok gede.
"Berapa be?" tanyaku pendek.
"Yah terserah aje deh, dikasi nye berape...," abang tukang ojek berlagak pilon.
"Ya udeh goceng ye?" aku menyodorkan lima lembar ribuan lusuh padanya sesuai pesan Dhias pacar temanku.
"Makasih ye." abang ojek segera berlalu.
Aku berlari kecil menyeberang ke tepi jalan ke arah Kampung Rambutan. Sebuah angkot koasi coklat jurusan Kampung Rambutan-Kranggan ngetem menungguku. Di jalan baru, mendekati tengah malam tidak ada angkutan resmi yang beroperasi lagi. Jadi meski jalur ini bukan trayeknya, hanya angkot2 seperti ini yang dapat menolong penumpang yang pulang malam sepertiku.
Aku langsung melompat kedalam. Tak banyak penumpang di dalamnya. Dua orang yang kelihatannya satpam, pengemudi taksi, seorang pemuda keturunan seorang bapak setengah baya, aku dan satu atau dua orang lagi di samping sopir. Aku duduk diam dipojok mendengarkan percakapan pemuda keturunan tadi dengan si abang setengah baya tadi.
"Oh abang dari Medan? Saya juga dari Medan Bang, maksud saya Papi saya aslinya dari Medan" kata si pemuda keturunan tadi. Sebut saja namanya Acoy.
"Oh ya? Medannya mana?".
"Wah saya kurang tau namanya. Papi saya sudah meninggal sejak saya kecil sih. Saya juga belum pernah ke Medan" jawab acoy.
"Yah pulanglah ke Medan sekali2. Ziarah ke makam orang tua. Murah kok ke Medan sekarang ini. Abang bulan lalu habis ke Medan sekeluarga, naik bis dari UKI cuma 100 ribu seorang. Tengok lah orang tua" si abang menyarankan. Wajahnya tampak seperti orang melayu, putih dan tidak keras seperti wajah orang batak.
"Pengen sih, abang saya sih udah pernah semua kesana. Katanya naik pesawat sekarang juga murah ya..?" Acoy setengah bertanya meski kelihatannya sudah tau jawabannya.
"Ya lumayan murah. Paling 300 ribu sekali jalan. Setahun sekali boleh lah tengok makam orang tua. Saya pun makam orang tua semuanya di sana. Sekeluarga hanya abang ini yang merantau ke Jakarta."
"Suatu saat pasti saya kesana bang. Ngomong-ngomong abang sudah lama jualan di ciputat? Jualannya di kios pasar"
"Ah nggak, abang jualan di kaki lima, di semacam emper begitulah. Tapi yah sudah lama sekali. Ada barangkali 20 tahun. Sejak masih bujangan."
"Laris bang? Trus kalo kulakan dimana? Di Mauk?" Acoy ingin tau.
"Lumayan juga namanya juga dagang. Kadang sepi, kadang kalo lagi laris pernah juga dapat 6 juta sehari. Kalo gitu malam saya langsung pergi ke Bandung. Nggak sempat ganti pakaian lagi saya. Kalo tangerang itu sepatu olah raga, ambilnya ke daerah cikupa. Kalo Mauk dulu, sekarang kejauhan lah ke Mauk itu."
Sembari membenahi letak topi softballnya, si Abang melanjutkan. "Yah abang sih sudah terbiasa pulang balik Jakarta Bandung. Kalau masih keburu, habis ambil barang langsung saja balik ke Jakarta. Nggak ke rumah, Kranggan kejauhan, tapi langsung ke tempat dagang. Kan dari Rambutan banyak yang langsung ke Ciputat".
"Tapi abang di Cibaduyut sudah kenal baik. Kalau capek dan nggak bisa langsung pulang kita diserpis baik-baik oleh yang punya pabrik sepatu. Dikasih pula kita makan malam, bahkan disediakan pula kamar buat kita tidur semalam. Nggak bayar kita... Disana banyak orang dari seluruh indonesia. Ada dari Makassar-Ujungpandang, Medan, Palembang, dari mana2 saja ada. Nah, kau sendiri sudah lama kerja disitu? Setiap hari pulang malam terus, jam segini?"
"Belum lama sih bang, paling sebulan setengah. Masih baru sih restorannya, temen2 juga paling tiga bulanan. Biasanya tiga shift."
"Tapi enak kan disitu? Kelihatannya restoran mahal. Kau kerja jadi tukang masak kan? Gajinya pasti lumayan. Sudah berkeluarga?"
"Yah, belum tau sih, tapi kayaknya saya nggak kuat. Kerjaan gak ada habisnya. Saya baru minta tambahan tenaga lagi, tau dikasih apa nggak. Restoran dari Malaysia, minimal yah satu meja 150 ribu lah kalau berdua. Tapi seragam aja kita disuruh kasih jaminan 200ribu. Gaji standar, tapi kerjaannya berat banget. Besok aja saya minta cuti takut nggak dikasih. Mau istirahat di rumah sama anak. Tapi untungnya dikasih, padahal kalo nggak dikasih saya mau pindah kerja aja bulan depan." Acoy mulai berkeluh kesah.
"Kalo gitu keliatannya aja yang mahal ya? Pegawainya berat juga. Kau buka usaha saja sendiri. Coba kau tebak berapa umur abang?"
"35-37 an ya?" Acoy berhati2 menebak.
"Haha, abang ni 45 tahun lebih. Anak abang 3 orang sudah lulus 2 orang, sekarang kerja jadi pramuniaga lipstik di Sogo, Thamrin. Abang nggak kaya lah, tapi berdagang ini gak terlalu banyak pikiran. Ini sepatu pesanan tetangga. Tak ambil untung banyak, malu makan uang dari tetangga dekat. Tapi ini rejeki pula." si abang mengguncang beberapa kotak sepatu di dekat kakinya. "Meskipun tidak besar, punyalah abang rumah di Kranggan ini. Jauh sedikit tak apa. Tapi udaranya segar, airnya jernih karena masih banyak pohon rambutan." Lanjutnya sambil tersenyum.
Sopir terus menekan gas dengan keras membuat suzuki carry tua ini melesat seperti angin. Mataku yang setengah terpejam karena kantuk, menyala kembali karena kepalaku terantuk kaca belakang angkot. Sambil merunduk aku mengintip kedepan. Lampu merah Pasar Rebo sudah kelihatan. Aku menyiapkan uang recehan, turun dan berganti kendaraan ke arah Pondok Gede. Perjalanan masih setengah jam lagi. Setengah tertidur aku lanjutkan lagi mendengarkan dongeng kehidupan Acoy dan si Abang.
Jakarta, 9 Agustus 2004.
Thursday, August 05, 2004
The Library Hotel
New York, kota nomor satu di dunia. Dulu orang menyebut istilah melting pot, tapi kini ada lagi istilah "Salad Bowl" yang lebih memberi warna kebebasan. New York kota bisnis kelas dunia. Dan terlebih lagi gaya hidup berkelas.
Terletak di 41st Street ke arah timur Madison Avenue, di pusat kawasan bergengsi Manhattan berdiri sebuah hotel butik yang indah, The Library Hotel. Letaknya yang sangat strategis di antara restauran, toko, perkantoran, theater dan sentra kegiatan budaya. Salah satu sebab ia menggunakan nama The Library adalah karena letaknya yang tak jauh dari New York Public Library, perpustakaan umum terbesar di dunia.
Namun yang membuat The Library Hotel terkenal adalah hotel ini tak sekedar menyandang nama saja, ia juga menerapkan konsep pengelolaan perpustakaan dalam manajemen hotelnya. The Library Hotel merupakan hotel pertama di dunia yang menawarkan layanan koleksi 6000 judul buku yang di klasifikasikan berdasarkan Dewey Decimal Classification (DDC). DDC yang disusun oleh Melville Dewey, filsuf dan pustakawan adalah suatu struktur klasifikasi pengetahuan yang digunakan di lebih dari 135 negara di seluruh dunia. Setiap lantainya mewakili satu kelompok topik, dan masing-masing 60 kamarnya menyajikan koleksi buku pilihan yang unik bagi para tamunya.
Salah satu kamar yang paling terkenal adalah ruang "Erotic Literature". Di ruang ini para tamu disajikan "paket Erotica" untuk membangkitkan suasana romantis yang menyajikan kemewahan yang tak terlupakan bagi pasangan yang menikmati bulan madu atau memperingati ultah perkawinan. Salah satu ruangan selain dalam Erotic Literature yang bisa dipilih para tamu adalah Love Room. Kamar-kamar favorit di masing-masing lantai juga memiliki ukuran tempat tidur yang istimewa, termasuk Love room di kategori Filsafat yang memiliki ukuran King Size.
Beberapa fitur yang dapat anda nikmati dalam paket erotic antara lain:
- Champagne selamat datang,
- bunga mawar merah yang menghiasi seluruh ruangan, beberapa tangkai mawar di atas tempat tidur,
- Strawberry dan semangkuk Cool Whip rendah lemak(karena Samantha dalam "Sex and the City" mengatakan bahwa "it is less sticky than whipped cream"),
- Paket lengkap Kamasutra Love Essentials termasuk Honey Dust, Original Oil of Love, dan lubricating Love Liquid
- Video teknik pijatan Tantra
- Dan di akhir anda dapat memilih hadiah berupa buku: The Art of Arousal by Dr. Ruth Westheimer, Mars & Venus in the Bedroom by Dr. John Gray atau The Kama Sutra
Paket Erotica ini berharga USD650 per kamar per malam diluar pajak dan tentu saja anda harus memesan kamar laris ini jauh-jauh hari.
Bagi even-even khusus yang ingin anda selenggarakan di The Library seperti perkawinan atau rapat, tersedia ruangan yang klasik seperti The Poetry Garden(Taman Puisi) yaitu sebuah rumah ruang duduk berupa kaca yang indah dengan pintu seni Perancis yang membuka ke sebuah teras. Untuk acara-acara pertemuan yang lebih formal tersedia ruangan The Writers Den, The Perfect Duo, dan The Executive Inspiration Room.
Hotel yang klasik dan bersejarah ini juga dilengkapi akses internet berkecepatan tinggi T1 yang mendukung kegiatan bisnis para tamu selama di New York. Juga dilengkapi oleh koleksi 100 judul film terbaik American Film Institutes. Reading Room di lantai dua, Sports Club dan pelayanan keagamaan.
The Library yang merupakan top 10 hotel pilihan di New York, menawarkan kelas dan rasa yang terbaik. Jadi bila anda datang ke New York, The Library Hotel adalah salah satu pilihan kelas dunia. (Ado)
Sumber:
http://www.libraryhotel.com/
http://www.nypl.org
Terletak di 41st Street ke arah timur Madison Avenue, di pusat kawasan bergengsi Manhattan berdiri sebuah hotel butik yang indah, The Library Hotel. Letaknya yang sangat strategis di antara restauran, toko, perkantoran, theater dan sentra kegiatan budaya. Salah satu sebab ia menggunakan nama The Library adalah karena letaknya yang tak jauh dari New York Public Library, perpustakaan umum terbesar di dunia.
Namun yang membuat The Library Hotel terkenal adalah hotel ini tak sekedar menyandang nama saja, ia juga menerapkan konsep pengelolaan perpustakaan dalam manajemen hotelnya. The Library Hotel merupakan hotel pertama di dunia yang menawarkan layanan koleksi 6000 judul buku yang di klasifikasikan berdasarkan Dewey Decimal Classification (DDC). DDC yang disusun oleh Melville Dewey, filsuf dan pustakawan adalah suatu struktur klasifikasi pengetahuan yang digunakan di lebih dari 135 negara di seluruh dunia. Setiap lantainya mewakili satu kelompok topik, dan masing-masing 60 kamarnya menyajikan koleksi buku pilihan yang unik bagi para tamunya.
Salah satu kamar yang paling terkenal adalah ruang "Erotic Literature". Di ruang ini para tamu disajikan "paket Erotica" untuk membangkitkan suasana romantis yang menyajikan kemewahan yang tak terlupakan bagi pasangan yang menikmati bulan madu atau memperingati ultah perkawinan. Salah satu ruangan selain dalam Erotic Literature yang bisa dipilih para tamu adalah Love Room. Kamar-kamar favorit di masing-masing lantai juga memiliki ukuran tempat tidur yang istimewa, termasuk Love room di kategori Filsafat yang memiliki ukuran King Size.
Beberapa fitur yang dapat anda nikmati dalam paket erotic antara lain:
- Champagne selamat datang,
- bunga mawar merah yang menghiasi seluruh ruangan, beberapa tangkai mawar di atas tempat tidur,
- Strawberry dan semangkuk Cool Whip rendah lemak(karena Samantha dalam "Sex and the City" mengatakan bahwa "it is less sticky than whipped cream"),
- Paket lengkap Kamasutra Love Essentials termasuk Honey Dust, Original Oil of Love, dan lubricating Love Liquid
- Video teknik pijatan Tantra
- Dan di akhir anda dapat memilih hadiah berupa buku: The Art of Arousal by Dr. Ruth Westheimer, Mars & Venus in the Bedroom by Dr. John Gray atau The Kama Sutra
Paket Erotica ini berharga USD650 per kamar per malam diluar pajak dan tentu saja anda harus memesan kamar laris ini jauh-jauh hari.
Bagi even-even khusus yang ingin anda selenggarakan di The Library seperti perkawinan atau rapat, tersedia ruangan yang klasik seperti The Poetry Garden(Taman Puisi) yaitu sebuah rumah ruang duduk berupa kaca yang indah dengan pintu seni Perancis yang membuka ke sebuah teras. Untuk acara-acara pertemuan yang lebih formal tersedia ruangan The Writers Den, The Perfect Duo, dan The Executive Inspiration Room.
Hotel yang klasik dan bersejarah ini juga dilengkapi akses internet berkecepatan tinggi T1 yang mendukung kegiatan bisnis para tamu selama di New York. Juga dilengkapi oleh koleksi 100 judul film terbaik American Film Institutes. Reading Room di lantai dua, Sports Club dan pelayanan keagamaan.
The Library yang merupakan top 10 hotel pilihan di New York, menawarkan kelas dan rasa yang terbaik. Jadi bila anda datang ke New York, The Library Hotel adalah salah satu pilihan kelas dunia. (Ado)
Sumber:
http://www.libraryhotel.com/
http://www.nypl.org
Wednesday, August 04, 2004
Denali Yang Agung
Mt McKinley berdiri tegak di tanah alaska sejak jutaan tahun berselang. Punggungnya yang terbentuk dari cadas keras memutih ditutupi salju dingin. Sobat lamanya kaum Athabasca dengan setia memujanya dengan memberikan nama yang indah, Denali "The Great One". Dengan ketinggian puncak selatan 20,320 kaki (6,194m) dan puncak utara 19,470 kaki (5,934m) ia bagai tak tersentuh. Bagi orang-orang Athabasca, sebagaimana adat kaum Indian, Denali adalah dewa alam yang gagah.
Di Alaska cuaca begitu cepat berubah, terlebih lagi di Denali. Hawa dingin yang pernah terekam secara ilmiah dapat mencapai -60 derajat Fahrenheit! Langit yang cerah bisa seketika diliputi badai. Belum lagi tebing-tebingnya yang berdiri hampir tegak lurus. Perjalanan menuju puncak Denali sangat mustahil bahkan bagi penduduk lokal.
Tahun 1909, sebuah expedisi kembali ke peradaban. Frederick A. Cook seorang penjelajah menjadi masyhur diseluruh negeri. Ia bahkan menghadiri undangan makan malam National Geographic Society bersama presiden Amerika, Theodore Roosevelt. Saat itu Cook adalah pahlawan, namanya tercantum dalam almanak sebagai salah satu pencapaian terbesar abad 20 bagi bangsa Amerika dengan menaklukkan Mt. McKinley tahun 1906, orang amerika pertama yang menjelajah kedua kutub dan orang pertama di dunia yang mencapai kutub utara. Di kemudian hari kebenaran klaim Cook tentang kutub utara dan Mt. McKinley ini menjadi perdebatan panjang. Admiral Robert E. Peary yang juga melakukan klaim terhadap ekspedisi ke kutub utara lebih mendapat pengakuan dari para ahli.
Ekspedisi pertama yang berhasil mencapai puncak Selatan adalah ekspedisi Hudson Stuck, seorang misionaris dan penjelajah kelahiran London yang beremigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1885. Stuck yang pernah menjadi uskup di Dallas, Texas kemudian menjadi uskup di Yukon alaska pada tahun 1905. Bersama tiga rekannya, Harry Karstens, Walter Harper, dan Robert Tatum ia berdiri di puncak Mt. McKinley pada Juni tahun 1913. Dan orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Selatan adalah Walter Harper, seorang Indian Athabasca.
Sedangkan puncak utara ditaklukkan oleh Expedisi Sourdoughs(Tom Lloyd, Charles McGonagall, Peter Anderson, dan Bill Taylor). McGonagall, Anderson, dan Taylor berhasil mencapai puncak pada 3 April 1910. Tiga tahun sebelum ekspedisi Hudson Stuck. Basecamp terakhir mereka berada di ketinggian 11.000 kaki. Dengan hanya berbekal donat dan coklat panas mereka mencoba beberapa kali ke puncak. Mereka juga menarik sebuah tiang bendera sepanjang 14 kaki dan memancangkannya di ketinggian 19.000 kaki.
Mereka berharap bendera itu dapat dilihat dari Fairbank sebagai bukti mereka telah mencapai puncak. Namun ternyata dalam jarak yang begitu jauh bendera itu sama sekali tak terlihat. Hal ini kemudian menimbulkan keraguan banyak pihak akan kesuksesan mereka. Apalagi kemudian Lloyd sempat membual bahwa mereka telah menaklukkan kedua puncak. Tiga tahun kemudian keraguan tersebut sirna, ketika Hudson Stuck melihat sebuah tiang tanpa bendera terpancang kuat di puncak utara. Kisah pendakian ini menjadi terkenal, mengingat expedisi Sourdoughs dilakukan oleh para pekerja tambang sama sekali bukan pendaki.
Kisah pendakian ke puncak McKinley oleh ekspedisi Hudson Stuck dan Sourdoughs memang tak luput oleh keraguan publik atas kebohongan Cook. Cook sendiri sempat menghilang beberapa tahun menghindari publik. Setelah ia dibebaskan dari penjara karena spekulasi bisnis minyak bumi pada 1930, ia mengajukan lagi tuntutan ke pengadilan atas penjelajahannya ke kutub utara.
Cook meninggal pada tahun 1940 karena menderita radang paru-paru. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Cook mendapatkan pengampunan dari Presiden Franklin Delano Roosevelt. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh sebuah ekspedisi di tahun 1994 dipastikan bahwa penjelajahan Cook pernah mencapai setidaknya 12.000 kaki menuju puncak. Namun hingga kini prestasinya sebagai pioneer penjelajahan ke kutub, dokter, fotografer dan penulis yang hebat terus dihantui perdebatan atas kebenaran klaimnya di puncak Denali dan titik paling utara bumi, kutub utara.
Sumber:
http://pearyhenson.org/polarcontroversy/
http://www.northernlatitude.com/denali.html
http://home.earthlink.net/~cookpeary/biography.html
http://www.cookpolar.org/about.htm
http://www.infoplease.com/
Recommended reading:
http://www.northernlatitude.com/reading.html
Di Alaska cuaca begitu cepat berubah, terlebih lagi di Denali. Hawa dingin yang pernah terekam secara ilmiah dapat mencapai -60 derajat Fahrenheit! Langit yang cerah bisa seketika diliputi badai. Belum lagi tebing-tebingnya yang berdiri hampir tegak lurus. Perjalanan menuju puncak Denali sangat mustahil bahkan bagi penduduk lokal.
Tahun 1909, sebuah expedisi kembali ke peradaban. Frederick A. Cook seorang penjelajah menjadi masyhur diseluruh negeri. Ia bahkan menghadiri undangan makan malam National Geographic Society bersama presiden Amerika, Theodore Roosevelt. Saat itu Cook adalah pahlawan, namanya tercantum dalam almanak sebagai salah satu pencapaian terbesar abad 20 bagi bangsa Amerika dengan menaklukkan Mt. McKinley tahun 1906, orang amerika pertama yang menjelajah kedua kutub dan orang pertama di dunia yang mencapai kutub utara. Di kemudian hari kebenaran klaim Cook tentang kutub utara dan Mt. McKinley ini menjadi perdebatan panjang. Admiral Robert E. Peary yang juga melakukan klaim terhadap ekspedisi ke kutub utara lebih mendapat pengakuan dari para ahli.
Ekspedisi pertama yang berhasil mencapai puncak Selatan adalah ekspedisi Hudson Stuck, seorang misionaris dan penjelajah kelahiran London yang beremigrasi ke Amerika Serikat pada tahun 1885. Stuck yang pernah menjadi uskup di Dallas, Texas kemudian menjadi uskup di Yukon alaska pada tahun 1905. Bersama tiga rekannya, Harry Karstens, Walter Harper, dan Robert Tatum ia berdiri di puncak Mt. McKinley pada Juni tahun 1913. Dan orang pertama yang menjejakkan kaki di puncak Selatan adalah Walter Harper, seorang Indian Athabasca.
Sedangkan puncak utara ditaklukkan oleh Expedisi Sourdoughs(Tom Lloyd, Charles McGonagall, Peter Anderson, dan Bill Taylor). McGonagall, Anderson, dan Taylor berhasil mencapai puncak pada 3 April 1910. Tiga tahun sebelum ekspedisi Hudson Stuck. Basecamp terakhir mereka berada di ketinggian 11.000 kaki. Dengan hanya berbekal donat dan coklat panas mereka mencoba beberapa kali ke puncak. Mereka juga menarik sebuah tiang bendera sepanjang 14 kaki dan memancangkannya di ketinggian 19.000 kaki.
Mereka berharap bendera itu dapat dilihat dari Fairbank sebagai bukti mereka telah mencapai puncak. Namun ternyata dalam jarak yang begitu jauh bendera itu sama sekali tak terlihat. Hal ini kemudian menimbulkan keraguan banyak pihak akan kesuksesan mereka. Apalagi kemudian Lloyd sempat membual bahwa mereka telah menaklukkan kedua puncak. Tiga tahun kemudian keraguan tersebut sirna, ketika Hudson Stuck melihat sebuah tiang tanpa bendera terpancang kuat di puncak utara. Kisah pendakian ini menjadi terkenal, mengingat expedisi Sourdoughs dilakukan oleh para pekerja tambang sama sekali bukan pendaki.
Kisah pendakian ke puncak McKinley oleh ekspedisi Hudson Stuck dan Sourdoughs memang tak luput oleh keraguan publik atas kebohongan Cook. Cook sendiri sempat menghilang beberapa tahun menghindari publik. Setelah ia dibebaskan dari penjara karena spekulasi bisnis minyak bumi pada 1930, ia mengajukan lagi tuntutan ke pengadilan atas penjelajahannya ke kutub utara.
Cook meninggal pada tahun 1940 karena menderita radang paru-paru. Sebelum menghembuskan nafas terakhir Cook mendapatkan pengampunan dari Presiden Franklin Delano Roosevelt. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh sebuah ekspedisi di tahun 1994 dipastikan bahwa penjelajahan Cook pernah mencapai setidaknya 12.000 kaki menuju puncak. Namun hingga kini prestasinya sebagai pioneer penjelajahan ke kutub, dokter, fotografer dan penulis yang hebat terus dihantui perdebatan atas kebenaran klaimnya di puncak Denali dan titik paling utara bumi, kutub utara.
Sumber:
http://pearyhenson.org/polarcontroversy/
http://www.northernlatitude.com/denali.html
http://home.earthlink.net/~cookpeary/biography.html
http://www.cookpolar.org/about.htm
http://www.infoplease.com/
Recommended reading:
http://www.northernlatitude.com/reading.html
My "little" fellow Iacocca
Di musim panas 1934, seorang bocah berumur sepuluh tahun bergegas menarik gerobak menuju sebuah toko grosir. Ia tidak sedang berbelanja namun dengan tenang ia menunggu di depan toko. Ketika ada pelanggan membawa belanjaan keluar dari toko, bocah itu segera menyambutnya dengan ramah dan menawarkan jasa mengantarkan belanjaan menuju rumah untuk mendapatkan sedikit bayaran.
6 tahun kemudian bocah kecil itu tak lagi menarik gerobak kecilnya ke depan toko. Ia telah bekerja di sebuah toko buah-buahan. Di umur semuda itu ia telah terbiasa bekerja 16 jam sehari. Dengan semangat sebesar itu tak heran dalam beberapa tahun kemudian ia berhasil menamatkan studinya di Lehigh University, Bethlehem, Pa. di tahun 1945, kemudian meraih Master di bidang Engineering dari Princeton University di tahun 1946.
Pemuda ini segera memulai karirnya di Ford Motor Company sebagai seorang insinyur yang berbakat. Tapi orang segera tahu bahwa ia dilahirkan sebagai seorang penjual yang hebat. Perubahan ini yang di kemudian hari memperlihatkan kemampuan Iacocca yang monumental buat Ford. Dalam rentang karirnya sepanjang 21 tahun, inovasinya dalam organisasi dan kecerdasan yang ditempa dari jalanan melahirkan terobosan besar pada perusahaan. Salah satu idenya adalah dengan memperkenalkan gagasan "pembiayaan" di tahun 1950an yang membawanya menaiki jenjang senior di Ford karena berhasil menjual 750.000 mobil di luar target.
Salah satu proyek legendaris lain dari Iacocca adalah Fairlane Committee yang melahirkan Ford Mustang, Mercury Cougar dan Lincoln Mark III. Gaya manajemennya di proyek inilah yang membuatnya terkenal di seluruh dunia. Bagaimana ia menggunakan data-data pemasaran dengan baik, kesabarannya untuk mendengarkan masukan dari berbagai macam orang, serta kesiapannya dalam mengambil resiko dalam mengenalkan suatu produk baru membuatnya dicintai banyak orang. Kombinasi karakternya lah yang membawa kesuksesan bagi Mustang dan memberikan julukan baginya sebagai Bapak Mustang.
Di akhir 1975, Lee mengalami masalah dengan Henry Ford II. Idenya untuk membuat mobil yang kompak dengan penggerak roda depan. Perbedaan pendapat antara keduanya berakhir dengan pemecatan Lee. Namun hal itu tak berarti apa-apa buat seorang sekelas Lee. 2 November 1978, ia segera bergabung dengan Chrysler. Saat itu Chrysler hampir bangkrut. Produk-produk Chrysler yang boros bahan bakar tidak laku di pasaran.
Iacocca meminta bantuan dana dari pemerintah dengan asumsi bahwa pemerintah tak akan membiarkan Chrysler bangkrut apalagi disaat depresi sedang melanda. proposalnya menghadapi debat panjang tentang peran pemerintak dalam ekonomi pasar, Namun pada tahun 1980 pemerintah akhirnya menyetujui bantuan senila1 USD 1.5 milyar dengan syarat Chrysler dapat mengumpulkan dana sejumlah USD 2 milyar.
Di pundaknya terbeban tanggung jawab mencari dana pinjaman, melakukan efisiensi operasi, menutup pabrik, membujuk serikat pekerja menerima pengurangan tenaga dan pemotongan gaji. Di sisi lain ia berkonsentrasi mengeluarkan model terbaru yang lebih hemat bahan bakar, melancarkan kampanye iklan yang agresif, termasuk tampil secara pribadi di televisi dan media. Setahun kemudian, Chrysler mulai menunjukan sedikit keuntungan, namun dalam 3 tahun ke depan perusahaan itu berhasil memecahkan rekor dengan membukukan keuntungan sebesar USD 2.4 milyar! Iacocca mendadak menjadi pesohor. Autobiografi nya, Iacocca (1984), dan buku keduanya, Talking Straight (1988), menjadi best-seller. Iacocca mengakhiri karirnya sebagai Chief Executive di Chrysler pada tahun 1992.
Jakarta, 4 Agustus 2004
Diterjemahkan secara bebas dari Emediaplan dan Wikipedia.
6 tahun kemudian bocah kecil itu tak lagi menarik gerobak kecilnya ke depan toko. Ia telah bekerja di sebuah toko buah-buahan. Di umur semuda itu ia telah terbiasa bekerja 16 jam sehari. Dengan semangat sebesar itu tak heran dalam beberapa tahun kemudian ia berhasil menamatkan studinya di Lehigh University, Bethlehem, Pa. di tahun 1945, kemudian meraih Master di bidang Engineering dari Princeton University di tahun 1946.
Pemuda ini segera memulai karirnya di Ford Motor Company sebagai seorang insinyur yang berbakat. Tapi orang segera tahu bahwa ia dilahirkan sebagai seorang penjual yang hebat. Perubahan ini yang di kemudian hari memperlihatkan kemampuan Iacocca yang monumental buat Ford. Dalam rentang karirnya sepanjang 21 tahun, inovasinya dalam organisasi dan kecerdasan yang ditempa dari jalanan melahirkan terobosan besar pada perusahaan. Salah satu idenya adalah dengan memperkenalkan gagasan "pembiayaan" di tahun 1950an yang membawanya menaiki jenjang senior di Ford karena berhasil menjual 750.000 mobil di luar target.
Salah satu proyek legendaris lain dari Iacocca adalah Fairlane Committee yang melahirkan Ford Mustang, Mercury Cougar dan Lincoln Mark III. Gaya manajemennya di proyek inilah yang membuatnya terkenal di seluruh dunia. Bagaimana ia menggunakan data-data pemasaran dengan baik, kesabarannya untuk mendengarkan masukan dari berbagai macam orang, serta kesiapannya dalam mengambil resiko dalam mengenalkan suatu produk baru membuatnya dicintai banyak orang. Kombinasi karakternya lah yang membawa kesuksesan bagi Mustang dan memberikan julukan baginya sebagai Bapak Mustang.
Di akhir 1975, Lee mengalami masalah dengan Henry Ford II. Idenya untuk membuat mobil yang kompak dengan penggerak roda depan. Perbedaan pendapat antara keduanya berakhir dengan pemecatan Lee. Namun hal itu tak berarti apa-apa buat seorang sekelas Lee. 2 November 1978, ia segera bergabung dengan Chrysler. Saat itu Chrysler hampir bangkrut. Produk-produk Chrysler yang boros bahan bakar tidak laku di pasaran.
Iacocca meminta bantuan dana dari pemerintah dengan asumsi bahwa pemerintah tak akan membiarkan Chrysler bangkrut apalagi disaat depresi sedang melanda. proposalnya menghadapi debat panjang tentang peran pemerintak dalam ekonomi pasar, Namun pada tahun 1980 pemerintah akhirnya menyetujui bantuan senila1 USD 1.5 milyar dengan syarat Chrysler dapat mengumpulkan dana sejumlah USD 2 milyar.
Di pundaknya terbeban tanggung jawab mencari dana pinjaman, melakukan efisiensi operasi, menutup pabrik, membujuk serikat pekerja menerima pengurangan tenaga dan pemotongan gaji. Di sisi lain ia berkonsentrasi mengeluarkan model terbaru yang lebih hemat bahan bakar, melancarkan kampanye iklan yang agresif, termasuk tampil secara pribadi di televisi dan media. Setahun kemudian, Chrysler mulai menunjukan sedikit keuntungan, namun dalam 3 tahun ke depan perusahaan itu berhasil memecahkan rekor dengan membukukan keuntungan sebesar USD 2.4 milyar! Iacocca mendadak menjadi pesohor. Autobiografi nya, Iacocca (1984), dan buku keduanya, Talking Straight (1988), menjadi best-seller. Iacocca mengakhiri karirnya sebagai Chief Executive di Chrysler pada tahun 1992.
Jakarta, 4 Agustus 2004
Diterjemahkan secara bebas dari Emediaplan dan Wikipedia.
Tuesday, August 03, 2004
Motivation is Everything
"Motivation is everything. You can do the work of two people, but you can't be two people. Instead, you have to inspire the next guy down the line and get him to inspire his people. "
-Lee Iacocca
Monday, August 02, 2004
Tuesday, July 27, 2004
Menjual Keledai
Pada jaman dahulu kala, hiduplah seorang tua bernama Matahari Tua, beliau tinggal bersama putranya yang bernama Matahari Kecil.
Suatu hari, Matahari Tua dan Matahari Kecil pergi ke pekan raya di kota untuk menjual keledainya. Seorang perempuan melihat mereka dan tertawa, "Kalian berjalan membawa keledai. mengapa kalian tak menungganginya? Kelian berdua benar-benar bodoh!"
"Perempuan itu benar," kata orang tua itu kepada putranya, "Kita berdua sungguh bodoh." Maka Matahari tua naik ke punggung keledai, dan Matahari Kecil berjalan mengikuti di belakangnya.
Tak berapa jauh beranjak, mereka berjumpa seorang perempuan tua. Begitu ia melihat Matahari Tua menunggang keledai ia berseru kepadanya, "Hey, ini tidak benar. Kamu menunggang keledai dan membiarkan bocah kecil itu berjalan kaki di belakangmu."
"Benar juga. ada benarnya perkataan perempuan tua itu." Tukas Matahari Tua dan iapun segera melompat turun dari punggung si keledai lalu membiarkan putranya naik.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka melihat seorang lelaki sedang bekerja di ladang yang berteriak: "oi oi, kau, anak muda berpikiran pendek -- anak semuka engkau menunggang keledai dengan enaknya dan membiarkan orang tua ini berjalan kaki."
"Ah, Tepat juga perkataannya," ujar Matahari kecil kepada dirinya sendiri, "Aku betul-betul pendek pikir." Segeralah ia melompat turun dari punggung keledai.
Matahari Tua dan Matahari Kecil segera berdiskusi tentang bagaimana caranya membawa keledai mereka ke pekan raya di kota tanpa ada lagi orang yang mengkritik mereka. "Aku punya ide," kata Matahari Kecil,"kita berdua menunggang keledai itu, dengan demikian tak ada orang yang dapat berkata apapun." "Ide yang bagus," ucap Matahari Tua setuju, "Sungguh ide yang bagus."
Segera mereka berdua menunggangi keledai itu.
"Apa! Kalian gila?" dua orang pejalan kaki berseru marah, "Lihat itu, dengan dua orang berada di atas punggungnya, tak lama lagi keledai itu akan mati kecapaian."
Ketika Matahari Tua dan Matahari kecil mendengar seruan itu mereka merasa bersalah. Langsung saja mereka melompat dari atas keledai dan berkata, "Benar juga, kita berdua memang gila." Kali ini mereka benar-benar kehilangan akal dan tak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba Matahari Kecil berkata, "Aku punya ide! Bagaimana kalau kita yang memanggul keledai itu." matahari Tua tersenyum mendengar nya dan berkata: "Ide yang bagus, Ide yang bagus."
Matahari Tua dan Matahari Kecil segera memanggul keledai merka dengan sebilah bambu dan membawanya ke pekan raya. Dalam perjalanan menuju pekan raya tubuh mereka berdua basah kuyup oleh keringat. Ketika sekelompok anak-anak melohat bagaimana Matahari Tua dan Matahari Kecil membawa keledai itu, mereka semua tertawa terbahak-bahak.
"Ha, Ha...., cepat sini lihat ini, dua orang ini tidak menunggangi keledainya, tapi justru keledainya yang menunggangi mereka. Itu benar-benar luar biasa. Ha, ha, ha...."
Suatu hari, Matahari Tua dan Matahari Kecil pergi ke pekan raya di kota untuk menjual keledainya. Seorang perempuan melihat mereka dan tertawa, "Kalian berjalan membawa keledai. mengapa kalian tak menungganginya? Kelian berdua benar-benar bodoh!"
"Perempuan itu benar," kata orang tua itu kepada putranya, "Kita berdua sungguh bodoh." Maka Matahari tua naik ke punggung keledai, dan Matahari Kecil berjalan mengikuti di belakangnya.
Tak berapa jauh beranjak, mereka berjumpa seorang perempuan tua. Begitu ia melihat Matahari Tua menunggang keledai ia berseru kepadanya, "Hey, ini tidak benar. Kamu menunggang keledai dan membiarkan bocah kecil itu berjalan kaki di belakangmu."
"Benar juga. ada benarnya perkataan perempuan tua itu." Tukas Matahari Tua dan iapun segera melompat turun dari punggung si keledai lalu membiarkan putranya naik.
Kemudian mereka melanjutkan perjalanan hingga mereka melihat seorang lelaki sedang bekerja di ladang yang berteriak: "oi oi, kau, anak muda berpikiran pendek -- anak semuka engkau menunggang keledai dengan enaknya dan membiarkan orang tua ini berjalan kaki."
"Ah, Tepat juga perkataannya," ujar Matahari kecil kepada dirinya sendiri, "Aku betul-betul pendek pikir." Segeralah ia melompat turun dari punggung keledai.
Matahari Tua dan Matahari Kecil segera berdiskusi tentang bagaimana caranya membawa keledai mereka ke pekan raya di kota tanpa ada lagi orang yang mengkritik mereka. "Aku punya ide," kata Matahari Kecil,"kita berdua menunggang keledai itu, dengan demikian tak ada orang yang dapat berkata apapun." "Ide yang bagus," ucap Matahari Tua setuju, "Sungguh ide yang bagus."
Segera mereka berdua menunggangi keledai itu.
"Apa! Kalian gila?" dua orang pejalan kaki berseru marah, "Lihat itu, dengan dua orang berada di atas punggungnya, tak lama lagi keledai itu akan mati kecapaian."
Ketika Matahari Tua dan Matahari kecil mendengar seruan itu mereka merasa bersalah. Langsung saja mereka melompat dari atas keledai dan berkata, "Benar juga, kita berdua memang gila." Kali ini mereka benar-benar kehilangan akal dan tak tahu harus berbuat apa.
Tiba-tiba Matahari Kecil berkata, "Aku punya ide! Bagaimana kalau kita yang memanggul keledai itu." matahari Tua tersenyum mendengar nya dan berkata: "Ide yang bagus, Ide yang bagus."
Matahari Tua dan Matahari Kecil segera memanggul keledai merka dengan sebilah bambu dan membawanya ke pekan raya. Dalam perjalanan menuju pekan raya tubuh mereka berdua basah kuyup oleh keringat. Ketika sekelompok anak-anak melohat bagaimana Matahari Tua dan Matahari Kecil membawa keledai itu, mereka semua tertawa terbahak-bahak.
"Ha, Ha...., cepat sini lihat ini, dua orang ini tidak menunggangi keledainya, tapi justru keledainya yang menunggangi mereka. Itu benar-benar luar biasa. Ha, ha, ha...."
Monday, July 26, 2004
Rahasia Danau Bola
Alangkah senangnya menonton anak kita bermain riang gembira di bola-bola warna warni yang ribuan jumlahnya itu. Mereka melompat dan menyelam seperti layaknya seorang penyelam profesional di lautan lepas. Tertawa-tawa dan berenang-renang kesana kemari. Bisnis yang menyenangkan. Mendapatkan uang dari kebahagian orang lain :) Tapi cerita kali ini bukan tentang mereka. Ini tentang sebuah usaha, bisnis dan kebetulan membutuhkan kemampuan menyelam.
Tersebutlah suatu tempat di dunia maya, Lakeballs.com alias danau bola. Namanya unik seunik usahanya, yaitu menjual bola golf. Keunikan itu bukan dari bolanya, tapi bagaimana mendapatkan bola2 itu... Yaitu dengan menyelam di kolam2 yang ada di lapangan2 golf di inggris.
Pada malam2 tertentu para penyelam bola akan menyiapkan pakaian selamnya, masker, kaki katak dan sebuah keranjang berbentuk jala untuk menampung bola. Mereka memarkir kendaraannya di tempat tersembunyi yang cukup jauh agar luput dari pengawasan satpam. Dengan pakaian selamnya mereka melompati pagar dan berjalan kaki ke setiap kolam yang ada disana.
Pakaian selam yang terbuat dari karet memang cukup membantu menahan masuknya air. Tapi suhu dingin tak dapat dihindari. Meski demikian oleh para penyelam pekerjaan ini dirasakan sangat menyenangkan. Sebab bila beruntung mereka bisa mengumpulkan bola yang cukup banyak untuk mendapat uang hingga 1000 dollar per malam!
Tak terbayang bagaimana sulitnya meraba dasar kolam untuk mencari bola golf yang besarnya tak lebih dari telur ayam kampung. Apalagi mereka sengaja tidak menggunakan alat penerangan. Kalau sedang sial, pak satpam bisa memergoki mereka lalu menangkap dan menyita bola-bola yang sudah mereka kumpulkan. Bagi para penyelam bola, mereka lebih baik meninggalkan bola daripada tertangkap tangan pak satpam. Repotnya tak terbayar. Toh ada begitu banyak kolam dan lapangan golf yang mereka bisa kunjungi.
Tak jarang mereka juga harus bersaing dengan penyelam yg berprofesi sama. Tapi hal tu tak terlalu menjadi masalah. Sebab tak banyak orang yang memilih pekerjaan ini. Lama-kelamaan mereka juga sudah saling mengenal dan berbagi jadwal mencari makan.
Memang kegiatan mereka kadang dirasakan mengganggu oleh pengelola lapangan golf. Tapi sebagian yang lain tak berfikir demikian. Ada juga yang secara resmi meminta jasa penyelam ini untuk mengumpulkan bola di kolam2 mereka. Kalau demikian para penyelam bisa bekerja santai. Tak perlu lagi kedinginan karena menunggu waktu larut malam.
Bola golf terdiri dari berbagai merk, kelas dan kualitas. Setelah dikumpulkan semuanya akan di cuci, dikeringkan dan dipilah2 berdasarkan kriteria tadi. Setelah itu bola siap dijual langsung ke penggemar olahraga mahal ini atau mereka jual ke penampung seperti Lakeballs.
Penyelam2 Lakeballs memang menjalani kehidupan diluar dari kebiasaan. Untuk sebuah pekerjaan yang bisa dibilang part time, mereka mendapatkan lebih dari cukup. Tapi pekerjaan tak selalu melulu uang. Kita perlu tantangan agar pekerjaan bisa menjadi permainan yang menyenangkan. Itulah sebabnya, mereka akan selalu berebut menyelam di lapangan2 golf yang termahal dengan pengamanan terhebat.
Ada2 saja....
Jakarta, 26 Juli 2004
Tersebutlah suatu tempat di dunia maya, Lakeballs.com alias danau bola. Namanya unik seunik usahanya, yaitu menjual bola golf. Keunikan itu bukan dari bolanya, tapi bagaimana mendapatkan bola2 itu... Yaitu dengan menyelam di kolam2 yang ada di lapangan2 golf di inggris.
Pada malam2 tertentu para penyelam bola akan menyiapkan pakaian selamnya, masker, kaki katak dan sebuah keranjang berbentuk jala untuk menampung bola. Mereka memarkir kendaraannya di tempat tersembunyi yang cukup jauh agar luput dari pengawasan satpam. Dengan pakaian selamnya mereka melompati pagar dan berjalan kaki ke setiap kolam yang ada disana.
Pakaian selam yang terbuat dari karet memang cukup membantu menahan masuknya air. Tapi suhu dingin tak dapat dihindari. Meski demikian oleh para penyelam pekerjaan ini dirasakan sangat menyenangkan. Sebab bila beruntung mereka bisa mengumpulkan bola yang cukup banyak untuk mendapat uang hingga 1000 dollar per malam!
Tak terbayang bagaimana sulitnya meraba dasar kolam untuk mencari bola golf yang besarnya tak lebih dari telur ayam kampung. Apalagi mereka sengaja tidak menggunakan alat penerangan. Kalau sedang sial, pak satpam bisa memergoki mereka lalu menangkap dan menyita bola-bola yang sudah mereka kumpulkan. Bagi para penyelam bola, mereka lebih baik meninggalkan bola daripada tertangkap tangan pak satpam. Repotnya tak terbayar. Toh ada begitu banyak kolam dan lapangan golf yang mereka bisa kunjungi.
Tak jarang mereka juga harus bersaing dengan penyelam yg berprofesi sama. Tapi hal tu tak terlalu menjadi masalah. Sebab tak banyak orang yang memilih pekerjaan ini. Lama-kelamaan mereka juga sudah saling mengenal dan berbagi jadwal mencari makan.
Memang kegiatan mereka kadang dirasakan mengganggu oleh pengelola lapangan golf. Tapi sebagian yang lain tak berfikir demikian. Ada juga yang secara resmi meminta jasa penyelam ini untuk mengumpulkan bola di kolam2 mereka. Kalau demikian para penyelam bisa bekerja santai. Tak perlu lagi kedinginan karena menunggu waktu larut malam.
Bola golf terdiri dari berbagai merk, kelas dan kualitas. Setelah dikumpulkan semuanya akan di cuci, dikeringkan dan dipilah2 berdasarkan kriteria tadi. Setelah itu bola siap dijual langsung ke penggemar olahraga mahal ini atau mereka jual ke penampung seperti Lakeballs.
Penyelam2 Lakeballs memang menjalani kehidupan diluar dari kebiasaan. Untuk sebuah pekerjaan yang bisa dibilang part time, mereka mendapatkan lebih dari cukup. Tapi pekerjaan tak selalu melulu uang. Kita perlu tantangan agar pekerjaan bisa menjadi permainan yang menyenangkan. Itulah sebabnya, mereka akan selalu berebut menyelam di lapangan2 golf yang termahal dengan pengamanan terhebat.
Ada2 saja....
Jakarta, 26 Juli 2004
Wednesday, July 14, 2004
Tao Te Ching - Lao Tzu
Tao Te Ching - Lao Tzu
Translated by Charles Muller
If you want to grab the world and run it
I can see that you will not succeed.
The world is a spiritual vessel, which can't be controlled.
Manipulators mess things up.
Grabbers lose it. Therefore:
Sometimes you lead
Sometimes you follow
Sometimes you are stifled
Sometimes you breathe easy
Sometimes you are strong
Sometimes you are weak
Sometimes you destroy
And sometimes you are destroyed.
Hence, the sage shuns excess
Shuns grandiosity
Shuns arrogance.
Translated by Charles Muller
If you want to grab the world and run it
I can see that you will not succeed.
The world is a spiritual vessel, which can't be controlled.
Manipulators mess things up.
Grabbers lose it. Therefore:
Sometimes you lead
Sometimes you follow
Sometimes you are stifled
Sometimes you breathe easy
Sometimes you are strong
Sometimes you are weak
Sometimes you destroy
And sometimes you are destroyed.
Hence, the sage shuns excess
Shuns grandiosity
Shuns arrogance.
YANG FANA ADALAH WAKTU
YANG FANA ADALAH WAKTU
Sapardi Djoko Damono
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Sapardi Djoko Damono
Yang fana adalah waktu. Kita abadi:
memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga
sampai pada suatu hari
kita lupa untuk apa.
"Tapi, yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu.
Kita abadi.
Perahu Kertas,
Kumpulan Sajak,
1982.
Monday, July 12, 2004
Sepenggal Rahasia Hati
Musik berdebam makin cepat dan makin keras. Suara manusia hingar bingar memenuhi ruangan. Di atas meja bar licin, Dona makin gila menari. Tangannya terangkat tinggi2 bergerak cepat meningkahi pusingan cakra sang DJ. Di tangan kanannya tergenggam sebotol bir dingin. Minuman keras itu membasahi wajah, leher, dada, hampir seluruh tubuhnya. Gerakannya sudah mekanis nyawanya seakan terbang entah kemana.
Di bawahnya para lelaki mendongak meneteskan liur mereka. G-String warna hitamnya bagaikan menyedot isi kepala lelaki dibawahnya. Dona tak peduli, bahkan tariannya makin menggila. Isi botol dituangkannya meluap perlahan dari leher menurun ke belahan dadanya yang indah. Tempat terbaik untuk menikmati air api.
***
Sejak berangkat ke Jakarta, Dona bertekad bulat. Mengalahkan ibukota dan menundukkan kaum lelaki dibawah stilletonya yang sexy. Kota kecil di Timur Jawa ini bukan tandingannya lagi. Kamis pahing ini, mamanya yang sederhana melepas kepergiannya di stasiun. Buah hatinya tampak begitu dewasa dibalut pakaian sexy ala anak kota. Tapi dimata mama, Dona tetaplah gadis kecilnya yang lugu.
Gumarang mendengus keras, kaki-kakinya yang kekar menjejak logam berdebu meluncur perlahan meninggalkan mama di sisi peron yang sepi. Sesekali pedagang asongan melintas menghalangi wajah mama. Detik-demi detik citra itu mengecil dan mata cantik Dona tak kuasa menahan kesedihan. Dengan sehelai saputangan sutra pemberian mama Dona mengusap airmatanya. Pandangannya menerawang jauh ke birunya gunung di kejauhan. "Hati-hati ya Ma..."
***
Dona adalah gadis yang memiliki sebuah kombinasi langka, kecerdasan dan kecantikan sekaligus. Hal itu lebih dari cukup untuk menarik perhatian pria tak juga Joe. Setiap gerak-gerik gadis itu terekam dengan baik dalam ingatannya. Sejak mereka mulai bersahabat tiga tahun lalu sobatnya ini terlihat begitu sempurna.
Dona memang gadis yang enerjik. Hari-harinya dihiasi keceriaan. Sulit menangkap kegelisahan di lesung pipitnya yang indah itu bahkan untuk yang sedekat Joe. Pikiran pemuda gagah itu terbang dipacu ninja hitamnya. Sekilas-sekilas terbayang Dona yang mendekap punggungnya begitu erat dua hari lalu. Nilai-nilai ujiannya tidak buruk, tapi Dona tampaknya enggan bercakap2 dengannya. Joe mengerti bahasa tubuh itu, ia memeriksa klip helm di dagu Dona, memutar kunci sepeda motornya dan mengantar pulang gadis itu pulang.
"Bangsat! Gak punya mata loe?!" Seorang bapak gendut memaki.
Joe segera menekan remnya kuat2. Hampir saja motornya menabrak bapak itu. "Duh maaf pak... Bapak gak papa kan? Maaf banget pak saya terburu2... soalnya ada keperluan penting..."
Untung tak ada yang terluka. Joe kembali memacu ninja hitamnya menerjang jalan raya bogor. Jantungnya berdebar makin keras mengingat sobatnya yang terbaring sendirian. Joe terbang seperti setan membelah malam.
***
"Ampun pa, jangan pa...!" Dona merintih lirih. Dengan sisa-sisa tenaganya ia menolak tubuh kekar Papa. Dari belakang mama menariknya kuat2. "Jangan pa, dia anakmu pa...!" Hanya dengan satu gerakan tangan saja, mama terpelanting keras. Kepalanya terantuk dinding jatuh tak sadarkan diri. Wajahnya lebam dan dari sudut bibirnya darah segar mengalir membasahi dagunya.
Ingatan itu tersimpan dalam-dalam di hati Dona. Ia ingin menghalaunya jauh-jauh, tapi bayangan itu seperti film yang diputar berulang-ulang tak ada habisnya. Itu sebabnya mama sangat gembira ketika Dona berhasil masuk kuliah di Jakarta. Mama berharap suasana baru dapat menghiburnya. Di Jakarta perangai Dona memang lebih ceria, namun itu karena rasa dendam di bawah sadarnya. Ia sangat menikmati setiap permainannya membuat banyak pria patah hati.
"Gue kan nggak salah Joe. Gue gak pernah minta apa2. Bukankah sudah hak gue utk menolak?" jawabnya setiap kali Joe menegurnya. "Sudahlah Joe sayang, kita nikmati aja hidup ini. Lets go to Starbuck... on my treat deh..." rayu Dona.
***
Dokter dan seorang polisi menyambutnya di depan pintu UGD. Joe segera menghambur ke dalam. Para perawat melepas penyangga kehidupan dari tubuh pucat Dona. Joe masih tak percaya. Ia membasuh dahi sobatnya itu dengan lembut dan berbisik di telinga Dona.
"Na, ini gw Joe, Na. Bangun dong Na... Bangun...!" usaha Joe sia2. Sobatnya diam tak bergerak. Wajahnya tertidur damai dibalik seprai putih rumah sakit.
"Bajingan loe Frank!" tinju Joe menghantam dagu Franky. Pak polisi memegangi badan Joe. Teriakannya melolong menghantam dinding2 tua rumah sakit cipto.
Tadi sore Patty dan Franky pacarnya yang mengajak Dona melupakan penatnya kehidupan di Diskotik M. Sejurus kemudian mereka melupakan Dona. Di dalam mobil yang diparkir tak jauh dari situ mereka bercinta. Kesedihan Dona memang sirna lewat alkohol. Namun beberapa jam kemudian polisi menemukan gadis malang itu sekarat di tepi sebuah jalan di kota. Tubuhnya yang setengah bugil dikotori sperma para lelaki tak dikenal.
"Tiit..." sebuah pesan pendek masuk ke handphone Joe.
"Joe sayang, ke kost ku dong... Buruan ya... Papa datang...!"
Jakarta, 12 Juli 2004
Di bawahnya para lelaki mendongak meneteskan liur mereka. G-String warna hitamnya bagaikan menyedot isi kepala lelaki dibawahnya. Dona tak peduli, bahkan tariannya makin menggila. Isi botol dituangkannya meluap perlahan dari leher menurun ke belahan dadanya yang indah. Tempat terbaik untuk menikmati air api.
***
Sejak berangkat ke Jakarta, Dona bertekad bulat. Mengalahkan ibukota dan menundukkan kaum lelaki dibawah stilletonya yang sexy. Kota kecil di Timur Jawa ini bukan tandingannya lagi. Kamis pahing ini, mamanya yang sederhana melepas kepergiannya di stasiun. Buah hatinya tampak begitu dewasa dibalut pakaian sexy ala anak kota. Tapi dimata mama, Dona tetaplah gadis kecilnya yang lugu.
Gumarang mendengus keras, kaki-kakinya yang kekar menjejak logam berdebu meluncur perlahan meninggalkan mama di sisi peron yang sepi. Sesekali pedagang asongan melintas menghalangi wajah mama. Detik-demi detik citra itu mengecil dan mata cantik Dona tak kuasa menahan kesedihan. Dengan sehelai saputangan sutra pemberian mama Dona mengusap airmatanya. Pandangannya menerawang jauh ke birunya gunung di kejauhan. "Hati-hati ya Ma..."
***
Dona adalah gadis yang memiliki sebuah kombinasi langka, kecerdasan dan kecantikan sekaligus. Hal itu lebih dari cukup untuk menarik perhatian pria tak juga Joe. Setiap gerak-gerik gadis itu terekam dengan baik dalam ingatannya. Sejak mereka mulai bersahabat tiga tahun lalu sobatnya ini terlihat begitu sempurna.
Dona memang gadis yang enerjik. Hari-harinya dihiasi keceriaan. Sulit menangkap kegelisahan di lesung pipitnya yang indah itu bahkan untuk yang sedekat Joe. Pikiran pemuda gagah itu terbang dipacu ninja hitamnya. Sekilas-sekilas terbayang Dona yang mendekap punggungnya begitu erat dua hari lalu. Nilai-nilai ujiannya tidak buruk, tapi Dona tampaknya enggan bercakap2 dengannya. Joe mengerti bahasa tubuh itu, ia memeriksa klip helm di dagu Dona, memutar kunci sepeda motornya dan mengantar pulang gadis itu pulang.
"Bangsat! Gak punya mata loe?!" Seorang bapak gendut memaki.
Joe segera menekan remnya kuat2. Hampir saja motornya menabrak bapak itu. "Duh maaf pak... Bapak gak papa kan? Maaf banget pak saya terburu2... soalnya ada keperluan penting..."
Untung tak ada yang terluka. Joe kembali memacu ninja hitamnya menerjang jalan raya bogor. Jantungnya berdebar makin keras mengingat sobatnya yang terbaring sendirian. Joe terbang seperti setan membelah malam.
***
"Ampun pa, jangan pa...!" Dona merintih lirih. Dengan sisa-sisa tenaganya ia menolak tubuh kekar Papa. Dari belakang mama menariknya kuat2. "Jangan pa, dia anakmu pa...!" Hanya dengan satu gerakan tangan saja, mama terpelanting keras. Kepalanya terantuk dinding jatuh tak sadarkan diri. Wajahnya lebam dan dari sudut bibirnya darah segar mengalir membasahi dagunya.
Ingatan itu tersimpan dalam-dalam di hati Dona. Ia ingin menghalaunya jauh-jauh, tapi bayangan itu seperti film yang diputar berulang-ulang tak ada habisnya. Itu sebabnya mama sangat gembira ketika Dona berhasil masuk kuliah di Jakarta. Mama berharap suasana baru dapat menghiburnya. Di Jakarta perangai Dona memang lebih ceria, namun itu karena rasa dendam di bawah sadarnya. Ia sangat menikmati setiap permainannya membuat banyak pria patah hati.
"Gue kan nggak salah Joe. Gue gak pernah minta apa2. Bukankah sudah hak gue utk menolak?" jawabnya setiap kali Joe menegurnya. "Sudahlah Joe sayang, kita nikmati aja hidup ini. Lets go to Starbuck... on my treat deh..." rayu Dona.
***
Dokter dan seorang polisi menyambutnya di depan pintu UGD. Joe segera menghambur ke dalam. Para perawat melepas penyangga kehidupan dari tubuh pucat Dona. Joe masih tak percaya. Ia membasuh dahi sobatnya itu dengan lembut dan berbisik di telinga Dona.
"Na, ini gw Joe, Na. Bangun dong Na... Bangun...!" usaha Joe sia2. Sobatnya diam tak bergerak. Wajahnya tertidur damai dibalik seprai putih rumah sakit.
"Bajingan loe Frank!" tinju Joe menghantam dagu Franky. Pak polisi memegangi badan Joe. Teriakannya melolong menghantam dinding2 tua rumah sakit cipto.
Tadi sore Patty dan Franky pacarnya yang mengajak Dona melupakan penatnya kehidupan di Diskotik M. Sejurus kemudian mereka melupakan Dona. Di dalam mobil yang diparkir tak jauh dari situ mereka bercinta. Kesedihan Dona memang sirna lewat alkohol. Namun beberapa jam kemudian polisi menemukan gadis malang itu sekarat di tepi sebuah jalan di kota. Tubuhnya yang setengah bugil dikotori sperma para lelaki tak dikenal.
"Tiit..." sebuah pesan pendek masuk ke handphone Joe.
"Joe sayang, ke kost ku dong... Buruan ya... Papa datang...!"
Jakarta, 12 Juli 2004
Thursday, June 10, 2004
Wednesday, June 09, 2004
Sayangku Jane
Alasan Jane menikahi suaminya memang karena kekayaan. Ya, gaya Franky memang sangat meyakinkan meski sejak awal Jane sama sekali tak pernah tau apa pekerjaan atau bisnisnya. Yang diketahuinya hanya makan di tempat2 mewah, hangout di pub bergengsi dan kencan di hotel terbaik ibukota.
Jane selalu terkesan dengan cara kekasihnya memanjakan dirinya. Setelah dinner yang romantis, Franky selalu memberikan sebentuk perhiasan indah kepadanya. Kalung, giwang, atau seuntai rantai kemilau yang melingkari pergelangan kakinya. Di kamar hotel yang redup, Jane akan dikejutkan dengan sepasang lingerie sexy, mawar merah, parfum, atau sekedar sebotol champagne on the rocks. Semuanya tertata di tempat2 eksotis yang tak mungkin terlewat dari mata Jane.
Wanita ini, Jane, adalah seorang dewi. Dalam jubah tidur terawang dan lingerie yang indah ia seperti dongeng yang mewujud. Lekuk tubuhnya yang padat dan melengkung indah sudah sepantasnya mendapatkan perhiasan terbaik. Dan kekasihnya merupakan satu dari sangat sedikit lelaki yang bisa menyentuhnya. Hati Jane cinta caranya merayu. Malam ini sekali lagi sang dewi memaparkan rahasia dunia pada kekasihnya.
***
Pada dasarnya Jane bukan gadis penggoda. Bila kau mengenalnya, kau akan tau bahwa ia hanyalah seorang gadis lugu yang haus kasih sayang. Bila kau menjadi temannya, ia akan menyanjungmu, menelponmu berjam-jam, menemanimu shopping dengan semangat, dan tak lupa menjadi kritikus fashion yang terbaik buatmu. Tapi esoknya ia akan mendukungmu habis2an untuk mengencani gadis2 terbaik di kota ini.
Jane juga gadis yang intim. Ia hangat dan begitu dekat dengan sobat-sobatnya. Ia sangat menikmati untuk menyentuhmu. Mengusap rambut, merangkul dan mendekapmu erat2 melindungimu dari angin malam yang dingin. Begitupun sebaliknya, aku sering mendekapnya berlama-lama. Meski tau hasrat kami sama-sama membara, Jane sama sekali tak pernah keberatan. Kami seperti saudara dan belum terlintas untuk mengubahnya.
Begitu lama kami bersahabat, tumbuh besar bersama. Aku dari sudut yang padat kota ini, sedang Jane setahuku selalu tinggal di bagian terbaik. Sesekali waktu Jane menghentikan laju mobilnya hanya untuk mengajakku berangkat bersama ke sekolah. Setelah itu ia selalu menyuruh Pak Samin supirnya untuk menjemputku di pertigaan yang sama setiap paginya.
Saat waktunya keluar main, Jane akan membagi bekal dari mamanya. Jane memang pernah bercerita pada mamanya bahwa Mak ku selalu berpesan agar aku harus kuat menahan lapar agar nanti bisa jadi orang. Sejak itulah sobatku Jane mendapat bekal lebih banyak. Meski kulitku legam, Mama Jane sayang padaku. Aku anak lelaki yang tak pernah dilahirkannya.
***
Bertahun-tahun sejak telpon Jane terakhir, akhirnya aku berjumpa lagi dengannya. Aku bahkan masih ingat tangisnya yang tertahan waktu itu. Ternyata keluarga yang indah itu tak sepenuhnya kupahami. Selama ini Jen hidup dalam kekerasan dan kata-kata yang tak pantas dikatakan di depan anak selembut itu. Papanya mencandu perempuan dan judi. Sejak telepon itu Jen bertemu kawan-kawan baru gadis2 gaul yang menghabiskan hidupnya menguber2 para yuppies atau expat. Mereka jadi merasa terlalu sophisticated untuk mengobrol dengan kerah biru sepertiku.
Ah Jane ku tersayang... Kedua mata indahnya mengalirkan airmata begitu derasnya. Dengan pandangan kebisuan yang dalam ia menggigit bibirnya kuat2. Tubuhnya terguncang2 liar. Tapi tak seinchipun tubuhnya yang kosong. Para lelaki hitam buncit dengan buas mengerubunginya bagai lalat kepada bangkai.
"Ampun pak, jangan pukul saya pak... Pake aja istri saya pak asal saya jangan dipukulin..." pria bertelanjang dada itu itu merengek2 di lantai polres. Seorang polisi baru saja mengayunkan sepatu botnya ke tubuh pesakitan. Wajahnya tak keruan. Tapi pria itu akan kembali perlente esok hari.
Sedangkan aku mungkin harus menangkapnya kembali di lain waktu. Seperti saat Franky menggesekkan perhiasan seharga 85 juta rupiah dari kartu haramnya malam ini.
Tapi aku tak akan pernah mendapatkan Jane ku lagi. Dengan airmata membasahi pipiku aku melangkah pulang. Sejurus kemudian roda-roda taksi berputar menjauh meninggalkan beribu ancaman dari polisi-polisi jalang.
"i'm sorry, Jane, Goodbye..."
Jakarta, 9 Juni 2004
Buat adik gw yg sedang bekerja di Risk Management Unit sebuah bank di Jakarta.
Cerita ini fiksi belaka, semoga nggak akan terjadi dimanapun di bumi ini.
Jane selalu terkesan dengan cara kekasihnya memanjakan dirinya. Setelah dinner yang romantis, Franky selalu memberikan sebentuk perhiasan indah kepadanya. Kalung, giwang, atau seuntai rantai kemilau yang melingkari pergelangan kakinya. Di kamar hotel yang redup, Jane akan dikejutkan dengan sepasang lingerie sexy, mawar merah, parfum, atau sekedar sebotol champagne on the rocks. Semuanya tertata di tempat2 eksotis yang tak mungkin terlewat dari mata Jane.
Wanita ini, Jane, adalah seorang dewi. Dalam jubah tidur terawang dan lingerie yang indah ia seperti dongeng yang mewujud. Lekuk tubuhnya yang padat dan melengkung indah sudah sepantasnya mendapatkan perhiasan terbaik. Dan kekasihnya merupakan satu dari sangat sedikit lelaki yang bisa menyentuhnya. Hati Jane cinta caranya merayu. Malam ini sekali lagi sang dewi memaparkan rahasia dunia pada kekasihnya.
***
Pada dasarnya Jane bukan gadis penggoda. Bila kau mengenalnya, kau akan tau bahwa ia hanyalah seorang gadis lugu yang haus kasih sayang. Bila kau menjadi temannya, ia akan menyanjungmu, menelponmu berjam-jam, menemanimu shopping dengan semangat, dan tak lupa menjadi kritikus fashion yang terbaik buatmu. Tapi esoknya ia akan mendukungmu habis2an untuk mengencani gadis2 terbaik di kota ini.
Jane juga gadis yang intim. Ia hangat dan begitu dekat dengan sobat-sobatnya. Ia sangat menikmati untuk menyentuhmu. Mengusap rambut, merangkul dan mendekapmu erat2 melindungimu dari angin malam yang dingin. Begitupun sebaliknya, aku sering mendekapnya berlama-lama. Meski tau hasrat kami sama-sama membara, Jane sama sekali tak pernah keberatan. Kami seperti saudara dan belum terlintas untuk mengubahnya.
Begitu lama kami bersahabat, tumbuh besar bersama. Aku dari sudut yang padat kota ini, sedang Jane setahuku selalu tinggal di bagian terbaik. Sesekali waktu Jane menghentikan laju mobilnya hanya untuk mengajakku berangkat bersama ke sekolah. Setelah itu ia selalu menyuruh Pak Samin supirnya untuk menjemputku di pertigaan yang sama setiap paginya.
Saat waktunya keluar main, Jane akan membagi bekal dari mamanya. Jane memang pernah bercerita pada mamanya bahwa Mak ku selalu berpesan agar aku harus kuat menahan lapar agar nanti bisa jadi orang. Sejak itulah sobatku Jane mendapat bekal lebih banyak. Meski kulitku legam, Mama Jane sayang padaku. Aku anak lelaki yang tak pernah dilahirkannya.
***
Bertahun-tahun sejak telpon Jane terakhir, akhirnya aku berjumpa lagi dengannya. Aku bahkan masih ingat tangisnya yang tertahan waktu itu. Ternyata keluarga yang indah itu tak sepenuhnya kupahami. Selama ini Jen hidup dalam kekerasan dan kata-kata yang tak pantas dikatakan di depan anak selembut itu. Papanya mencandu perempuan dan judi. Sejak telepon itu Jen bertemu kawan-kawan baru gadis2 gaul yang menghabiskan hidupnya menguber2 para yuppies atau expat. Mereka jadi merasa terlalu sophisticated untuk mengobrol dengan kerah biru sepertiku.
Ah Jane ku tersayang... Kedua mata indahnya mengalirkan airmata begitu derasnya. Dengan pandangan kebisuan yang dalam ia menggigit bibirnya kuat2. Tubuhnya terguncang2 liar. Tapi tak seinchipun tubuhnya yang kosong. Para lelaki hitam buncit dengan buas mengerubunginya bagai lalat kepada bangkai.
"Ampun pak, jangan pukul saya pak... Pake aja istri saya pak asal saya jangan dipukulin..." pria bertelanjang dada itu itu merengek2 di lantai polres. Seorang polisi baru saja mengayunkan sepatu botnya ke tubuh pesakitan. Wajahnya tak keruan. Tapi pria itu akan kembali perlente esok hari.
Sedangkan aku mungkin harus menangkapnya kembali di lain waktu. Seperti saat Franky menggesekkan perhiasan seharga 85 juta rupiah dari kartu haramnya malam ini.
Tapi aku tak akan pernah mendapatkan Jane ku lagi. Dengan airmata membasahi pipiku aku melangkah pulang. Sejurus kemudian roda-roda taksi berputar menjauh meninggalkan beribu ancaman dari polisi-polisi jalang.
"i'm sorry, Jane, Goodbye..."
Jakarta, 9 Juni 2004
Buat adik gw yg sedang bekerja di Risk Management Unit sebuah bank di Jakarta.
Cerita ini fiksi belaka, semoga nggak akan terjadi dimanapun di bumi ini.
Sunday, June 06, 2004
Cinta ladang jagung
Sulit dipercaya ada tempat seperti ini hanya sejauh 1,5 jam dari jakarta. Sepi, tenang, tak ada suara apa2 selain gemerisik dedaunan tertiup angin. Tak ada hiruk pikuk kota, dering telepon, dan suara televisi yang penuh persoalan politik memusingkan. Sejauh mata memandang terlihat bukit2 hijau dipenuhi padi gogo dan palawija. Gubuk2 petani disini saling berjauhan, paling dekat satu atau dua hektar dari tempat kami, dipisahkan sungai-sungai kecil yang jernih.
Sayang, ini bukan tempat bersantai. Di "leuweung", begitu orang dusun menyebutnya, hanya ada kerja keras. Tidak ada sedikitpun waktu untuk rehat. Lihatlah, di siang terik ini ibu2 menumbuk padi, menjemur kacang atau memberi makan ayam. Selalu ada yang mesti dikerjakan. Yah, mereka memang jauh dari berkecukupan. Pakaian compang-camping yang mereka kenakan saja didapat dari sumbangan orang-orang kota yang sesekali mengunjungi kebun.
Nama-nama mereka pun sederhana. Ujang, Cecep, Rohim, Wali, Ropii, nama yang semakin sulit ditemukan di kota metropolitan seperti Jakarta. Di siang hari begini lebih sulit lagi untuk menemukan orangnya. Karena selama masih ada sinar, mereka hampir tak pernah kembali ke gubuk. Mencetak lahan, mengurus tanaman, berburu kancil di hutan dan menebang kayu. Bahkan di malam terang bulan ada yang
masih pergi mencangkul. Sebab, disini lepas jam 10-11 siang sinar matahari terasa membakar kulit.
***
Masing-masing petani disini umumnya minimal memiliki satu hektar lahan. Mereka membuka lahan yang berupa hutan dan semak dengan modal seadanya. Mencetak lahan bukan hal mudah dan bisa dikerjakan sendirian. Untuk membabat semak kita harus memburu waktu. Tanah yang sudah dibabati harus segera dicangkul kasar untuk mengangkat akar, sebab kalau tidak, gerimis atau embun saja akan dengan cepat
menumbuhkan tunas-tunas baru. Apalagi tanah hutan ini sangat subur. Dalam hitungan hari, semak yang kita babat akan tumbuh setinggi pinggang.
Lebih berat lagi bila di lahan kita ada rumpun bambu hutan. Tak cukup waktu sebulan membabatnya. Buluh bambu sebesar2 paha ini ruas-ruasnya penuh duri sepanjang telunjuk. Sol sepatu boot yang tebalpun mampu ditembusnya. Serat batang bambu sangat alot. Bilah kampak sebesar dua telapak tangan ompong melawan bonggol-bonggol yang mengambang di atas permukaan tanah. Cara terbaik, mau tidak mau harus menggunakan api. Semak-semak yang mengering kita tumpuk di atasnya lalu kita bakar. Bila rumpunnya besar, bonggol bambu itu akan menyala selama berminggu-minggu. Bahkan setelah dihajar hujan deras baranya tetap hidup dan kembali terbakar di siang hari.
Setelah semua semak dan pokok kayu rebah, segalanya tidak langsung menjadi mudah. Beberapa buah cangkul patah, sisanya rompal disana sini karena menghantam akar2 di bawah permukaan tanah. Otot punggung dan pinggang ngilu. Sendi-sendi sekujur badan serasa terurai. Inilah saat para perempuan membalurkan minyak kelapa yang dicampur sari tumbuhan di tubuh suaminya. Sejurus kemudian malam pun hanyut diiringi alunan langgam jawa dari radio butut yang tersangkut di bilik bambu.
***
Bagi petani di tanah-tanah pedalaman, istri, sebatang rokok, teh atau kopi manis serta radio transistor adalah kemewahan yang berharga. Tapi bagi para duda dan kaum bujangan, kerja keras hanya akan membuat rasa haus akan perempuan semakin menggelegak. Kulit halus dan bau perempuan memang obat yang manjur otot-otot petani yang kerasnya bagai baja.
Di gubuk sepi tengah ladang atau di ladang jagung yang rimbun janda-janda miskin dapat menyebarkan kasihnya. Bagaikan titik hujan yang membasahi bukit2 kering ini. Tak ada seorangpun yang keberatan membagi sekantung gabah demi cinta selama tidak mengganggu suami orang.
Sembari memanggul sekarung hasil ladang aku melangkah cepat menuju pulang karena harus mengejar bus terakhir ke Jakarta. Meninggalkan sekelompok perempuan menor yang baru saja keluar dari gubuk tetangga. Masih sejam lagi berjalan kaki sebelum sampai di jalan aspal. Namun Tuhan masih sempat memberiku satu lagi pelajaran kehidupan.
Sayang, ini bukan tempat bersantai. Di "leuweung", begitu orang dusun menyebutnya, hanya ada kerja keras. Tidak ada sedikitpun waktu untuk rehat. Lihatlah, di siang terik ini ibu2 menumbuk padi, menjemur kacang atau memberi makan ayam. Selalu ada yang mesti dikerjakan. Yah, mereka memang jauh dari berkecukupan. Pakaian compang-camping yang mereka kenakan saja didapat dari sumbangan orang-orang kota yang sesekali mengunjungi kebun.
Nama-nama mereka pun sederhana. Ujang, Cecep, Rohim, Wali, Ropii, nama yang semakin sulit ditemukan di kota metropolitan seperti Jakarta. Di siang hari begini lebih sulit lagi untuk menemukan orangnya. Karena selama masih ada sinar, mereka hampir tak pernah kembali ke gubuk. Mencetak lahan, mengurus tanaman, berburu kancil di hutan dan menebang kayu. Bahkan di malam terang bulan ada yang
masih pergi mencangkul. Sebab, disini lepas jam 10-11 siang sinar matahari terasa membakar kulit.
***
Masing-masing petani disini umumnya minimal memiliki satu hektar lahan. Mereka membuka lahan yang berupa hutan dan semak dengan modal seadanya. Mencetak lahan bukan hal mudah dan bisa dikerjakan sendirian. Untuk membabat semak kita harus memburu waktu. Tanah yang sudah dibabati harus segera dicangkul kasar untuk mengangkat akar, sebab kalau tidak, gerimis atau embun saja akan dengan cepat
menumbuhkan tunas-tunas baru. Apalagi tanah hutan ini sangat subur. Dalam hitungan hari, semak yang kita babat akan tumbuh setinggi pinggang.
Lebih berat lagi bila di lahan kita ada rumpun bambu hutan. Tak cukup waktu sebulan membabatnya. Buluh bambu sebesar2 paha ini ruas-ruasnya penuh duri sepanjang telunjuk. Sol sepatu boot yang tebalpun mampu ditembusnya. Serat batang bambu sangat alot. Bilah kampak sebesar dua telapak tangan ompong melawan bonggol-bonggol yang mengambang di atas permukaan tanah. Cara terbaik, mau tidak mau harus menggunakan api. Semak-semak yang mengering kita tumpuk di atasnya lalu kita bakar. Bila rumpunnya besar, bonggol bambu itu akan menyala selama berminggu-minggu. Bahkan setelah dihajar hujan deras baranya tetap hidup dan kembali terbakar di siang hari.
Setelah semua semak dan pokok kayu rebah, segalanya tidak langsung menjadi mudah. Beberapa buah cangkul patah, sisanya rompal disana sini karena menghantam akar2 di bawah permukaan tanah. Otot punggung dan pinggang ngilu. Sendi-sendi sekujur badan serasa terurai. Inilah saat para perempuan membalurkan minyak kelapa yang dicampur sari tumbuhan di tubuh suaminya. Sejurus kemudian malam pun hanyut diiringi alunan langgam jawa dari radio butut yang tersangkut di bilik bambu.
***
Bagi petani di tanah-tanah pedalaman, istri, sebatang rokok, teh atau kopi manis serta radio transistor adalah kemewahan yang berharga. Tapi bagi para duda dan kaum bujangan, kerja keras hanya akan membuat rasa haus akan perempuan semakin menggelegak. Kulit halus dan bau perempuan memang obat yang manjur otot-otot petani yang kerasnya bagai baja.
Di gubuk sepi tengah ladang atau di ladang jagung yang rimbun janda-janda miskin dapat menyebarkan kasihnya. Bagaikan titik hujan yang membasahi bukit2 kering ini. Tak ada seorangpun yang keberatan membagi sekantung gabah demi cinta selama tidak mengganggu suami orang.
Sembari memanggul sekarung hasil ladang aku melangkah cepat menuju pulang karena harus mengejar bus terakhir ke Jakarta. Meninggalkan sekelompok perempuan menor yang baru saja keluar dari gubuk tetangga. Masih sejam lagi berjalan kaki sebelum sampai di jalan aspal. Namun Tuhan masih sempat memberiku satu lagi pelajaran kehidupan.
Saturday, June 05, 2004
Hadiah kecil dari sang udang
Entah kapan krisis ekonomi akan berakhir. Sudah beberapa tahun situasi tidak juga membaik. Memang kelihatannya kehidupan sudah mulai bergulir. Di jam-jam sibuk terutama pagi hari sudah nampak orang berdesakan dalam bus kota menuju tempat bekerja. Pedagang kaki lima juga bermunculan dimana2. Tak seperti tahun 1998 lalu. Semuanya sepi, bukan saja karena ekonomi yang morat marit dan keamanan yang rawan. Namun bagi kelas pekerja seperti kami tak banyak yang berubah, waktu tetap bergulir sangat lambat. Kadang seperti berhenti mendadak atau bahkan malah bergerak mundur.
Sudah beberapa tahun sejak aku lulus kuliah dan bekerja di beberapa tempat. Magang di sebuah surat kabar, radio, di sebuah perusahaan ekspor impor yang tak begitu jelas statusnya, sebuah konsultan bisnis kecil, dan terakhir di "law firm" yang cukup punya nama di jakarta.
Peristiwa itu memberikan pelajaran yang mahal buat ku. Perusahaan memutus kontrak secara sepihak karena aku berusaha memperjuangkan uang transport yang dipotong separuhnya dari yang disepakati. Baru sepenuhnya kusadari bahwa pengalaman kerja yang panjang serta ijazah dari universitas terbaik di negeri ini tak akan mengubah kenyataan bahwa kami adalah buruh semata. Yang bila menghadapi majikan, sama tak tak berdayanya dengan budak hitam di kebun tebu kompeni.
***
Pagi ini seperti biasanya Jakarta bergerak cepat, seakan matahari berlari ke puncak langit. Aku juga tak suka menunggu. Aku segera menyiapkan kantung2 plastik, karet gelang, sepotong selang dan sejurus
kemudian berangkat menuju Depok.
"Bawa apaan mas?" tanya kondektur.
"Gas" Jawabku.
"Buat apaan?"
"Oh ini oksigen, buat bawa ikan"
"Ikan apa? Lohan ya?"
"Sebenarnya bukan ikan sih, tapi bawa udang idup".
Ia orang kesekian kali yang terheran2 melihat aku membawa kantung plastik besar yang melembung kosong. Biasanya percakapan akan menjadi panjang. Kadang agak malu juga bercerita, apalagi kalau sedang banyak mahasiswi cantik yang turut menyimak obrolan kami sepanjang perjalanan ke Depok dengan pandangan iba. Tapi kerja keras adalah obat mujarab bagi orang kecil. Daripada nganggur tak berkarya kami memilih menjalaninya dengan penuh kesabaran.
***
Mengirim udang air tawar dalam keadaan hidup ke pusat kota juga merupakan tantangan yang penuh aral. Di awal pengiriman, hampir semua mati karena kepanasan. Maklum kami tidak punya kendaraan. Setiap
pengiriman kami memanggul berkilo2 udang serta airnya dari tepi danau menuju jalan raya, menaikkan ke atas bus, disambung lagi dengan angkot. Kendaraan umum pun tak semuanya bermurah hati menerima
kami yang kotor berlumpur dan basah.
Setelah pulang otak kami berputar mencari cara yang lebih baik utk pengiriman berikutnya. Kami mencoba menggunakan es batu, karung/dacron basah dan lain-lain. Tapi tanpa sarana transportasi yang memadai tak banyak yang bisa dilakukan. Sedangkan waktu pengiriman sulit diatur karena sangat tergantung hasil tangkapan alam. Jumlahnya sendiri cenderung menurun karena mengandalkan perkembangbiakan alamiah.
Sebagai pengepul, sebenarnya hal itu tak jadi masalah. Permintaan yang tinggi mengakibatkan harganya juga ikut naik. Sekilo udang harganya 45ribu-an. Resiko pengiriman 10 persen ikut ditanggung pembeli. Apabila pasokan sedang turun, tentu saja kami minta kenaikan yang wajar dari pembeli. Di musim kemarau seperti saat itu semua orang akan maklum karena perairan mengering. Toh pengecer mendapat margin keuntungan yang lebih besar dari kami sehingga harga masih tetap masuk.
***
Yang menjadi masalah justru persaingan di lapangan. Pengepul kecil seperti kami sangat lemah bersaing dengan pemodal besar. Bayangkan saja, selain punya mobil pengangkut, mereka juga punya tim "nelayan" udang yang berpengalaman di banyak medan. Tim yang terdiri dari 5-10 orang per kelompok itu siap bergerilya dari danau atau situ yang satu ke tempat lain mulai dari jabotabek, subang hingga purwakarta. Dengan bermodal tenda plastik lusuh, peralatan masak seadanya serta botol2 aqua sebagai perangkap udang mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Seperti layaknya suku2 nomaden di pedalaman.
Kami terpaksa bersaing mendapatkan dagangan dengan boss mereka yang cukong2 besar di jakarta utara, barat dan tangerang. Untuk itu pagi-pagi buta kami harus berangkat menyusuri semak2 hutan tepi danau. Bahkan tengah malam kami pergi ke karamba apung mengambil sisa tangkapan udang dari warga kampung.
Usaha memang penuh lika-liku. Kadang untung kadang buntung tak pernah ada yang tau. Ada pelanggan yang baik memberikan bonus atau sekedar tambahan ongkos, tapi ada juga pencari udang yang suka ngemplang utang. Entah di gedung2 tinggi yang mewah, atau di dangau2 reot tepi danau, kami temui berjuta2 wajah dan perangai. Sembari menyambung hidup kami menuai pelajaran kehidupan yang nilainya tak terukur dengan uang.
Sudah beberapa tahun sejak aku lulus kuliah dan bekerja di beberapa tempat. Magang di sebuah surat kabar, radio, di sebuah perusahaan ekspor impor yang tak begitu jelas statusnya, sebuah konsultan bisnis kecil, dan terakhir di "law firm" yang cukup punya nama di jakarta.
Peristiwa itu memberikan pelajaran yang mahal buat ku. Perusahaan memutus kontrak secara sepihak karena aku berusaha memperjuangkan uang transport yang dipotong separuhnya dari yang disepakati. Baru sepenuhnya kusadari bahwa pengalaman kerja yang panjang serta ijazah dari universitas terbaik di negeri ini tak akan mengubah kenyataan bahwa kami adalah buruh semata. Yang bila menghadapi majikan, sama tak tak berdayanya dengan budak hitam di kebun tebu kompeni.
***
Pagi ini seperti biasanya Jakarta bergerak cepat, seakan matahari berlari ke puncak langit. Aku juga tak suka menunggu. Aku segera menyiapkan kantung2 plastik, karet gelang, sepotong selang dan sejurus
kemudian berangkat menuju Depok.
"Bawa apaan mas?" tanya kondektur.
"Gas" Jawabku.
"Buat apaan?"
"Oh ini oksigen, buat bawa ikan"
"Ikan apa? Lohan ya?"
"Sebenarnya bukan ikan sih, tapi bawa udang idup".
Ia orang kesekian kali yang terheran2 melihat aku membawa kantung plastik besar yang melembung kosong. Biasanya percakapan akan menjadi panjang. Kadang agak malu juga bercerita, apalagi kalau sedang banyak mahasiswi cantik yang turut menyimak obrolan kami sepanjang perjalanan ke Depok dengan pandangan iba. Tapi kerja keras adalah obat mujarab bagi orang kecil. Daripada nganggur tak berkarya kami memilih menjalaninya dengan penuh kesabaran.
***
Mengirim udang air tawar dalam keadaan hidup ke pusat kota juga merupakan tantangan yang penuh aral. Di awal pengiriman, hampir semua mati karena kepanasan. Maklum kami tidak punya kendaraan. Setiap
pengiriman kami memanggul berkilo2 udang serta airnya dari tepi danau menuju jalan raya, menaikkan ke atas bus, disambung lagi dengan angkot. Kendaraan umum pun tak semuanya bermurah hati menerima
kami yang kotor berlumpur dan basah.
Setelah pulang otak kami berputar mencari cara yang lebih baik utk pengiriman berikutnya. Kami mencoba menggunakan es batu, karung/dacron basah dan lain-lain. Tapi tanpa sarana transportasi yang memadai tak banyak yang bisa dilakukan. Sedangkan waktu pengiriman sulit diatur karena sangat tergantung hasil tangkapan alam. Jumlahnya sendiri cenderung menurun karena mengandalkan perkembangbiakan alamiah.
Sebagai pengepul, sebenarnya hal itu tak jadi masalah. Permintaan yang tinggi mengakibatkan harganya juga ikut naik. Sekilo udang harganya 45ribu-an. Resiko pengiriman 10 persen ikut ditanggung pembeli. Apabila pasokan sedang turun, tentu saja kami minta kenaikan yang wajar dari pembeli. Di musim kemarau seperti saat itu semua orang akan maklum karena perairan mengering. Toh pengecer mendapat margin keuntungan yang lebih besar dari kami sehingga harga masih tetap masuk.
***
Yang menjadi masalah justru persaingan di lapangan. Pengepul kecil seperti kami sangat lemah bersaing dengan pemodal besar. Bayangkan saja, selain punya mobil pengangkut, mereka juga punya tim "nelayan" udang yang berpengalaman di banyak medan. Tim yang terdiri dari 5-10 orang per kelompok itu siap bergerilya dari danau atau situ yang satu ke tempat lain mulai dari jabotabek, subang hingga purwakarta. Dengan bermodal tenda plastik lusuh, peralatan masak seadanya serta botol2 aqua sebagai perangkap udang mereka mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya. Seperti layaknya suku2 nomaden di pedalaman.
Kami terpaksa bersaing mendapatkan dagangan dengan boss mereka yang cukong2 besar di jakarta utara, barat dan tangerang. Untuk itu pagi-pagi buta kami harus berangkat menyusuri semak2 hutan tepi danau. Bahkan tengah malam kami pergi ke karamba apung mengambil sisa tangkapan udang dari warga kampung.
Usaha memang penuh lika-liku. Kadang untung kadang buntung tak pernah ada yang tau. Ada pelanggan yang baik memberikan bonus atau sekedar tambahan ongkos, tapi ada juga pencari udang yang suka ngemplang utang. Entah di gedung2 tinggi yang mewah, atau di dangau2 reot tepi danau, kami temui berjuta2 wajah dan perangai. Sembari menyambung hidup kami menuai pelajaran kehidupan yang nilainya tak terukur dengan uang.
Thursday, May 27, 2004
Bandar Dangdut dari Pasar Gaplok
From: listmanager_2@y...
Date: Wed Dec 17, 2003 5:47 pm
Subject: Bandar Dangdut dari Pasar Gaplok
Selain sebagai pemegang rekor makan mie ayam, Habibie(tentu saja nama samaran, hehe) kita kenal juga sebagai pemegang rekor MURI dalam hal ditolak cewek. Wajar saja, meskipun darahnya keturunan Arab tampangnya kebalikan dari Adam Jordan.
Tapi kegigihannya memang luar biasa. Ditolak puluhan cewek tidak membuat harga dirinya menciut. Bahkan dengan tekun dia kumpulkan biodata gadis2 itu lengkap dengan fotonya! Dan setiap ada target baru semangatnya tidak ada beda. Benar2 "legenda hidup" bagi kami semua :p
Bekerja di LSM pendapatan tidak memadai, walaupun kita mendapat keleluasaan waktu masuk kerja. Kantor boleh memperjuangkan hak asasi orang, tapi kenyataannya pegawai sendiri sering terlantar.
Keterbatasan ini membuat setiap orang memutar otak cari makan di luaran. Sehabis jaga, pak satpam akan mampir ke Cipto jadi tukang Parkir. Rekan2 volunteer paruh waktu mengerjakan barang cetakan, jadi interviewer, atau sekedar taruhan nasib main judi.
Lain lagi dengan Habibie. Sembari kerja ia jadi Bandar Dangdut. Hiburan toh bukan cuma punya orang berduit. Ulang tahun, Sunatan, Perpisahan, Acara kantor atau Hajatan Perkawinan itu saatnya berdangdut.
Habibie sendiri tidak punya alat panggung atau sound system lengkap dengan gensetnya. Dia juga tidak punya grup band dan vokalis. Tapi Pasar Gaplok punya semuanya. Mau nyewa alat tinggal mampir ke rumah Pak Haji. Mau nyari pemain band tinggal panggil Si Anu dia yang atur.
Cari penyanyi? Apalagi...! Mampir aja ke kontrakan sebelah. Penyanyi berbagai usia bergelimpangan istirahat di lantai semen yang adem. Mau cari goyang ngebor, ngecor, patah-patah, atau kayang, Habibie tinggal itung biaya. Cari yang bisa goyang Kamasutra? Bisa juga... tapi sekarang sedang sibuk rame2 cari kutu di pojokan gang sana :-p
Date: Wed Dec 17, 2003 5:47 pm
Subject: Bandar Dangdut dari Pasar Gaplok
Selain sebagai pemegang rekor makan mie ayam, Habibie(tentu saja nama samaran, hehe) kita kenal juga sebagai pemegang rekor MURI dalam hal ditolak cewek. Wajar saja, meskipun darahnya keturunan Arab tampangnya kebalikan dari Adam Jordan.
Tapi kegigihannya memang luar biasa. Ditolak puluhan cewek tidak membuat harga dirinya menciut. Bahkan dengan tekun dia kumpulkan biodata gadis2 itu lengkap dengan fotonya! Dan setiap ada target baru semangatnya tidak ada beda. Benar2 "legenda hidup" bagi kami semua :p
Bekerja di LSM pendapatan tidak memadai, walaupun kita mendapat keleluasaan waktu masuk kerja. Kantor boleh memperjuangkan hak asasi orang, tapi kenyataannya pegawai sendiri sering terlantar.
Keterbatasan ini membuat setiap orang memutar otak cari makan di luaran. Sehabis jaga, pak satpam akan mampir ke Cipto jadi tukang Parkir. Rekan2 volunteer paruh waktu mengerjakan barang cetakan, jadi interviewer, atau sekedar taruhan nasib main judi.
Lain lagi dengan Habibie. Sembari kerja ia jadi Bandar Dangdut. Hiburan toh bukan cuma punya orang berduit. Ulang tahun, Sunatan, Perpisahan, Acara kantor atau Hajatan Perkawinan itu saatnya berdangdut.
Habibie sendiri tidak punya alat panggung atau sound system lengkap dengan gensetnya. Dia juga tidak punya grup band dan vokalis. Tapi Pasar Gaplok punya semuanya. Mau nyewa alat tinggal mampir ke rumah Pak Haji. Mau nyari pemain band tinggal panggil Si Anu dia yang atur.
Cari penyanyi? Apalagi...! Mampir aja ke kontrakan sebelah. Penyanyi berbagai usia bergelimpangan istirahat di lantai semen yang adem. Mau cari goyang ngebor, ngecor, patah-patah, atau kayang, Habibie tinggal itung biaya. Cari yang bisa goyang Kamasutra? Bisa juga... tapi sekarang sedang sibuk rame2 cari kutu di pojokan gang sana :-p
Subscribe to:
Posts (Atom)