Monday, May 24, 2004

Sarjana Kambing

Tanah ini milik Angkatan Darat. Pernah ditanami jeruk siam, tapi dikelola setengah hati. Akhirnya ya tak terawat. Pohon2 jeruk setinggi dua setengah meter itu merana. Satu-satu ada sih yang berdaun cukup lebat dan kadang berbunga dan berbuah. Tapi besarnya tak bisa lebih dari jeruk nipis. Tak ada yang mau memetiknya kecuali anak angon seperti kami.

Di pinggir kebun jeruk ini juga ada sebatang pohon jambu air besar yang rindang dan berbuah lebat. Di salah satu dahannya tergantung sebuah ayunan dari ban bekas. Ini tempat yang sangat menyenangkan. Kami bisa tidur2an di dahan, bergantungan atau berayun di ayunan sambil memakan jambu air yang manis segar. Di kala berbunga, anak-anak ramai berebutan menghisap madu yang tersembunyi dibalik bulu2 serbuk sari. Menjelang sore angin berhembus sepoi membawa wangi pandan padi lama menyebar ke seluruh padang. Saat itu kami para gembala melepaskan tali ikatan induk2 domba dan bandot dari pancang dan menggiring pulang kandang.

Meskipun rumput dan sawah masih begitu luas, warga betawi mulai segan bertani ataupun beternak. Mereka lebih suka jual tanah beli motor untuk mengojek. Nikmat memang, maklum saja tanah warisan luas kendaraan umum hampir tidak ada. Ojek satu-satunya pilihan. Kerja begini bisa bangun siang, pulang ke rumah sesuka hati dan kalau mau bisa kawin lagi di kampung sebelah.

Eki putra betawi yang lain, dia temen sekelas ku. Di kampung ini hanya kami yang memelihara domba. Orang kampung sini lebih senang memelihara kambing kacang atau kambing jawa sebab lebih mudah memeliharanya dan anaknya bisa empat ekor. Tapi tentu saja memelihara domba sangat menyenangkan. Apalagi kalau ada anak2 domba yang baru lahir. Bulu2nya pendek ikal lembut, lucu sekali. Begitu bisa berdiri mereka tak henti2nya berlarian dan meloncat-loncat sana sini. Semua orang senang menggendongnya setiap aku menggiringnya pulang.

Domba ku jenisnya lebih besar dari domba Eki. Bandotnya berbadan kekar tinggi besar dengan tanduk melingkar gagah. Sebagai bapak mereka sangat protektif. Ada satu bandot jantan yang paling besar. Warnanya coklat tua campur hitam. Jangan coba2 berdiri membelakanginya karena sudah pasti ia akan menyeruduk pantat kita hingga tersungkur. Sesekali waktu Eki membawa bandot nya untuk diadu di sini.

Meskipun domba ku lebih banyak, sekitar 12 ekor. Tapi Eki jauh lebih berbakat. Aku sekedar anak kota yang terdampar di kampung. Karena itu aku banyak belajar tentang hewan dan tumbuhan dari anak2 kampung termasuk Eki.

Dia pandai memelihara bermacam hewan. Mulai dari kambing, burung dara, marmut, kelinci dan burung. Bahkan dia pernah membesarkan anak burung pipit yang kehilangan induknya hingga besar. Kemanapun burung itu dia bawa. Dia juga pandai sekali memancing. Dengan uang 100 perak kami membeli kail dan senar di warung. Memetik daun tablo untuk membungkus cacing yg kami keduk dari sawah. Belum sampai sore, ia akan dapat banyak sekali ikan cere, betik, kocolan atau lele. Meskipun kadang harus dibayar dengan gigitan lintah dari lubuk bekas kubangan kerbau di tengah sawah tapi senangnya bukan main.

"Eh gus pakabar?" Seseorang menyapaku dari pojokan bangku angkot."Pulang kerja?"

"Wah, loe Ki! Baik2, iya nih gw baru pulang kerja. Loe gimana? Keluarga baik2 aja kan?"

"Baik semuanya gus. Kerja dimana?" tukasnya.

"Di tanah abang, di konsultan, tapi kantornya kecil. Loe deh lulus kan Ki? Kerja dimana?" tanyaku.

"Udah gus, tapi blom kerja nih. Cuma bantu2 temen, bantu bokap juga." ia menjawab malu-malu.

Blom banyak ngobrol, angkot sudah sampai di tujuan. Kami berdua turun dan harus naik ojek ke rumah masing-masing.

Eki sobat ku sejak kelas tiga SD, kini sudah jadi sarjana dari salah satu universitas swasta ternama di jakarta. Ia memang belum beruntung dapat kerja kantoran. Tapi dari yang kudengar kemarin dari ayahku, dia sudah bisa menjual minimal 100 ekor kambing setiap Idul Adha dari peternakannya di atas tanah warisan engkongnya.

Aku tersenyum mengenang saat2 kami berburu burung dengan ketapel di tengah sawah yang menguning. Mencabuti bulunya dan membakarnya dengan jerami atau tumpukan daun singkong yang kering. Daging burung peking sebesar ibu jari anak kecil itulah pengganjal perut dan penambah gizi anak angon seperti kami. Kini kambingmu jauh lebih banyak dari punya ku Ki! Semoga sukses ya... ;-)




No comments: